Senin, 25 Februari 2013

KARAKTER DIBANGUN LEWAT INKULTURASI


Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan guru maupun orangtua/wali murid, saya bertanya: “Kalau bapak/ibu memasuki sebuah perputakaan dan kebetulan pengunjungnya pada membaca dengan tenang”. “Sementara bapak/ibu memakai sepatu kulit dan berbunyi tok-tok, apa yang bapak/ibu lakukan?”.   Umumnya mereka menjawab: “Ya berjalan pelan-pelan agar sepatu tidak berbunyi”.

Biasanya saya melanjutkan bertanya: “Kalau ibu ke Tunjungan Plasa dan makan permen, kemana bungkusnya dibuang?”.  Biasanya ibu-ibu menjawab: “Ke tempat sampah”.  Saya kejar dengan pertanyaan: “Kalau belum menemukan tempat sampah?”.  Mereka umumnya menjawab: “Dimasukan tas dulu”.  “Betul, jujur lho ya”, begitu biasanya saya berkelakar.

Kita juga faham, kalau masyarakat Indonesia senang dan terbiasa mencegat taksi di sembarang tempat dan juga turun dari taksi sesuai yang diinginkan.  Namun, kalau mereka ke Singapura kok bisa tertib ya.  Mencegat taksi di halte yang tersedia dan turun juga di tempat yang diijinkan.  Kalau contoh itu saya ajukan ke berapa teman yang sering ke Negeri Singa, jawaban yang sering muncul: “Ya menyesuaikan diri, karena di sana tidak mungkin naik dan turun taksi di sembarang tempat”.  “Sopir tidak akan mau dan kita akan ditertawakan orang jika memaksa”.

Apa yang dapat dipetik dari tiga contoh di atas?  Orang punya naluri atau punya fitrah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.  Kita semua pasti juga merasakan itu.  Kita akan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar.  Kalau sedang sedang berada di tempat orang meninggal, tentu kita akan berusaha untuk tenang dna tidak berkelakar.  Jika menghadiri pesta perkawinan, kita akan berpakaian yang sesuai.

Ada anak Indonesia selama SMP tinggal di Singapura dan setiap hari naik bis untuk ke sekolah.  Bagaimana kira-kita kebiasaan dia naik bis?  Saya menduga, dia akan terbiasa naik bis di halted an juga turun di halte.   Bagaimana jika anak Indonesia bersekolah SMA selama 3 tahun di Jepang?  Apakah dia akan selalu tepat waktu saat datang?  Apakah dia akan selalu membuang sampah di tempatnya?   Silahkan menebak.  Kalau saya meyakini, anak Indonesia itu akan mengikuti pola hidup Jepang, datang ke sekolah tepat waktu dan membuang sampah di tempatnya.

Bagaimana jika mereka pulang ke Indonesia?  Apakah tetap membuang sampah di tempatnya?  Apakah tetap datang ke sekolah tepat waktu?  Apakah menyegat bis atau angkutan umum di tempatnya?  Nah itu yang sulit menjawab.  Namun contoh berikut mungkin menjadi panduan untuk menjawab.

Seorang dosen muda sedang kuliah di Australia.  Seperti pemuda pada umumnya, seperti itulah kebiasaan dia naik motor di Surabaya.  Setelah sekitar 4 tahun tinggal di negara kangguru, sepertinya berubah perilaku  dia dalam berlalulintas.  Suatu saat saya bertanya, mengapa begitu.  Jawabannya: “Kalau semua teratur lalu lintas jadi lancar”.  “Kalau ada orang parkir se-enaknya kan mengganggu lalu lintas”.

Saya juga pernah mengamati anak seorang teman yang diajak lama tinggal di Jepang.  Ketika orangtuanya selesai sekolah dan pulang, anak tersebut berusia kira-kira 8 tahun dan kelas 2 SD.  Anak tersebut tertib sekali dan berbagai hal.  Kalau pagi saat berangkat sekolah, selalu tepat waktu.  Aktif dan tertib dalam tugas-tugas di kelasnya.

Tampaknya kebiasaan di negara maju membekas kepada anak-anak Indonesia yang cukup lama tinggal di sana.  Setelah mereka merasakan “nyamannya” mengikuti aturan itu, mereka ingin menerapkan ketika pulang ke Indonesia.  Itulah yang dalam teori pendidikan karakter disebut dengan habituasi (pembiasaan).  Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan.

Saya membayangkan  SD, SMP, SMA di Indonesia keadaannya bersih, tertib, guru dan karyawan santu, segala acara dilaksanakan tepat waktu.  Jika hal itu terjadi, siswa yang baru masuk akan berusaha menyesuaikan diri.  Dan karena selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, pada siswa akan terbentuk kebiasaan bersih, santun, disipiln, tepat waktu dan sebagainya.  Seperti itulah terbentuknya karakter anak-anak Jepang, anak-anak Belanda dan sebagainya.

Apa itu cukup?  Menurut teori pendidikan karakter belum.  Perilaku hasil pembiasaan harus “ditumpangi” dengan penanaman nilai-nilai, sehingga anak faham mengapa itu harus dilakukan.  Mengapa harus menjaga kebersihan.  Mengapa harus tepat waktu.  Mengapa harus santun.  Mengapa harus tolong-menolong.  Dan sebagainya.  Jika nilai-nilai itu terinternalisasi, maka kebiasaan tadi akan berubah menjadi budaya.  Itulah yang disebut inkulturasi (pembudayaan), yaitu habituasi (pembiasaan) yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai.  Tentu cara penanaman nilai-nilai disesuaikan dengan usia anak dan juga budaya setempat.  Semoga.

Tidak ada komentar: