Minggu, 09 Juni 2013

TIAN JIN FOREIGN STUDIES UNIVERSITY

Saya pertama mengenal Tianjin Foreign Studies University saat menghadiri undangan makan makam dari Biro Kerjasama Propinsi Jawa Timur, tahun 2012.  Makan malam untuk menyambut delegasi dari Pemerintah Daerah Tian Jin.  Kabarnya ada MoU antara Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Tian Jin China.  Saat itu saya duduk dengan seorang wanita anggota delegasi.  Saya lupa namanya, tetapi memperkenalkan diri sebagai staf bagian Kerjasama Internasional Tian Jin University.  

Tujuan utama kami ke Tian Jin adalah berkunjung ke Tian Jin Foreign Studies University (TFSU) untuk melakukan MoU.   Bulan Desember 2012, sewaktu Confucius Institute International Conference di Beijing, Pak Suharsono  dari Kantor Urusan Internasional (KUI) Unesa dan Pak Ali Mustofa, Direktur Confucius Institute (CI) Unesa, bertemu dengan utusan TFSU dan sepakat merancang MoU.  Kedatangan saya untuk menandatangani MoU yang terlah dirancang oleh KUI dan CI Unesa dengan International Cooperation and Exchange Division TFSU.

Kami (saya, Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing) datang di Tian Jin sekitar pukul 21.00 waktu setempat dan dijemput oleh Gloria di stasiun kereta api cepat.  Gloria adalah staf dari International Cooperation TFSU.  Penampilannya santai dan bahasa Inggris-nya cukup bagus.  Waktu menjemput, dia memakai celana pendek, memakai sandal  dan menyetir mobil sendiri. 

Saya tidak tahu nama aslinya di China, karena seperti biasanya teman dari China, mereka punya nama Inggris (English name) untuk memudahkan orang dari negara lain memanggil.  Ibu Chen Jing juga punya English name, yaitu Jane.  Gloria menjelaskan nama China sangat sulit diucapkan oleh orang non China, sehingga mereka yang sering  berhubungan dengan orang asing pada umumnya memiliki nama lain yang disebut dengan istilah English name.

Sambil mengantar dari stasiun ke hotel milik TSFU, Gloria menceritakan situasi kota Tian Jin.  Konon Tian Jin dahulu merupakan daerah dikelola oleh beberapa negara di Eropa. Ada wilayah disebut British territory, artinya saat ini dikelola oleh Inggris.  Ada German territory, French territory, Italy territory dan sebagainya.  Daerah dimana kampus TFSU berada dahulu merupakan British territory.  Jadi bangunan gedung dan rumah di wilayah itu bergaya Eropa (Inggris). 

Gedung-gedung “kuno” tersebut dipertahankan.  Mungkin semacam jagar budaya di Indonesia.  Bahkan sekarang dijadikan wilayah pariwisata.  Mirip wilayah sekitar menara Eifel di Perancis.  Di beberapa sudut jalan ada sepeda kayuh gandengan yang disewakan untuk wisatawan yang ingin berkeliling daerah itu.  Sebuah kebijakan dan kreasi yang menjadi contoh.

Sebagian gedung utama di kampus TFSU juga merupakan gedung-gedung kuno.  Kantor pusatnya merupakan gedung kuno yang konon bekas gereja.  Lantainya berupa “tegel berornamen” seperti bangunan jaman Belanda.  Pintunya tebal dan tinggi, seperti pintu gedung lama di Indonesia.  Tembol luar gedung berupa batu merang eskpos (tidak diplester), sehingga betul-betul tampak sebagai banguna gaya Eropa.

Kami datang hari Minggu sore.  Namun banyak mahasiswa yang lalu lalang dalam kampus.  Saya maklum, karena mahasiswa di China pada umumnya tinggal di asrama.  Sehingga setiap saat kampus akan tampak ramai.  Yang menarik perhatian saya, banyak mahasiswa yang sepertinya membawa tas atau menenteng buku. Ternyata mereka baru kuliah atau dari perpustakaan.  Gloria menjelaskan, walaupun hari Minggu di China tetap ada kuliah, walaupun tidak sepadat hari lain.

Di beberapa halaman juga tampak beberapa mahasiswa yang sedang diskusi dan mungkin mengerjakan tugas.  Ada yang duduk melingkar dan tampak sedang diskusi.  Ada yang membuka laptop dan tampak serius dengan laptopnya.  Ada yang tampak seperti menghafal sesuatu.  Ada juga yang sedang asik pacaran.

Sampai di hotel dalam kampus, milik universitas, kami segera diberi kunci kamar dan dipersilahkan istirahat karena sudah pukul 22-an.  Saya mendapat kamar 381.  Kami menuju lift dan menuju lantai masing-masing.  Begitu keluar lift di lantai 3, saya menuju lorong tetapi “remang-remang” bahkan dapat disebut “gelap”.  Sepanjang lorong hanya ada 2 lampu kecil.  Oleh karena itu saya tidak dapat menemukan kamar 381.  Terpaksa saya kembali ke front office dan minta ditunjukkan.

Sambil memberikan kunci Gloria memberitahukan bahwa sarapan pagi akan diantar ke kamar pukul 08.  Kok aneh ya, hotel kok sarapannya diantar ke kamar?  Namun kali tidak bertanya, karena sadar bahwa ini hotel kampus dan kami tidak membayar.  Jadi ya ikuti saja aturannya.  Betul, sekitar pukul 08, pintu kamar saya diketuk dan seorang pelayan mengantar sarapan.  Ya ampun, tiga potong roti tawar diletakkan di  piring dan disebelahkan diberi “seonggok” selai, plus segelas susu putih tanpa gula. Maklum hotel tersebut sebenarnya hotel untuk mahasiswa asing yang kuliah atau bekunjung ke TFSU.

Apa yang dapat dipelajari dari TFSU?  Rasanya dua hal, yaitu efisiensi dan semangat belajar.  Penggunaan lampu, penggunaan air, penggunaan ruang dan penggunaan hari kuliah terasa sekali semangat untuk efisien.  Ketika keluar kamar dan kamar mandi, lampu harus dimatikan.  Saat tidur hanya boleh memakai lampu tidur kecil yang ada disebelah tempat tidur.  Lorong hotel hanya menggunakan lampu kecil.  Semua sudut ruang dimanfaatkan.  Hari minggupun tetap ada kuliah, agar ruang kuliah dapat maksimal penggunaannya.

Semangat belajar juga sangat luar biasa.  Di hari minggu sore, perpustakaan tetap buka dan  ramai dikunjungi mahasiswa.  Hari  minggu sore, banyak mahasiswa dan belajar, mengerjakan tugas dan berdiskusi di berbagai tempat di halaman kampus.  Ditambah dengan kepercayaan diri yang kuat, semangat belajar yang luar biasa itu mungkin menyebabkan TFSU menjadi salah satu perguruan tinggi ternama.  Termasuk keberanian membukan program studu Bahasa Indonesia.  Pada hal mahasiswanya hanya 15 ribu orang dan program studi yang dimiliki hanya terbatas.  Semoga kita dapat memetik pelajaran.

Tidak ada komentar: