Sabtu, 26 Desember 2015

DARI COST CENTRE MENJADI SELF SUPPORT



Saya sudah empat kali mengikuti workshop TTI (Teacher Training Institute) Strategic Business yang dilaksanakan oleh USAID Prioritas.  Pertama di tingkat nasional yang dilaksanakan di Yogyakarta pada bulan Juni 10-11, selanjutnya di Banten tanggal 4-7 November 2015, disusul dengan di Semarang pada tanggal 16-18 November 2015 dan terakhir di Surabaya pada tanggal 21-23  Desember 2015. Konon worshop seperti itu akan dilaksanakan di 8 propinsi yang menjadi wilayah kerja USAID Prioritas.

Workshop itu diikuti oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) atau yang biasa disebut sebagai IKIP/FKIP/STKIP/Fakultas Tarbiah dan sejenisnya.  Pokoknya perguruan tinggi yang menghasilkan guru, yang oleh USAID disebut sebagai TTI.  Tujuan dari workshop itu adalah mendorong LPTK mau memperhatikan peningkatan kualitas lulusan mereka (guru) setelah mereka bekerja di sekolah. Jadi kata “business” dalam judul workshop itu lebih menggunakan makna dalam bahasa Inggris, yaitu “business” sebagai  “urusan” dan bukan dalam bahasa Indonesia yang lebih condong kepada profit.

Secara pribadi saya sangat mendukung ide tersebut, karena selama ini LPTK memang belum memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap alumninya setelah mereka berkarier di sekolah.  Memang itu bukan salah LPTK, karena pemerintah RI sepertinya menghendaki seperti itu.  Kemdikbud memiliki unit kerja yang secara khusus ditugasi untuk menangani peningkatan mutu guru, yaitu P4TK (Pusat Peningkatan Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan...kalau tidak salah).  Bahkan di masa lalu ada BPG (Balai Penataran Guru) pada setiap propinsi.

Namun perlu diingat bahwa jumlah guru sangat besar, sehingga diragukan apakah P4TK yang berjumlah 12 itu mampu menangani peningkatan mutu guru.  Pada hal BPG yang sekarang berubah menjadi LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) tidak lagi menangani pelatihan guru.  Sebagai contoh di Jawa Timur terdapat sekitar 450.000 orang guru.  Jika peningkatan mutu guru diasumsikan melalui pelatihan dan setiap guru dua tahun sekali medapat pelatihan, berarti dalam setiap bulan ada sejumlah 18.750 orang guru yang harus dilatih.  Jika setiap minggu ada pelatihan, maka setiap minggu ada 4.687 orang guru yang harus dilatih. Sulit dibayangkan, bagaimana cara melatihnya.  Jika diasumsikan peningkatan mutu guru melalui KKG/MGMP dan setiap KKG/MGMP memilki 30 orang anggota, berarti di Jawa Timur ada 15.000 KKG/MGMP.  Mustahil P4TK dan LPMP mampu menangani itu.

Disitulah letak strategisnya mendorong LPTK aktif dalam peningkatan mutu guru alumninya.  Unesa memiliki sekitar 900 orang dosen.  Jika digabungkan dengan dosen UM, UNEJ dan Unijoyo dan juga beberapa LPTK Swasta besar, rasanya jumlah dosennya tidak kurang dari 4.000 orang. Jika setiap 2 orang dosen diwajibkan membina 1 KKG/MGMP berarti ada 2.000 KKG/MGMP yang tertangani.

Apakah untuk itu LPTK tidak boleh memungut biaya?  Rasanya justru harus, sepanjang itu dalam jumlah yang wajar.  Apalagi jika itu juga dikaitkan sebagai kegiatan PKM (Pengabdian kepada Masyarakat) bagi dosen yang bersangkutan.  Mencari uang tetapi tidak semata-mata untuk itu.

Memang universitas (termasuk LPTK) sudah harus mulai bertransformasi dari lembaga cost center yang hanya menghabiskan anggaran dari negara, menjadi paling tidak lembaga yang mampu self support.  Mampu membiayai diri sendiri dan untuk itu tidak boleh hanya mengandalkan dari SPP mahasiswa.  Peningakatan mutu alumni dapat dijadikan awalan menggali dana dari luar.  Apalagi jika nanti melebar ke penelitian dan pengembangan sekolah.  Bukankah sebagai universitas LPTK harus melaksanakan fungsi penelitian ilmiah.  Dan penelitian yang terkait dengan proses pembelajaran dan pendidikan pada umumnya harus menjadi intinya, karena itulah ciri utama LPTK sebagai universitas.

Tentu tidak mudah mengubah LPTK dari cost centre menjadi slef support unit.  Tidak hanya LPTK negeri yang selama ini mengandalkan dana dari pemeritah.  Termasuk juga LPTL swasta yang selama ini hanya mengandalkan dari SPP mahasiswa.  Penelitian dan pengembangan pendidikan sudah harus dipikirkan untuk menjadikan LPTK benar-benar sebagai universitas dan sekaligus tidak semata-mata cost centre.  Semoga.     

Tidak ada komentar: