Kamis, 14 Februari 2013

MENGELOLA UNIVERSITAS BUKAN HANYA MASALAH KEILMUAN: Pengalaman merancang kerjasama dengan Utrecht University dan Groningen University


Bahwa mengelola suatu lembaga tidak selalu sama dengan teori di text book dan banyak mengandung seni sudah kita ketahui.  Bahwa mengelola perguruan tinggi bukan hanya masalah akademik keilmuan juga sudah kita ketahui.  Tetapi ketika melalukan serangkaian diskusi dengan Utrecht University dan Groningen University, ditambah berita di BBC ketika pemerintah Inggris akan memotong anggaran pendidikan tinggi, saya baru “ngeh” (istilah teman Jakarta), bahwa pada akhirnya pengelolaan perguruan tinggi (minimal di Eropa) bersentuan dengan aspek-aspek bisnis.

Tanggal 13 Februari Tim Unesa (saya, PR-1 dan Direktur Pascasarjana) dan Tim Unsri (rektor, direktur dan asdir-1 Pascasarjana) berdiskusi dengan Tim Utrecht University.  Tujuannya meluaskan kerjasama program S2 Internasional (IPOME) menjadi S2 double degree bidang Pendidikan Matematika dan Pendidikan Sains.  Sorenya, sekitar jam 16an di stasiun Utrecht Central bertemu dengan teman lama dari Groningen University yang mengurusi kerjasama dengan perguruan tinggi di Asia. 

Tanggal 14 Tim Unesa mengunjungi Groningen University dengan naik kereta api sekitar 2,5 jam dari Amsterdam.  Kami bersemangat, karena punya harapan besar dapat menjalin kerjasama. Apalagi Groningen merupakan kota yang indah di bagian ujung utara Belanda dan banyak orang Indonesia tinggal di sana.  Jadilah diskusi yang sangat produktif dan diakhiri dengan makan siang gaya Belanda.

Nah, komentar dari beberapa pengurus orang perguruan tinggi di Inggris terhadap rancangan pemotongan anggaran pendidikan tinggi, juga muncul dari diskusi tersebut.  Memang tidak se-terbuka komentar di BBC tetapi kesannya sangat kuat.  Apa itu?  Perguruan tinggi di Belanda dan Inggris harus berkerja keras “mencari uang” karena anggaran dari pemerintah tidak lagi mencukupi.  Tidak hanya itu, mereka harus memutar otak agar pengelolaan menjadi lebih efisien tanpa mengurangi mutu akademik maupun layanan.

Sepengetahuan saya Utrecht University dan Groningen University termasuk research university di Belanda, sehingga lebih mengutamakan riset dibanding pengajaran. Oleh karena itu, program S3 dan beberapa program S2 diarahkan untuk benar-benar terkait dengan riset mereka. Program S3 merupakan research based program, sehingga tidak ada kuliah.  Mahasiswa benar-benar melakukan riset dan publikasi di jurnal ternama menjadi salah satu sasarannya.  Mahasiswa S2 diarahkan untuk terlibat dengan grup riset sesuai dengan bidangnya.

Lantas bagaimana kiat mereka menggabungkan riset dengan mencari uang?  Disitulah yang menarik untuk dipelajari.  Tentu kami hanya dapat menangkap ungkapan dan gambaran program yang mereka miliki, sedangkan apa startegi di balik itu, menjadi “rahasia dapur” mereka.  Berikut ini fenomena yang menarik.

Kebetulan salah satu tokoh Realistic Mathematics yang juga mantan direktur Freudental Institute (FI) sekarang pindah ke Groningen.  Walaupun yang bersangkutan masih bekerja 1 hari dalam seminggu di Utrecht Univ untuk membimbing mahasiswa S3. FI mirip sebuah lembaga mandiri tetapi berafiliasi dengan Utrecht univ dalam mengembangkan program S2/S3 dalam bidang Pendidikan Matematika.  Program IPOME terkait dengan program tersebut.

Nah, ternyata Groningen menawarkan kerjasama dengan Unesa untuk program S2 Pendidikan Matematika dan Sains.  Memang tidak secara terbuka.  Mungkin “malu”, menawarkan sesuatu yang dulu dia rancang saat masih menjadi direktur FI.  Tetapi program yang mereka miliki secara khusus dijelaskan panjang lebar.  Yang diwarkan jauh lebih “lunak” dibanding dengan apa yang kemarin dibahas dengan Utrecht.  Juga ada kesan kompetisi.

Saat ketemu di stasiun di Utrecht Central, teman Groningen yang mengurusi kerjasama dengan Indonesia sudah menjelaskan bahwa dia ditugasi khusus untuk menggaet kerjasama dengan Indonesia, dengan memanfaatkan beasiswa Dikti.  Tetap dalam koridor riset, baik program S3 maupun S2 tetapi dana menjadi salah satu pertimbangan.  Mereka mengharapkan kehadiran mahasiswa S2 dan khususnya S3 dari Indonesia (dan juga mengara lain) dengan membawa beasiswa, tetapi sekaligus menjadi pendukung program penelitian yang mereka lakukan.  Kiat yang menurut saya cukup cerdas.  Mahasiswa medapatkan pengalaman  dalam riset kelas dunia, di lain pihak mereka mendapat dukungan tenaga periset yang membawa biaya sendiri.

Saat saya menyodorkan akan mengirim dosen “senior” untuk melakukan kerjasama riset dengan menggunakan jalur SAME Dikti, secara terbuka baik Utrecht Univ maupun Groningen Univ menyatakan senang dan pesan jangan lupa bench fee.  Dengan agak berkelakar, partner di Belanda juga memerlukan sedikit honor.

Saat saya menyodorkan gagasan, program double degree yang dirancang pada saatnya menjadi “pintu” orang Asean untuk menempuh S2/S3 ke Belanda, mereka tampak gembira.  “Ya, itu akan bagus dan lebih murah bagi orang dari Asean untuk menempuh pendidikan dengan standar Belanda”.  “Dan jika itu dapat dijaga kontinuitasnya, kami akan buatkan skema khusus”.  Nah, tampak lebih jelas unsur bisnisnya.

Rupanya Belanda sudah terimbas pola pikir Australia, bahwa pendidikan merupakan bentuk bisnis layanan sosial.  Tentu bisnis dalam arti positif, atau “education as a noble industry”, istilah yang diperkenalkan oleh Yohanes Untoro sekian tahun lalu.  Tentu harus dijaga agar betul-betul “noble industry” dan bukan industri biasa yang berorientasi kepada profit.  Semoga.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

yaah berharap seperti itu... saya akui Bapak punya inisiatif yang baik, namun pada kenyataannya orang-orang yang dibawahlah yang selalu menggerogoti. apalagi kalau ada acara semua berebut proyek.
Padahal contohnya tender pembuatan Jas Almamater kemudian buku-buku Pedoman Mahasiswa Baru seharusnya bisa dikelola oleh Koperasi Mahasiswa ini tujuannya juga untuk mengembangkan Koperasi Mahasiswa.. sudah banyak kampus yang melakukannya. #tutupmatalagi