Minggu, 22 September 2013

BELAJAR KE EAGLE VIEW ELEMENTARY SCHOOL

Jum’at tanggal 20 September 2013 saya beserta rombongan diajak ke Eagle View Elementary School.  Pada awalnya saya agak malas.  Tempatnya agak jauh dan saya hari itu ingin ke KBRI, untuk melapor kepada Atase Pendidikan (Dr. Hary Winarso) tentang rencana saya MoU dengan NIU (Northern Illinois University) dan USU (Utah State University) minggu depan.   Tentu sambil sholat Jum’at dan yang tidak kalah “penting” ikut makan makanan Indonesia di KBRI.

Namun ternyata setelah ke Eagle View School rombongan akan ke KBRI juga.  Jadi akhirnya saya putuskan ikut, siapa tahu apa sesuatu yang menarik.  Eagle View Elementary School terletak di Fairfax County Virginia, kira-kira 1 jam perjalanan dengan mobil dari Georgetown Suites, hotel tempat saya menginap.  Fairfax terkenal sebagai daerah yang banyak penduduknya “non putih” dan konon banyak orang Vietnam yang tinggal di situ.  Pak Steve Anzelone, wakil president EDC, mengatakan banyak anak Vietnam yang masuk TK dengan tidak memiliki bahasa Inggris, tetapi ketika lulus SD menjadi juara.

Dan betul saat tiba di sekolah itu, kami disambut dan diajak diskusi oleh para guru.  Wakil kepala sekolahnya berkulit hitam.  Satu orang guru seperti berdarah Asia, kulitnya kuning dan rambutnya hitam.  Dua kelas yang sempat kami kunjungi, kelas 2 dan kelas 5 siswa “warna-warni”.  Di kelas 2, hanya ada 3 siswa yang “putih”.  Lainnya seperti India, China/Vietnam dan hitam.  Tentu itu hanya dugaan saya yang tidak pandai menebak asal usul orang.  Di kelas 5 kondisinya juga tidak jauh berbeda.  Artinya anak kulit putih jauh lebih sedikit dibanding yang non putih.  Jadi penjelasan Pak Steve terbukti.

Ketika mendengarkan penjelasan wakil kepala sekolah dan guru serta melihat kelas, saya sungguh mendapat pelajaran berharga.  Jadi tidak rugi saya ikut ke Eagle View Elementary School, walaupun harus naik bis selama sekitar 1 jam.  Mereka menjelaskan bahwa yang ingin dicapai sekolah itu adalah mengembangkan kompetensi anak sebagai critical thinker, creative thinker, problem solver dan behave properly.  Dan itu dikaitkan the real world agar menjadi life skills.   Tugas guru bukan menyuapi anak dengan pengetahuan tetapi sebagai master of facilitator.

Penjelasan tersebut tidak aneh, walaupun relatif baru.  Buku-buku semacam The Global Achievement Gap oleh Tony Wager, The 21st Century Skills oleh Bernie Trilling dan How Asia Can Shape the World oleh Jorgen Moller sudah menjelaskan itu panjang lebar.  Namun yang ingin saya tahu bagaimana itu dapat diterapkan di TK dan SD.  Oleh karena itu ketika penjelasan guru begitu panjang, saya menyela: “Excuse me, do we have opportunity to visit class?”.  Dan dijawab: “Sure, but we have to wait until the class start in the next ten minutes”.   Ternyata memang sudah dirancang kami akan diajak melihat beberapa kelas.

Sambil menunggu waktu, saya pura-pura ke kamar kecil tetapi sebenarnya ingin melihat macam-macam yang dipajang di dinding lorong sekolah.  Seperti biasanya sekolah di negara maju (dan juga beberapa TK dan SD di Indonesia) dinding dipajangi karya siswa.  Ada 3 pajangan yang menarik.  Pertama, tayangan yang sepertinya untuk pendidikan karakter.   Ditulis di kertas buffalo kuning dengan judul “SOS Walkways” dengan gambar tiga burung yang sedang berjalan beriringan.  Tulisan dibawahnya berbunyi:  SELF: walk safely, takes shortest route. OTHERS: watch, walk and whisper.  SORROUNDINGS: stay to the right, keep it clean, stop at stop signs.  Ada lagi yang berbunyi: SELF: do you best, be on task, be honest, be responsible, make healthy choices. OTHERS: care for and help others, be a peace and keeper, respond to quiet signal, be courteous. SURROUNDINGS: keep it clean, respect the earth, care for your share.  Cara yang bagus untuk secara terus menerus mengingatkan anak-anak bagaimana sebaiknya perilaku kita.

Kedua, sedertan pajangan yang ditulis siswa.  Ditengahnya ada tulisan di kertas biru berbunyi: OUR HOPES and DREAMS.  Di sekitarnya ada tempelan kertas folio dengan tulisan print out komputer: I hope …………………………..  Titik-titik itu sepertinya diisi oleh siswa dengan tulisan tangan dan diberi gambar.  Isinya macam-macam.  Sepertinya siswa didorong mengisi apa saja, sesuai dengan harapannya.

Ketiga, peta dunia yang diberi judul: WHERE IN THE WORLD ARE YOU. Kemudian ada foto siswa diberi nama dan diberi benang yang dihubungkan dengan lokasi tertentu di peta dunia.  Ada yang dikaitkan dengan Amerika Serikat, negara di Eropa, negara di Asia dan sebagainya.  Sepertinya siswa didorong untuk menyadari dari mana asalnya.

Contoh yang menarik, bagaimana pendidikan karakter dapat dimulai sejak dini.  Anak didorong untuk punya cita-cita (hopes and dreams) dan berani mengutarakan. Kata mereka setiap awal tahun siswa diminta untuk menulis harapan itu untuk 1 tahun ke depan.  Siswa didorong menyadari asal-usulnya tanpa rasa malu atau rendah diri. Siswa didorong untuk memegang perilaku yang seharusnya dilakukan, untuk diri sendiri, untuk teman dan untuk lingkungan.  Rasanya saya mendapat pelajaran yang sangat berharga.  Dan itu lebih mendorong saya untuk melihat proses pembelajaran di kelas.

Ketika mengunjungi kelas 5 siswa sedang membaca dan di mejanya ada selembar kertas yang dibagi menjadi dua kolom. Di bagia atas kolom kiri ada tulisan WHAT ARE YOU CONFUSED  dan untuk kolom kanan tertulis kalimat WHAT IS YOUR INNER VOICE.   Saya amati apa yang dilakukan siswa.  Ternyata setelah membaca mengisi kolom tersebut.  Apa yang dia masing bingung atau belum faham ditulis di kolom kiri dan apa yang komentar/kritik/dukungan ditulis pada kolom kanan.

Setelah selesai atau mungkin waktunya habis, siswa berkumpul duduk di karpet dan gurunya duduk di kursi di depan.  Ada dua orang guru lain, yang ternyata merupakan guru “khusus” yang bertugas membantu anak berkebutuhan khusus.  Misalnya slow learner dan yang belum pandai membaca. 

Apa yang dikerjakan?  Ternyata guru menayangkan lembar demi lembar dari bacaan di smart board.  Dan siswa diminta mengajukan apa yang belum difahami (what are you confused?) dan apa komentar/kritik (what is your inner voice).  Hampir semua anak mengangkat tangan setiap guru menanyakan.  Dan guru menanggapinya dengan bagus.  Jadi apa yang ditulis di kertas folio tadi diajukan secara lesan waktu itu.    Sunggguh contoh bagus, bagaimana mengembangkan critical thinking.

Ketika saya masuk di kelas 2, siswa sedang duduk di karpet dan guru memandu pelajaran.  Siswa ditanya bagaimana mendapatkan teman (how to get friends).  Dan bagaimana kalau ada orang lain yang mengajak berteman.  Anak kelas 2 tentu masih berusia sekitar 7-8 tahun.  Jawabannya macam-macam.  Namun tampak sekali guru mendorong anak-anak untuk mencari cara mendapatkan teman yang cocok. Mungkin itu bagian dari creative thinking.  Juga bagaimana kalau ada orang yang belum dikenal tetapi mengajar berteman.  Bagaimana kalau anak sebenarnya tidak senang.  Sepertinya kemampuan problem solving yang sedang dipupuk.

Di dinding kelas 2 juga ada pajangan yang tampak seperti buatan siswa.   Dalam kertas folio itu tertulis kalimat I AGREE BECAUSE…………  I DISAGREE BECAUSE…………  Saya tidak tahu bagaimana pelaksanaan pengsian titik-titik itu.  Namun dari tulisan yang ada saya menduga siswa diberi suatu contoh pendapat atau ungkapan dan diminta mengajukan pendapat setuju atau tidak setuju dan harus diberi penjelasan mengapa setuju atau tidak setuju.

Saya tidak sempat menanyakan apa kemampuan yang ingin dikembangkan dengan isian tersebut.  Namun saya meyakini itu untuk mengembangkan kemampaun berpikir tingkat tinggi (high order thinking).  Untuk mengerjakan isian tersebut, menutut Bloom anak harus berpikir sampai tahap evaluasi.

Melihat apa yang terjadi di Eagle View Elementary School jadi jadi tercenung.  Ternyata kita dapat mengembangkan kemampun berpikir tinggi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif dan memecahkan masalah pada anak-anak SD bahkan TK.  Saya jadi teringat apa yang saya lihat di kelas TK di Columbkille School di Boston.  Guru musik TK membawa gitar dan biola.  Anak diminta menunjuk apa yang sama dan apa yang beda.  Bukankah itu mengembangkan kemapuan analisis untuk anak kecil. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman tersebut.

Tidak ada komentar: