Minggu, 03 Februari 2013

RSBI BUBAR, TERUS?


Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Ayat tersebut merupakan landasan hukum Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), sehingga program SBI maupun Rintisan SBI (RSBI) tidak lagi memiliki landasan hukum dan harus dihentikan.  Menurut salah satu Hakim MK, jika tidak dihentikan program SBI/RSBI menjadi program illegal dan anggaran yang digunakan dapat dikategorikan korupsi. 

Apa harus begitu?  Program pembelajaran di sekolah tidak dapat begitu saja distop seperti layaknya kendaraan, pembangunan gedung atau suatu jabatan.  Program pembelajaran telah disusun minimal dalam satu semester bahkan idealnya dalam satu tahun, dengan berbagai rangkaiannya.  Ketika semester dimulai, tentu jadwal pelajaran telah tersusun, guru pengajar telah ditunjuk, para guru sudah menyusun RPP, bahan ajar, alat peraga dan berbagai kelengkapannnya.  Karena saat ini semester genap, sangat mungkin soal-soal ulangan/ujian juga sudah siap.  Siswa juga sudah membeli buku, baik buku paket maupun buku penunjang.  Bagi siswa kelas VI, kelas IX dan kelas XII tentu sudah mempersiapkan diri menghadapi UASBN/UN.

Kalau pembelajaran SBI/RSBI harus dihentikan seketika karena sudah ada keputusan MK, tentu akan membuat sekolah kebingungan, khususnya para guru dan siswa.  Menyusun jadwal pelajaran memerlukan waktu.  Demikian juga guru memerlukan waktu untuk menyusun RPP dan bahan ajar.  Jika pembelajaran harus dihentikan mendadak, lantas apa tidak ada proses pembelajraan sampai guru selesai menyiapkan bahan yang baru? 

Oleh karena itu, keputusan yang bijak ketika Mendikbud dan Ketua MK sepakat bahwa program pembelajaran di SBI/RSBI tetap berjalan sampai semester ini berakhir.  Artinya program pembelajaran semester genap ini, termasuk UASBN/UN tetap berjalan sebagaimana telah dirancang.  Dan selama itu, sekolah dapat menyiapkan program di sementer berikutnya dengan lebih tenang.

Namun kesepakatan tersebut belum cukup.  Kesepakatan itu baru bersifat jangka pendek untuk menghindari  kekosongan program sekolah.  Masih harus dicari solusi yang komprehensif untuk jangka panjang .  Dengan tetap memenuhi kaidah hukum dan kaidah keadilan, namun keinginan agar mutu pendidikan kita setara dengan negara maju dalam dicapai.  Untuk itu, masalah SBI/RSBI sebaiknya dilihat dalam konteks pendidikan secara utuh.  Pola pikir seeing forest for the trees dari Sherwood (2002) sangat cocok digunakan.

Kalau kita pergi ke Malaysia, Singapura dan Australia, kita akan menjumpai banyak anak-anak Indonesia yang sekolah setaraf SMA di sana.  Suatu ketika saya ke Perth di Australia Barat dan bertemu dengan beberapa ibu muda bersama anak-anaknya makan siang.  Ternyata, ibu-ibu tersebut sedang menengok anak-anaknya yang sekolah setaraf SMA di sana.  Ketika saya bertanya mengapa baru SMA sudah disekolahkan di Perth, salah seorang menjawab agar anaknya mendapat pendidikan terbaik.  Menurut dia, pendidikan yang diinginkan tidak ditemukan di Indonesia, sehingga anaknya disekolahkan di Australia. Saat berkunjung ke International Islamic School (IIS) di Kualalumpur, saya juga bertemu dengan beberapa anak Indonesia yang sekolah disana dan salah seorang adalah anak pejabat Kementerian yang terkenal.

Fenomena mirip itu juga terjadi di dalam negeri.  Di SMA favorit di Surabaya, Malang, Yogya dan Bandung banyak anak pejabat dan pengusaha luar Jawa yang sekolah di sana.  Teman saya yang menjadi pejabat penting di Kalimantan, semua anak-anaknya di Malang.  Ketika SD Negeri kekurangan murid, SD Swasta favorit dengan bayaran mahal dibanjiri peminat.  Percaya atau tidak, diantara mereka banyak anak-anak pejabat di Dinas Pendidikan.

Fakta tersebut dapat dijelaskan dengan membuat sumbu salib.  Satu sumbu menunjukkan kesadaran akan pendidikan dan sumbu yang lain menggambarkan keadaan ekonomi.  Orang tua yang berada di kwadran kesadaran akan pendidikan tinggi dengan kemampuan ekonomi baik, akan berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik.  Jika sekolah yang diinginkan tidak ada di kotanya, anaknya akan disekolahkan ke kota lain.  Biasanya ke sekolah favorit di kota besar.  Jika sekolah yang diinginkan tidak aka di Indonesia, anaknya akan disekolahkan di negara lain. Yang banyak di Singapura, Malaysia dan Australia.  Mungkin jaraknya dekat dengan Indonesia. 

Gejala tersebut ditangkap sebagai peluang oleh Singapura, Malaysia dan Australia.  Jika ekonomi Indonesia semakin baik, tentu semakin banyak orangtua yang mampu mengirim anaknya sekolah ke negeri.  Itulah sebabnya setiap tahun banyak sekolah dan perguruan tinggi dari ketiga negara tersebut mengadakan pameran pendidikan di kota-kota besar di Indonesia.  Biasanya selama pameran pendidikan ada rekrutmen siswa baru.  Jadi pameran seperti itu mirip dengan pameran mobil, computer dan rumah, yang mentargetkan pembelian selama pameran.

Mengirim anak sekolah di negara lain tentu memerlukan biaya besar. Agar lebih murah sekolahnya kemudian dibawa ke Indonesia.   Muncullah sekolah-sekolah asing yang membuat afiliasi di Indonesia dengan berbagai nama.  Ada yang menamakan diri sebagai international school, college dan sebagainya. Kemudian diikuti oleh sekolah-sekolah asli Indonesia yang menggunakan kurikulum asing.  Ada yang menggunakan IB, Cambridge dan sebagainya.  Dan keduanya ternyata banyak diminati masyarakat, walaupun bayarannya mahal.

Tentu hanya orang tua yang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri, ke sekolah-sekolah asing yang membuka afilisasi di Indonesia dan sekolah Indonesia yang menggunakan kurikulum asing.  Lantas, bagaimana dengan anak-anak pandai yang orangtuanya tidak kaya?  Itulah yang harus kita pikirkan.  Harus ditemukan solusi, agar tidak hanya anak orang kaya yang dapat mengenyam pendidikan seperti itu.

Apa pemerintah mampu menyediakan sekolah dengan mutu bagus, setara dengan sekolah di negara maju untuk seluruh anak bangsa?  Pada saat ini rasanya masih belum.  Saat ini belum seluruh sekolah mencapai SSN (sekolah standar nasional).  Di daerah terpencil masih banyak sekolah yang baru mencapai SPM (standar pelayanan minimal).

Harus diakui untuk menghasilkan mutu yang bagus, sekolah memerlukan sarana yang cukup, guru yang handal dan biaya operasional yang cukup pula.  Memang biaya yang besar tidak menjamin mutu pendidikan akan bagus.  Namun, jika guru, sarana, dan biaya operasional hanya pas-pasan sulit dibanyangkan mampu menghasilkan mutu pendidikan yang setara dengan di negara maju.

Disinilah mucul dilemma. Kita memerlukan sekolah bermutu setaraf dengan sekolah di negara maju.  Sekolah seperti itu harus dapat diakses oleh orangtua yang tidak kaya.  Di lain pihak anggaran pemerintah belum mampu membuat seluruh sekolah di Indonesia mencapai taraf mutu seperti itu.  Apalagi untuk mencapai mutu yang bagus, sekolah juga memerlukan guru yang handal dan budaya sekolah yang kondusif.

Menemukan solusi dari dilema tersebut diperlukan kearifan berpikir.  Pemikiran yang mendasarkan satu sudut pandang kurang cocok diterapkan, walupun punya argument kuat.  Pola pikir the third alternative yang diajukan oleh  Stephen Covey (2011), dapat membantu.  Intinya, kita tidak hanya bertahan pada pendapat saya (alternatif 1) tetapi harus memperhatikan pendapat orang lain (alternatif 2) dan kemudian disinergikan menjadi alternatif ketiga.  Kita padukan pemikiran legal yuridis dengan konsep pendidikan masa depan.  Kita padukan pemikiran pemerintah dengan aspirasi masyarakat.  Kita padukan keinginan untuk menyamakan  dan mutu seluruh sekolah dengan kebutuhan nyata masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.

Keinginan sebagian masyarakat untuk memperoleh pendidikan bermutu internasional adalah suatu kenyataan.  Sekolah semacam itu seharusnya terdapat di berbagai kota, agar  memudahkan akses calon siswa dari berbagai pelosok tanah air.  Namun keuangan pemerintah masih terbatas, sehingga belum mampu membuat seluruh sekolah mencapai level itu.  Dalam menyongsong era global kita memerlukan sumberdaya yang mampu bersaing secara internasional.  Namun tentu tidak semua orang harus masuk ke arus itu.  Sebagian mereka akan mengolah sumberdaya alam lokal yang mungkin menggunakan teknologi tepat guna.  Semua siswa harus memiliki akses masuk ke sekolah yang bermutu.  Namun sekolah bermutu tinggi  menuntut kemampuan dasar yang juga tinggi.  Jadi hanya hanya anak yang pandai yang cocok masuk.  Pemerintah harus membiayai anak berbakat istimewa dapat masuk ke sekolah bermutu.  Namun, sekolah seperti itu orientasinya ke internasional sehingga tidak cocok bagi mereka anak pandai yang sejak awak bercita-cita ingin mengembangkan potensi lokal.

Jika pemikiran-pemikiran di atas dipadukan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memerlukan sekolah yang bermutu setara dengan sekolah di negara maju.  Harus dicari pola maupun istilah yang tidak melanggar undang-undang, tetapi sesuai dengan perkembangan pendidikan masa depan.

Siswa pandai yang berasal dari keluarga kurang mampu harus memiliki akses masuk ke sekolah tersebut.  Pemerintah dan pemerintah daerah harus mendukung bagi siswa semacam itu.  Pengalaman SMA Taruna Nusantara Magelang, MAN Insan Cendikia Gorontalo, SMA Plus Soposurung Balige, Sekolah Negeri Terpadu Bojonegoro dan beberapa “sekolah unggulan”  lainnya dapat menjadi bahan banding.

Sekolah bermutu tersebut sekaligus dpat berfungsi sebagai “sekolah model”.  Metoda belajar, bahan ajar dan berbagai hasil pengembangan sekolah tersebut dapat diakses dan digunakan sekolah lain.  Guru-guru sekolah sekitar juga dapat belajar ke sekolah tersebut.   Apa yang dilakukan oleh Sekolah Al Hikmah Surabaya dapat menjadi model.  Dengan semangat berdakwah, Sekolah (SD, SMP dan SMA) Al Hikmah Surabaya mengundang sekolah-sekolah lain untuk meniru dan menggunakan berbagai perangkat pembelajaran yang dikembangkan.  Bahkan guru sekolah lain diundang untuk magang tanpa dipungut biaya. 

Tidak ada komentar: