Minggu, 22 September 2013

KELEMAHAN KITA PADA IMPLEMENTASI

Setelah lima hari mengikuti serangkaian kegiatan di Boston dan Washington, serta mendengarkan berbagai kuliah/ceramah, mengunjungi sekolah dan kampus, saya menyimpulkan bahwa kelemahan kita lebih pada tataran implementasi.  Dalam tataran teori dan konsep rasanya kita sudah bagus. Hampir semua yang saya dengar dan saya lihat, kita sudah faham atau paling tidak sudah pernah mendengar teorinya.  Bahkan sudah pernah menerapkan tetapi kurang sungguh-sungguh atau tidak konsistem, sehingga tidak maksimal hasilnya.  Itulah simpulan yang saya sampaikan ketika diminta mewakili kelompok menyampaikan kesan dan rencana ke depan di kantor EDC (Education Development Centre) tanggal 20 sore hari.

Sebelum menyampaikan simpulan itu di forum, saya berbisik ke teman yang duduk di sebelah tentang joke tentang “ngomong dan berkerja”.  Ada pertanyaan, orang mana yang ngomongnya banyak dan bekerjanya juga keras.  Konon itu orang Amerika, banyak ngomong tetapi juga pekerja keras.  Orang mana yang ngomongnya sedikit tetapi kerjanya banyak.  Konon itu orang Jepang.  Sedikit bicara tetapi banyak kerja.  Orang mana yang ngomongnya banyak tetapi kerjanya sedikit.  Konon itu orang Arab.  Lha kalau orang Indonesia bagaimana?  Kalau kita, yang diomongkan dan yang dikerjakan berbeda.  Tentu itu hanya joke yang sensitif dan tidak benar adanya.  Namun maksud saya jangan sampai kita benar-benar seperti itu.  Pandai ngomong tetapi tidak pandai melaksanakan apa yang kita omongkan. Bukankah satunya perkataan dan perbuatan itu penting.

Mari kita cermati beberapa inovasi yang dilakukan di Amerika Serikat dan kita sebenarnya sudah tahu itu.  Pertama, konsep student centered dan perubahan paradigma dari teaching ke learning.  Kita sudah mengenal konsep ini bersamaan proyek CBSA tahun 1970an.  Pembelajaran dengan CBSA seakan mati ketika proyeknya selesai.  Tidak hanya diseminasinya yang berhenti, sekolah yang semula menerapkan itu seakan kembali ke pola semua guru ceramah.

Tahun 2006 kita mengembangkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan prinsip dasar, sekolah dapat menyesuaikan materi ajar dan cara belajar-mengajar agar sesuai dengan kondisi sekolah/siswa.  Konsep dasar yang digunakan sebagai dasar adalah perubahan paradigma pembelajaran dari teaching ke learning.  Sayangnya KTSP diterapkan dengan pola pembelajaran ceramah.

Konsep inilah yang sekarang diterapkan secara konsisten di 3 sekolah yang saya kunjungi (Columbkille School, Natick High School dan Eagle View Elementary School).  Siswa didorong untuk belajar dan berpikir.  Guru sebagai fasilitator dan lebih banyak mengajukan pertanyaan yang sifatnya membangkitkan siswa untuk berpikir dan berpendapat.  Misalnya, kepada anak kelas 2 diajukan pertanyaan “What will you do, if other child says will you be my friend?”, “Do you agree with this statement?”

Kedua, istilah keterampilan proses (process skills) sudah kita kenal sejak lama.  Ingat saya sudah digunakan pada Kurikulum 1974 atau 1984.  Konsep ini mengajarkan dalam pembelajaran, proses adalah sangat penting.  Hasil itu nomor dua.  Yang penting belajar bagaimana belajar (learning how to learn).   Saya yakin, sebagian besar guru kita, apalagi yang lulus kuliah sesudah tahun 1990an pasti mengenal istilah itu dengan baik.  Namun sayang, sepanjang yang tahu sebagian besar sekolah kita (termasuk Lab School milik LPTK) masih saja berorientasi kepada hasil (produk).

Nah, pola ini yang dianggap sebuah inovasi di 3 sekolah yang saya kunjungi.  Misalnya saya melihat di kelas 7 Columbkille School, anak didorong untuk membuat grafik hubungan antara lagu Justien Baber dengan jumlah kucing yang muncul ketika lagu itu diputar.  Demikian juga yang dilaksanakan di Eagle View Elementary School dalam mengajarkan anak membaca.  Siswa boleh membaca apa saja, tetapi dapat menyimpulkan apa isi yang dibaca.

Ketiga, pergeseran dari low order ke higher order thinking.  Sejak awal tahun 200an konsep ini marak dibicarakan dan kemudian dituangkan pada Kurikulum 2004.  Oleh karena itu, ranah penerapan, analisis, sintensis (menggunakan istilah Bloom) didorong untuk diutamakan.  Namun sayangnya, sampai saat ini belum banyak sekolah yang menerapkan.  Akibatnya, analisis Unesa terhadap hasil UN SMA 2009, 2010, 2011 soal-soal yang sifatnya analisis selalu “jelek” hasilnya.  Demikian pula soal ujian masuk PTN untuk IPA Terpadu yang menggunakan level analisis-sintesis sangat jarang anak yang betul jawabannya.

Ternyata di SD kelas awal, baik di Columbkille School maupun Eagle View School, pola itu sudah dimulai.  Anak diminta membaca dan membuat catatan “what are you confused” dan “what your inner voice”, pada dasarnya penerapan konsep tersebut. Anak didorong untuk berpikir sampai pada tahap analisis untuk dapat mengajukan pendapat atau kritikan.  Tentu disesuaikan dengan levelnya.

Ke-empat, pengembangan profesional guru.  Indonesia sudah punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk guru TK dan SD.  Konsepnya dalam MGMP dan KKG itu guru belajar bersama, saling bertukar pengalaman untuk mengembangkan profesionalitasnya.  Dan itulah yang sebenarnya diterapkan dalam PLC (Professional Learning Community) di sekolah-sekolah di Amerika Serikat.  Di Natick High School, setiap hari guru ikut PLC selama 45 menit.  Sayangnya MGMP dan KKG kita seakan lumpuh.  Kalau toh ada kegiatan, seringkali untuk menyusun RPP secara bersama yang kemudian saling meng-copy.


The devil is in the implementation.  Istilah yang dulu sering digunakan oleh Pak Wardiman Djojonegoro (mantan Mendikbud) mungkin cocok refleksi diri kita semua.  Kita tidak boleh hanya menyalahkan guru.  Kita harus mencari tahu mengapa guru dan sekolah kita seperti itu.  Jika itu dapat ditemukan, maka perubahan dapat dimulai dengan langkah yang lebih tepat.  Semoga.

1 komentar:

Maharti Rn mengatakan...

ijin share pak
untuk merefresh saya dan teman-teman
terima kasih