Minggu, 09 Agustus 2015

DITANGKAP POLISI YANG BAIK



Tanggal 9 Agustus pagi saya punya acara bertumpuk.  Sepulang dari Jakarta sudah sekitar pukul 19an, isteri saya menyodorkan beberapa surat.  Salah satu diantaranya Hala Bilhalal dengan keluarga dari almarhum bapak mertua.  Namanya IKKS dan dilaksanakan di Dukuh Kupang X.  Tahun lalu saya dan isteri sudah tidak dapat datang, sehingga merasa harus datang.  Apalagi saya dan isteri satu-satunya anak almarhum bapak mertua yang tinggal di Surabaya, sehingga kalau tidak datang berarti tidak ada yang mewakili beliau.

Pada hal saya sudah janji untuk bertemu dengan Pak Haryono, yang saya duga ada hubungan kekerabatan tetapi belum pernah bertemu.  Tahunya melalui cerita Bu Lutfi, bahwa mertua beliau punya saudara bernama Haryono pensiunan AL dan konon kenal dengan saya.  Kalau saya lupa atau merasa belum kenal, beliau minta disebut nama Mbah Rasmani.  Saya langsung ingat, karena Mbah Rasmani selalu masih kerabat juga guru SD saya.

Saya juga masih ada rencana ke Pandaaan untuk suatu urusan yang tidak dapat saya tunda.  Akhirnya saya minta anak saya laki-laki yang kebetulan sedang ke Malang untuk singgah di Pandaan menyelesaian urusan saya, sehingga saya sendiri tinggal mengatur acara ke Hala Bilhalal IKKS dan bertemu Pak Haryono di rumah ibu mertua Bu Lutfi.  Nah, karena acara IKKS dimulai pukul 9.30 sementara janji saya bertemu Pak Haryono pukul 10.00, maka saya menilpun Bu Lutfi mohon maaf baru bisa datang jam 11an.

Saya dan isteri tiba di Hal Bilhalal IKKS sekitar pukul 9.45, karena harus berputar-putar mencari jalan akibat jalan Dukuh Kupang Raya ditutup untuk kegiatan masyarakat setempat.  Pukul 10.45 terpaksa pamitan dan oleh tuan rumah dipaksa minum es buah dulu.  Selesai minum segera meluncur dan betul Pak Haryono sudah menunggu.  Bahkan ada dua adik beliau, Pak Wasis dan Pak Wikan ikut hadir.  Juga ada Pak Sumardi yang ternyata teman saya di SMP dan STM dulu.

Jadilah semacam reuni kecil.  Memang saya tidak pernah ketemu Pak Haryono ketika masa anak-anak, karena usia sekitar 6 tahun di atas saya dan sejak SD sudah meninggalkan kampung saya untuk tinggal di Ngawi.  Ternyata beliau itu masih kerabat dengan Ibu Kusnadi, mertua Bu Lutfi.  Jadilah gadeng-menggandeng yang lucu.  Pak Haryono kerabat saya dan belau juga kerabat Mas Ayik, suami Bu Lutfi.

Sekitar pukul 13, setelah makan siang kami pamitan.  Sebenarnya daerah itu tidak asing bagi saya, karena dekat rumah Pak Karmin, teman satu jurusan di Unesa.  Namun sudah lama tidak pernah kesitu dan situasi sudah jauh berubah.  Oleh karena itu saya agak kikuk mencari jalan pulang.  Ketika keluar dari kompleks dan berjalan menyusuri jalan Karah tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi di belakang saya.  Saya pikir, kalau Pak Polisi mau nyalip, sehingga saya minggir dan berhenti.  Tetapi saya lihat dari kaca spion mobil polisi itu juga berhenti.  Jadi saya menduga tidak mau menyalip.

Saya melaju lagi pelan-pelan, tetapi isteri saya memberi tahu kalau sepertinya Pak Polisi perlu saya, buktinya turun dan jalan menuju kami.  Saya meminggirkan mobil dan masuk ke halaman orang karena jalan sempit.  Saya turun dan betul Pak Polisi mendekat dan bertanya, “apa saya tidak tahu ada rambu jalan satu arah”.  “Bapak mau kemana?”.

Saya agak bengong dan menjawab “saya mau pulang, rumah saya tenggilis”.  Saya ganti bertanya “jalan mana yang satu arah?”.  Pak Polisi menjelaskan yang satu arah itu diantara dua jembatan rolak.  Saya bertanya lagi, “terus kalau dari Karah akan ke Ketintang lewat mana”.  Dijawab, “belok ke rolak dulu ke jalan Gunungsari terus balik lagi belok ke rolak sebelahnya”.  Saya manggut-manggut karena bingung.  Dalam hati saya bertanya, kasihan sekali orang Jambangan yang akan ke Ketintang, harus mutar ke jalan Gunungsari yang sering macet.

Dua Polisi yang masih muda itu seperti ikut bingung melihat saya yang tampak bingung.  Ketika ditanya surat-surat lengkap, saya jawab lengkap pak.  Saya ini guru, masak tidak taat aturan.  Jadi tadi saya benar-benar tidak melihat rambu.  Saya berikan STNK dan SIM.  Pak Polisi bertanya, mengajar dimana dan saya jawab saya mengajar di Unesa.  Sepertinya beliau faham kalau saya melanggar kaena tidak tahu, sehingga sambil menyerahkan STNK dan SIM berkata. “jalan itu searah ya pak, kalau lain kali lewat jangan melanggar”.

Sambil menyetir pulang saya berpikir, ternyata Pak Polisi tadi baik hati.  Mungkin melihat yang ditangkap orang tua, rambutnya sudah memutih dan guru lagi.  Mudah-mudahan beliau memang polisi baik hati dan bukan karena kasihan tidak menilang saya.  Mudah-mudahan beliau memang memahami saya tidak sengaja melanggar, sehingga layak dimaafkan dan bukan karena alasan lain.  Terima kasih Pak Polisi muda.

Tidak ada komentar: