Sabtu, 22 Oktober 2016

MAKAN SIANG DENGAN 11 LAUK



Sabtu siang ini saya diajak Kiki-anak saya yang tinggal di Edinbrugh- mengunjungi sahabatnya dari Aceh, yang biasa dipanggil Kan Yuprita.  Kak Yuprita bersuamikan Abang David-begitu Kak Yuprita dan teman-temannya memanggil-orang Scotland yang berprofesi sebagai peneliti di sebuah pusat penelitian di Edinburgh.  Saya menyetujui ajakan itu, karena ketika tahu lalu di Edinburgh tidak sempat berkunjung.  Bahkan beberapa tahun lalu ke Edinburgh, sempat lewat dan diberi onde-onde tetapi hanya di depan rumah, tidak sempat masuk karena tergesa-gesa.

Kak Yuprita dikenal pandai masak, bahkan menerima pesanan masakan ala Indonesia dari teman-teman yang tinggal di Edinburgh maupun kota-kota lain di UK.  Konon masakannya terkenal enak dan beliau selalu memilih bahan “kelas satu”. Sehingga walaupun mahal banyak teman yang pesan.   Kin sering bercerita, kalau Kak Yuprita dapat pesanan masakan dan Kiki tidak terlalu sibuk, Kiki ikut membantu.

Kami datang ke rumah Abang David, suami Kak Yuprita, sekitar pukul 13 waktu setempat.  Telah hadir disitu Pak Aleks, dosen Universitas Trunojoyo yang sedang menempuh S3 di Edinburgh University, bersama isteri anaknya, Abel yang baru berusia 2 tahun.   Karena sudah lama tinggal di Edinburgh, relatif senior dan orangnya sangat baik, rumah Abang David dan Kak Yuprita menjadi jujugan orang Indonesia yang sekolah di Edinburgh.

Begitu datang, kami disambut Abang David dan putrinya Thalia yang baru berumur sekitar 7 tahun. Setelah itu ketemu dengan Pak Aleks dan Bu Anies-isteri Pak Alekes-dan Abel.  Sebentar lagi, kedua Adam-putra sulung Abang David.  Saya tertegus memperhatikan Adam dan Thalia.  Tingkah laku keduanya lebih mirip anak-anak Indonesia, dibanding anak-anak Barat.  Santun dan Adam cenderung pemalu.  Pada hal, mereka mix blood-Scotland dan Aceh, lahir dan hidup di Edinburgh.

Kak Yuprita justru belum muncul, mungkin sibuk masak.  Maklum, seperti kebiasaan orang Barat tidak punya pembantu. Jadi yang masak sendiri. Ketika Abang David mengajak kami ke kebun belakang melihat pohon pear, sekilas memang tampak Kak Yuprita masak di dapaur dibantu oleh Bu Anies.

Baru sekitar jam 14.15 Kak Yuprita muncul ke ruang tamu dan menyilahkan kami makan siang.  Seperti yang pernah saya ketemu beberapa tahun lalu, Kak Yuprita sangat ramah dan bahkan cenderung “bersaudara” dengan kami.  Kami segera bangkit ke ruang makan yang sudah disiapkan dengan jumlah kursi yang sama dengan jumlah kami.  Memang Abang David dan Kak Yuprita, tergolong “kelas menengah” sehingga ruang makannya cukup luas dan dapat menampung meja dengan kursi untuk 8 orang.

Begitu duduk, saya mencermati meja makan dan kaget, karena ada 11 jenis lauk ala Indonesia yang terhidang.  Pecel, tempe goreng biasa, tempe goreng yang dibungkus tepung, telor asin, telor bali, dendeng balado, rendang, daging bumbu cuka-makanan khas Aceh, ayam bumbu rempah ala Aceh, bakwan jagung, udang goreng dan masih ada kripik melinjo.  Jadilah saya bingung mau mengambil yang mana.  Apalagi ini pertama kami makan nasi dan makan makanan Indonesia setelah 2 minggu di Jerman.  Kak Yuprita mendesak tamunya untuk mencoba semua jenis hidangan.  Saya juga berusaha dengan mencoba serba sedikit.  Akhirnya saya angkat tangan, karena hanya mampu mencoba 8 macam. Bukan main, kenyangnya.

Kami makan siang pelan-pelan sambil  ngobrol.  Selesai makan, kami tetap saja duduk berbicang di meja makan.  Sambil sekali-sekali nyomot makanan di meja.  Ngobrol “ngalor-ngidul”, mulai soal makanan, kemampuan orang Acek memanjat kelapa, kemungkinan Kak Yuprita membuka restoran, masakan cendol Kak Yuprita yang dicontek orang Malaysia, sampai pesta pernikahan Kak Yuprita-Abang David yang sampai 5 hari-5 malam di Aceh.  Kak Yuprita memang berasal dari keluarga bangsawan, Tuangku, sehingga konon waktu itu undangan pestanya sekitar 2.500 orang.

Jam 17.30an kami harus pamit, agar tidak tertinggal sholat magrib.  Dan seperti diduga, ketika pulang kami dibawain masakan.  Kami diantar ke halaman, bahkan ketika Roy-menantu saya-kesulitan memutar mobil untuk keluar halaman, Abang David memandu layaknya tukang parkir.  Sambil pulang, saya berpikir betapa baiknya keluarga Abang David-Kan Yuprita.  Kami diudang makan siang dengan 11 lauk, pulang diberi bontotan yang sangat banyak, dan diantar sampai keluar pintu pagar.  Semoga Sang Maha Agung membalas semua kebaikan beliau.

Tidak ada komentar: