Senin, 17 Juni 2013

BOS ITU UNTUK APA DAN UNTUK SIAPA? (2)

Tanggal 15 Juni 2013, Unesa kedatangan tamu dari Bappenas.  Semula direncanakan beliau-beliau akan datang pada Jum’at 14 Juni, sesudah sholat Jum’at.  Namun karena hari Jum’at rombongan harus ke Madura, maka jadwal ke Unesa diundur hari Sabtu pagi.

Rombongan yang ke Unesa sebanyak  7 orang dipimpin oleh Ibu Nina Sardjunani, Deputi Meneg PPN/Bappenas Bidang Sumberdaya Manusia.  Ikut dalam rombongan, Direktur Pendidikan, Direktur Kesehatan dan beberapa staf lainnya.  Bu Nina adalah teman lama dan saya sering menyebutnya  sebagai “dewa penolong” ketika Unesa mengajukan bantuan IDB.  Tanpa bantuan Bu Nina, bantuan IDB yang sudah dirintis sejak 2004 akan “hilang”.

Karena beliau adalah perancang utama dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia, termasuk bidang pendidikan, maka saya berpesan agar Bu Nina memberi pencerahan tentang kondisi mutakhir pendidikan di Indonsia secara makro, program apa yang sedang berjalan dan program apa yang sedang dipersiapkan untuk tahun-tahun mendatang.   Gambaran seperti itu penting bagi Unesa, agar dapat melakukan antisipasi terhadap perkembangan mendatang.

Bagian presentasi yang sangat mengagetkan saya adalah gambaran kohor peserta didik yang dibagi menjadi lima kelompok (quintile) menurut kemampuan ekonomi orangtuanya.  Dari 100% anak Indonesia yang masuk ke SD, ternyata hanya 94,1% yang tamat.  Jadi ada 6% yang drop out (DO).  Dari grafik tampak bahwa DO mulai signifikan pada kelas 4.  Artinya mulai kelas 4 SD anak mulai rawan DO. Perlu dicari penjelasan mengapa begitu, karena sampai kelas 3 DO sangat kecil.

Dari 94% anak yang lulus SD itu hanya 72,4% yang melanjutkan ke SMP.  Jadi ada 21,7% anak yang lulus SD tetapi tidak melanjutkan ke SMP.  Dari 72,4% anak yang masuk ke SMP hanya 71,2% yang lulus SMP. Berarti ada 1,2% yang DO.  Rendahnya angka transisi dari SD ke SMP perlu mendapat perhatian, karena SD dan SMP adalah wajib belajar.   Seharusnya seluruh atau paling tidak sebagian besar lulusan SD melanjutkan ke SMP.  Mungkinkah jarak antara lokasi SMO dengan tempat tinggal penduduk menjadi kendala?  Atau ada kendala lain, misalnya biaya untuk buku, seragam dan sebagainya?  Atau ada masalah budaya?

Dari 71,2% anak lulus SMP hanya 49% yang masuk SLTA.  Jadi ada 22,2% yang tidak melanjutkan ke SLTA.  Dari 49% anak yang masuk SLTA hanya 46% yang lulus.  Jadi ada 3% yang DO.  Besarnya proporsi lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke SLTA dapat difahami, karena SLTA bukan wajib belajar sehingga siswa harus membayar.  Apalagi SLTA pada umumnya berada di kabupaten atau minimal di ibukota kecamatan yang jaraknya mungkin jauh dari lokasi tempat tinggal anak-anak. 

 Gambaran di atas menjadi lebih buram saat dicermati dalam setiap quintile.  Pada kelompok seperlima anak-anak dari keluarga paling miskin, hanya 87,8% yang tamat SD. Dari 87,8% hanya 49,7% yang melanjutkan ke SMP.  Dan akhirnya hanya 48,2% yang tamat SMP.  Dari angka itu hanya 21% yang masuk SLTA dan hanya 19,1% yang tamat. 

Jadi anak-anak keluarga miskin hanya 48% yang tamat SMP dan hanya 19% yang tamat SLTA.  Sebuah gambaran yang tidak menggembirakan.  Kita dapat membayangkan anak-anak dari keluarga miskin dan banya tamat SD (sebanyak 52%), lantas apa yang dapat diperbuat?  Hanya tamat SMP (sebanyak 27%), lantas apa yang dapat diperbuat?

Ungkapan tersebut di atas bukan untuk merendahkan kemampuan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang pendidikan formalnya terbatas.  Namun untuk mendorong kita memikirkan nasib anak-anak tersebut.  Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang baik dapat berperan sebagai pemotong lingkaran kemiskinan, maka kita harus memikirkan bagaimana anak-anak dari keluarga kurang mampu memperoleh pendidikan yang baik dan akhirnya dapat terentas dari kemiskinan.

Seperti pemikiran yang kami sampaikan terdahulu, bagaimana dana BOS dapat berfungsi untuk mendekatkan perolehan pendidikan antara keluarga kaya dan keluarga miskin.  Data yang disajikan Bu Nina menunjukkan 72,5% anak keluarga kaya dapat menyelesaikan pendidikan SLTA, sementara anak-anak keluarga miskin hanya 19,1%.  Itu belum melihat kualitas SLTA-nya. Sangat mungkin anak keluarga kaya bersekolah di sekolah yang relatif bagus, sebaliknya anak keluarga miskin menempuh SLTA dengan mutu seadanya.  Semoga data tadi menggugah empati kita untuk ikut memikirkannya.
 

Tidak ada komentar: