Selasa, 15 Desember 2015

APAKAH PENCERNAKAN DOMBA DI ARAB BERBEDA YA?



Ketika naik bus dari Makah ke Jedah untuk pulang, saya duduk di kursi paling dengan bersama Pak Slamet, Direktur PMU yang sehar-harinya dosen prodi Pertanian Holtikultura IPB.  Model busnya khas, sangat tinggi dan posisi duduk penumpang seperti di lantai dua.  Jadi posisi duduk saya yang di kursi paling depan, pas di atas sopir.  Dengan begitu saya dan Pak Slamet dapat leluasa melihat-lihat ke depan sepanjang perjalanan.

Tenyata di perjalanan saya menemukan ada lahan yang tidak seperti lahan pada umumnya di sekitar Makah.  Lahan kiri kanan jalan di Makah bisanya berupa padang pasir berbatuan, bahkan bukit-bukit batu.  Kalau toh ada tumbuhan adalah tumbuan pada pasir.  Nah, beberapa kali kami melewati lahan yang ada rumput hijaunya, walaupun sangat sedikit.  Mirip rumput di sawah yang setelah kemarau panjang, terus ada hujan sedikit.  Namun karena lokasi lainnya kering kerontang, maka rumput yang hanya sedikit itu segera menarik perhatian kami.

Pada lahan itu ada domba dan juga unta yang sedang makan.  Saya tidak tahu, yang jelas rumputnya tidak setinggi dan setebal rumput di Indonesuia, tetapi sepertinya kambing dan unta itu makan dengan lahap. Jumlah unta mungkin sekitar 20an, sedangkan jumlah domba sekitar 40an.  Kedua jenis binatang itu berbaur, sepertinya sudah saling bertema.   Sang domba tampak tidak takut dengan unta, sebaliknya sang unta juga tidak terusik oleh adanya domba di sekitarnya.

Saya membayangkan rumput yang tipis di lahan yang tidak terlalu luas itu tentu tidak cukup untuk membuat unta-unta dan domba-domba  itu kenyang.  Pada hal, jumlah lahan yang seperti itu hanya tiga atau empat buah sepanjang jalan yang saya lewati dari Makah ke Jedah.  Pertanyaan yang muncul, terus unta dan domba itu apa makan lagi agar kenyang ya?  Apa pencernaan domba di Arab yang menyesuaikan diri dengan sedikitnya makanan rumput?  Atau oleh penggembalanya diberi makanan lain?

Menurut riwayat, Nabi Muhammad ketika kecil juga menggembala domba di Makah.  Jadi domba sudah ada di Makah sejak lama. Pada hal, logikanya saat itu belum ada pengolahan air untuk menyirami tanaman di Makah.  Kalau sekarang banyak tanaman di Makah itu karena disirim dengan pola pengarian drip, yaitu ada pipa air kecil di setiap pohon atau area rumput/bunga dan setiap saat dari ujung pipa itu keluar air untuk menyiramnya.  Tentu sebelum ada teknologi itu Makah jauh lebih gersang.

Konon kalau unta memang termasuk binatang yang tahan tidak minum dan makan berhari-hari.  Seakan-akan unta memang jenis binatang yang oleh Yang Maha Kuasa didesain untuk daerah padang pasir.  Namun kalau domba, kan banyak juga di daerah lain, baik di daerah tropis maupun daerah dingin.  Apakah pencernaan domba Arab berbeda dengan pencernaan domba Indonesia atau Newa Zeland yang punya banyak rumput?  Apakah pencernaan domba juga dapat beradaptasi sepertinya bulunya, sehingga analog bulu domba di New Zeland berbeda dengan buku domba di Jawa, pencernakan domba di Arab juga berbeda dengan pencernakan temannya di Indonesia?

Sambil mengamati situasi itu saya berpikir, pada zaman dulu orang Makah makan apa ya?  Dengan tanah yang pasir berbatuan rasanya tanaman sulit untuk tumbuh.  Yang sering kita baca zaman dulu kurma sudah ada, sehingga konon menjadi salah satu makanan penting.  Konon orang Arab makan roti.  Tetapi roti dibuat dari apa ya?  Rasanya di Makah tidak tumbuh gandum atau padi atau sejenisnya.  Kalau untuk membuat roti perlu tepung, dari bahan apa tepung di buat?  Rasanya juga tidak mungkin orang hanya makan kurma saja.

Kalau mengamati para pedagang di pasar Arab makan, umumnya mereka makan roti plus semacam gulai kambing yang kental.  Sobekan roti (roti maryam?) dipakai membungkus gulai kambing kental itu, terus dimakan.  Kalau itu jenis makanan tradisional Arab sejak zaman dulu, berarti perlu ada daging plus tepung sebagai bahan dasar.  Sekali lagi dari apa tepungnya dibuat.

Pikiran saya ngelantur lagi, betapa beratnya hidup orang Arab Zaman dahulu.  Menurut riwayat, ketika Siti Hajar dan Ismail ditinggalkan di Makah oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar awalnya juga mengeluh mengapa mereka bedua ditinggalkan di daerah berbatuan yang waktu itu tidak ada air. Tanpa air, apalagi tanahnya pasir berbatuan tentu dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan.  Saat itu memang belum ditemukan sumur (sumber air zamzam).  Jika Siti Hajar saya mengeluh (sebelum tahu kalau itu perintah Sang Khalik), apalagi orang biasa.  Jadi tentulah kehidupan di Makah saat itu tidak mudah.

Kembali pada pencenakan domba, mungkin setiap makhluk diberi kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kemapuan seperti yang menentukan survive atau tidaknya yang bersangkutan.  Jadi sangat mungkin pencernakaan domba di Arab sudah beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga mampu bertahan.  Itu hanya dugaan saya, tentu pada ahlinya yang berhak menjelaskan benar atau tidaknya.  Semoga.

1 komentar:

Vicky prima mengatakan...

Tapi ada kan??


itu juga cukup!