Rabu, 05 Juni 2013

SIEM REAP TEMPAT BELAJAR MENGELOLA WISATA

Saat Pak Ali Mustofa menawari apakah ikut ke Siem Reap untuk melihat Angkor Wat saya ragu-ragu.  Kota Phnom Penh yang merupakan ibu kota saja masih semrawut, apalagi Siem Reap yang berada di perbatasan dengan Thailand. Tentu lebih “parah”.  Apalagi infomasinya kalau naik mobil selama enam jam. Pada hal di peta saya perkirakan hanya sama dengan Surabaya Jember.  Kalau naik mobil selama enam jam, berarti jalannya tidak baik.

Namun karena memang kami punya satu hari kosong sebelum ke Beijing, akhirnya saya setuju untuk ikut.  Lumayan untuk mengisi waktu dari pada menganggur di hotel.  Mau keliling kota Phnom Penh juga malas, karena lalu lintas sangat ruwet.   Apalagi saya ingat kalau Angkor Wat oleh Unesco diakui sebagai salah satu warisan dunia.  Anggap saja mengunjungi Borobudur-nya Cambodia.

Dari Phnom Penh kami naik pesawat sejenis ATR sekitar 45 menit. Ketika menjelang mendarat, sekitar pukul 7.30 sore tidak nampak lampu kota Siem Reap.  Lampu hanya tampak jarang-jarang, sehingga menambah keyakinan bahwa Siem Reap mungkin mirip kecamatan di Jawa. Saya berkomentar kepada Pak Ali, jangan-jangan Siem Reap seperti kampung saya.

Namun begitu mendarat saya kaget.  Bandara memang kecil, tetapi banyak pesawat yang parkir. Juga ada satu pesawat jet kecil yang biasanya milik pribadi.  Artinya Siem Reap dikunjungi oleh wisatawan kaya dengan menggunakan pesawat pribadi. Begitu turun dari pesawat dan masuk ke ruang tunggu, saya lebih kaget karena sangat bagus.  Tersedia cukup banyak brosur pariwisata.  Hanya saja sebagian besar menggunakan bahasa Mandarin.  Yang menggunakan bahasa Inggris hanya sedikit. Juga tampak beberapa “bule” yang menunggu barang.

Pandangan saya berubah total saat sudah naik bus kecil menuju hotel.  Memang Sien Reap tidak sebesar Surabaya.  Mungkin sebesar Madiun.  Namun kotanya bersih dan tertata rapi.  Jauh lebih rapi dan bersih dibanding Phnom Penh. Banyak hotel dan restoran sepanjang jalan.  Memang bangunannya tidak tinggi-tinggi seperti hotel di Surabaya.  Mungkin sekitar 5 lantai yang paling tinggi, tetapi tampak tertata rapi.  Lalu lintas juga tidak seramai Phnom Penh, sehingga semua tampak bagus.  Tampak benar sebagai kota wisata yang dikelola dengan baik.

Hotel tempat kami menginap bernama Royal Empire Hotel.  Kecil dan hanya lima lantai, mungkin sekitar 100 kamar.  Tetapi rapi dan petugas front office-nya berbahasa Inggris bagus.  Penataan kamar, termasuk kamar mandi juga sangat baik, seperti hotel bintang 4 di Indonesia.  Waktu sarapan pagi juga tampak menggunakan standar internasional.

Ketika pagi naik bis kecil menuju Angkor Wat saya menyaksikan betapa rapinya penataan kota Siem Reap.  Jalannya lebar, sebagian besar punya “jalan arteri” untuk pertokoan di kiri dan kanan, sehingga parkir tidak mengganggu jalan utama.  Banyak juga resort di jalan menuju Angkor Wat.  Sepertinya banyak turis dengan katong tebal yang berwisata ke Siem Reap.

Mendekati lokasi Angkor Wat, kami memasuki “hutan kecil” di kira dan kanan jalan.  Sepertinya diatur agar menambah daya tarik wisata.  Di tengah hutan kecil tersebut, terdapat pintu gerbang yang mengharuskan wisata berhenti untuk membeli tiket.  Semua wisatawan harus membelok masuk ke lokasi tersebut.  Semua wisatawan turun dan baris satu persatu.  Ternyata difoto dan fotonya tercetak dalam tiket masuk.  Hebat, baru pertama ini ada tiket masuk daerah wisata yang foto pengunjung ikut tercetak disitu.  Menerima dan mencermati itu, saya memutuskan untuk menyimpannya sebagai kenang-kenangan.

Setelah dapat tiket, kami kembali masuk mobil dan meneruskan perjalanan menuju lokasi Angkor Wat.  Masih sekitar 10 menit perjalanan mobil pelan-pelan.  Nah ketika sampai di lokasi Angkor Wat saya jadi kaget lagi.  Ternyata Angkor Wat yang tersohor itu hanya kecil dan tidak terawat.  Mungkin hanya sebesar candi prambanan.  Bangunannya banyak yang rusak dan ditumbuhi tanaman yang merambat.  Patung di candi tersebut sebagian sudah rusak, sehingga wajah patung sudah tidak jelas. Di sana-sini ada daerah yang tidak boleh dilewati karena bahaya kalau runtuh.

Ketika saya mencoba mencermati, saya meragukan keaslian bagian-bagian candi.  Saya menemukan sambungan antar batu diberi semen.  Tentu di jaman candi itu dibangun belum ada semen, sehingga saya menduga sudah ada yang direstorasi.  Kalau kita bandingkan antara kondisi candi yang saat ini ada dan gambar yang ada di brosur berbeda cukup besar.  Sepertinya gambar di brosur itu visualisasi ketika candi masih utuh.  Dan kenyataannya sekarang sudah banyak yang hancur. 

Sepulang dari Angkor Wat saya merasa “kecewa”, jauh-jauh kami kunjungi ternyata hanya seperti itu.  Namun dalam hati saya muncul suatu pertanyaan, bagaimana Cambodia dapat mengemas obyek wisata yang tidak terlalu hebat itu dikunjungi banyak wisatawan. Obyek wisata yang hanya sebesar candi prambanan dengan kondisi sangat rusak dapat sangat terkenal dan banyak orang asing mengunjunginya.  Tampaknya packaging dan marketing yang sangat bagus membuat obyek yang sederhana itu menjadi “laku jual”.  Kita perlu belajar agar obyek wisata kita yang jauh lebih baik, juga selaris Angkor Wat.  Semoga.

Tidak ada komentar: