Minggu, 08 September 2013

ADA APA GURU KITA? (Dimuat Jawa Pos, tgl 7 September, dg judul diubah sedikit)

Pemalsuan ijasah oleh guru yang ikut PLPG menarik perhatian banyak pihak.  Mendikbud akan memecat guru pemalsu ijasah jika yang bersangkutan PNS.  PGRI Jawa Timur akan menindak jika terbukti guru tersebut benar-benar memalsu.  Rektor Unitomo mengajak semua perguruan tinggi melawan pemalsuan ijasah.  Banyak pihak mengusulkan untuk meperkarakannya ke polisi.

Pemalsuan ijasah sebenarnya telah terjadi beberapa kali.  Bahkan pemalsuan sertifikat pelatihan dan seminar lebih sering terjadi.  Plagiat karya tulis juga sering terjadi.  Hampir setiap tahun, Unesa menemukan sertifikat palsu dan karya tulis plagiat dalam berkas sertifikasi guru. 

Kasus ini melengkapi kerisauan terhadap hasil UKA dan UKG yang sangat rendah.  Rata-rata skor UKA guru tahun 2012 hanya 41,53.  Naik sedikit pada thun 2013 tetapi tetap saja dibawah 50 yang artinya kompetensi guru dibawah 50% dari yang seharusnya.  Kalau kemudian ada yang memalsu ijasah, sertifikat dan karya tulus, makin lengkaplah masalahnya. Memang jumlah yang memalsu ijasah tidak banyak, tetapi tetap saja merisaukan.

Guru, kata pepatah Jawa, digugu lan ditiru.  Digugu artinya dapat dipercaya.  Ditiru artinya dapat menjadi teladan.  Guru yang memalsu ijasah tentu tidak memenuhi dua syarat tersebut.  Jadi eksistensi sebagai guru seperti itu perlu dipertanyakan.  Apalagi jika ingat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari.  Bagaimana perilaku siswa kalau gurunya memalsu ijasah, memalsu sertifikat dan memalsu karya tulis.

Pertanyaannya mengapa ada guru berperilaku seperti itu.  Jangan-jangan ada yang salah dalam pendidikan calon guru.  Jangan-jangan ada yang salah dalam rekrutmen dan pembinaan guru.  Menindak tegas mungkin membuat guru jera, tetapi jika penyiapan calon guru dan pembinaan mereka setelah menjadi guru tidak dilakukan dengan baik, masalah tidak akan selesai.

Negara-negara yang memiliki pendidikan bagus, seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia menerapkan seleksi ketat untuk masuk ke pendidikan guru, sehingga hanya mereka yang pandai yang diterima.  Selama pendidikan juga mendapat pembinaan sangat bagus.  Sehingga pantas kalau guru di negara tersebut sangat bagus.

Konon di Indonesia juga ada era pendidikan guru yang bagus.  Saat itu profesi guru cukup bergengsi, sehingga banyak anak muda ingin menjadi guru.  Hanya lulusan  SD dengan nilai bagus yang dapat masuk ke SGB dan hanya SMP dengan nilai bagus yang dapat masuk ke SGA.  Seorang pensiunan dosen ITS bercerita dulu tes masuk SGA tetapi tidak diterima dan akhirnya masuk SMA terus ke ITS.  Akhirnya menjadi dosen ITS. Dia bangga karena tetap menjadi guru, “walaupun” di perguruan tinggi.

Waktu itu siswa SGB dan SGA diasramakan, sehingga pembinaan perilaku dapat dilakukan secara intensif.    Prof. Wardani dari UT bercerita selama di asrama, cara berpakaian dan makanpun juga diajarkan, sehingga lulusan SGB dan SGA benar-benar menggambarkan sosok guru.  Wajar kalau lulusan SGB dan SGA menjadi guru yang hebat.  Prof. Tilaar, Prof. Rakajoni adalah dua contoh lulusan tersebut.

Namun seiring berjalannya waktu, pamor profesi guru merosot.  Akibatnya yang masuk ke SGA/SPG/IKIP/LPTK bukan lulusan SMA yang terbaik.  Apalagi jumlah LPTK berkembang sangat banyak, sehingga sangat mungkin yang masuk LPTK pada akhirnya mereka yang kurang baik potensi akademiknya. 

Pendidikan guru cenderung masal menyebabkan pembinaan sewaktu kuliah tidak efektif.  Apalagi hampir tidak ada LPTK yang mengasramakan calon guru.  Kalau toh ada asrama sifatnya umum bersama-sama mahasiswa jurusan lain.  Akibatnya asrama lebih menyerupai tempat kos. Dan produk LPTK yang seperti itulah yang sekarang menjadi guru di sekolah. Ditambah lagi rekrutmen guru baru seringkali juga kurang baik.  Jadi dapat difahami, jika kompetensinya kurang bagus dan ada yang berperilaku tidak baik.

Dua tahun terakhir ini minat menjadi guru meningkat tajam.  Tahun 2013 ini 69,4% pendaftar SBMPTN ingin menjadi guru.   Jika ini berlanjut, kita dapat berharap kualitas calon guru membaik.  Tinggal bagaimana proses pendidikan di LPTK juga ditingkatkan.  Belajar dari pendidikan guru di masa lalu dan juga di negara lain, asrama calon guru menjadi tuntutan penting.  Dan itu sebenarnya sudah diamanatnya pada pasal 23 ayat (1) Undang-undang Guru.  Dengan diasramakan, pembinaan calon guru dapat intensif menyentuh aspek karakter.

Pemalsuan karya tulis terjadi karena guru perlu karya ilmiah untuk naik pangkat dan untuk menambah poin dalam portofolio.  Namun pembinaan untuk menyusun karya tulis sangat kurang atau hampir tidak ada.  Akhirnya terjadi plagiasi, apalagi konon banyak orang yang “menawarkan” jasa  membuatkan dan ternyata hanya copy paste dari yang lain.

Pola pembinaan profesionalisme guru yang pernah dilakukan melalui program PKG sebenarnya cukup baik.  Saat itu satu minggu sekali, guru berkumpul di sanggar untuk membahas berbagai masalah yang dihadapi di sekolah, mempelajari materi ajar baru, menyusun makalah dan sebagainya.  Pada saat tertentu sanggar mendatangkan ahli yang relevan.  Sayang sekali program itu berhenti, ketika proyeknya habis.

Di era teknologi, sanggar dapat dihubungkan dengan universitas, P4TK dan LPMP yang memiliki pakar yang cocok.  Saat para guru berkumpul dan berdiskusi, pakar itu dapat membantu dengan melalui teleconference.  Toh teknologi seperti sudah tersedia dan murah biayanya.

Tidak ada komentar: