Jumat, 18 Desember 2015

KKG/MGMP KUNCI PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU



Ketika mengikuti FGD (focus group discussion) dengan beberapa guru peserta PLPG dan dosen pembinanya di Unsyah (Universitas Syahkuala) tanggal 14 Desember 2015, saya sedih sekaligus gembira.  Sedih karena dari pengakuan guru maupun dosen, dapat disimpulkan kompetensi guru kita memang masih sangat kurang.  Kelulusan Ujian Tahap pertama yang hanya sekitar 40% memberikan gambaran tentang itu.  Penjelasan hampir semua dosen mendukung data tersebut, yaitu bahwa masalah pokok PLPG adalah bekal awal peserta yang sangat kurang, sehingga mustahil dalam waktu 9 hari itu dapat dtingkatkan secara drastis.

Sebenarnya saya ingin “menyekak” teman-teman dosen FKIP Unsyah dengan mengataskan: “toh mereka itu sarjana pendidikan yang nota bene lulusan Unsyah”.  Namun respon balik teman-teman dosen justru mengejutkan, karena hanya sekitar 20 % dari peserta yang lulusan Unsyah.  Lantas peserta sekitar 3.300 orang itu alumni mana?  Toh mereka sudah banyak yang senior dan diangkat sebelum 30 Desember 2005. Jadi pastilah usia mereka lebih dari 32 tahun.  Ternyata mereka itu sebagian besar guru yang awalnya mengajar dengan ijasah SLTA atau D2 dan kemudian mengikuti S1 sambil mengajar.  Sebagian besar menempuh S1 di LPTK Swasta yang konon seadanya. Seorang kawan berkelakar ada diantara PTS itu yang STIA artinya “sekolah tidak tapi ijasahnya ada”.  Moga-moga itu hanya kelakar.

Walaupun tidak secara laungsung mengakui, tetapi sebagian besar guru SD mengatakan kesulitan dalam mengikuti pendalaman materi untuk bidang Matematika dan IPA Kelistrikan.  Ketika mengerjakan tes, yang mereka anggap sulit juga kedua bidang tersebut. Jadi kesulitannya pada materi ajar dan bukan pada pedagogik.  Dosen bahasa Inggris bahkan mengatakan banyak guru peserta PLPG yang tidak mampu berbicara dengan bahasa Inggris.  Bahkan ketika sang dosen menerangkan dengan pengantar bahasa Inggris banyak guru yang tidak faham, sehingga akhirnya terpaksa menggunakan pengantar bahasa Indonesia.

Di lain pihak saya gembira, karena para guru secara jujur memerlukan pelatihan secara kontinyu untuk meningkatkan kemampuannya.  Permintaan itu sangat mengembirakan, karena itu berarti mereka merasa perku meningkatkan kemampuannya.  Apalagi permintaan itu disampaikan setelah mereka selesai mengikuti PLPG, sehingga dapat diduga setelah mengikuti serangkaian workshop mereka merasa banyak materi yang belum dikuasai. Kata orang bijak: “orang tahu kalau dia tidak tahu, jauh lebih baik dibanding orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu”.  Jadi guru yang sadar bahwa kompetensinya kurang baik, merupakan indikator yang positif, apalagi kalau kemudian mereka berusaha memperbaikinya.

Pertanyaannya bagaimana merancang pelatihan guru yang jumlahnya sangat banyak.  Data terakhir menunjukkan jumlah guru kita sekitar 3 juta orang.  Kalau setiap guru perlu mengikuti pelatihan sekali dalam satu tahun, artinya dalam satu tahun ada 3 juta guru yang harus dilatih atau 250.000 orang dalam satu bulan atau 62.500 dalam satu minggu.

Kalau pelatihan dilakukan oleh LPMP yang ada di setiap propinsi dengan jumlah 33 buah, berarti seiap LPMP setiap minggu rata-rata harus melatih sekitar 1.900 orang.  Itu belum kalau diperhitungkan ada propinsi yang ounya guru sangat banyak.  Misalnya Jawa Timur yang punya guru sekitar 450.00 orang, sehingga per minggu LPMP Jawa Timur harus melatih 9.375 orang guru.  Tentu sangat berat kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin.  Tidak mungkin karena siapa yang melatih dan dimana pelatihan untuk sebanyak itu dilakukan.

Apalagi pelatihan yang sifatnya “grudugan” dengan peserta banyak dan waktunya sedikit seringkali tidak efektif. Apalagi jika pelatihannya di hotel yang tidak memiliki sarana pembelajaran dan yang melatihpun juga tidak benar-benar ahlinya.  Banyak studi yang menunjukkan pelatihan yang selama ini dilaksanakan tidak signifikan dalam meningatkan mutu guru.  Oleh karena itu perlu dicari pola lain dalam meningkatkan kemampuan dan profesionalisme guru kita.

Dalam filosofi penggilingan padi, beras itu menjadi putih bukan karena bergesekan dengan mesin penggiling, tetapi bergesekan antar butiran beras.  Dalam praktek kependidikan, seringkali diskusi antar mahasiswa lebih efektif dibanding penjelasan dosen.  Artinya interasi antar teman seringkali sangat efektif. Nah, dari filosofi itu mungkinkan interaksi antar guru menjadi sarana peningkatan kemampuan mereka?

Selama ini kita punya KKG (kelompok kerja guru) bagi guru SD dan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) bagi guru SMP/SMA/SMK.  Di negara lain organisasi seperti itu disebut PLC (professional learning community).  Mungkinkah KKG/MGMP/PLC menjadi wahana peningkatan profesionalisme guru?  Di negara maju, PLC telah menjadi ujung tombak pembinaan guru secara profesional, namun di Indonesia tampaknya hal itu belum terjadi.

Ketika saya tanyakan, apa kegiatan dalamKKG/MGMP selama ini, para guru di Aceh yang mengatakan biasanya membahas Kurikulum 13.  Bahkan konon KKG/MGMP itu bak “hidup segan mati tak mau”, artinya namanya masih ada tetapi aktivitasnya hampir vakum.  Kalau toh ada sekedar untuk bertemu, berkelakar dan melepas rasa rindu.  Alasan yang biasa muncul, karena tidak ada anggaran dan guru sibuk bekerja.

Ketika guru menerima tunjangan profesi, sehingga tidak lagi disibukkan mengajar tambahan untuk menegakkan tungku dapur, mestinya guru punya waktu untuk KKG/MGMP.  Beberapa kabupaten konon membuat aturan guru yang sudah menerima tunjangan profesi menyisihkan sekian persen untuk kegiatan KKG/MGMP.  Dengan demikian yang diperlukan membangun sistem kegiatan KKG/MGMP yang bagus.

Jika setiap sekolah memiliki KKG/MPMP lokal, seperti PLC di negara maju, maka di setiap sekolah akan ada aktivitas KKG/MGMP lokal.  Kegiatan KKG/MGMP rayon yang mungkin diadakan 2 minggu sekali atau 3 minggu sekali, mungkin lebih difokuskan untuk membahas hal-hal yang tidak dapat terselesaikan di KKG/MGMP lokal.  Jika diperlukan juga dapat mengundang pakar dari perguruan tinggi atau lembaga yang tepat, seperti LPMP dan P4TK. 

Di Taiwan, setiap dosen LPTK wajib punya KKG/MGMP binaan, sebagai kegiatan Pengabdian kepada Masyarakatnya.  Dengan begitu, para dosen LPTK di Taiwan punya tanggung jawab terhadap profesionalisme guru di KKG/MGMP binaannya.  Untuk Indonesia yang memiliki begitu banyak LPTK dan juga punya P4TK dan LPMP, rasanya pola Taiwan dapat dijadikan bahan banding.  Semoga.

Tidak ada komentar: