Rabu, 26 Agustus 2015

KELIRU NAIK BIS DI EDINBUGH



Pada hari kedua di Edinbrugh saya dan isteri diajak oleh Kiki, anak sulung saya untuk jalan-jalan.  Kebetulan cuaca sangat baik, sehingga rugi kalau hanya di rumah. Rumah anak saya sekitar 15 menit dari pusat kota.  Menantu tidak bisa cuti, sehingga jam 07.00 sudah berangkat ke kantor dan tidak ikut jalan-jalan.  Setelah sarapan pagi, dengan “nasi goreng ayah” kami bertiga berangkat.

Dari kompleks perumahan, kami menyeberang jembatan kayu untuk melintasi rel kereta api menuju jalan raya.  Kami naik bus menuju kota.  Karena memang tujuannya jalan-jalan dan belum ada keputusan kemana kami akan pergi, kami membeli tiket untuk satu hari seharga 4 pound per orang.  Kami turun di pusat kota dan melihat-lihat orang lalu lalang yang sangat banyak.  Juga banyak anak-anak muda yang menawari ini dan itu, khususnya tiket show mereka selama festival.

Setelah cukup melihat sana-sini, kami bertiga masuk ke toko buku Waterstones.  Saya sudah beberapa kali ke toko buku itu dan biasanya selalu menemukan buku yang menarik.   Harganya juga terjangkau.  Begitu masuk dan melihat di rak new arrival, saya menemukan dua buku yang sangat menarik, yaitu The Organized Mind tulisan Daniel Levitin dan How not to be Wrong tulisan Jordan Ellenberg.  Saya ambil dua buku itu dan setelah keliling menemukan lagi buku kecil berjudul The Decision Book tulisan Mikael Krogerus dan Roman Tshappeler.   Jadi saya membeli tiga buku yang sangat menarik.

Dari toko buku Waterstones kami jalan ke taman kota.  Disitu saya melihat sesuatu yang sangat menarik, yaitu “orang yang mengawang dengan hanya berpegangan pada sebuah tongkat.”  Banyak orang yang menonton sambil lewat dan memberi sumbangan koin pada tempat yang disediakan.  Jadi sebenarnya itu orang ngamen dengan pertujukkan tertentu dan mengharapkan orang memberikan uang recehan.

Secara teknologi saya memahami, karena pastilah yang tampak seperti tongkat itu batang besik yang kokoh dan di balik baju karung goni sluwir-sluwir itu akan besi yang menopang dirinya.  Namun tetap saja , orang harus mampu menjaga keseimbangan agar ketika bergerak-gerak, tidak menggoyang batang besi yang menopangnya.  Anak saya mengatakan pernah melihat ketika pengamen seperti itu menata perlengkapannya.  Jadi dugaan saya benar.

Ketika arloji menunjukkan hampir pukul 12 dan perut terasa lapar, kami bertiga mencari tempat makan, karena sesudah itu ingin ke garden center untuk membeli tanaman untuk berkebun besuk pagi.  Kami menemukan Knight Cafe, sebuah restoran African food.  Saya dan isteri memesan sandwich dengan isi scamble eggs plus tomat dan terong.  Anak saya memesan sup jagung dan chip ketela.  Ternyata makanan enak sekali. Bumbunya sangat terasa dan tidak plain seperti masaka Eropa.

Selesai makan, kami masuk ke toko buku yang lain yaitu Blackwell, toko buku besar dan sangat terkenal.  Karena sudah tahu kalau toko buku ini khusus untuk buku-buku akademik dan tempatnya sudah diklasifikasi, maka segera saja saya masuk ke bagian Education dan Management.  Di bagian Education saya menemukan buku Learning to Teach the Primary School dengan editor Teresa Cremin dan James Arthur.  Saya tidak ahli dalam bidang itu, tetapi buku ini edisi ketiga, sehingga saya yakin bagus dan akhirnya saya beli dengan maksud untuk perpustaan Pascasarjana.

Pada bagian Management saya menemukan buku Leadership tulisan Peter G. Northouse, Edisi ke 7.  Bukunya dibungkus plastik dan tidak boleh dibuka.  Harganya sangat mahal 55 pound atau setara dengan 1,1 juta rupiah.  Saya penasaran, mengapa begitu mahal dan tidak boleh dibuka?   Sampai edisi ke 7 dengan harga yang fantastis, sehingga saya yakin buku bagus dan akhirnya saya beli dengan maksud untuk perpustakaan pascasarjana.

Setelah makan siang dan sudah membeli 5 buku, kami memutuskan untuk pergi ke Garden Center untuk membeli beberapa bibit tanaman dan ditanam besuk pagi.  Lokasi Garden Center agak keluar kota, sehingga kami naik bus.  Melalui HP, Kiki mendapatkan bus nomor 31 yang melalui Gardern Center.  Setelah naik dan bus berjalan lumayan lama, kami sampai pinggiran kota dan melihat ladang gandum, kentang dan bahkan peternakan sapi.  Namun Kiki mulai ragu-ragu karea bus terlalu jauh ke luar kota.  Akhirnya Kiki bertanya kepada sopir, saat bus berhenti di halte.  Nah, saat ini kami baru tahu kalau keliru naik bus.  Memang dulu, bus nomor 31 melewati Garden Center, tetapi sekarang tidak lagi karena melalui jalan baru.  Akhirnya saya turun dan disarankan menunggu bus nomor 29 di halte depan supermarket Tesco.

Untunglah sopirnya baik mau menunjukkan.  Juga setelah turun dan bertemu dengan beberapa orang di halte, mereka menjelaskan sebaiknya naik bus 39 dulu ke Tesco karena jaraknya agak jauh. Nanti di depan Tesco akan ada bus nomor 29 yang lewat.  Betul juga kami naik bus nomor 39 dan pindah ke nomor 29 untuk sampai ke Garden Center.

Garden Center mirip dengan Trubus tetapi sangat besar. Yang dijual berbagai jenis bibit tanaman, mulai bunga-bunga-an, tanaman buah, bambu dan banyak lainnya.  Anak saya membeli bibit tulip dan dafodil, sedangkan saya sendiri memberi biji sweet pepper untuk ditanam di Surabaya.

Sambil naik bus pulang, kami saling berkelakar lha sudah tinggal di Edinbrugh 8 tahun tetapi masih bisa keliru naik bus.  Pada hal tadi memilih bus dengan melihat informasi di internet.  Tenyata informasi di internet tidak memuat perubahan rute bus nomor 31, sehingga kami kesasar.  Tetapi untunglah sopirnya baik dan penumpang yang sama-sama menunggu bus juga sangat baik.  Semoga kebaikan mereka merupakan amal yang mendapat imbalan berlipat dari Yang Maha Bijaksana.

Sekitar pukul 17.15 sampai di pusat kota, kami turun dan bermaksud mencari bus yang lewat dekat rumah anak saya.  Namun, ya ampun kota sangat-sangat ramai.  Trotoar penuh orang, ada yang berdiri foto-fotoan, ada yang berjalan pelan-pelan sambil melihat-lihat, ada orang yang berjalan cepat dan tampak pulang kantor dan banyak orang yang menawarkan ini dan itu, serta di tepi jalan banyak orang yang melakukan atraksi macam-macam.  Benar-benar menggambarkan suasana festival.

Sementara itu di jalan kendaraan sangat ramai atau bahkan dapat disebut macet.  Ada empat bus yang antre masuk halte tetapi kesulitan.  Di persimpangan mobil-mobil saling mengunci, karena lampu sudah merah tetapi belum dapat keluar persimpangan akibat di depannya ada kendaraan lain.  Untunglah budaya tertib sudah mapan, sehingga walaupun tidak ada polisi, lalu lintas tetap berjalan walaupun sangat-sangat lambat.

Akhirnya kami memutuskan naik taksi, walupun masih punya tiket yang berlaku hari itu.  Kalau menunggu bus kawatir lama dan keduluan menantu sampai di rumah.  Pada hal, rencananya begitu sampai rumah akan menyiapkan makan malam dan kemudian makan malam bersama sambil ngobrol.  Alhamdulillah, dengan baik naksi kami sampai di rumah sekitar pukul 18.15an.  Segera sholat dhuhur ashar dijamak, karena baru magrib sekitar pukul 21. Anak dibantu isteri menyiapkan makan malam dan begitu menantu datang, kami makan malam bersama. Kesasar naik bus menjadi bahan ngobrol yang mengundang tawa bersama.

Tidak ada komentar: