Kamis, 13 Oktober 2016

HIDUP SEBAGAI PENELITI TAMU DI JERMAN



Sudah empat hari saya menjalani hidup sebagai peneliti tamu di Institut Technik und Bildung (ITB) Bremen University Jerman. Ternyata nikmat. Apa yang saya bayangkan sejak lengser sebagai rektor menjadi kenyataan. Setiap pagi jam 09 saya berangkat dari apartment di Olgastrasse 19, jalan kaki sekitar 1,5 km ke pemberhentiann tram no 10, bernama St Jurganstrasse.  Tramnya sangat bagus dan di tempat pemberhentian itu ada layar yang menunjukkan tram kurang berapa menit lagi datang.  Jadi kita dapat mengetahui berapa lama harus menunggu.

Biasanya sekitar 5 menit tram sudah datang.  Naik tram itu sampai di Central Station yang orang biasa menyebut HBF (Huptbahnhof).  Tramnya sangat nyaman, dan di setiap gerbong ada layar kecil menunjukkan kereta di posisi mana dan tempat pemberhentian apa yang segera tiba.  Juga ada suara yang menyebut nama pemberhetian akan tiba.  Jadi penumpang tidak akan kelirun turun.

Di HBF saya harus turun dan ganti tram no 6 yang menuju ITB Bremen University.  Kebetulan jalur tram no 10 dan no 6 bersebelahan, jadi begitu turun dari tram no 10, kemudian menyeberang jalur tram dan langsung dapat menunggu di platform tram no 6.  Tram no 6 sama baiknya dan yang paling mudah pemberhentian di dekat ITB disebut universitat nord (universitas bagian utara) adalah pemberhentian terakhir.  Dengan demikian saya tidak kawatir salah turun.  Biasanya saya sampai di “kantor” sekitar jam 10.  Jadi sekitar 1 jam perjalanan dari apartmen ke ITB.

Jarak antara pemberhentian tram no. Dengan gedung ITB sekitar 1 km, sehingga setiap hari saya harus jalan kaki sekitar 5 km, pulang baik.  Belum lagi ditambah kalau makan siang  harus berjalan ke kantin sekitar 0,5 km.  Harus jalan cepat karena udara cukup dingin sekitar 10 derajat.  Walaupun sudah memakai jas panjang (over coat) tetap saja terasa dingin, sehingga harus berjalan dengan cepat.  Mengetahui ini, Kiki-anak saya yang tinggal di Edinburgh, mengatakan “ayah akan langsing nanti”.

Saya beruntung karena Prof. Michael Gessler, direktur Teaching-Learning-teman baik yang selama ini mengatur kedatangan saya-sedang di Namibia, sehingga saya disilahkan menggunakan kantornya untuk tempat bekerja. Ruangannya sekitar 4x4 m, ada meja kerja dan ada meja rapat berbentuk bulat dengan 6 kursi. Juga ada rak buku yang berisi banyak sekali buku referensi.  Ada juga meja kecil tempat alat membuat kopi atau teh.  Ada juga flipchart yang dapat digunakan untuk menulis ketika rapat.  Di ruang inilah selama 4 hari saya bekerja.

Bisanya saya bekerja sampai jam 15 sore dan diselingi makan siang antara jam 12-13.  Untuk makan siang saya dan beberapa peneliti ke kantin.  Seperti tradisi di dunia barat, walaupun kita makan bersamaan , kita membayar masing-masing.  Tentu makan siang gaya bule.  Ingat saya hari pertama saya makan salad plus sayap ayam digoren.  Hari kedua makan daging sapi plus mie.  Hari ketiga makan daging kalkun plus kentang.  Kalau kopi atau teh kami dapat membuat sendiri, baik di dapur atau dengan alat yang ada di kantor masing-masing.

Partner penelitian saya Dr. Pekka Kamarainen, orang dari Finlandia, sudah mengatur jadwal saya dengan sangat baik. Hari pertama saya diskusi umum bersama dia, Larisa Freund dan Susanne Kopatz dan diakhiri dengan makan siang.  Setelah itu saya harus membaca dokumen dan referensi yang terkait dengan apa yang kami diskusikan.  Bekerja sendiri sampai jam 15, terus pulang.

Pada hari kedua, seperti hari pertama mulai pukul 10.30 saya diskusi berdua dengan Pekka, tetapi sudah menukik ke hal-hal yang sangat ingin cari.  Saya sudah tahu kebiasaan orang barat, kita yang harus aktif bertanya ini dan itu, bahkan menunjuk hasil bacaan ini dan itu untuk mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut.   Nah, kepada Pekka saya tunjukkan hasil bacaan saya di beberapa literatur antara lain tulisan Waldemar Baurer berjudul TVET Teachers and Instrucors in Germany yang dimuat di buku International Perpective on Teachers and Lecturers in Technical dan Vocational Education.  Dari situlah diskusi bergulir.  Pengalaman panjang Pekka yang bekerja di berbagai negara menguntungkan saya, karena dapat memperoleh perspektif internasional secara komprehensif.  Apalagi Pekka sebagai senior researcher memiliki segudang hasil penelitian.

Pada hari ketiga, saya melakukan diskusi berseri.  Pertama dengan Selin Arusoglu, seorang mahasiswa S3-berasal dari Turki- yang meneliti bagaimana anak-anak muda imigran mengikuti pre-vocational training karena dianggap tidak memiliki bekal yang cukup untuk ikut vocational training.  Yang dimaksud dengan vocational training itu, pelatihan kerja yang dilaksanakan dengan pola dual system antara sekolah (pusat pelatihan) dan industri.  Selin menunjukkan hasil-hasil risetnya tentang policy dan pelaksanaan pre-vocational training di beberapa industri, termasuk kritiknya.  Ada kesan Selin mempertanyakan mengapa peserta pre-vocational training sebagian besar anak-anak emigran.  Pada hal mereka sudah tinggal di Jerman (ikut orangtuanya sbg emigran) dan bahkan sudah sekolah di sekolah Jerman.

Pada sesi kedua, saya diskusi dengan Larisa Freund tentang pola pendidikan calon guru  di Bremen University.  Untuk guru sekolah umum dilaksanakan di Faculty of Education dan untuk vokasi dilaksanakan di ITB.  Larisa adalah dosen muda yang mengajar di ITB. Dari Larisa saya mendapat gambaran utuh bagaimana pola pendidikan di ITB dan bagaimana perbedaan dengan di Faculty of Education yang menghasilkan guru di sekolah umum.  Dia juga menjelaskan kalau profesi guru sangat menarik bagi anak muda di Jerman, karena gaji yang cukup tinggi, jaminan kesehatan secara penuh dan karier sepanjang hidup.

Untuk masuk ITB (sebagai calon guru vokasi) seseorang harus punya pengalaman kerja atau magang di industri yang relevan minimal 1 tahun.  Setelah masuk harus menempuh studi sampai jenjang master, karena guru di Jerman haruslah lulusa master (S2).  Setelah itu, masih harus menempuh probation antara 1-1,5 tahun di sekolah untuk mendapatkan sertifikat atau lisensi mengajar.

Pada hari ke-empat, saya lebih banyak bekerja sendiri dengan membaca dokumen, jurnal dan buku yang disuplai oleh Pekka.  Memang ada kesempatan diskusi dengan Pekka dan beberapa teman yang baru pulang dari Namibia, tetapi sifatnya diskusi bebas dan saling tukar pengalaman, karena mereka juga ingin tahu keadaan di Indonesia.  Tentu diselingi kelakar.  Misalnya ketika Larisa bertanya mengapa di Bali banyak orang bernama Wayan-akhir tahun 2016 Larisa ke Bali.  Ketika saya jelaskan kalau wayan itu artinya anak nomer 1, made anak nomer 2, nyoman anak nomer 3 dan ketut anak nomer 4, Larisa menyela “o that’s why there many wayans”.  Saya sambung dengan kelakar komentator sepak bola di Bali, yang mengatakan “bola dari wayan, diterima ketut...dst.”

Kenapa saya menikmati sebagai peneliti tamu di Jerman?  Saya tidak tahu pasti, tetapi itulah yang saya rasanya selama empat hari di Bremen.  Mungkin karena dapat fokus mengerjakan penelitian tanpa terganggu oleh pekerjaan lain.  Di Indonesia biasanya kita harus mengerjakan ini itu berbarengan.  Irama pekerjaan juga sangat teratur.  Lingkungan akademik juga sangat terasa di kantor. Udara sangat menyenangkan.  Memang cukup dingin, tetapi dengan memakai over coat dan berjalan cepat suhu masih dapat diatasi.  Sementara itu, begitu masuk tram, masuk kantor dan apartmen suhu cukup hangat.  Tentu yang paling utama, dapat me-refresh otak yang sudah mulai tumpul, karena banyak membaca dan diskusi dengan rekan peneliti dari berbagai negara.  Istilah academic recharging mungkin tepat untuk yang saya rasakan empat hari ini.

Tidak ada komentar: