Sabtu, 01 Agustus 2015

SEPAK BOLA ITU POTRET KITA



Editorial Jawa Pos tanggal 1 Agustus 2015 mengeluhkan persepakbolaan kita dikaitkan dengan informasi moral hazard.   Setelah digoncang oleh info suap menyuap untuk mengatur pertandingan (match fixing), kini ada gocangan baru tentang upeti wasit kepada komite perwasitan agar sering diberi penugasan.  Di akhir editorial, Jawa Pos mempertanyakan banyaknya kalangan yang ingin menangani pengelolaan sepak bola.  Dipertanyakan jangan-jangan mereka itu ingin mengelola persepakbolaan bukan sebagai bentuk perjuangan memajukan sepak bola tanah air tetapi malah mencari sesuatu di sana.

Jujur saya sedih jika informasi itu benar.  Saya berdo’a semoga itu tidak benar.  Selama ini saya hanya mempertanyakan mandegnya prestasi sepak bola kita dan itu semata-mata karena kurang pandai bekerjasama.  Biasanya itu saya jadikan joke kalau sedang mengisi pelatihan atau seminar tentang pendidikan karakter.  Semua pemain sepak bola ingin membuat gol. Akibatnya gol malah tidak terjadi, dan kita yang kemasukan gol.  Nah kalau gol ke gawang kita itu sengaja dibiarkan atau bahkan dibuat karena demi uang bertapa sedihnya kita.  Apalagi jika ternyata yang demi uang itu tidak hanya pemain, tetapi juga wasit dan para pengurus organisasi sepak bola.

Saya teringat peristiwa awal tahun 2000an.  Waktu itu ada teman dekat yang sedang mencalonkan diri menjadi ketua pimpinan daerah Tk 1 Jawa Timur untuk partai politik tertentu.  Hampir setiap akhir minggu teman tadi berkeliling ke kabupaten-kabupaten untuk kampanye.  Istilahnya turba mengadakan pendekatan ke pimpinan daerah Tk 2.  Saya bertanya tidak capek?  Jawabannya sunggug mengejutkan bagi saya.  “Capek fisiknya sih sudah biasa”.  “Yang lebih capek itu kantongnya”.  Saya berkomentar “lho kok gitu” dan dijawab “kalau datang orang tok, mereka bilang kecut”. “Jadi yang mesti ada amplopnya”.

Waktu itu saya kaget bukan main.  Bayangan saya menjadi atau bahkan memimpin partai politik itu suatu perjuangan.  Memperjuangkan suatu ideologi atau gagasan untuk memajukan negara.  Nah kalau ternyata untuk menjadi pimpian daerah Tk ! partai politik harus “menyuap” terus dari mana uang itu dapat kembali?  Tentu selama menjadi ketua itu dapat uang yang cukup banyak.  Terus dari mana?  Kan partai politik bukan PT atau lembaga bisnis yang punya penghasilan.

Saya juga pernah membaca uangkapan seorang tokoh suatu partai politik Jawa Timur yang konon sebelumnya orang biasa.  Tentang setelah menjadi pimpinan partai politik dan menjadi anggota DPRD beliau kaya raya. Konon suatu saat ditanya wartawan, bagaimana beliau menjadi kaya raya dalam waktu singkat.  Beliau menjawab, kalau ingin kaya yang harus terjun ke politik dan menjadi pimpinan partai politik.  Jujur waktu itu saya bingung memahaminya.

Sesudah “agak pandai” dan ada teman yang menjadi bupati, saya bertanya “habis berapa?”.  Karena teman baik dan teman main waktu kecil, dia menjawab “gak ngitung, tapi yang sekitar 7 milyar”.  Saya kaget, karena teman itu tidak termasuk kaya.  “Terus dari mana kamu dapat uang segitu?”.   Dijawab “saya sih hanya keluar sedikit”.  “Sponsor yang banyak”.  Dialog sambil minum kopi itu memberi pelajaran kepada saya.  Ternyata pengusaha yang menyeponsori teman main kecil saya dan akhirnya betul-betul menjadi bupati.  Waktu itu saya menerung, 7 milyar rupiah dan bupati itu masa jabatannya 5 tahun.  Berarti sponsor tadi harus mendapat ganti 1,5 milyar dalam satu tahun. 

Ternyata saya memang bodoh.  Ketidakpercayaan terhadap cerita teman itu menjadi terang benderang ketika membaca proses pengadilan Anas Urbaningrum.  Menurut koran untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengeluarkan uang milyaran rupiah.  Sekali lagi menurut koran uang itu yang didapat dari hasil korupsi. Anda dapat membayangkan, bagaimana nanti mendapatkan gantinya.  Mengikuti berita di koran, saya menjadi sedikit lebih faham.  Menurut koran, dengan menjadi pimpinan partai politik orang dapat melobi atau bahkan menekan pejabat tertentu atau pengusaha tertentu untuk mendapatkan sesuatu.  Sekali lagi saya berdo’a semoga informasi itu tidak benar.

Sekarang saya mencoba merangkai logika informasi itu.  Kalau menjadi bupati agak logis dapat berbuat ini dan itu, karena memiliki kewenangan di daerahnya.  Kalau menjadi pimpian partai juga agak masuk akal kalau mampu melobi dan mungkin menekan pejabat ini dan itu karena kewenangan politiknya.  Nah kalau pengurus persepakbolaan apa ya yang dilakukan?  Saya masih belum mengerti dan semoga info miring itu tidak benar.

Sebagai seorang guru saya jadi bertanya, sudah sedemikian rusakkah moral kita?  Apakah itu yang dimaksud almarhum Prod Sumitro Joyohadikusumo bahwa lebih dari 30% anggaran pembangunan di Indonesia itu bocor?  Apakah itu yang menyebabkan negara kita tidak maju-maju?   Apakah betul problem utama negara itu karakter atau akhlak kita?

Rasanya para negarawan perlu memikirkan itu.  Para sosiolog, psikolog perlu memikirkan itu,  Dan kita semua, khususnya para pendidik perlu memikirkan bagaimana memperbaikinya.  Mungkin kia perlu belajar dari Singapura, Cina dan negara lain.  Pengalaman Singapuran dan Cina dalam menerapkan hukum tegas terhadap praktek korupsi perlu menjadi pelajaran.  Di samping itu untuk menyiapkan generasi “baru”, kita juga perlu belajar dari Jepang, yang sejak awal anak-anak dikenalkan hak dan kuwajiban.  Tidak boleh hak kita melanggar hak orang lain.  Semoga.

Tidak ada komentar: