Pertanyaan tersebut
saya ajukan kepada beberapa teman, saat saya diundang ikut diskusi tentang guru
keahlian ganda pada SMK. Dengan
argumentasi kita kekurangan guru produktif di SMK, sementara formasi
pengangkatan guru sangat sulit dan ada kelebihan guru adaptif, maka muncul
gagasan untuk memberikan pelatihan guru adaptif tersebut menjadi guru
produktif. Misalnya guru Matematika atau
Fisika menjadi guru produktif bidang Kendaraan Ringan atau bidang Elektronika
atau yang lain. Guru Biologi menjadi
guru produktif bidang Teknologi Pertanian atau yang sejenisnya.
Di balik itu semua, sebenarnya
ada dorongan untuk mendukung Inpres no. 9 Tahun 2016 yang dikenal dengan Inpres
Revitalisasi SMK. Oleh karena itu ketika
kemudian Kemdikbud mendapatkan formasi guru, yang dilakukan bukan mengalihkan
program Keahlian Ganda ke rekrutmen guru baru, tetapi akan merekrut guru baru
lagi. Jadi program guru keahlian ganda
tetap berjalan.
Bahwa SMK kekurangan
guru produktif dan itu harus segera diatasi, saya faham. Yang saya sulit mengerti adalah kita selalu
“terkejut” dengan diri kita sendiri dan kemudian membuat crash program, yang
kita sama-sama faham hasilnya selalu kurang baik. Namanya saja crash program, yang kurang lebih artinya program darurat. Ibarat ada jembatan rusak, dibuatlah jembatas
darurat agar orang dan kendaraan tetap dapat lewat, walaupun tentu jembatan
darurat tidak ideal, karena sifatnya hanya untuk sementara.
Kalau kita cermati
kekurangan guru SMK itu ada hubungannya dengan kebijakan untuk meningkatkan
jumlah SMK agar perbandingan SMA:SMK yang semula 70:30 dibalik menjadi
30:70. Artinya jumlah SMK lebih dua kali
lipat dibanding SMA, dengan alasan kita memerlukan tenaga kerja terampil
tingkat menengah. Namun kebijakan yang
dimulai sejak era Mendikbud Prof Bambang Sudibyo itu terasa sangat
sektoral. Direktorat Pembinaan SMK
gencar mendorong Kabupaten/Kota untuk meningkatkan jumlah SMK. Bahkan ada istilah Kabupaten/Kota Vokasi dan
Kemdikbud dengan bangga menyebutkan bahwa “Kabupaten X” sebagai kabupaten
vokasi. Sayangnya program itu tidak
dibarengi oleh penyediaan guru. Nah,
sekarang kita dihadapkan pada kenyataan SMK kekurangan guru bidang produktif
dan kemudian membuat crash program. Jadi kekurangan guru produktif di SMK itu seharusnya
tidak memunculkan crash program jika
kita merencanakan pengemangan SMK dengan baik.
Apakah crash program hanya ada pada program
keahlian ganda? Setahu saya tidak dan
lebih membingungkan seringkali kita bangga membuat crash program dengan memberi
nama terobosan (break through). Program keahlian ganda ada terobosan untuk
mengatasi kekurangan guru produktif di SMK, PGSD Beasarama sebagai terobosan
mengasilkan guru SD yang baik dan sebagainya.
Merenungkan kejadian
itu saya jadi teringat seloroh adik saya tentang kebiasaan menurunkan berat
badan. Adik saya yang seorang dokter
bedah dan sangat memperhatikan penampilan itu bercerita, persoalan ibu-ibu
dalam menurunkan berat badan. Banyak
mereka yang inginnya instan. Berat
badannya turun dalam waktu singkat, tetapi pola instan seperti itu akan
menimbulkan efek samping dalam kesehatan.
Yang betul penuruan berat badan harus pelan-pelan tetapi konsisten.
Namun ada yang lebih
lucu. Setelah berat badannya turun,
ternyata kemudian naik lagi dan kemudian ribut untuk menurunkan secara instan
lagi. Mengapa begitu? Kata adik saya, karena setelah berat badannya
turun, pola makan yang semula direm begitu ketat kembali seperti semua dan
tidak terkontrol. Pada hal mengendalikan
asupan makanan agar kalori yang masuk seimbang dengan keluar itulah kunci
menjaga berat badan.
Apakah pola pikir
instan dan crash program hanya terjadi pada penurunan berat badan dan pengadaan
guru? Ternyata tidak. Coba kita ingat ketika rame-rame harga daging
sapi mahal. Apa yang kita lakukan? Pada
hal, teman saya bercerita kita dapat berhitung berapa kebutuah daging untuk
konsumsi kita dan dengan dasar itu dapat dibuat program jangka panjang untuk
memenuhinya. Masih banyak contoh lain.
Tampaknya crash
program lebih banyak disebabkan kita kurang baik dalam merencanakan sesuatu dan
kemudian ingin mengatasinya secara instan.
Pada hal kata orang bijak, “if you
fail to plan, you plan to fail”.
Artinya jika kita gagal atau tidak mampu merencakan dengan baik, sama
saja kita merencanakan kegagalan. Semoga
kita dapat segera mengakhiri pola pikir crash
program seperti itu.