Minggu, 17 Februari 2013

TEORI “MOBIL KIJANG”


Seperti saya tulis kemarin, saya akan menjelaskan mengapa untuk memulai penelitian level internasional, Unesa perlu bekerjasama dengan lembaga/universitas/peneliti yang “diakui” dunia internasional.  Pemikiran seperti ini bukan baru dan bahkan sudah saya kemukakan sejak saya menjadi PR4 Unesa dan saya terapkan ketika saya menjadi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti.  Teori “mobil kijang” berikut perah saya sampaikan saya menjadi Direktur Ketenagaan di forum PMRI.

Pada suatu ketika saya diundang oleh Tim PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).  Tempat acaranya di Hotel Garuda Yogyakarta, tahunnya sekitar akhir 2007 atau awal 2008.  Prof. Sembiring yang “memaksa” saya untuk hadir.   Seingat saya waktu itu forumnya laporan implementasi PMRI.  Forum dihadiri oleh para tokoh PMRI dan para guru yang terlibat dalam program PMRI.

Di awal paparan, saya menyampaikan fenomena mobil kijang.  Semua orang tahu mobil kijang adalah mobil toyota “milik Jepang”.  Rancangan mobil kijang dibuat oleh Jepang, tetapi dibuat di Indonesia dan muatan lokalnya cukup besar.  Saat itu mobil kijang merupakan jenis mobil yang paling banyak berseliweran di jalan raya.  Dan saat saya ke Philipina, saya menemui banyak mobil kijang di jalanan dan teman Philipina mengatakan itu mobil yang diinport dari Indonesia.  Ketika saya tanyakan kepada teman yang bekerja bidang otomotif, memang Indonesia (lebih tepartnya perusahaan pembuat mobil kijang di Indonesia) mengeksport mobil kijang ke Philipina dan beberapa negara lain.

Apa hebatnya fenomena itu?  Pada awalnya Indonesia menerima rancangan mobil kijang dari Jepang tetapi dibuat di dalam negeri dengan diberi banyak muatan lokal.  Seakan-akan mobil kijang mengandung muatan Indonesia yang cukup besar dan kemudian kita eksport.   Mengapa tidak langsung dirancang sebagai mobil buatan Indonesia?  Saya ragu apakah laku di negara lain, jika cara seperti itu dilakukan.

Saya ingat fenomena tahun 1970an, pertama kali keluar sepeda (engkol) buatan China dengan merek SIMKING.  Saat itu semua orang mencibir, sepeda buatan China jelek tidak sebaik sepeda buatan Eropa yang sudah mendominasi pasar speda di Indonesia.  Radio buatan Jepang juga pernah dicibir pada awal kemunculannya, karena sebelumnya dirajai oleh buatan Belanda.  Sekarangpun banyak orang Indonesia lebih percaya produk asing dibanding buatan dalam negeri.

Bagi penulis yang sudah terkenal akan sangat mudah memasukkan artikelnya di koran dan naskah bukunya ke penerbit.  Redaktur koran seringkali hanya membaca sekilas dan segera yakin tulisan itu bagus, karena ditulis oleh penulis beken.  Orang awam sering membeli gambar atau lukisan bukan karena faham gambar atau lukisannya bagus, tetapi karena nama besar pelukisnya.

Apa arti semua fenomena di atas?  Nama besar seringkali membuat orang mudah percaya.  Hal itu dapat terjadi pada suatu produk tertentu atau bahkan pendidikan. Misalnya “ini mesin buatan Jerman”.  “Ini lukisan Afandi”.  “Ini mebel Jepara”.  “Ia doktor teknik lulusan Jepang”.  “Ini temuan dari Amerika”  “Jaket ini dibeli di Australian”. Dan sebagainya.  Banyak orang yang merasa ragu, jika mendapatkan tawaran “mesin ini buatan China”.  “Ini lukisan mahasiswa Unesa”.  “Ia lulusan universitas X di Indonesia”.  “Jaket buatan Bangil” dan sebagainya.

Itulah menurut saya langkah Toyota atau Asrta memproduksi mobil kijang sangat jitu.  Pada awalnya menggunakan nama besar Toyota, tetapi dibuat di Indonesia dengan muatan lokal sangat besar.  Setelah masyarakat percaya dan banyak digunakan, kemudian diekspor ke luar negeri.  Nama besar Toyota seakan digunakan sebagai jaminan, sebelum masyarakat merasakannya.

Pola itu juga cocok untuk pengembangan penelitian.  Jika sekarang Unesa “mengibarkan bendera” penelitian tingkat internasional, mungkin banyak yang belum percaya.  Dapat saja mutunya bagus, namun karena belum banyak yang mengenal apa itu Unesa dan siapa iu penelitinya.  Akibatnya orang tidak mudah percaya.  Nah, jika Unesa bekerjasama dengan universitas atau lembaga penelitian atau peneliti yang sudah dikenal di dunia, hasil penelitiannya akan lebih mudah diterima.  Nah, jika nama Unesa sudah mulai dikenal atau peneliti Unesa sudah mulai dikenal, pada saatnya Unesa dapat mengibarkan penelitian tingkat internasional sendirian.

Cara seperti itu juga baik diterapkan oleh peneliti muda.  Pada tahap awal, lebih baik peneliti muda bergabung dengan peneliti senior.  Disamping belajar melakukan penelitian yang bermutu, sekaligus “memperkenalkan” diri di kalangan peneliti lain.  Nanti jika sudah beberapa kali namanya muncul di pentas penelitian (seminar hasil maupun artikelnya muncul di jurnal), baru mulai “melepaskan diri” dari baying-banyang seniornya.  Semoga.

Tidak ada komentar: