Rabu, 19 Oktober 2016

BELAJAR MAKAN “KOYO LONDO”



Kali ini saya di Eropa selama 3 minggu dan bekerja penuh sebagai peneliti tamu di Institut Technik und Bildung (ITB)-Universitat Bremen.  Anggaran yang diberikan oleh Unesa cukup tetapi juga tidak mubru-mubru, sehingga saya harus berusaha berhemat.  Apalagi saya mengajak isteri, sehingga tentu ada tambahan pengeluaran.  Memang, di satu sisi bisa berhemat karena isteri masak sendiri untuk sarapan dan makan malam, tetapi untuk makan siang saya harus makan di kantin universitas yang untuk ukuran Indonesia cukup mahal.  Di samping itu tentu harus menemani jalan-jalan pada hari Sabtu dan atau minggu, yang tentu memerlukan biaya. Apalagi akan bosan jika selama 3 minggu terus makan malam di rumah.

Isteri saya membantu mengatur bagaimana berhemat, agar uang yang diberi Unesa cukup dan tidak perlu nombok.  Ternyata harus makan “gaya londo”, karena bahan untuk membuat makanan gaya Indonesia jauh lebih mahal. Apalagi jika harus membeli di restoran, kantong dapat kobol-kobol.  Di kantin universitaspun, makanan yang mirip di Indonesia, misalnya “kare-yang mirip kare ayam di Surabaya” harganya minta ampun.  Oleh karena itu, ya terpaksa di rumah maupun di kampus belajar makan “koyo londo”.

ITB adalah sebuah research center, walaupun juga mengelola program pendidikan Vokasi untuk S1 S2 dan S3.  Namun programnya bersifat inter faculty, sehingga ITB lebih banyak berperan sebagai “perancang program-pengatur skenario”, sedangkan matakuliah banya diambil di fakultas yang relevan, misalnya matakuliah tentang “mesin” mahasiswa menempuh di Fakultas Metal and Production Engineering, matakuliah Pedagogy (general) mahasiswa menempuh di Faculty of Education.  Jadi hanya matakuliah pendidikan vokasi yang ditempuh di ITB.  Jumlah mahasiswapun juga sedikit, hanya sekitar 10 oarng setiap angkatan S1 dan S2 (karena programnya menerus).  Jadi secara total hanya ada sekitar 50 orang mahasiswa. Akibatnya, suasana di ITB mirip research center dibanding fakultas yang ada banyak mahasiswa.

Mungkin karena itu, sehingga di kompleks gedung ITB tidak ada kantin.  Untuk makan siang staf ITB (termasuk saya) harus ke kantin kampus induk yang berjarak sekitar 0,5 km, menyeberang jalan di depan gedung ITB, melewati kompleks Internatinal School dan taman kampus. Sepertinya itu kantin “kelas dosen”, buktinya yang makan disitu sebagai besar staf dan sangat jarang ada mahasiswa.

Karena ingin belajar makan gaya Eropa dan daftar menu berbahasa Jerman, saya harus bertanya kepada Dr. Pekka Kamaranain-counterpart saya di ITB, apa bahasa Inggris-nya makanan yang ada di daftar menu.  Untunglah Pak Pekka-begitu saya memanggil, sabar dan selalu menterjemahkan.  Memang orang Finlandia itu seorang peneliti senior yang sudah biasa menjadi counterpart peneliti tamu, sehingga tahu apa yang harus dilakukan untuk “partner asingnya”.

Hari pertama, saya makan siang dengan salad plus chicken wings (sayap ayam). Porsinya sangat besar, satu piring besar penuh berisi sayuran, tomat, butiran jagung rebus dan sayap ayam yang sudah digoreng.  Semua itu disiram dengan minyak zaitum. Bagaimana rasanya? Ya, begitulah.  Saya tidak dapat menjelaskan. Dimakan saja, anggap saja belajar makan gaya londo.

Hari kedua, saya makan pasta dicampur daging dan tomat.  Dagingnya besar-besar, tomatnya cukup banyak. Jadi satu piring besar penuh.  Kalau kemarin, saya mampu menghabiskan salad dengan saya ayam, ternyata pada hari kedua saya tidak mampu menghabiskan makan siang.  Bagaimana rasanya?  Sekali lagi, saya tidak dapat menjelaskan.  Yah, dimakan saja. Toh saya harus belajar makan menu seperti itu.

Hari ketiga saya makan salad lagi, tetapi tidak degan sayap ayam, melainkan dengan ikan tuna yang sudah dicincang.  Semula, ketika Pak Pekka menterjemahkan menu, saya kira ikan tuna yang dipotong terus digoreng.  Ternyata ikan tuna yang direbus terus dihancurkan.  Bagaimana rasanya. Yah lumayan, walupun tidak seenak salad dengan sayap ayam yang digoreng.  Begitulah makan siang di kantin kampus.

Bagaimana dengan sarapan?  Supaya mudah, kami-saya dengan isteri-cenderung sarapan roti tawar yang dipanggang dengan diberi keju atau selai.  Kadang-kadang juga diberi telor dadar atau daging yang direrbus digoreng dengan mentega.  Maklum tidak punya minyak goreng..  Di samping itu minum kopi susu dan makan pisang cavendis.  Untuk makan malam, kadang-kadang makan mie bawaan dari Indonesia, dan yang sering makan kentang rebus dengan daging yang digoreng, plus sayuran ala Jerman.  Masaknya diakali bermacam-macam, tetapi bahannya ya itu-itu saja.  Jadilah, selama hampir 2 minggu ini tidak pernah makan nasi.  Ternyata perut kami dapat menyesuaikan diri.  Keterpaksaan tampaknya membuat kita survive ya.

Tidak ada komentar: