Selasa, 22 Desember 2015

TUGAS PEMERINTAH ITU MENGATUR



Ketika Menteri Perhubungan mengeluarkan aturan yang melarang Go Jek dan kawan-kawannya tidak boleh beroperasi, saya jadi teringat Pak Djoko Santoso.  Dalam suatu kesempatan Pak Djoko Santoso, waktu itu menjadi Dirjen Pendidikan Tinggi, mengatakan kalau tugas pemerintah adalah mengatur agar masyarakat terlayani dengan baik.  Jika aturan yang ada kurang sesuai maka aturan itu yang disempurnakan.  Itu berbeda dengan polisi dan inspektorat yang tugasnya mengawasi apakah kita yang kita lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.  Apakah aturan itu sesuai dengan kenyataan lapangan, bukankah menjadi tugas polisi dan inspektorat untuk meneliti.  Polisi dan inspektorat bekerja dengan keyakinan bahwa aturan itu betul dan harus dilaksanakan.

Secara jujur saya belum membaca peraturan Menteri Perhubungan yang melarang beroperasikan Go Jek dan kawan-kawannya itu.  Apalagi, peraturan itu hanya berumur satu hari dan langsung dicabut. Namun yang saya baca di koran dan juga saya dengarkan di televisi, Kementerian Perhubungan melarang Go Jek bukan karena pelayanan yang on line, tetapi dari aspek keamanan.  Konon kendaraan roda dua tidak aman untuk kendaraan umum, sehingga Kementerian tidak mengijinkan.  Kendaraan umum minimal harus roda tiga.  Dan memang Go Jek belum punya ijin, sehingga seharusnya dilarang.

Saya tidak tahu apakah memang sudah ada pengujian untuk menyimpulkan kalau kendaraan roda dua tidak aman.  Rasanya perusahaan sekelas Honda, Yamaha, Suzuki dan sebagainya sudah melakukan riset panjang sehingga mengeluarkan speda motor yang dapat dinakini 2 orang.  Jika dua oranf, tentu satu orang pengemudi dan seorang yang diboncengkan.  Lantas apa bedanya dengan ketika digunakan untuk ojek?  Pada oje, pengojek yang mengemudi dan penumpangnya yang membonceng.  Mengapa kalau yang membonceng bukan penumpang diyakini aman, buktinya diijinkan oleh pabriknya, sementara kalau yang memboceng itu penumpang dianggap tidak aman oleh Kementerian Perhubungan?

Setahu saya, jauh sebelum ada Go Jek speda motor, di Tanjung Priok juga ada sejenis itu tetapi menggunakan sepeda ontel.  Ojek dengan sepeda ontel itu sudah ada sejak dulu dan baru hilang ketika muncul sepeda motot.  Bagaimana dengan bentor, yaitu becak yang digandeng dengan sepeda motor.  Pengalaman saya naik bentor di Gorontalo, rasanya jauh lebih menakutkan.  Stuktrurnya persis becak, tetapi melaju dengan kecepatan sepeda motor.

Dari sisi masyarakat, ojek baik ojek pangkalan maupu Go Jek (ojek on line) sangat diperlukan.  Kita dapat membayangka, jika tidak ada ojek bagaimana orang-orang di kampung harus dapat menuju tempat kerja atau tempat tujuan lain dengan cepat?  Naik taksi tentu jauh lebih mahal yang mungki tidak terjangkau.  Mau naik bus kota, tempat tinggal mereka jauh dari rute bus kota atau angkutan kota lainnya.  Jadi bagi masyarakat seperti itu, ojek bagaikan “dewa penolong” karena memberikan kemudahaan transportasi.

Jika menggunakan pola pikir polisi dan inspektorat, kita dapat berkata “Go Jek harus dilarang karena tidak sesuai dengan aturan keamanan berkendaraan”.  Namun jika menggunakan pola pikir pemerintah, yang menurut Pak Djoko tugasnya mengatur, kita perlu bertanya “apakah Go Jek dan sejenisnya diperlukan masyarakat?”.  Jika ternyata diperlukan karena belum ada alternatif yang tepat, maka Go Jek harus tetap ada.  Bagaimana kalau tidak aman?  Jika memang tidak aman (walaupun masih perlu dibuktikan), maka tugas pemerintah adalah bagaimana membuat agar ojek itu aman.  Apakah harus beroda tiga?  Apakah ada alternatif lain?  Menurut saya itulah yang menjadi tugas pemerintah dibanding melarangnya.  Semoga.

Tidak ada komentar: