Rabu, 20 Februari 2013

WE ARE NOT THE FIRST BUT THE BEST


Kalimat itu saya baca pada lembaran kertas yang dibawa teman pada akhir tahun 1970-an.  Jujur, waktu itu saya tidak begitu faham apa maksudnya.  Mau bertanya juga sungkan, karena saya tidak akrab dengan teman tersebut.  Apalagi teman itu dari Jurusan Bahasa Inggris yang saat itu dikenal sebagai jurusan “langit” bagi mahasiswa Fakultas Teknik (dulu bernama Fakultas Keguruan Ilmu Teknik/FKIT) seperti saya. 

Beberapa waktu kemudian saya baru “ngeh”, ternyata tulisan itu semacam brosur kursus Bahasa Inggris.  Bersama beberapa temannya, teman tadi mendirikan kurus Bahasa Inggris dan menyebarkan brosur di kampus.  Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik, saya hanya mengguman “oh ternyata itu iklan”.  Tahu kalau itu brosur kursus Bahasa Inggris tetapi tetap tidak faham apa maksud kalimat itu.  Lha, bekal bahasa Inggris saya waktu itu kan hanya lulusan STM.  Mau ikut kursus juga tidak punya biaya.

Baru setelah lulus dan sempat ikut kursus Bahasa Inggris di LIA di Jl. Dr Sooetomo (Sekarang berubah menjadi PPIA dan pindah ke daerah Kertajaya Indah), saya agak faham maksud kalimat iklan tersebut.  Saya menduga teman tadi menjual slogam “Memang kami bukan yang pertama, tetapi percayalah kami yang terbaik”.  Apa betul isi kursus seperti yang diiklankan itu saya tidak tahu pasti.  Sepertinya kursus tersebut tidak berkembang dan teman tadi kemudian banyak memberi kursus prifat.

Ketika mengunjungi Amsterdam dan Edinburgh minggu ini, kalimat tersebut muncul kembali di benak saya.  Tentu untuk perspektif yang berbeda.  Saat di Edinburgh, saya sempat berjalan-jalan ditemani anak sulung yang tinggal di sana.  Saya bertanya “kok Edinburgh tidak terlalu bersih ya?”. Tentu bersih-tidak bersih tadi dengan ukuran kota di negara maju.  Saya membandingkannya dengan kota di Jepang, Singapura, Australia dan Amerika.

Mendapat pertanyaan tadi, anak saya malah bercerita, bibi suaminya yang tinggal di Kanada juga mengeluhkan hal yang sama dengan saya.  Konon dulu Edinburgh sangat bersih, tetapi sekarang tidak lagi.   Hal yang sama juga terjadi di Amsterdam dan beberapa kota di Belanda.  Mengapa ya?  Para sosiolog yang mungkin dapat menjawab.  Atau mungkin para ahli tata kota.  Saya ingin melihatnya dari perpektif lain, perspektif seorang pendidik.

Mengapa hal itu terjadi?  Menurut saya ada dua kemungkingan.  Pertama, kondisi kebersihan kota Edinburgh dan Amsterdam mungkin tetap sama dengan sekian tahun lalu.  Namun, karena kota-kota lain kini lebih bersih, orang merasa Edinburgh dan Amsterdam tampak kotor.  Bukankah persepsi kita selalu terpengaruh dengan perbandingan?  Orang dengan tinggi 165 cm akan tampak tinggi ketika berada di sekitar orang dengan tinggi 150-160 cm.  Namun orang yang sama akan terkesan pendek jika berada di lingkunga orang-orang dengan tinggi 170 cm keatas.

Suatu saat saya diminta mengisi acara di sebuah sekolah swasta di Surabaya.  Sekolah tersebut termasuk tua, artinya berdiri sejak lama.  Pimpinan yayasan bercerita bahwa dulu banyak anak dari berbagai daerah bersekolah di sekolah tersebut.  Bahkan ada siswa yang berasal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai dan Thailand.  Juga pernah ada anak dari Suriname.  Namun pamor sekolah swasta itu sekarang meredup.  Memang tetap masih terkenal, paling tidak untuk segmen masyarakat tertentu.  Tetapi tidak lagi menjadi sekolah yang bergengsi.  Ya kira-kira menjadi sekolah swasta “kelas menengah”.

Mungkin mutu sekolah tersebut tetap sama dengan dulu atau bahkan naik.  Namun kini muncul sekolah baru yang mutunya lebih baik.  Mungkin, di masa lalu sekolah tersebut merupakan yang terbaik dibanding sekolah di sekitarnya.  Namun kini muncul sekolah baru yang lebih baik atau beberapa sekolah di sekitarnya yang dulu kurang baik, sekarang melejit melampau sekolah tersebut.  Akibatnya sekolah swasta tersebut seakan mutunya turun dan tidak lagi menjadu sekolah favorit.  Buku berjudul Myth in Education karangan J.E Greene (2005) menjelaskan kondisi seperti itu.

Kemungkinan kedua, memang kondisi kota Edinburgh dan Amsterdam kini lebih kotor dibanding waktu lalu.  Demikian pula kondisi sekolah swasta yang saya ceritakan di atas.  Mengapa itu terjadi?  Buku dengan judul Total Quality Management karangan Eduard Sallis (1993) dapat menjelaskan fenomena tersebut.  Menurut Sallis, setiap kehidupan termasuk organisasi/lembaga, mengalami masa kelahiran, pertumbuhan, dewasa, menua dan akhirnya mati.  Mungkin juga pengelolaan kota Edinburgh dan Amsterdam serta sekolah swasta tadi sudah sampai tahap menua.  Pengelola sudah jenuh, bekerja rutin dan tidak lagi kreatif.  Akibatnya kinerja mereka menurun dan tidak mampu menghadapi tantangan baru.

Seringkali lembaga yang sudah “mapan” merasa sudah yang terbaik dan cemderung mempertahankan pola kerja yang telah dilakukan.  Pada hal keadaan sekitar berubah.  Tantangan berubah. Pesaing baru muncul.  Akibantnya kinerja rutin tidak lagi mampu mengimbangi tuntutan perkembangan zaman dan kemudian mutunya menurun.

Lantas apa yang dapat dilakukan?  Menurut Sallis harus dilakukan revitalisasi dengan “menyuntikkan darah baru” atau “menyuntikkan inovasi” untuk menyegarkan organisasi yang memasuki tahap penuaan.  Dengan revitalisasi tersebut pola kerja yang sudah merutin disegarkan, diperbaharui.  Dengan begitu tahap dewasa berubah menjadi tahap pertumbuhan lagi.  Dengan begitu dapat tetap menjadi yang terbaik, menjadi the best.  Kalau itu dilakukan, Edinburgh, Amsterdam dan juga sekolah swasta tersebut dapat mengajukan slogan: “Yes, we are the first and the best forever”.  Semoga.

Tidak ada komentar: