Selasa, 11 Juni 2013

SALAHKAH TPA UNTUK SELEKSI MASUK SMA?

Ketika saya sedang berada di Central China National University (CCNU) Wuhan, seorang dosen Unair ber-sms-ria.  Dosen  Fakultas Ilmu Budaya itu meminta pendapat saya tentang Dinas Pendidikan Surabaya yang menerapkan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk seleksi masuk sekolah kawasan.  Sepertinya dia kurang setuju dengan kebijakan Dinas Pendidikan Surabaya tersebut.  Apa gunanya ikut pelajaran di SMP kalau ternyata untuk masuk SMA harus ikut TPA.  Apa tidak buang waktu dan biaya.  Toh nilai UN mestinya sudah menggambarkan kemampuan siswa.            Begitu antara lain komentarnya.

Sabtu tanggal 8 Juni Jawa Pos juga akan mengadakan diskusi tentang penggunaan TPA untuk seleksi masuk SMA.  Kebetulan saya juga diundang. Hanya saja batal karena Kepala Dinas Pendidikan (Pak Ikhsan) tidak dapat hadir karena sedang menangani masalah hasil UN SD.  Pak Suko Widodo, dosen Jurusan Komunikasi Unair juga mengudang saya dalam acara di TVRI Jawa Timur bersama dengan para guru untuk topik yang sama.  Tampaknya, penggunaan TPA untuk masuk SMA menjadi topik hot di masyarakat.

Melalui tulisan singkat ini saya ingin melihatnya dengan kacamata yang jernih.  Untuk itu mari kita lihat perbedaan mendasar antara UN dan TPA.  UN pada dasarnya achievement test, yang mengukur penguasaan materi kurikulum satuan pendidikan.  Jadi UN SMP pada dasarnya untuk mengetahui tingkat penguasaan kurikulum SMP oleh siswa.  Oleh karena itu yang diujikan, isi kurikulum SMP.  Bahwa kemudian tidak semua kompetensi dasar (KD) dimasukkan dalam soal UN, itu soal teknis karena keterbatasan waktu.  Akhirnya dipilih KD-KD yang dapat mewakili KD-KD yang lain.  Skor atau nilai UN sebenarnya merupakan gambaran pencapaian peserta.  Jika seorang siswa mendapatkan nilai 75 untuk Matematika, dapat dimaknai bahwa yang bersangkutan menguasai 75% dari kurikulum yang ditempuh.

Karena menguji penguasaan materi ajar (kurikulum) maka hasil UN akan dipengaruhi oleh mutu pembelajaran di sekolah.  Siswa yang bersekolah di sekolah yang baik, maksudnya pembelajarannya bagus, maka tingkat penguasaannya terhadap kurikulum juga baik.  Sebaliknya siswa yang bersekolah di sekolah yang kurang baik, maka penguasaan terhadap kurikulum juga akan kurang baik.  Jika ada dua siswa yang memiliki “kecerdasan sama”, yang satu bersekolah di sekolah yang baik dan satunya bersekolah di sekolah yang kurang baik, maka tingkat penguasaan terhadap kurikulum akan berbeda.  Yang bersekolah di sekolah yang baik akan lebih tinggi penguasaannya terhadap kurikulum.

TPA merupakan tes psikologi yang mengukur potensi akademik peserta.  Dalam bahasa sederhana mengukur kemampuan bernalar.   Oleh karena itu TPA tidak dikaitkan dengan materi kurikulum sekolah, melainkan dengan tingkat perkembangan kognitif anak, yang itu terkait dengan usia.  Soal TPA untuk anak SMP berbeda dengan untuk calon mahasiswa S2.  Namun anak SMA dan SMK yang mengikuti TPA akan mengerjakan soal yang sama.

Karena tidak terkait dengan kurikulum, maka TPA tidak dipengaruhi oleh dimana peserta bersekolah.  Secara prinsip, anak yang bersekolah di SMP yang bagus dan anak yang bersekolah di SMP yang kurang bagus, akan memperoleh skor TPA sama, asal kemampuan bernalarnya sama.  Anak SMA dan SMK akan memperoleh skor TPA yang sama, kalau kemampuan bernalarnya sama.

Ibarat pisau, TPA mengukur kualitas besi bahan yang digunakan untuk membuat pisau.  Sedangkan UN mengukur ketajaman pisau, yang disamping dipengaruhi oleh besi bahannya juga dipengaruhi apakah pisau tersebut sering diasah atau tidak.

Tes TPA banyak digunakan untuk masuk ke program S2/S3, masuk ke Akabri (AMN, AAL, AAU), masuk sekolah penerbang dan seterusnya.  Penggunaan TPA didasarkan pada pertimbangan mereka berasal dari lulusan sekolah/perguruan tinggi yang berbeda-beda dan juga jurusan yang berbeda-beda.  Oleh karena itu sulit mendapatkan satu jenis tes yang adil diberlakukan untuk mereka.  Jika kepada mereka diberikan tes yang sesuai dengan asal sekolah/jurusan, juga akan kesulitan untuk membandingkan satu dengan lainnya.  Dengan menggunakan TPA akan adil, namun seakan-akan apa yang dipelajari di sekolah/perguruan tinggi tidak “dihargai”.

Bagaimana dengan penggunaan TPA untuk masuk ke SMA?   Tergantung bagaimana kita melihatnya dan dari sudut pandang mana kita menilainya.   Dengan analogi pisau tadi, kalau kita mengutamakan pisau yang bahannya bagus, dengan asumsi nanti akan diasah lebih lanjut, maka TPA akan lebih prediktif.  Namun jika kita berasumsi, toh kondisi sekolah tidak jauh berbeda, sehingga kecerdasan sudah dapat diwakili oleh nilai UN. Dan kita juga harus menghargai anak-anak yang sudah kerja keras, walaupun “besinya” kurang bagus, maka penggunaan UN lebih tepat.  Jika memang keduanya dipertimbangkan, maka  gabungan TPA dan UN secara proporsional juga dapat diterapkan.


Namun juga harus dipertimbangkan sisi lain, yaitu biaya dan kesiapan anak.  Walaupun secara teoritik TPA tidak perlu dipelajari, namun dalam prakteknya anak yang sudah latihan akan lebih baik hasilnya dibanding yang tidak pernah latihan.  Mengapa?  Paling tidak mereka yang sering latihan sudah mengenal bentuk-bentuk soalnya, sehingga tidak grogi dan lebih cepat menyesuaikan diri.  Dari sisi biaya TPA memerlukan biaya yang lumayan besar, karena merupakan tes standar yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berkompeten.  Biasanya para psikolog.  Semoga kita arif menyikapinya.

Tidak ada komentar: