Selasa, 05 Februari 2013

KURIKULUM: SKL, KD DAN UN


Diskusi tentang Kurikulum 2013 begitu marak akhir-akhir ini.  Seperti biasanya, ada yang pro dan ada yang kontra.  Sayangnya diskusi dan tulisan di media seringkali melenceng dari hakekat kurikulum.  Diskusi terjebak memaknai kurikulum sekedar sebagai daftar matapelajaran.  Akibatnya perdebatan banyak berkisar pada masalah penggabungan matapelajaran dan perubahan jam pelajaran dengan berbagai argumentasi.  Pada hal, daftar matapelajaran hanya sebagian kecil dari kurikulum dan lagi itu hanya konskwensi logis dari kompetensi lulusan yang diinginkan.

Kurikulum ibarat gambar cetak biru dalam membangun rumah.  Gambar cetak biru menjadi pedoman bagi kontarktor dan tukang, apa yang harus dikerjakan, apa bahannya dan bagaimana mengerjakannya.  Dari gambar cetak biru rumah menunjukkan denah rumah, tampak depan, tampak samping, pondasi, pintu dan seterusnya.  Dengan melihat gambar cetak biru, pemilik calon rumah akan mengetahui seperti apa rumah saat nanti sudah jadi.  Kontarktor yang membangun, tukang yang akan mengerjakan juga tahu bagaimana cara mengerjakan dan apa bahan yang diperlukan. 

Analog dengan itu, kurikulum harus dapat memandu birokrasi pendidikan, kepala sekolah, guru, pengarang buku pelajaran dan penyusun soal-soal ujian dalam melaksanakan tugasnya.  Sederhananya, kurikulum harus menunjukkan: (1) kompetensi seperti apa yang harus dimiliki siswa ketika lulus, biasanya disebut SKL (standar kompetensi lulusan), (2) kompetensi apa yang harus dimiliki siswa ketika selesai mengikuti pelajaran tertentu, biasanya disebut KD (kompetensi dasar), (3) materi ajar apa yang harus dipelajari siswa, dan sebagainya.

SKL itu ibarat gambar rumah, sedangkan KD itu ibarat gambar pondasi, diding, pintu, genting dan sebagainya.  Gambar rumah (SKL) harus terbagi habis menjadi gambar pondasi, dinding, pintu, genting dan sebagainya (KD).  Tidak boleh ada yang tersisa. Jika tidak habis berarti akan ada bagian rumah yang tidak dikerjakan, sehingga rumahnya tidak utuh.  Sebaliknya jika semua KD digandengkan harus membentuk SKL. Tidak boleh ada bagian-bagian rumah (KD) yang tumpang tindih, sehingga tidak dapat dipasang.

Dari banyak pengalaman, termasuk pada Kurikulum 2004 masalah mendasar adalah ketidaksinkronan antara SKL dan KD.  Kalau kita cermati Permendiknas nomor 22 dan 23 tahun 2006 yang memuat SKL dan KD tampak sekali kesenjangan itu.  Terkesan kuat orang yang menyusun SKL berbeda dengan orang yang menyusun KD dan tidak saling bekomunikasi secara intensif.  Akibatnya SKL dan KD seakan tidak nyambung.  Bahkan terkesan aneh, KD termuat dalam Permendiknas nomor 22, sedangkan SKL termuat dalam Permendiknas nomor 23.  Seakan-akan KD lahir lebih dahulu dibanding SKL.  Ada rekan berkelakar, jika kesan itu betul berarti KD dalam Permendiknas nomor 22/2006 adalah “anak haram”, karena lahir sebelum “bapaknya” lahir.

SKL biasanya disusun oleh ahli pendidikan yang menggambarkan sosok lulusan SD/SMP/SMA sebagai suatu keutuhan perilaku.  Sementara KD disusun oleh ahli bidang studi (matapelajaran) yang biasanya menggambarkan KD sebagai penguasan bidang ilmu.  Dua ahli yang berangkat dari filosofi yang berdeda.  Jika kedua pihak tidak melakukan diskusi yang intens, dapat difahami jika SKL dan KD tidak nyambung.

Belajar dari kurikulum di negara maju, SKL memang selalu berwujud kompetensi perilaku utuh yang diperlukan untuk menyongsong masa depan.  Walaupun perlu disempurnakan, SKL Kurikulum 2004 yang dituangkan dalam Permendiknas 23/2006 cukup memadai.  Dengan demikian KD-nya yang harus ditinjau kembali.  Dirombak agar sesuai dengan SKL.  Disusun agar memenuhi asas, SKL terbagi habis menjadi KD dan susunan KD menggambarkan SKL tanpa tumpang tindih satu dengan lainnya.

Akibat dari ketidaknyambungan SKL dengan KD adalah soal-soal ujian akhir , baik UJian Nasional (UN) maupun Ujian Sekolah (US) tidak nyambung dengan SKL.  Soal-soal UN maupun US disusun dengan acuan KD.  Karena KD tidak nyambung dengan SKL, akibatnya soal-soal UN maupun US tidak cocok dengan tuntutan SKL.  Pada hal ujian akhir itu untuk mengukur apakah siswa sudah memenuhi SKL sehingga layak lulus.   Siswa yang dinyatakan lulus artinya sudah memiliki kompetensi yang disebutkan dalam SKL.  Silahkan pembaca membaca SKL untuk SMA/MA pada Permendiknas nomor 23/2006, nanti akan bertanya betulkah siswa yang dinyatakan lulus SMA memiliki kompetensi tersebut?  Saya sendiri meragukan.

Dalam Permendikan nomer 23/2006, SKL SMA nomor 1 berbunyi “berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja”.  Dapat dibayangkan bagaimana guru dapat membuat soal untuk mengukur ketercapaian SKL tersebut melalui tes. Pada hal selama ini nilai rapor maupun ijasah didasarkan pada ujian.  SKL nomor 7 berbunyi ”menunjukkan  kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan”.  Rasanya soal-soal UN maupun US jauh mengukur SKL tersebut.  SKL nomor 10 berbunyi  “menunjukkan kemampuan  menganalisis dan memecahkan masalah kompleks”.  SKL ini memerlukan soal keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill).  Soal uraian akan lebih cocok untuk mengukur SKL tersebut.  SKL nomor 12 berbunyi “memanfaatkan lingkungan secara produktif dan  bertanggung jawab”.  SKL ini lebih cocok diukur dengan tugas-tugas dari pada ujian tulis.

Dan memang tidak semua hasil belajar dapat diukur hanya dengan tes.  Apalagi tes tulis.  SKL nomor satu di atas lebih tepat jika diukur dengan observasi kehidupan sehari-hari.  SKL nomor 7 dan 12 akan lebih tepat diukur dari tugas, baik tugas perseorangan maupun kelompok.  Oleh karena itu, senyampang menyempurnakan kurikulum pola evaluasi hasil belajar sekaligus dibenahi.

Mengapa UN dan US sangat penting?  Biasanya guru akan bahagia jika muridnya lulus dengan nilai bagus.  Oleh karena itu guru akan berusaha mengajarkan apa yang nanti akan diujikan.  Itulah yang disebut teaching for the test.  Di belahan dunia manapun hal itu terjadi.  Oleh karena itu, bentuk dan isi ujian akan mempengaruhi isi dan cara mengajar guru.  Sekali lagi, senyampang menyempurnakan kurikulum, maka bentuk dan isi ujian akhir sekolah harus dilihat kembali dan disesuaikan dengan SKL yang ditetapkan. Semoga.

Tidak ada komentar: