Kamis, 27 Agustus 2015

BELAJAR URBAN FARMING DI EDINBRUGH



Sejak sebelum berangkat ke Edinbrugh, saya berjanji dengan anak saya, Kiki, maupun dengan diri sendiri untuk membantu Kiki berkebun.  Janji itu sudah saya ucapkan ketika Kiki membeli rumah baru dan punya halaman cukup luas. Kiki ingin sekali halamannya tidak hanya ditanami bungan sebagai hiasan, tetapi juga ditanami sayur dan apapun yang hasilnya dapat dikonsumsi atau dimanfaatkan.

Ketika sampai di Edinbrugh ternyata Kiki sudah menanam tomat, strawberi, kentang, kale, wortel, bawang putih, bawang bombai, cabe dan sawi daging.  Tentu juga banyak jenis bunga, termasuk bunga lavender yang konon dapat mengusir  nyamuk.  Seperti saya ceritakan yang lalu, di Garden Center Kiki membeli bibit bunga tulip dan dafodil.  Dua jenis bunga itu yang akan kami tanam.

Kebetulan hari Rabu, hari ketiga di Edinbrugh, cuaca diprediksi hujan antara pukul 9 s.d 11 dan siangnya cerah.  Oleh karena itu kami memutuskan hari itu untuk berkebun.  Pagi-pagi, Kiki sudah bekerja di rumah karena sebagai owner Green Leaf Co’op, dia bisa mengambil cuti ke kantor tetapi tetap kerja dari rumah.  Roy, menantu saya yang kerja di bank tidak dapat cuti dan pukul 6.30 sudah berangkat kerja.  Seperti tradisi di Scotland, Roy sarapan sendiri dengan makan outmil dicampur susu dan pisang.  Sekitar jam 8 saya, isteri dan Kiki sarapan roti panggang dengan telor dadar. Saya yang membuat telor dadar dan isteri yang memanggang roti.  Saya meniru telor scramble yang kemarin kami makan di Knight Cafe.  Telor saya campur dengan jamur, tomat dan bawang bombai dengan diberi sedikit sambal ABC, garam dan kecap.

Setelah sarapan kami bertiga ngobrol menunggu hujan reda dan baru setelah matahari tampak cerah dan udara tidak terlalu dingin, kami keluar rumah dan mulai berkebun.  Pertama kami menyiangi gulma dan menanam bibit tulip di halaman depan.  Saya mencungkili tanah dengan skop kecil biar gembur.  Harus hati-hati karena menurut Kiki di bagian tengah sudah ada bibit tulip warna warni yang ditanam beberapa waktu lalu.  Bibit baru, tulip hitam (black tulip) ditanam di bagian pinggir dengan harapan besuk mengelilingi tulip warna-warni yang sudah ditanam lebih dahulu.

Di dekat bagian itu ada beberapa bunga lavender dan bunga lain yang oleh Kiki disebut herbs (herbal) yang dapat dipakai bumbu masak.  Ketika sorenya dipakai bumbu rasanya mirip kemangi.  Saya harus menyiangi tanaman itu karena banyak rumput gulma yang tumbuh. Tanahnya saya dangir biar gembur, diberi pupuk kompos dan bunganya diatur agar tampak lebih rapi.  Batu-batu pembatas kebun dengan jalan masuk rumah, saya rapikan dengan menggunakan batu-batu yang ada di halaman.  Karena ada bagian yang kosong, saya mengambil sejenis bunga lavender gunung dari depat pagar belakang dan saya tanam mengisi bagian yang kosng itu.

Selesai halaman depan, kami ke halaman belakang memanen kentang, tomat dan strawberi.  Sungguh saya belajar banyak kepada Kiki bagaimana memanfaatkan lahan sekitar rumah di perkotaan agar produktif.  Kiki menanam 2 jenis kentang, yaitu early crop yang konon dapat dipanen pada umur 3 bulan dan main crop yang dipanen setelah umur 4-5 bulan.  Dari dua batang kentang early crop dihasilkan sekitar 4 kg.  Pada hal Kiki menanam sekitar 7 batang untuk main crop yang katanya hasilnya dapat 2 kali lipat.  Pembaca dapat membayangkan berapa luas lahan untuk menanam 9 batang kentang.  Paling hanya 2 m2.  Kiki juga menanam straberi pada lahan hanya sekitar 3 m2, tetapi saya sempat memetik sekitar 1 kg.  Tomat yang ditanam di pot dalam green house hanya 6 batang, semuanya berbuah dan saya sempat memanen sekitar 1 kg juga.  Masih ada apel yang hanya 1 batang dan ada 3 buahnya sebesar setengah kepalan orang dewasa.  Sawi daging dan kale belum dapat dipanen karena masih kecil.  Dua batang cabe juga belum sapat dipanen karena buahnya masih kecil-kecil tetapi banyak.

Semua tanaman itu dapat ditanam di lahan yang tidak lebih dari 6 m2, karena Roy dan Kiki masih menyisakan lahan cukup luas berumput untuk duduk-duduk dan lahan untuk menjemur pakaian.  Jadi praktis tanaman produktif itu ditanam di pingiran taman rumput.  Saya membayangkan tentu pola itu tidak terlalu sulit diterapkan di perumahan perkotaan.  Jika orientasinya hanya untuk kebutuhan sendiri, tentu hasil 9 pohon kentang, 6 batang tomat dan sebagainya itu lumayan untuk menopang kebutuhan rumah tangga.  Lebih penting lagi, semua itu dapat dilakukan oleh dua orang yang keduanya bekerja penuh.  Roy sebagai pegawai bank dan Kiki sebagai salah satu pendiri dan manajer sebuah koperasi.

Di lahan kosong sekitar rek kereta api di belakang rumah Kiki juga ada berbagai tanaman.  Menurut Kiki itu lahan pemerintah yang disewa orang untuk menanam berbagai bunga dan sayuran.  Penyewa umumnya yang tinggal di apartemen yang memang tidak punya lahan untuk menanam sesuatu.  Saya tidak sempat mendekat sehingga tidak tahu jenis tanaman di lahan tersebut.

Seingat saya Bu Walikota juga menggalakan urban farming dan konon sudah ada yan berhasil di wilayah Surabaya Barat.  Namun yang saya dengar orientasinya untuk di jual, sehingga memerlukan lahan cukup luas.  Yang saya pelajari di Edinbrugh, tanaman di halaman rumah bukan untuk di jual tetapi untuk dikonsumsi sendiri.  Oleh karena itu ditanam bebagai jenis tanaman, yang masing-masing sedikit karena untuk kebutuhan sendiri.

Jika dalam satu tahun Kiki dapat memanen 30 kg kentang dan setiap kali makan hanya perlu ½ kg untuk orang dua, berarti kentang itu cukup untuk 60 kali makan.  Hitungan serupa juga dapat dilakukan untuk tomat yang 6 batang, cabe yang hanya 2 batang dan sebagainya.  Rasanya pola itu juga dapat diterapkan di perumahan di Surabaya.  Saya bertekat untuk mencobanya di rumah saya Tenggilis.  Ternyata belajar urban farming ke anak sendiri yang tinggal di Edinbrugh. Apa itu yang kata orang Jawa “kebo nusu gudel”ya?

Tidak ada komentar: