Minggu, 09 Juni 2013

JUARA LKTI TETAPI TIDAK MENJADI LULUSAN TERBAIK

Ni Kadek Vani Apriyanti, siswa SMA 4 Denpasar yang meraih Nilai Ebtanas tertinggi tahun 2012/2013, juga sering menjuarai Lomba Karya Ilmiah (LKI).  Membaca berita tersebut, serorang teman berkomentar: “kalau ini juara beneran”.   Maksudnya pandai beneran, buktinya dalam Ujian Nasional memperoleh nilai terbaik dan dalam Lomba Karya Ilmiah juga sering menang.  Jadi pantas kalau ada beberapa universitas ternama menawari masuk tanpa tes.

Apakah tidak seharusnya memang begitu?  Apakah tidak seharusnya mereka yang sering mememangkan LKI memperoleh NEM tertinggi saat Ujian Nasional?  Apakah mahasiswa yang sering memenangkan Lomba Karya Ilmiah tidak seharusnya menjadi lulusan pemuncak karena memiliki IPK tertinggi?   Kalau dibalik, apakah tidak seharusnya mereka yang mendapatkan NEM tertinggi juga memenangkan Lomba Karya Ilmiah?

Kenyataannya tidak selalu begitu.  Kalau ada yang begitu jumlahnya tidak banyak.  Memang, para pemenang Lomba Karya Ilmiah biasanya tidak terlalu jelek nilai ujian dan atau nilai rapornya.  Namun pada umumnya juga bukan juara sekolah, peraih NEM tertinggi atau wisudawan dengan IPK tertinggi.  Mengapa ya?  Apa yang salah dalam penilaian kita?  Bukankah keduanya menunjukkan anak yang pandai?

Paling tidak ada dua penyebab utama.  Pertama, di sekolah atau perguruan tinggi matapelajaran/matakuliah dipelajari secara terpisah.  Guru atau dosennya berbeda, jadwal pelajaran/kuliah berbeda dan seakan-akan tidak terkait antara satu dengan lainnya.  Isinya juga sangat “teoritik keilmuan” yaitu untuk memahami konsep dan teori di dalam disiplin ilmu tersebut.  Jarang sekali menyentuh aspek pemecahan masalah kehidupan keseharian.  Jarang atau hampir tidak pernah siswa/mahasiswa memperoleh kesempatan (by design) untuk menggabungkan berbagai teori yang dipelajari dari berbagai matapelajaran/ matakuliah.  Kalau ada, biasanya di akhir kuliah yaitu saat mengerjakan skripsi atau tugas akhir.

Sementara itu dalam Lomba Karya Ilmiah yang menjadi awal adalah kejelian mengamati fenomena alam dan lingkungan untuk menemukan ide.  Dalam konteks itu yang menjadi modal bukanlah penguasaan teori, tetapi kejelian melakukan observasi atau menangkap bahan bacaan.  Setelah itu diperlukan kreativitas untuk mencari solusi dari masalah tersebut.  Nah, dalam mencari solusi itu baru dituntut penguasaan teori yang relevan.  Jadi modal yang diperlukan untuk memperoleh nilai bagus di perkuliahan dan untuk memenangkan Lomba Karya Ilmiah memang berbeda.

Dalam bahasa lain, pembalajaran di sekolah maupun di universitas menggunakan pendekatan scientific based approach dan disciplinary mind paradigm.  Sementara dalam Lomba Karya Ilmiah atau lomba sejenis itu menggunakan problem based approach dan synthesizing mind paradigm atau bahkan creative mind paradigm.   Anak yang pandai memahami dan mencerna matapelajaran secara terpisah belum tentu pandai mensintesakan menjadi suatu keutuhan. Apalagi jika dituntut untuk secara kreatif menggunakannya untuk memecahkan masalah.

Sebaliknya anak-anak yang pandai mensintesakan pengetahuan yang dia peroleh dan kreatif menggunakannya untuk memecahkan masalah, juga tidak selalu paling pandai dalam memahami.  Disciplinary mind cenderung menggunakan pola pikir linier dengan memanfaatkan otak kiri, sedangkan synthesizing dan creative mind cenderung menggunakan pola pikir holistic dengan mengoptimalkan peran otak kanan.

Perlu dicatat antara keduanya bukanlah sesuatu yang pilah secara mutual exclusive, tetapi sesuatu yang overlapping dengan bagian terpisah cukup signifikan.  Memang keduanya memiliki bagian irisan yang cukup banyak, yaitu berupa kepandaian yang memadai.   Memang ada kesamaan, tetapi perbedaannya juga cukup signifikan.

Faktor kedua, adalah pola dan standar penilaian yang berbeda antara keduanya.  Pada ujian matapelajaran dan matakuliah penilaian didasarkan atas tingkat penguasaan materi.  Jika toh sampai jenjang analisis atau bahkan sintesis-nya Bloom, tetap saja sintesis untuk konsep dan teori dalam satu disiplin ilmu.   Sementara itu, untuk Lomba Karya Ilmiah, penilaian didasarkan pada manfaat temuan yang diajukan.  Orisinalitas dan daya manfaat biasanya menjadi aspek penilaian yang punya bobot besar.

Mungkin Anda bertanya, lantas mana yang lebih penting untuk pendidikan kita?  Jawabnya, tergantung sudut pandang yang digunakan.  Jika menggunakan sudut pandang, bahwa pendidikan adalah untuk mempelajari ilmu pengetahuan, maka paradigma disciplinary mind menjadi yang terpenting.  Namun kalau menggunakan sudut pandang bahwa pendidikan untuk mengembangkan kemampuan dalam memecahkan problema kehidupan, maka synthesizing and creative mind menjadi yang terpenting.  Nah, kita harus pandai menentukan, sebenarnya pendidikan itu untuk apa.  Semoga.

Tidak ada komentar: