Minggu, 06 Desember 2015

SHOLAT JUM’AT DI RAUDAH



Setiap orang yang ke masjid Nabawi biasanya kepingin sekali ke Raudah, tempat berdo’a yang diyakini mustajabah.  Lokasinya terletak antara makan Rasul dan mimbar masjid.  Menurut riwayat, dahulu lokasi itu antara rumah Rasul dan mimbar.  Oleh karena itu, sejak dari Jedah saya sudah ingin sekali bisa ke Raudah.  Waktu kami di Madinah hanya 2 hari kurang, sehingga dalam saya berpikir harus sesegera mungkin kesana.

Ada tiga piihan waktu berangkat dari Jedah ke Madinah.  Semula, travel yang mengatur perjalanan kami membuat jadwal kami berangkat dari Jedah pukul 06.00 pagi.  Hari itu Jum’at sehingga takut kalau tidak dapat sholat Jum’at di masjid Nabawi. Muncul keinginan untuk berangkat pukul 23.00 malam sehingga dapat sholat subuh di Nabawi.  Tetapi pilihan ini punta konskweni, yaitu baru dapat masuk hotel di Madinah sekitar pukul 14.00an, sehingga mulai subuh harus di masjid atau di lobi hotel.  Pilihan ketiga, berangkat dari Jedah pukul 03.00 pagi, sehingga sampai di Madinah sekitar pukul 09.00 dan diharapkan masjid belum terlalu ramai.

Setelah diskusi cukup intens, akhirnya diputuskan kami berangkat pukul 03.00.  Kami sholat subuh sebuah masjid kecil di perjalanan dan disambung dengan sarapan, bekal yang diberikan oleh hotel Holiday Inn.  Porsinya sangat besar, sehingga semua teman tidak habis.  Itupun masih ditambaj sekotak roti dengan porsi yang besar pula.  Sambil makan, beberap teman berkelar: “Makanya orang Arab besar-besar, karena makannya banyak”.

Kami tiba di Madinah sekitar pukul 09.00.  Setelah meletakkan barang di hotel Al Haram, mengambil wudlu kami segera ke masjid Nabawi.  Semula kami berangkat bersamaan, tetapi entah mengapa, setelah masuk masjid kami hanya bertiga, Mas Prapto, Pak Slamet dari PMU Jakarta dan saya.  Sambil berjalan, saya dan Pak Slamet diskusi mencari lokasi Raudah.

Setelah lokasi ditemukan, kami bertiga sholat 2 rakaat di dekat Raudah.  Setelah itu, kami mendekat untuk mencoba masuk ke Raudah.  Sepertinya biasanya jama’ah yang akan masuk sangat banyak, sehingga harus antre menunggu mereka yang masih di dalam Raudah disurug keluar oleh Askar.  Sambil menunggu kami melihat jam, masih pukul 10an, sehingga diskusi apakah segera masuk atau menunggu gilaran berikutnya lagi. Biasanya orang hanya boleh sholat dan berdo’a di Raudah sekitar 30-45 menit dan akan dikeluarkan oleh askar, untuk member kesempatan jama’ah lainnya.

Sekitar pukul 10.30, para pengantre diijinkan masuk, karena jama’ah yang di Raudah sudah dikeluarkan.  Saya dan Mas Prapto terdorong ikut masuk, karena dengan badan kecil tidak bisa bertahan.  Sedangkan Pak Slamet yang badannya agak besar memilih duduk diluar Raudah dengan harapan nanti mendekati waktu sholat Jum’at dapat masuk.

Secara kebetulan, saya dan Mas Prapto dapat tempat di bagian belakang yang berjubel.  Kami berdiri dan belum dapat sholat, karena pas mepet di depan kami jama’ah lain sholat.  Baru setelah jama’ah tersebut selesai sholat dan bergeser untuk duduk berdo’a kami dapat sholat.

Beberapa jama’ah yang selesi sholat dan berdo’a keluar, sehingga Raudah yang semula sangat berjubel menjadi agak longgar.  Alhamdulillah, saya dan Mas Prapto yang berada di sebelah saya dapat sholat berkali-kali dan berdo’a dengan tenang.  Kami berdo’a juga agar tidak segera disuruh keluar.  Dan ketika tabir pembatas di belakang kami dibuka, saya sangat gembira karena itu berarti sholat Jum’at akan dimulai. 

Betul, setelah itu persiapan sholat Jum’at mulai tampak. Petugas yang dipanggung mulai naik, dan mimbar dibersihkan dan dijaga dua orang askar.  Adzan berkumandang dan setelah itu khoti naik mimbar. Walaupun sudah pernah sholat Jum’at di masjid Nabawi, teapi baru ini saya dapat kesempatan sholat Jum’at di Raudah. Saya dapat dengan jelas melihat Khatib yang khotbah.

Seperti biasanya, khatib mengenakan jubah berwarna kopi susu dengan strip warna emas yang saya duga itu tanda orang penting.  Tentu bacaan bahasa Arabnya sanga bagus, tetapi yang saya catat adalah beliau membaca.  Teksnya di kertas kecil tetapi panjang dan dari jauh tampak seperti catatan isteri saya kalau belanja. 

Mengapa saya mencatat khotib yang membaca saat khotbah?  Saya sering ngrasani khotib di Indonesia yang berkhotbah tanpa teks atau catatan sama sekali.  Mungkin bahan sudah dihafal dan dipersiapkan dari rumah.  Toh beliau-beliau itu khotib “profesional” yang tentu menguasai bahan di luar kepala. Tetapi pengamatan saya, banyak khotib seperti itu  khotbahnya tidak fokus dan melebar kemana-mana. Atau ada juga mengulang-ulang, sehingga menjemukan.  Begitu selesai khotbah, khotib turun dari mimbar dan saya lihat berjalan menuju tempat imam diiringi oleh askar yang berbadan tegap.

Bacaan imamnya sangat bagus dan pelan sehingga sangat enak di dengar.  Apalagi sound system masjid Nabawi terkenal sangat bagus, sehingga jama’ah seperti saya ini sangat menikmati bacaan imam.   Surah yang dibaca pendek, tetapi terasa mantab bacaannya.  Alhamdulillah, dapat kesempatan sholat Jum’at di Raudah apalagi dengan khotib/imam yang menurut saya dapat dicontoh.

Tidak ada komentar: