Kamis, 27 Oktober 2016

MENGAPA KITA TIDAK DIKENAL DI LUAR NEGERI YA?



Tanggal 26 Oktober 2016 kemarin saya diundang oleh Dr. Irene Malcolm, head of Centre for Academic Leadership and Developent, University of Heriot Watt, untuk mengikuti symposium dengan tema “Enhancing Teaching through Innovative Pedagogies and Technology”.  Dalam borsur disebutkan yang akan menjadi keynote speaker adalah Prof Linda Price, head of Technology Enhancement Learning sekaligus professor of educational technology dari Kingston University London dan juga professor of engineer di Lund University Swedia.

Walaupun pada hari itu saya sebenarnya punya acara, saya memutuskan untuk hadir, karena Heriot Watt terkenal sebagai university of applied sciences yang konon sangat kuat di bidang teknologi yang terkait dengan enerji.  Juga terkenal dengan risetnya di bidang renewable energy.  Apalagi, saya diundang khusus oleh Irene dan bukan hanya dari melihat brosus.

Acara dimulai ja 13.00 dengan registrasi dan makan siang (tentu gaya Eropa). Saya memutuskan datang sedikit lebih awal, dengan harapa dapat bertemu dengan beberapa peserta untuk berkenalan dan mencari tahu siapa yang punya minta riset yang sama.  Ketka saya datang, baru ada 3 orang yang berdiri di luar ruang, yaitu Irene, Prof Linda dan seorang perwakilan Heriot Watt di Malaysia.  Jadilah kami ngobrol bertiga, sambil menikmati makan siang.  Saya juga sempat dikenalkan dengan Lindsay, yang punya riset tentang pembelajaran.  Juga sempat ngobrol dengan dosen dari school of textile yang saya lupa namanya.

Ketika pukul 13.40 acara dimulai dan dibuka oleh Professor John Sawkins, deputy vice principal.  Yang mengagetnya ternyata symposium itu wahana menawarkan semacam teaching grant kepada dosen untuk meningkatkan mutu perkuliahan.  Prof Sawkins menjelaskan uangnya tidak banyak, hanya 8.000 punds dan itu untuk seluruh kampus (saya tidak tahu berapa per orang). Yang dipentingkan adalah agar dosen dapat saling bertugas pengalaman tentang apa dan bagaimana mengajar yang baik.  Mendengar itu, dalam hati saya berkata “lha kalau itu, Unesa pernah melakukan dengan teaching grant-tetapi tidak sukses, karena konon dosen menganggap dananya terlalu kecil”.

Setelah sambuatan Prof Sawkins, Dr. Irene Malcolm menjelaskan acara, sambil memperkenalkan tamu dari luar Heriot Watt University, tentu termasuk saya.  Setelah itu, Prof Linda Price menyampaikan keynote speech.  Sebenarnya saya lebih tertarik melihat orangnya, karena cantik-walaupun sudah berumur.  Berambut pirang, dengan gaun merah diatas lutut dan stocking warna hitam, dengan gaya presentasi yang cukup baik.

Hanya saja pidatonya, menurut saya, sudah kuno. Prof Price memulai uraiannya dengan menunjukkan gambar/foto yang membandikan dapur jaman kuno dengan dapur sekarang.  Alat mencuci baju jaman kuno dengan mesin cuci modern.  Mobil jama  kuno dan mobil listrik sekarang.  Itu semua untuk mengambarkan “dunia sudah berubah”.  Setelah itu, beliau menunjukkan foto anak-anak sekolah jaman dahulu dan sekarang, yang menurutnya tidak banyak berubah.  Dia memberi uraian panjang lebar untuk meyakinkan “dunia luar sekolah sudah berubah, mengapa dunia pembelajaran tetap saja seperti jaman dahulu”.

Setelah itu, beliau menunjukkan gambar guru yang menghadapi gajah, monyet, ikan dan beberapa binatang lainnya.  Pada gambar itu tertulis, “for fair treatment you have to learn....”. Tampaknya beliau ingin menggambarkan, anak memiliki potensi masing-masing, sehingga tidak cocok prinsip “one fit for all”.  Masih banyak ilustrasi yang ditayangkan.

Ujung-ujungnya beliau menyarankan pergeseran paradigma pendidikan, dari “instruction into learning”, dari “assessment of learning into assessment fo learning”, memperkenalkan problem based learning/project based learning dan authentic assessment.  Memperkenalkan life skills dan seterusnya.  Sekali lagi, dalam hati saya berguman “lha itu sih sudah kami diskusikan beberapa tahun lalu di Indonesia”.

Ketika mendapat kesempatan bertanya, saya tidak bertanya tetapi berbagi pengalaman.  Saya sampaikan bahwa saya pernah menyampaikan paper di TVET International Conference  di Jerman September lalu, tetang Project Based Learning untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis dan kreativitas.  Saya juga menyampaikan paper itu dapat diperoleh online pada conference proceeding.  Mudah-mudahkan dapat memperkaya (enrichment what we are discussing today).

Ketika pulang, naik bus saya merenung.  Sebenarnya kita tidak tertinggal, bahkan sedikit lebih maju dengan negara lain, paling tidak dengan Heriot Watt University.  Mungkin saja, karena Heriot Watt adalah universitas yang fokus pada teknologi, sehingga “tertinggal” dalam bidang pembelajaran.  Namun, bukankah yang menyampaikan itu Prof Linda Price, seorang profesor dari bidang Educational Technology?  Saya jadi teringat, perbandingan antara Ki Hajar Dewantara dengan Benyamin Bloom.  Taksnolomi Bloom yang sering kita kutip itu, pertama kali disampaikan pada tahun 1956.  Konsep itu sangat mirip dengan apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930, di depan rapat ulang tahun pertama Taman Siswa.  Jadi Ki Hajar 26 tahun lebih dahulu konsep itu.  Tetapi mengapa yang dikenal di dunia internasional adalah Bloom? Dan bukan Ki Hajar?  Mengapa pemikiran kita yang ternyata “lebih maju” dibanding Prof Linda Price, itu tidak dikenal oleh kalangan internasional?

Mungkinkah karena kita kurang menulis dan kalau menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga kalangan internasional tidak dapat membaca?  Jujur saya tidak tahu jawabannya.  Namun paling tidak, menambah keyakinan saya, bahwa orang Indonesia itu setara dengan bangsa lain di dunia.  Toh kita punya Habibie, Nurcholis Majid dan tokoh-tokoh lainnya yang sangat dikagumi dunia internasional.

Tidak ada komentar: