Jumat, 15 Februari 2013

MENCERMATI KANAL DI BELANDA: Pelajaran penting dalam menata lingkungan.


Jum’at tanggal 15 Februari 2013 acara Tim Unesa agak longgar.  Jam 10 terjadwal bertemu salah satu orang penting dari NUFFIC.  Yang bersangkutan teman lama saya yang sudah sering ke Indonesia.  Konon ayah beliau orang Indonesia yang dahulu belajar ke Belanda terus tidak pulang.  Jadilah anaknya (beliau) keturunan Indonesia, lahir di Belanda dan menjadi warga negara Belanda.  Orangnya baik, ramah dan tampak sangat sederhana, walaupun punya jabatan penting di NUFFIC.

Pertemuan kami fokuskan untuk mencari peluang kerjasama penelitian dan beasiswa, karena NUFFIC punya beberapa proyek penelitian di Indonesia.  Sudah saatnya Unesa mengerjakan penelitian “kelas internasional”.  Namun karena belum berpengalaman, akan lebih mudah kalau bekerjasama dulu dengan partner dari luar negeri.  Nanti jika sudah “pintar”, punya pengalaman, dan dikenal oleh para peneliti “kelas dunia”, kita dapat mengibarkan bendera sendiri.  Argumen lebih detail, insya Allah akan saya tulis secara khusus. 

Pertemuan tidak formal, disertai dengan kelakar nostalgia berlangsung sekitar 2 jam di lobi hotel.  Kafe yang semula akan digunakan untuk pertemuan, baru buka jam 12.  Jadilah pertemuan dilakukan di ruang tunggu lobi yang banyak orang lalu-lalang.   Teman itu akan ke Surabaya bulan April, sehingga saya memutuskan akan bicara agak “dalam” saat di Surabaya.  Situasi di lobi hotel tidak memungkinkan untuk diskusi yang substansial.   Kami berjanji untuk keep in touch.

Setelah itu kami punya waktu luang sekitar 5 jam, seusai pertemuan dengan teman NUFFIC sampai sore hari.  Karena saya tidak terbiasa tamasya, saya numpang saja rencana PR-1 dan Direktur Pascasarjana untuk mengikuti tour yang dimulai di depan hotel.  Kami menumpang bis dengan penumpang sekitar 40 orang.  Obyek wisata yang dikunjungi pulau kecil tempat orang membuat “klompen”, desa tua tempat membuat keju sekaligus tempat foto-foto dengan pakaian tradisional Belanda dan kincir angin dengan berbagai fungsinya.

Yang menarik perhatian saya bukan obyek wisata, tetapi justru kanal-kanal di Belanda.  Sepanjang jalan dan di lokasi wisata saya berkesempatan mengamati kanal-kanal, danau-danau kecil dan parit/selokan  yang menggandengnya.  Menarik, karena beberapa tahun lalu, saat saya mengunjungi KITLV di Leiden saya sudah tertarik.  Kali ini seakan melengkapi data observasi saya dulu untuk membuat simpulan-simpulan.  Tepatnya dugaan-dugaan bagaimana orang Belanda merancang dan memfungsikan kanal, danau kecil dan parit tersebut.

Bahwa lahan di Belanda berada di bawah permukaan laut sudah kita ketahui sejak di SMP dulu.  Bahwa Belanda memiliki dam untuk membendung air laut juga sudah kita ketahui.  Namun bagaimana kanal-kanal, danau-danau kecil yang saling terbubung dengan parit itulah pengetahuan baru bagi saya.

Lahan di Belanda seakan merupakan pulau-pulau, besar dan kecil di sebuah laut. Yang saya maksud pulau itu merupakan blok-blok perubahan, petak-petak sawah atau petak-petak padang gembalaan ternak.  Blok-blok dan petak-petak tersebut dikelilingi oleh parit dan atau kanal.  Air di kanal, danau kecil dan parit tersebut ternyata tidak mengalir alias diam.  Jika difoto dari udara, saya menduga bagaikan pulau-pulau yang dipisahkan oleh selat-selat dan laut.

Ketinggian air kanal, parit dan danau kecil pada suatu wilayah tidak selalu sama dengan wilayah lain.  Saat mengunjungi kincil angin, saya mengamati bagaimana kincir angin tersebut memompa air dari kanal sebelah ke sebelahnya.  Juga tampak bagaimana kincir angin lain memompa air dari kanal ke danau kecil yang bersebelahan dengan dam pembendung air laut.  Jadi saya menduga, dirancang ketinggian air di suatu wilayah tertentu dan itu dipertahankan dengan memompanya ke wilayah sebelah dan akhirnya ke danau dan ke laut.  Jadilah lahan di Belanda seakan-akan bertingkat-tingkat ketinggiannya dan itu termasuk permukaan air di kanal dan parit di wilayah tersebut.

Memang Belanda memiliki keuntungan, karena hujan tidak akan sederas di Indonesia.  Dengan begitu kenaikan permukaan air di suatu wilayah tidak akan terjadi dengan cepat, sehingga kincir angin mampu memompanya.  Namun, menurut saya bukan mustahil prinsip seperti itu diterapkan di Indonesia.  Toh teknologi sudah mampu membuat pompa-pompa besar.

Yang juga menarik, danau besar yang menjadi penampungan air terakhir sebelum dibuang ke laut, semula merupakan teluk.  Pada mulut masuk ke teluk itu dibuat dam panjang, sehingga teluk berubah menjadi danau.  Karena terus menerus dimasuki air tawar dan sebagian dibuang ke laut, teluk dan sekarang menjadi danau tersebut berisi air tawar dan menjadi sumber air bersih di Belanda.

Tidak ada komentar: