Senin, 10 Agustus 2015

REMUNERASI, JOB VALUE DAN SINGLE SALARY SYSTEM



Suatu saat Prof Fasich yang waktu itu masih menjabat Rektor Unair mengatakan kalau pola penggajian di Indonesia kurang baik.  Ketika orang sudah pensiun dan tentu saja usianya sudah lanjut, penerimaan pensiuan sangat kecil.  Pada hal secara umum pensiunan sudah menderita penyakit degeneratif karena fungsi organ tubuh tidak dapat berfungsi maksimal seperti waktu muda.

Teman saya yang berkebangsaan asing juga heran melihat gaji saya.  Bukan dari jumlahnya yang sangat kecil dibanding mereka, tetapi karena begitu banyak komponennya.  Ada gaji pokok, ada tunjangan beras, ada tunjanan isteri, ada tunjangan anak, ada tunjangan pengganti pajak, ada tunjangan fungsional, ada tunjangan profesi dan sekarang ada tunjangan guru besar.  Konon kalau di negaranya gaji ya hanya satu komponen gaji saja.

Repotnya kalau pensiun semua tunjangan hilang dan pensiunan hanya menerima sekitar 75% dari gaji pokok.  Itulah yang dikatakan oleh Prof Fasich tidak bagus, karena ketika sudah tua dan sangat mungkin tidak begitu sehat penerimaan pensiun justru sangat kecil.  Pada hal saat itu, tentu sudah tidak mudah mencari sambilan karena faktor usia.

Bagaimana dengan di luar negeri?  Saya tidak faham. Namun besan saya yang berkebangsaat Inggris dan tinggal di Scotlandia keduanya pensiunan.  Yang laki-laki pensiunan perawat psikiatri dan yang perempuan pensiuan perawat bedah.  Sepertinya mereka hidup berkecukupan.  Mereka tidak perlu bekerja dalam arti mencari uang setelah pensiun.  Memang mereka masih bekerja paruh waktu dan itupun sifatnya volunter dan tidak menerima gaji.

Apa uang pensiunnya cukup?  Saya tidak tahu pasti, tetapi yang jelas mereka hidup dengan baik dan sering berlibur ke luar negeri.  Kalau ke Indonesia menginapnya di hotel berbintang 4 atau bintang 5, bahkan sempat rekreasi ke Bali atau daeah lain.  Jadi saya dapat menduga uang pensiunnya cukup atau mereka punya tabungan yang dikumpulkan ketika belum pensiun.

Akhir-akhir ini di instasi pemerintah dimunculkan istilah remunerasi yang saya tafsirkan pemberian tambahan gaji berdasarkan bobot pekerjaan.  Jadi setiap jenis pekerjaan akan dihitung nilai bobotnya dan berdasarkan bobot itu yang bersangkutan akan mendapatkan tambahan tunjangan remunerasi.  Namun sekali lagi, yang diterima adalah tunjangan yang otomatis akan hilang saat pensiun.  Jadi remunerasi meningkatkan penerimaan gaji tetapi tidak akan menambah penerimaan pensiun.

Job value dihitung berdasarkan banyak variabel, tetapi intinya adalah seberapa besar tanggung jawab yang diemban, seberapa besar kontribusi jabatan/pekerjaan itu terhadap performance instansinya dan seberapa berat tugas yang diemban.  Variabel-variabel itu diberi skor sehingga setiap jabatan akan memiliki job score.  Nah berdasarkan job score itu, setiap jabatan dikategorikan menjadi beberapa grade (jenjang). Di Indonesia ditentukan ada 17 grade, mulai grade 1 sampai grade 17.  Jabatan setingkat dirjen adalah yang tertinggi sehingga berpeluang masuk grade 17, karena meneri bukankah pegawai biasa.  Namun tidak otomatis, karena bisa saja sama-saa dirjen tetapi job valuenya tidak sama, karena memang bobot ketika variabel tadi tidak sama.

Untuk pegawai negeri biasa yang arahnya ke struktural relatif lebih mudah menghitung job scorenya.  Namun untuk pegawai dengan jabatan fungsional tidak sederhana.  Apalagi jika harus dibandingkan dengan pegawai biasa.  Dosen dan penelitian contohnya.  Tidak mudah membandingkan skot pekerjaan dosen dan peneliti dengan pekerjaan administrasi.  Contoh paling ekstrem adalah peneliti atau dosen Matematika.  Penelitiannya tidak memerlukan banya alat dan ketika bekerja lebih banyak duduk dan merenung, tetapi itu pekerjaan yang sangat sulit dan bahkan tidak banyak yang mampu mengerjakan.  Nah tentu tidak mudah membandingkan job score dosen/peneliti seperti itu dengan misalnya tukang las yang jelas produknya dan keluar keringat saat bekerja.

Karena itu sering terjadi ketidaksepahaman ketika penyusuna job score antara beberapa orang dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda.  Memang ada sandaran yang dapat digunakan, yaitu jenjang karier.  Jenjang karier tertinggi peneliti adalah APU (ahli peneliti utama) dan jenjang karier tertinggi dosen adalah profesor. Oleh karena itu APU dan Profesor dapat mencapai golongan IVD dan IVE.  Itu setara dengan eselon IA dan IB yang diduduki oleh pejabat setingat dirjen.

Namun kembali dipertanyakan, apakah tanggung jawab dan kontribusi APU dan Profesor setingkat dengan dirjen.  Nah sekali lagi disini akan timbul perbedaan tafsir.  Kontribusi APU dan Profesor tidak tangible seperti kontribusi dirjen.  Demikian pula tanggung jawabnya.  Mengapa, karena kontribusi dan tanggung jawab APU dan Profesor harus dilihat dalam kerangka jangka panjang, yaitu penemuan ilmiah dan penyiapan SDM masa depan.  Nah, itu yang tidak mudah difahami oleh mereka yang tidak mendalami kedua profesi itu.

Remunerasi yan sekarang sedang didorongkan tampaknya juga hanya masalah transisi, karena saat ini sedang diwanakan apa yang disebut single salary system.  Dengan pola gaji tunggal, maka setiap jabatan punya job score yang kemudian dikonversi menjadi besaran gaji.  Dengan demikian penghitungan job score harus dilakukan dengan benar, agar tidak menimbulkan masalah di kemdian hari.  Dengan pola gaji tunggal, mudah-mudahan berdampak baik bagi pensiunan, karena uang pensiun dihitung berdasar gaji total dan bukan hanya gaji pokok.  Semoga itu menjadi angin segar bagi pegawai di Indonesia

Tidak ada komentar: