Selasa, 01 Desember 2015

Pak Mukibat, Pak Mujahir dan Pak Guru




Saat di SD dan tinggal di pedesaan, saya pernah mencoba menyambung pohon singkong biasa dan singkong karet yang di kampung saya biasa disebut telo tahun.  Saya mencoba setelah di sekolah Pak Guru menerangkan temuan Pak Mukibat itu.  Seingat saya Pak Guru menjelaskan bahwa Pak Mukibat adalah petani biasa dan bukan petani yang “makan universitas”, tetapi sangat kreatif.  Entah bagaimana ceritanya, Pak Mukibat menemukan tanaman singkong biasa yang bagian atasnya disambung dengan singkong karet, menghasilkan umbi singkong yang besar.

Pak Guru SD saya juga bercerita Pak Mujahir yang konon menemukan ikan mujahir yang dapat dikembangbiakan dalam kolam sederhana.  Almarhum kakek saya juga membudidayakan ikan mujadir di depan rumahnya sekitar tahun 1960an.  Saya sudah tidak ingat cerita bagaimana Pak Mujahir menemukan cara pembudidayaan ikan mujahir.  Yang saya ingat Pak Guru menceritakan bahwa Pak Mujahir adalah orang desa yang ulet dan tidak patah semangat untuk mencari cara berternak ikan.

Saya pernah dapat informasi bahwa perancang masjid istiqlal bukanlah insinyur, melainkan lulusan STM.  Tentu kita tidak meragukan keindahan dan kemegahan masjid kebanggaan bangsa Indonesia itu.  Yang ingin saya sampaikan ternyata lulusan STM jika dia pandai, tekun dan terus menempa diri dalam menjalani profesinya juga mampu menghasilkan karya yang tidak kalah dengan insinyur.

Almarhum ayah saya sendiri juga hanya mengenyam Kelas 2 SD.  Istilahnya Sekolah Ongko Loro, mungkin sekolah desa yang di jaman Belanda disediakan untuk anak-anak pedesaan dan bukan anak pejabat atau priyayi.  Namun sebagai petani yang nyambi ini dan itu, almarhum ayah saya pernah menjadi juara 1 peternak kecil se Jawa Timur.  Beliau suka mencoba-coba makanan ayam dengan menganalogikan apa yang diamati.  Misalnya ayam diberi makan bekicot dengan asumsi makan daging agar telornya lebih banyak.  Ayam diberi makan cangkok bekicot yang dihancurkan dengan harapan kulit telor menjadi lebih tebal.  Ayah saya juga yang membuat inovasi “rengkek” yaitu alat untuk memandu penanam padi agar berjalan sama dan teratur.  Dan setelah posisi tanaman padi teratur diciptakan sorok untuk menyiangi gulma sekaligus menggemburkan tanah. Sebagai peternak, almarhum ayah saya pernah berdebat dengan dokter hewan tentang penyakin ayamnya.  Dan herannya ayah saya yang menang, setelah ayam itu disembelih dan dibedah.

Jika tiga orang tersebut berpendidikan rendah tetapi bermodal semangat dan keinginan untuk berinovasi, sehingga akhirnya menemukan hal-hal baru di pekerjaannya, mungkinkan guru juga seperti itu?  Mungkinkah guru SD yang sudah sekian lama menekuni pekerjaannya mengajar menemukan cara mengajar atau cara mendidik yang sangat efektif?   Tentu dengan asumsi guru tersebut memiliki ketekunan dan semangat seperti Pak Mukibat, Pak Mujahir dan ayah saya.

Saya tidak tahu bagaimana temuan Pak Mukibat dan Pak Mujahir menjadi populer sehingga mengangkat namanya.  Walaupun tidak terkenal, jika Anda ke daerah sekitar kampung saya dan menyebut nama Mbah Samani kepada orang yang usianya sekitar 50 atau 60 tahun, hampir pasti mereka akan menyebut “Oh Mbah Samani yang memelihara ayam ya, yang membuat rengkek”.

Apakah ada contoh guru yang inovatif?  Seingat saya, Jawa Pos pernah memfiture-kan seorang guru IPA di Malang yang konon sangat inovatif dalam mengajar dan membuat alat peraga sederhana untuk memudahkan siswa memahami konsep Fisika.  Guru SD Kelas 1 dan 2 saya juga sangat inovatif dalam mengajar.  Kami dulu sering diajak ke kebun samping sekolah untuk belajar ini dan itu.  Beliau juga menerapkan “sarapan nasi kemarin”, yaitu pelajaran terakhir tidak dihapus dari papan tulis dan besuknya pagi-pagi diulangi lagi dengan mengecek pemahaman siswa.

Mungkin inovasi guru seperti itu tidak ada dalam teori.  Mungkin sang guru juga tidak dapat menjelaskan secara teori dengan baik.  Mungkin sang guru juga tidak banyak membaca teori.  Bahkan mungkin sang guru itu juga tidak tinggi dalam skor UKG yang dicapai.  Jika hal seperti iu benar-benar terjadi, bagaimana kita dapat mengenali sekaligus memberikan apresiasi?  Tampaknya UKG yang paper and pencil test dan berbentuk pilihan ganda perlu dilengkapi dengan bentuk lain, agar dapat menangkat guru-guru “inovatif itu”. 

Jika karena alasan tertentu, UKG memang harus berbentuk pilihan ganda, maka harus dicari cara agar ada peluang kita untuk mengenali para guru yang inovatif tersebut di atas. Untuk itu PKG (Penilaian Kinerja Guru) perlu didorong untuk mengakomodasi itu.  Artinya PKG harus dirancang untuk meng-ekplor inovasi yang dikembangkan oleh pada guru di lapangan.  Sebagai pendidik, saya yakin banyak guru yang berusaha menemukan cara mendidik muridnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.  Bukankan kita mendorong apa yang biasa disebut dengan pembelajaran kontekstual, yang sangat mungkin polanya tidak dibayangkan oleh para pengembang test UKG yang konon tidak memiliki jam terbang tinggi dalam mengajar di sekolah.  Tentu juga harus diupayakan agar pelaksanaan PKB juga berjalan dengan  baik. Semoga.

Tidak ada komentar: