Minggu, 17 Februari 2013

TRI DARMA PERGURUAN TINGGI


Saya yakin semua dosen, karyawan dan mahasiswa tidak asing dengan istilah tri darma perguruan tinggi.  Biasanya pada saat acara awal masuk kampus, para pimpinan perguruan tinggi selalu mengenalkan istilah tersebut.  Tri darma merupakan ciri aktivitas universitas dan tidak dimiliki oleh pendidikan jenjang SLTA ke bawah.  Bahkan tri darma perguruan tinggi juga tidak dikenal universitas di negara lain.

Saya tidak tahu kapan dan dari mana istilah tri darma perguruan tinggi.  Saya juga bingung kalau harus mencari istilah bahasa Inggris untuk tri darma perguruan tinggi. Tetapi saya setuju dan yakin tri darma yang terdiri dari pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, merupakan sesuatu yang sangat bagus.  Jika ketiga darma tersebut dikerjakan dengan baik dan dirancang menjadi suatu siklus terpadu, akan menjadi akselerator peningkatan mutu perguruan tinggi.  Itulah sebabnya mengapa saat  “macung” sebagai rektor, tri darma saya angkat sebagai salah satu bahan saat presentasi di depan senat.

Suatu saat saya mendengarkan gerutuan mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi ternama.  Waktu itu saya sedang berkunjung ke perguruan tinggi tersebut dan makan siang di kantin dan kebetulan banyak bahasiswa pascarsarjana juga sedang makan siang.  “Kalau kuliah hanya dari buku teks melulu seperti itu, ngapain harus datang?”.  “Baca sendiri juga bisa”.  “Penginnya, saya dapat materi kuliah dari penelitian dosen”. “Kan katanya dia dosen jagoan penelitian”.

Walaupun terasa agak kasar, gerutuan mahasiswa S2 tersebut menyentak logika saya. Betul sekali.  Hasil penelitian merupakan “temuan” baru dalam bidang ilmu si peneliti.  Jika dilakukan dengan baik, temuan tersebut merupakan akumulasi dari teori/konsep keilmuan yang telah dikaji secara mendalam sebelumnya.  Jadi jika hasil penelitian disampaikan sebagai bahan kuliah, mahasiswa akan memperoleh cream of the cream dari bidang ilmu/bidang kajian tersebut.  

Bertolak dari gerutuan mahasiswa dan logika tersebut, saya menduga gagasan tri darma perguruan tinggi bukan sekedar menjejerkan ketika darma tersebut.  Perguruan tinggi bukan sekedar melakukan darma pendidikan, penelitian dan pengabdian secara terpisah.  Ketiganya harus merupakan suatu kesatuan.  Ketigana harus dirancang menjadi siklus kegiatan yang saling mendukung, menjadikan input sekaligus menjadi muara.

Bahan kuliah idealnya merupakan akumulasi hasil penelitian  dan  pengalaman melakukan pengabdian masyarakat.  Penelitian seharusnya untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah yang ditemukan saat melakukan pengabdian kepada masyarakat atau melakukan perkuliahan.  Pengabdian kepada masyarakat seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan hasil-hasil penelitian dan pengalaman dalam perkuliahan.

Dalam konteks tersebut penelitian tidak harus diartikan dengan penelitian laboratorium atau penelitian lapangan.  Penelitian pustaka juga tidak kalah penting.  Jika dosen melakukan kajian berbagai buku referensi dan jurnal, menurut saya sudah dapat disebut melakukan penelitian.  Bukankah itu merupakan bagian kajian teori dalam laporan penelitian?  Memang belum mencapai suatu temuan baru, tetapi paling tidak sudah merangkum hal-hal terbaru dalam bidang kajian tersebut.  Apalagi jika yang dibaca buku dan jurnal baru, hasilnya sudah akan menggambarkan the state of the art.

Saya ajukan logika tersebut, karena kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang belum dalam taraf research university, dimana kegiatan penelitian merupakan kegiatan utama.  Pada universitas seperti itu, setiap saat semua dosen terlibat suatu proyek penelitian yang hasilnya harus masuk menjadi publikasi di jurnal bergengsi.  Jika yang dibaca adalah buku-buku dan jurnal baru, rasanya bahan kuliah sudah cukup memadai pada saat ini.

Yang perlu dicatat, adalah topik penelitian yang seharusnya in line dengan bidang ilmu atau bidang keahlian dosen. Kebiasaan penelitian yang “melebar” kemana-mana mengikuti si pemilik sumber dana harus mulai diakhiri.  Mengapa?  Karena penelitian seperti itu tidak memberi kontribusi besar dalam pengembangan keilmuan dosen.  Penambahan pengalaman ya, tetapi pengembangan keilmuan tidak. 

Bagaimana dengan pengabdian kepada masyarakat?  Seringkali problema di masyarakat memang multidisipliner, sehingga tidak dapat didekati dan dipecahkan oleh satu bidang ilmu.  Dalam konteks seperti itu, saya mendukung jika tim pengabdian kepada masyarakat terdiri dari dosen yang berasal dari berbagai bidang.  Namun tetap harus dipegang prinsip berbasis keilmuan.  Jadi solusi yang diajukan harus bertumpu pada kajian ilmiah dan dosen yang terlibat memiliki latar belakang keilmuan yang relevan.

Lebih dari itu, pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat sedapatnya juga dijadikan wahana kajian keilmuan.  Penelitian tindakan (action research) dan penelitian pengembangan (developmental research) mungkin dapat diterapkan.  Paling tidak,  respons masyarakat terhadap treatment selama pengabdian kepada masyarakat dapat menjadi kajian dosen-dosen bidang ilmu yang cocok.

Khusus untuk LPTK seperti Unesa, perkuliahan juga dapat menjadi wahana penelitian.  Memang agak aneh, banyak dosen LPTK mengajari guru melakukan PTK (penelitian tindakan kelas) dan lesson study.  Tetapi tidak banyak yang menerapkannya saat memberi kuliah kepada mahasiswa.  Jika saja itu dilakukan akan menjadi perbaikan model perkuliahan, sekaligus temuan baru tentang bagaimana perkuliahan di perguruan tinggi.  Lebih dari itu mahasiswa dapat mencontoh bagaimana dosen mengajar, saat mereka sudah lulus dan mejadi guru di sekolah.  Semoga.

Tidak ada komentar: