Jumat, 22 Februari 2013

MEMBELI TIKET KERETA DI EROPA: Bahan Banding Pendidikan Karakter


Saya sudah berkali-kali naik kereta di Eropa. Namun baru dua kali mendapati kondektur memeriksa tiket.  Pertama, ketika pulang dari Utrecht kembali ke Amsterdam sekitar tahun 2010.  Kedua, tanggal 14 Februari 2913 lalu ketika pulang dari Groningen ke Amsterdam.  Sepertinya sangat jarang ada pemeriksaan tiket kereta di Eropa.  Saya pernah naik kereta dari Amesterdam ke Paris pulang pergi dan tidak ada pemeriksaan tiket maupun dokumen diri (paspor), pada hal melintas ke negara lain.

Sebagaimana diketahui, di Eropa orang dapat membeli tiket kereta dengan berbagai cara.  Dapat untuk satu kali jalan.  Dapat untuk pulang pergi.  Dapat untuk satu hari atau beberapa hari dan boleh naik kereta kemana saja.  Juga dapat memberli kartu yang berlaku untuk kereta, trem maupun bis.  Untuk bis juga dapat membeli tiket saat masuk dan sopir akan memberikan tiket melalui alat yang ada di dekatnya.

Saat masuk dan keluar ke stasiun atau masuk ke bis atau trem, kartu tersebut ditempel suatu sensor dan itu berarti isi uang di kartu tersebut terkurangi hargat tiket.  Misalnya kalau pergi dari stasiun Amsterdam Central ke Groningen, maka saat masuk ke stasiun Amsterdam Central kartu ditempelkan di sensor pada tiang dekat pintu masuk stasiun dan ketika keluar stasiun di Groningen kartu ditempelkan di sensor yang tersedia. Cara yang sama kalau naik trem atau bus, karena di pintu trem dan bus ada sensor yang ditempel di tiang dekat pintu.

Kalau naik bus sopir dapat melihat apakah penumpang membawa tiket atau menempelkan kartu ke sensor. Kalau naik trem agak sulit, karena masinis hanya di gerbong terdepan, sehingga tidak dapat melihat penumpang di gerbong belakang. Saya tidak tahu apakah ada cctv agar masinis dapat melihat penumpang yang baru masuk. Tetapi kalau naik kereta, siapa yang tahu? Toh tidak ada petugas yang mengawasi sensor di pintu stasiun.  Juga banyak orang masuk stasiun kereta bukan untuk naik kereta, tetapi sekedar membeli makanan atau lainnya.  Jadi sulit membedakan orang yang masuk stasiun itu akan naik kereta atau memberi sesuatu di pertokoan yang ada di situ.

Saat memeriksa tiket, kondektur membawa alat yang dapat mengecek apakah penumpang menyesorkan  kartu saat masuk ke stasiun.   Teman yang kuliah di Belanda bercerita, kalau ada penumpang ketahuan tidak memiliki tiket atau tidak menyensorkan kartunya saat masuk stasiun akan dikenai denda yang sangat mahal.  Konon tidak ada kompromi.  Apapun alasannya tetap akan dikenakan sangsi denda yang sangat mahal.

Apakah itu yang menyebabkan orang di Belanda tidak berani naik kereta tanpa tiket atau menyensorkan kartunya?  Pertanyaan itu mengganggu pikiran saya beberapa hari. Oleh karena itu saya tanyakan kepada teman-teman yang sedang kuliah di Belanda dan juga orang Belanda yang kebetulan akrap dengan saya.   Jawaban yang saya peroleh bervariasi, tetapi ada yang mengagetkan.

Teman-teman yang sedang kuliah di Belanda pada umumnya menyatakan bahwa orang takut melanggar karena jika ketemu dan didenda akan malu sekali.  Bukan hanya karena harus membayar banyak, tetapi “cibiran” orang sekitar akan menjadi beban psikologis bagi orang Belanda.  Sepertinya sangsi sosial lebih berat bagi orang Belanda.

Ketika saya bertanya kepada teman Belanda (asli) jawabannya mengejutkan.  “Kalau kita tidak mau memberi tiket, perusahaan kereta akan bangkrut dan kita akan kerepotan”.   Jawaban yang kurang lebih seperti itu saya terima dari tiga orang yang berbeda.  Salah satunya mahasiswa.   Jika jawaban itu betul, mengacu pendapat Thomas Lickona, keharusan membeli tiket saat naik kereta telah menjadi moral feeling dan bahkan menjadi moral action bagi orang Belanda.  Dengan begitu pemeriksaan tiket menjadi tidak mendesak. Mungkin itu yang menyebabkan sangat jarang ada pemeriksaan tiket kereta di Eropa.

Mendengar jawaban itu saya teringat pengalaman naik kereta di Jerman pada tahun 2008.  Saat itu saya mengikuti workshop di Bremen University dan menginap di hotel Ibis.  Setiap hari naik kereta untuk pergi dan pulang.  Nah, pada hari pertama saya tidak tahu dimana harus membeli tiket, karena tidak ada loket.  Karena waktu sudah mepet, ya saya naik saja dengan harapan dapat memberi di dalam gerbong.  Ternyata tidak ada penjual tiket dan juga tidak ada pemeriksan tiket. Masinis kereta juga berada di bagian depan yang terpisah dengan penumpang.  Jadilah saya naik kereta dengan “gratis” hari itu.

Besuknya baru diberi tahu teman, orang Jerman yang menjadi pemandu workshop dan kebetulan sudah sering ke Indonesia.  Membelinya di mesin yang ada di stasiun.  Saya berkomentar: “Wah kemarin saya melanggar aturan, karena naik kereta tanpa membeli tiket”.  Dan dia merespons: “Tidak apa-apa, kan tidak tahu”.  “Ya mulai sekarang membeti tiket”.  “Tetapi karena sekarang sudah tahu, ya membeli tiket biar perusahaan kereta tidak merugi”.

Saya juga teringat sebuah cerita, tentang anak SD di Jepang.  Ketika waktunya makan siang kepada mereka diberikan boks makanan yang jumlahnya sama dengan jumlah siswa di kelas itu.  Semua pada mengambil satu.  Ketika ditanya “kok hanya mengambi satu?”, jawabannya “kalau saya mengambil dua, nanti ada teman yang tidak kebagian”.  Jadi anak SD di Jepang telah memiliki moral feeling dan moral action untuk mengambil jatah makan sesuai aturannya.

Apakah kita, baik yang dewasa, yang mahasiswa, yang siswa SMA/SMP/SD sudah memiliki karakter seperti itu?  Mungkin kita sungkan untuk menjawabnya.  Namun yang jelas, para orang tua, guru dan pakar pendidikan perlu belajar kepada orang Belanda, Jerman dan Jepang, bagaimana mereka melaksanakan pendidikan karakter, sehingga hasilnya seperti cerita di atas.  Bukankah kita sering mengatakan orang Barat itu individualistik.  Orang Barat itu tidak beragama.  Tidak ada salahnya kita belajar ke mereka.  Bukankah kita disuruh belajar sampai ke negeri China?  Semoga.

Tidak ada komentar: