Minggu, 02 Agustus 2015

HANYA ADA SATU PASANG CALON?



Minggu sore tanggal 2 Agustus 2015 saya ngobrol santai dengan keponakan yang kebetulan mampir ke rumah. Rumah sangat sepi.  Isteri sedang mengantar anak bungsu dan cucu balik ke Jakarta.  Maklum si bungsu, Lala bakal kerepotan kalau sendiri balik ke Jakarta, karena sang cucu, Freya masih usia empat setengah bulan.  Sementara anak laki-laki sedang mengantar calon istrinya pulang ke Malang.

Saat ngobrol, TV sedang menayangkan berita pilkada serentak dan ada 11 kabupaten/kota yang hanya punya satu pasang calon.  Bahkan ada satu kabupaten yang tidak punya calon, kalau tidak salah kabupaten Bolaang Mongondo di Sulawesi Utara. TV juga menyiarkan berita dinamika di partai politik di beberapa daerah yang calonnya hanya satu pasang.  Juga ada berita keributan di suatu kabupaten, karena antara pimpinan partai tertentu tidak kompak dukungannya pada pasangan calon. Sebagian mendukung calon A dan yang lain mendukung calon B.

Menyimak berita itu, saya dan keponakan yang sama-sama awam tentang perpolitikan saat ini jadi bingung. Konon menurut berita, hanya ada satu pasang calon karena calon tersebut terlalu kuat sehingga tidak ada yang berani menyaingi.  Sekali lagi menurut berita, calon itu biasanya calon pentahana yang sudah terbukti kemampuan dan karyanya dalam memimpin kabupaten/kota. Lho, kalau memang calon itu kuat karena kompetensi dan track recordnya sangat baik, mengapa menjadi masalah?  Bukankah orang seperti itu yang semestinya dicari untuk memimpin daerah?  Jika perlu orang seperti itu dapat “dipinjam” untuk memimpin daerah yang kurang maju, sehingga daerah tersebut menjadi maju.

Tetapi undang-undangnya minimal harus ada 2 pasang calon agar proses demokrasi terjadi.  Mengapa harus begitu ya?  Seingat saya, waktu kecil di desa ada pemilihan kepala desa melawan bumbung kosong, karena calonnya hanya satu.  Warga desa yang tidak setuju dengan calon tunggal itu, memasukkan bitingnya ke bumbung kosong.  Nanti dihitung banyak mana isi bumbung calon itu dengan bumbung kosong.  Mengapa tidak digunakan pola seperti itu?  Jujur saya tidak tahu.  Mungkin para ahli ilmu politik da ilmu pemerintahan yang bisa menjawab.

TV juga meyiarkan kemungkinan adanya calon boneka, yaitu calon sekedar untuk pelengkap, agar pilkada dapat berjalan.  Konon calon boneka dan parpol yang mengajukan minta “mahar” atau bahasa saya minta “uang malu” karena toh sudah pasti tidak jadi.  Konon sekarang sedang terjadi proses tawar menawar tentang mahar itu.  Apa berita itu benar atau hanya rumor yang dilontarkan mereka yang tidak senang, saya juga tidak tahu.  Moga-moga saja tidak benar.  Masak harus begitu.

Juga ada berita selentingan di koran, konon sedang ada upaya barter.  Kebetulan calon kuat tanpa pesaing di kabupaten A beda partai pengusung dengan di kabupaten B.  Katakanlah calon di kabupaten A didukung oleh partai X, sedangkan di kabupaten B didukung oleh partai Y.  Maka partai X dan Y sedang mencari cara barter, mengupayakan calon boneka agar calon kuatnya segera jadi bupati/walikota.  Apa berita itu benar atau hanya rumor yang dilontarkan mereka yang tidak senang, saya juga tidak tahu.  Moga-moga saja tidak benar.  Masak harus begitu.

Ada lagi rumor yang mengatakan, di kabupaten/kota itu hanya ada satu calon karena partai-partai yang tidak mendukung calon kuat itu sengaja tidak mengajukan calon, agar pilkada ditunda tahun 2017.  Nah, jika ditunda 2 tahun diharapkan popularitas calon kuat itu turun, sehingga ada peluang untuk menandingi dengan calon lain.  Bahkan ada yang berkelakar, siapa tahu setelah tertunda 2 tahun calon kuat itu fustrasi terus sakit-sakitan. Apa berita itu benar atau hanya rumor yang dilontarkan mereka yang tidak senang, saya juga tidak tahu.  Moga-moga saja tidak benar.  Masak harus begitu.

Secara jujur saya dan keponakan saya itu faham apa yang sebenarnya terjadi.  Kami hanya berpikir apa yang ada di benak para politisi di kabupaten/kota itu bahkan politisi penyusun undang-undang.  Bukankah tujuan akhir pilkada itu untuk mendapatkan pimpinan daerah yang terbaik, sehingga mampu memajukan daerahnya?   Jika itu benar, bukankah seharus itu yang dicarikan jalan dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai panduan pilkada.  Tentu tata cara harus mendukung tercapainya tujuan itu.  Sekali lagi saya tidak tahu bagaimana caranya.  Mungkin para politisi dan ahli ilmu politik yang dapat menjawab.

Saya hanya khawatir dengan teman-teman guru, khususnya guru PPKn.  Bagaimana mereka menjelaskan jika ada murid yang bertanya, pak/bu guru mengapa hanya ada satu calon?  Mengapa partia politik lain tidak mengajukan calon?  Mengapa undang-undang tidak membolehkan hanya satu calon?  Semoga guru PPKn punya kiat untuk menjawabnya.

Tidak ada komentar: