Minggu, 26 Mei 2013

TERNYATA ANAK-ANAK ITU PINTAR

Sekitar empat bulan lalu saya mendapat informasi kalau Rois memenangkan lomba desain mobil Porsche dan akan diundang ke Jerman untuk menerima hadiah.  Bahwa Rois, lulusan S1 Senirupa Unesa yang saat ini sedang kuliah S2 Seni Budaya, pandai membuat lukisan saya sudah lama tahu.  Ingat saya, dia juga ikut rombongan kesenian ke Jepang tahun lalu, dengan tugas utama melukis anak-anak yang sedang menari.  Lukisan itu harus sudah jadi saat tarian selesai dan kemudian diberikan kepada pengunjung.  Saya juga sudah mendengar kalau Rois memang langganan juara dalam berbagai perlombaan yang terkait dengan lukis-melukis.

Namun demikian kalau dia menang lomba desain mobil, apalagi mobil Porsche yang terkenal sebagai mobil sport mewah dari Jerman tentu membanggakan.  Oleh karena itu saya mengabarkan berita itu kepada Bu Illah Sailah, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti.  Bu Illah minta cv dan nomor HP Mas Rois.  Tampaknya ada perhatian buat mahasiswa kreatif tersebut.

Belum dapat kabar kelanjutan hari kemenangan tersebut,  ternyata “Rainbag Design” buatan Rois juga menjadi finalis di Bag Design Competition bersama peserta dari UK, USA, Hungary, Estonia, Hong Kong dan India.  Rancangan tersebut dipamerkan Hong Kong Convention & Exhibition Hall.  Rasanya kita harus harus bangga.

Dua minggu lalu saya juga dapat kabar menggembirakan.  Mahasiswa Teknik Mesin Unesa memenangkan Lomba Karya Ilmiah tentang Bio Energi tingkat nasional di Pontianak dan mendapat undangan mengunjungi negara-negara di Asia, antara lain China, Thailand, Malaysia dan sebagainya.  Yang mengagetkan salah satu anggota Tim lulusan Madrasah Aliyah Lamongan.  Ketika menemui saya, saya goda: “Setelah kuliah di Unesa, alumni MA Lamongan dapat menjuarai Lomba Karya Ilmiah Bio Energi Tingkat Nasional, apa tidak hebat.”

Kabar gembira lain, rombongan kesenian Unesa yang tampil di Maroko mendapat juara pertama tingkat internasional.  Kabar yang tidak terduga, karena saat akan berangkat masih “maju-mundur”.   Rombongan tersebut berangkat dengan disponsori Ditjen Kebudayaan.  Namun seperti biasanya biaya yang tersedia hanya kecil, sehingga perlu dicarikan “akal” agar dapat berangkat dengan baik.

Hari Jum’at mobil listrik Garnesa-3 juga berangkat ke Malaysia untuk ikut lomba di sana.  Tentu dapat berangkat karena sudah melalui seleksi awal yang cukup ketat.  Saat memberangkatkan, saya sampaikan: “Apa tidak hebat, dengan fasilitas seperti ini, mobil listrik dapat berangkat ke Malaysia”.  “Gunakan semangat bambu runcing, yang dengan senjata seadanya dapat mengusir penjajah”.  Masih ada beberapa mahasiswa Unesa yang menjuarai beberapa kejuaraan, misalnya robot Dewa yang beberapa tahun lalu menang lomba tingkat nasional dan diikutkan lombta tingkat internasional di Amerika Serikat. 

“Atase” mahasiswa eks IKIP tetapi mampu memenangkan kompetisi tingkat nasional yang harus bersaing dengan mahasiswa sekelas ITB, ITS, UI, UGM dan sebagainya.  Ditambah lagi dosen muda Unesa (Dr. Suyatno) yang menemukan alat deteksi Tsunami yang konon lebih hebat dibanding alat yang saat ini sudah ada.  Beberapa dosen juga mendapat predikat cum laude saat menempuh S3.

Saya jadi berpikir, ternyata anak-anak itu pintar. Saya menyimpulkan di Unesa banyak mahasiswa  dan dosen muda yang pandai dan kreatif.  Kalau saya cermati, memang mereka bukan berasal dari SMA/SMK “top” dan bahkan sebagian besar dari SMA/SMK daerah.  Namun tampaknya mereka itu ibarat “mutiara terpendam”.  Karena berbagai hal, mulai dari SD sampai SMA/MA/SMK tidak berkesempatan memperoleh sekolah yang top.  Akibatnya tidak masuk atau tidak temotivasi masuk ke perguruan tinggi “besar”, sekelas UI, ITB, UGM, Unair dan sebagainya.


Mungkin itu “durian runtuh” bagi Unesa, mendapatkan anak-anak muda yang cerdas dan kreatif.  Anak-anak seperti itu biasanya memerlukan “ruang gerak” untuk mengekspresikan kreativitasnya.  Diluar matakuliah yang baku, tampaknya mereka perlu mendapatkan rangsangan dan pembinaan dalam menungkatkan ide-idenya.  Bahkan perkuliahan harus menumbuhkan rangsaangan tersebut.  Jika keingintahuan terdorong, daya nalar terasah dan kreativitas terwadahi rasanya anak-anak cerdas akan menjadi bibit-bibit jawara bagi bangsa Indonesia. Semoga.

Senin, 20 Mei 2013

PEMBALAP TIDAK PUNYA MOBIL BALAP, YANG PUNYA MOBIL BALAP TIDAK OPTIMAL PENGGUNAANNYA


Tanggal 14 Mei 2013 pukul 15an, rombongan dari Koni Jatim, Koni Kota Surabaya dan Dinas Dikpora Jatim datang ke Sport Science Center (SSC) Unesa.  Rombongan dipimpin oleh Ir. Erlangga Satriagung, Ketua Umum Koni Jatim.  Kebetulan beliau teman saya di banyak kegiatan sosial.  Pertemuan menjadi sangat santai diselingi kelakar segar, karena sudah saling mengenal.  Apalagi sebagian pengurus Koni sebenarnya juga dosen Unesa, yaitu dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan.

Pada awalnya tujuan utama pertemuan adalah mendiskusikan peluang para atlet Jawa Timur yang mendali PON untuk masuk ke Unesa.  Tahun 2012 sebenarnya hal itu sudah didiskusikan dan bahkan sudah dilaksanakan.  Namun baru dalam tahap uji coba dan sekarang ingin diformalkan dengan MoU.  Namun karena Unesa memiliki sarana Lab Keolahragaan yang cukup baik, sementara Koni Jatim ingin menerapkan iptek dalam pengembangan olahraga, maka diskusi kemudian juga membahas bagaimana Koni Jatim dan Unesa dapat bekerjasama.

Ketika diminta memberi sambutan di awal diskusi, saya menyampaikan untuk urusan peraih medali emas masuk ke Unesa itu mudah.  Bagi Unesa “ujian” untuk meraih medali eman di PON sudah dapat menggantikan tes masuk.  Kompetisi di PON itu ujian yang sesungguhnya, sedangkan SNMPTN dan SBMPTN untuk bidang olahraga itu sekedar prediksi.  Tentu prediksi tidak akan seakurat yang sesungguhnya.  Jadi Unesa siap menerima peraih medali emas di PON.

Tentang penggunaan peralatan, saya sampaikan bahwa semua peralatan di SSC Unesa adalah milik negara, Koni adalah organ negara, dan para atlet adalah petugas negara.  Jadi mari kita gunakan semua peralatan yang ada untuk pembinaan atlet, mari semua peralatan kita operasional bersama dan juga kita pelihara bersama. 

Pak Erlangga menyambut baik “uluran tangan” Unesa tersebut.  Apalagi setelah Prof. Hari Setijono memaparkan data kondisi atlet dan dikaitkan dengan peralatan yang dapat mengetes kondisi atlet dan sekaligus juga dapat meningkatkannya.   Data tersebut semakin meyakinkan perlunya menggunakan iptek (baca: peralatan di SSC) untuk memperbaiki kondisi atlet dan sekaligus meningkatkan prestasinya.

Setelah diskusi, rombongan meninjau SSC untuk melihat alat apa saja yang dimiliki dan apa kegunaannya.  Saya sendiri belum pernah melihat alat-alat yang dimiliki SSC secara detail, sehingga saya juga ikut rombongan melihat-lihat sampai di lantai atas.  Satu persatu perlatan dilihat dan dijelaskan apa gunanya dan bagaimana mengoperasikannya.  Termasuk apa sarana pendukung yang diperlukan agar penggunaan peralatan tersebut dapat optimal.

Mendapat penjelasan Prof Hari Setijono dan juga petugas yang menangani peralatan tersebut, rombongan termasuk saya “terkagum-kagum”.  Ternyata peralatan yang dimiliki sungguh sangat bagus dan mahal harganya.  Konon ada satu alat yang harganya 3 M.  Pada hal peralatannya cukup banyak.  Juga ada peralatan untuk uji renang yang arus airnya dapat diatur baik arah dan kecepatannya.  Dengan cara itu, penerang dapat berlatih di air dengan arus deras.  Konon alat tersebut juga untuk terapi bagi orang yang cedera tulang belakang.  Konon, ahli olahraga dari Autralia yang diundang untuk mendampingi Koni Jatim juga heran Unesa memiliki peralatan tersebut.  Australia Barat-pun belum memiliki beberapa peralatan canggih seperti yang dimiliki Unesa.

Nah, ketika dijelaskan apa sarana pendukung yang diperlukan agar peralatan tersebut dapat berfungsi maksimal, saya jadi tertegun.   Ada alat yang untuk mengoperasikan memerlukan daya 30 KVA, sehingga untuk itu diperlukan genset, karena daya listrik SSC tidak mencukupi.  Alat uji renang baru digunakan sekali, yaitu waktu uji coba saat serah terima dari pemborong.  Setelah itu belum pernah digunakan karena untuk mengoperasikan diperlukan daya listrik lebih besar lagi.

Melihat kondisi itu, saya jadi teringat kelakar yang sering saya munculkan kalau kebetulan lewat di depan rumah mewah, misalnya di Citraland Surabaya dan Pondok Indah Jakarta.  “Saya diberi rumah mewah itu tidak mau, karena takut tidak dapat membiayai pemeliharaannya”.  Bayangkan berapa untuk membayar listrik dan berapa untuk menggaji pembantu yang merawat rumah sebesar itu.  Saya takut Unesa juga tidak mampu memelihara peralatan itu, karena besarnya biaya operasional.

Sambil jalan saya berseloroh kepada teman-teman Koni, “ini ibarat si pembalap tidak punya mobil balap, sementara yang punya mobil tidak dapat menjalankan”.  Maksud saya, Unesa memiliki peralatan canggih tetapi tidak mampu menggunakan secara maksimal karena tidak memiliki anggaran, sementara Koni Jatim memerlukan peralatan tersebut dan punya anggaran tetapi tidak memiliki alat.  Nah, sangat bagus kalau bersinergi.  Kita gunakan bersama peralatan tersebut dan Koni dapat mendukung anggaran untuk mengoperasikan serta memeliharanya. 

Pagi ini, tanggal 21 Mei 2013 saya diundang sarapan pagi oleh Dr. Hallam Pereira, International Project Director dari Department of Sport and Recreation Australia Barat.  Dr. Harllam ditemani oleh Mbak Ririn, staf Koni Jawa Timur.  Seloroh di atas saya sampaikan ke beliau dan beliau mengatakan itu metaphora yang pas dan harus dipecahkan.  Sebagai orang yang menekuni pengembangan olahraga di negara maju, Dr. Harllam menyakinkan saya akan pentingnya menerapkan iptek dalam olaharaga.  Dia mencotohkan, bagaimana Australia negara “muda usia” dengan penduduk sedikit mampu bertengger di urutan atas dalam olimpiade.  Sementara negara yang sudah “tua” dengan penduduk besar seperti India, Mesin dan Indonesia dikalahkan.  Jawabannya karena Australia menerapkan iptek dalam pengembangan olahraga.  Dia memberikan banyak contoh.

Diskusi mengarah kepada satu pertanyaan, bagaimana cara meyakinkan pihak pengambil kebijakan, seperti Koni Jawa Timur, Dispora Jatim, dan Unesa untuk meniru pola tersebut.  Dalam taraf retorika sangat mudah.  Bahkan Gubernur Jawa Timur sudah menyebutkan hal itu pada pelatikan pengurus Koni Jatim tahun lalu. Namun implementasinya ternyata tidak mudah. Saya usulkan dibuat program riset yang sederhana tentang penerapan iptek dalam pengembangan olahraga, tetapi yang segera tampak hasilnya.  Cara itu akan dapat meyakinkan pihak pengambil kebijakan.  Dan mengingat kita masih “silau” dengan “bule”, maka program riset tersebut saya usulkan berupa kolaborasi antara Dispora Jatim, Koni Jatim, Unesa dan Departmen of Sport and Recreation Australia Barat.  Jika perlu beberapa orang dari ketiga lembaga di Jatim tersebut melihat contoh yang sudah berjalan di Autralia Barat.  Semoga.  

Minggu, 19 Mei 2013

DESENTRALISASI PENDIDIKAN: PERLU PEMBAGIAN TUGAS YANG JELAS


Seperti yang disebutkan pada tulisan tentang Diskusi di SBO TV, salah satu masalah yang mengganjal pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang kurang jelas.  Bahkan pengertian desentralisasi pendidikan yang diterapkan juga belum dirumuskan dengan jelas.  Akibatnya setiap orang menafsirkan sendiri-sendiri dan ketika mereka itu dalam posisi yang dapat menentukan kebijakan, akan menentukan kebijakan sesuai dengan tafsirnya.  Demikian pula yang dalam posisi melaksanakan, akan melakasanakan desentralisasi sesuai dengan tafsirnya.

Pada awal era reformasi, ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan desentralisasi berbagai urusan, pendidikan termasuk urusan yang didesentralisasikan.  Saat itu banyak orang, termasuk saya, membayangkan Depdiknas akan menjadi semacam “Badan Litbang + Inspektorat”, yang tugasnya merumuskan kebijakan, membuat standar, melakukan inovasi dan melakukan pemantauan untuk memastikan bahwa pendidikan berjalan sesuai yang diharapkan.  Sedangkan pelaksanaan pendidikan diserahkan pada lembaga di bawahnya.   Pemikiran itu didasarkan pada pengalaman negara maju yang sudah lebih dahulu melakukan desentralisasi pendidikan.

Oleh karena itu, waktu itu mulai mucul kasak-kusuk seperti apa bentuk organisasi Depdiknas dan berapa staf yang diperlukan.  Mulai banyak staf Depdiknas yang mikir-mikir pindah kemana.  Dan benar, pada tahun 2000 ada beberapa staf Depdiknas yang meminta pindah ke Dinas Pendidikan Propinsi atau Kab/Kota.  Bahkan kemudian beberapa diantara mereka menjadi Kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Ketika PP No 25 Tahun 2000 terbit, ternyata dugaan tadi tidak jauh meleset.  Dalam PP 25/200, pasal 2 ayat (3) butir 11, disebutkan kewenangan pemerintah pusat adalah: (1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, (2) penetapan standar materi pelajaran pokok, (3) penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik, (4) penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, (5) penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, (6) penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi, (7) pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemnfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional, (8) penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar biasa, (9) pengaturan dan pengembangan pendidikann tinggi, pendidikan jarak jauh serta pengaturan sekolah internasional, dan (10) pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. 

Kewengan propinsi dimuat pada pasal 3 ayat (5) butir 10 yaitu: (1) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu, (2) penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah, (3) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis, (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, (5) penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan atau penataran guru, dan (6) penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.

Apa tugas dan kewenngan kabupaten/kota?  Dalam PP No 25/2000 tidak disebutkan.  Namun kita dapat memaknai, semua tugas dan kewenangan yang tidak tercakup di pemerintah pusat dan propinsi tentunya menjadi tugas dan kewenangan kabupaten/kota.  Itulah yang mengokohkan pendapat bahwa desentralisasi pendidikan di letakkan di kabupaten/kota.  Dan itulah salah satu yang mengagetkan banyak ahli pendidikan, karena pada umumnya desentralisasi pendidikan diletakkan di negara bagian atau setingkat propinsi.  Tampaknya di Indonesia, disamakan dengan urusan lain yang diletakkan di kabupaten/kota.

Kalau kita cermati isi PP 25/2000, sebenarnya tugas dan kewenangan pemerintah pusat “hanya menetapkan standar”, kewenangan poprinsi “membantu pemerintah pusat”, sedangkan pelaksanaan urusan pendidikan sepenuhnya dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.  Namun, mengapa sampai sekarang sepertinya pemerintah pusat begitu dominan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan?   Gedung sekolah rusak pemerintah pusat yang sibuk.  Pelatihan guru pemerintah pusat yang sibuk.  Dan sebagainya.

Dugaan saya itu semua disebabkan kurang jelasnya pembagian tugas antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Deskripsi yang dimuat dalam PP 25/2000 tampaknya belum jelas bagi ketiga level pemerintahan kita.  Tumpang tindih kegiatan juga sering terjadi, misalnya dalam pelatihan guru.  Pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sama-sama melakukan pelatihan yang kadang-kadang isinya hampir sama.

Mengapa begitu?  Tampaknya pemerintah pusat belum siap untuk melepaskan tugas pelaksanaan pendidikan. Hal itu disebabkan sudah menjadi kebiasaan, sehingga sulit diubah dan juga belum percaya kepada aparat pada level propinsi/kabupaten/kota.  Sementara itu, aparat di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota juga belum punya pengalaman untuk melaksanakan tugas yang begitu besar, sehingga sering kedodoran.

Akibat dari situasi tersebut struktur organisasi Depdiknas (sekarang menjadi Kemdibud) yang dahulu dibayangkan akan “menyusut” tidak terjadi dan bahkan membesar.  Demikian pula struktur Dinas Pendidikan di Propinsi yang secara Undang-undang “hanya” bertugas membantu pemerintah pusat juga tidak berubah strukturnya.  Sementara itu struktur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membesar.  Saya belum punya data, tetapi dapat diduga jumlah pegawai yang mengurusi pendidikan, kini meningkat dibanding sebelum era desentralisasi.

Mungkin kita bertanya, bagaimana untuk mengatasi situasi tersebut?  Rasanya pembagian tugas perlu dilihat kembali.  Pembagian tugas sebaiknya lebih jelas dan mudah dilihat, sehingga masyarakat mudah memahami.  Kita juga perlu melihat substansi persekolahan agar pembagian tugas/kewenangan tidak menimbulkan masalah di lapangan.

Terkait dengan hal di atas, sebaiknya pembagian tugas dalam pembinaan persekolahan dibagi dalam jenjang.  Pendidikan dasar (SD dan SMP) menjadi tugas dan kewenangan kabupaten/kota, Pendidikan menengah (SMA dan SMK) menjadi tugas dan kewenangan propinsi, sedangkan perguruan tinggi menjadi tugas dan kewenangan pemerintah pusat.  Tentu pemerintah pusat masih punya tugas menentukan kebijakan umum, standar, mengembangan inovasi dan melakukan pemantauan.

Dengan cara itu setiap level pemerintahan punya tugas/kewenangan yang distingtif dan mudah dilihat oleh masyarakat.  Jika ada permasalah dengan SD dan SMP tidak menunjuk pemerintah kabupaten/kota dan propinsi serta pemerintah pusat tidak perlu ikut-ikut.  Jika ada permasalahan dengan SMA dan SMK tinggal menunjuk pemerintah propinsi, sehingga kabupayen/kota dan pemerintah pusat tidak perlu ikut-ikut. Jika ada permasalah perguruan tinggi tinggal menunjuk pemerintah pusat, sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten/kota tidak perlu ikut-ikut. Semoga.

Jumat, 17 Mei 2013

DISKUSI DI SBO TV (2): PERLUKAH STANDAR DALAM PENDIDIKAN?


Seperti saya sebutkan di tulisan terdahulu, diskusi di SBO TV melebar kemana-mana.  Sebenarnya topik yang ingin dibahas adalah desentralisasi pendidikan.  Namun peserta mengajukan pemikiran sesuai apa yang dia inginkan. Nah, salah satu isu yang diajukan oleh salah seorang peserta dan mendapat respon adalah standar pendidikan.  Seorang peserta dengan bersemangat menyatakan di era sekarang apalagi ke depan, tidak lagi diperlukan standar pendidikan.  Alasan yang diajukan, standar pendidikan diperlukan ketika pendidikan dimaknai dengan mass production.  Menurut beliau, ke depan eranya adalah era customized production, sehingga tidak lagi diperlukan standar pendidikan.

Saat diskusi saya tidak menanggapi pendapat teman tersebut, karena menurut saya itu terlepas dari topik diskusi yaitu desentralisasi.  Standar pendidikan termasuk wilayah isi pendidikan, sedangkan desentralisasi termasuk wilayah manajemen pendidikan.  Banyak negara yang memiliki standar pendidikan dan menerapkan desentralisasi dan juga banyak negara yang tidak menerapkan desentralisasi.  Artinya antara standar pendidikan dan desentralisasi pendidikan tidak ada hubungan langsungnya.

Nah, diluar acara di SBO TV rasanya perlu didiskusikan perlu tidaknya standar dalam dunia pendidikan.  Untuk itu kita dapat mulai menelaah bentuk dan isi pendidikan di awal peradaban.  Berbagai referensi menyebutkan bahwa pada masa itu belum ada sekolah.  Anak belajar kepada orangtuanya, kakaknya atau orang-orang yang lebih dewasa yang ada di sekitarnya.  Apa yang dipelajari? Yaitu proses kehidupan keseharian, berburu, bertani dan seterusnya. 

Ketika peradaban mulai maju dan nilai-nilai serta norma kehidupan mulai berkembang, mulai muncul orang-orang yang dianggap “pandai dan bijak”.  Pada saat itu anak-anak belajar kepada orang pandai dan bijak tersebut.  Apa yang dipelajari?  Nilai-nilai kehidupan, sedangkan untuk keterampilan hidup, anak-anak tetap belajar kepada orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Dalam tahap selanjutnya pendidikan di tempat tinggal orang pandai dan bijak itu berkembang menjadi embrio padepokan.  Dan orang-orang pandai dan bijak itu berkembang menjadi tokoh dengan berbagai sebutan.  Mudahnya semacam “pandito” dalam dunia perwayangan. Dan yang diajarkan juga mulai merambah ke hal-hal yang terkait dengan pengetahuan. 

Padepokan itulah embrio dari “sekolah” atau mungkin untuk saat ini lebih tepat disebut sebagai sanggar belajar dan pendidikan non formal.  Pada saat itu setiap padepokan punya kurikulum masing-masing.  Dan seriring dengan kemajuan peradaban apa yang dipelajari di padepokan juga terus berkembang.  Muatan pengetahuan juga terus berkembang.  Dan itulah embrio ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini.

Ketika mobilitas orang semakin tinggi dan interaksi antar kelompok masyarakat semakin intens,maka komunalitas masyarakat semakin luas. Mulailah masyarakat membandingkan apa yang diajarkan pada satu padepokan dan padepokan lainnya.  Mulailah dirasakan perlunya saling “penyamaan” dalam beberapa bagian “kurikulum” pendidikan di padepokan.

Berbarengan dengan perkembangan itu, mulai muncul tata hidup kemasyarakatan, yang selanjutnya menjadi embrio “pemerintahan”.  Mulailah ada orang atau beberapa orang yang dipercaya untuk mengatur tata kehidupan pada kelompok masyarakat. Struktur perangkat itupun berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.  Nah, pada saat itu “perangkat pemerintah” mulai menjangkau dunia pendidikan.  Dan itulah yang kemudian mendorong munculnya “sekolah”  yang memerlukan kurikulum yang “sama” antara beberapa sekolah. 

Uraian di atas menunjukkan bahwa standar pendidikan itu pada awalnya tidak ada.  Munculnya standar karena keperluan masyarakat yang ingin anak-anak yang belajar di satu sekolah dan sekolah lain menerima ajaran yang kurang lebih sama.  Tentu tidak semuanya.

Apakah di era kedepan, ketika dengan google anak dapat memperoleh pengetahuan, tidak lagi diperlukan standar pendidikan?  Menurut saya tergantung sudut padang yang digunakan.  Kalau digunakan sudut pandang bahwa orang punya kebebasan untuk belajar seperti yang diinginkan atau seperti yang diperlukan untuk menghadapi kehidupannya dan kehidupan setiap orang berbeda, mungkin kita dapat mengatakan tidak diperlukan standar pendidikan. 

Namun jika digunakan sudut pandang bahwa sekolah itu berjenjang dan orang dapat pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnnya, baik dalam jenjang yang sama (pindah) atau naik jenjang, maka standar tetap diperlukan. Jika kita percaya bahwa dunia semakin menggobal dan pekerjaan tidak lagi bersifat lokal, maka standar pekerjaan tetap diperlukan. Dan konskwensinya diperlukan juga standar pendidikan. 

Tentu harus dikatakan bahwa standar pendidikan itu berbeda dengan kurikulum.  Amerika Serikat tidak memiliki kurikulum nasional, karena setiap disktrik bahkan setiap sekolah boleh mengembangkan kurikulum sendiri.  Tetapi Amerika Serikat punya standar pendidikan ayng disebut National Education Standard.  Project “gila” yang dilaksanakan oleh Partnership for 21st Centuy Skills (P21) ternyata juga menghasilkan standar pendidikan.  Bagi yang ingin membaca dapat mengakses ke http://www.21centuryskills.org.  

Rabu, 15 Mei 2013

DISKUSI PENDIDIKAN DI SBO TV: SPT ORANG BUTA DISKUSI GAJAH


Tanggal 14 Mei 2013 pukul 19.30 saya diundang untuk ikut diskusi tentang pendidikan di SBO TV.  Sudah beberapa kali saya diundang pada forum diskusi seperti itu, tetapi selalu tidak dapat hadir karena waktunya bersamaan dengan acara lain.  Kali ini saya berusaha hadir, walaupun harus berkejaran waktu karena sebelumnya bertemu dengan rombongan KONI Jatim.

Temanya “Perlukah Desentralisasi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan”.  Pesertanya cukup banyak, sekitar 25 orang, antara lain Ketua DPRD Sidoarjo, Pak Sahudi-mantan Kadiknas Surabaya, Mas Satria Darma-Ketua IGI, Pak Lis dari Dewan Pendidikan Jawa Timur, Mas Isa Ansyori dari Dewan Pendidikan Surabaya, Pak Rosario Sudiro mantan Rektor Unsuri, Mas Totok Aktivis KIP, ada pengacara, ada mahasiswa Unair dan para aktiivis pendidikan.

Pemandunya anak muda tampan dan sering memandu acara di SBO.  Katanya juga sering menjadi trainer untuk public speaking, sehingga juga merasa sebagai praktisi pendidikan.   Diskusi sangat hidup, dan hampir semua yang diundang untuk menyampaikan pendapat berbicara dengan antusias.  Bahkan di sesi terakhir, ketika pemandu menawarkan siapa yang masih ingin menyampaikan unek-unek, banyak yang angkat tangan.  Menurut saya antusiasme peserta itu sangat menggembirakan, karena menunjukkan bahwa pendidikan menjadi kepedulian banyak pihak.

Yang agak merisaukan adalah pemahaman tentang desentralisasi pendidikan yang sangat beragam dan bahkan terkesan “kacau”.  Desentralisasi pendidikan dicampur-adukan dengan kurikulum, dengan standar pendidikan, dengan ujian nasional, dengan guru yang gajinya kecil, guru yang kurang bermutu, dengan transparansi anggaran sekolah dan sebagainya.  Mencermati itu, saya jadi teringat sebuah studi yang menyimpulkan kebanyakan desentralisasi pendidikan gagal kerana ketidaksamaan pemahaman dari para stakeholder.  Akibatnya masing-masing memaknai desentralisasi pendidikan secara  berbeda dan kemudian mengambil langkah pelaksanaan yang berbeda.  Nah, langkah tersebut sering bertentangan atau paling tidak saling tarik menarik.

Karena masing-masing menyampaikan gagasan dengan pemahaman yang beragam, saya jadi teringat cerita orang buta yang berdiskusi tentang gajah.  Ada yang memegang telinganya, sehingga dengan menggebu mengatakan gajah itu seperti kipas yang terbuat dari kulit tebal dan selalu bergerak.  Ada yang memegang ekornya, sehingga mengatakan gajah itu pengusir lalat yang digunakan anak berkhitan di jaman dahulu.  Ada yang memegang kakinya, sehingga dengan antusian menjelaskan bahwa gajah itu seperti batang bambu besar.

Begitulah kira-kira gambaran diskusi tentang desentralisasi pendidikan di SBO TV.  Sang pemandu juga tampak bingung, karena sangat beragamnya pemahaman peserta dan semuanya antusias menyampaikan pendapat.  Saya membayangkan, kalau peserta diskusi yang sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki peran mengambil kebijakan dan melaksanakan kebijakan pendidikan seperti itu pemahamannya, pantas saja pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia seperti pusaran air bah.  Tampak berjalan cepat dan ramai, tetapi tidak pidah tempat karena hanya berputar-putar.  Yang disitu-situ saja tanpa ada kemajuan.

Desentralisasi pendidikan kita memang sangat tergesa-gesa.  Begitu undang-undang dan Peraturan Pemerintah dikeluarkan saat itu juga desentralisasi dilaksanakan.  Sejauh yang saya ketahui, tidak ada tahapan desentralisasi. Sosialisasi sepertinya juga tidak menjangkau semua  stakeholder.  Itu terbukti tajamnya perbedaan penafsiran di antara mereka.  Akibatnya terjadi tarik menarik antar stake holder.

Perbedaan itu tidak hanya antara level lembaga, misalnya pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota dan sekolah, tetapi juga antara stakeholder dalam satu level.  Sebagai contoh adalah adanya perbedaan antara Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan UUSPN.  Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah,  pendidikan termasuk urusan yang didesentralisasikan.  Dan karena desentralisasi Indonesia diletakkan di kabupaten/kota, maka dalam PP-nya pendidikan diurus oleh kabupaten/kota.  Sementara itu dalam UUSPN disebutkan bahwa pengelolaan pendidikan menggunakan pola MBS.  Perbedaan mendasar inilah yang menjadi penyebab “perselisihan” antara Dinas Pendidikan Kab/Kota dengan sekolah dalam pengambilan kebijakan.  Biasanya yang kalah sekolah, karena sekolah merupakan bawahan Dinas Kab/Kota.

 Ibarat orang tua dan anaknya yang beranjak remaja, itulah fenomena pelaksanaan desentralisasi pendidikan.  Orangtua (analog unit level lebih tinggi) belum percaya kalau anaknya (analog dengan unit level lebih rendah) mampu melaksanakan tugas dan kuwajibannya.  Oleh karena itu orangtua (unit lebih tinggi) ingin membandu/mengajari, sementara anak remaja (unit lebih rendah) merasa sudah mampu dan tidak ingin dicampuri.  Tarik menarik dan saling kurang percaya mewarnai pelaksanaan desentralisasi, persis fenomena orang tua yang anaknya sedang beranjak remaja.

Studi terhadap pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara menyimpulkan bahwa negara yang sukses, memiliki masa transisi sampai 10 tahun sebelum menerapkan desentralisasi secara penuh.  Pada periode itu pemahaman terhadap pembagian tugas-kewenangan-tanggung jawab dilakukan dengan intensif dan dilaksanakan secara bertahap.  Juga dibuat secara jelas pembagian tugas-kewenangan-tanggung jawab antar level lembaga.  Apa peran pemerintah pusat, apa peran propinsi, apa peran kabupaten/kota dan apa peran sekolah.  Pembagian tidak hanya secara umum, tetapi juga dalam setiap komponen pendidikan.  Misalnya untuk komponen guru, apa peran lembaga-lembaga tersebut.  Demikian pula, untuk proses pembelajaran, sarana-prasarana dan sebagainya.  Nah, dalam periode transisi pembagian peran tersebut semua dicobakan.

Bahkan ada negara yang “pernah gagal” melaksanakan desentralisasi pendidikan.  Setelah merasa gagal, urusan pendidikan disentralisasi lagi untuk beberapa tahun.  Kemudian dilakukan pentahapan desentralisasi “versi baru”, dilaksanakan dan ternyata sekarang berhasil.  Semoga kita dapat belajar dari negara lain yang telah melakukan dengan sukses.      

Senin, 13 Mei 2013

LULUS 1 LANGSUNG KE S2 ATAU BEKERJA DULU?


Beberapa hari lalu saya ditanya seorang saudara yang anaknya baru lulus S1.  Beliau orang yang terdidik dan ekonomi keluarganya sangat baik.  Seorang anaknya baru saja wisuda S1 dari perguruan tinggi ternama.  Usia anak tersebut sekitar 22 tahun dan menurut ibunya masih sangat muda.

Mendapat pertanyaan itu, saya jadi teringat pengalaman tahun 2007an.  Saat itu saya ditanya oleh Pak Nuh (waktu itu menjabat Menteri Kominfo), Reza saat ini dimana?  Anak saya, Reza memang mahasiswa dan bimbingan Pak Nuh saat beliau menjadi Direktur PENS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya).  Saya jawab, sudah lulus dan bekerja.  Mendengar jawaban itu, Pak Nuh berkomentas yang menurut saya ganjil.  Kurang lebih komentarnya begini: “Gak sak-aken tak rek, arek cilik kongkon njambut gawe” (Apa tidak kasihan, akan kecil disuruh bekerja).

Apa hubungan antara pertanyaan teman di awal tulisan ini dengan komentar Pak Nuh terhadap anak saya?   Mengingat komentar Pak Nuh, saya jadi ragu-ragu memberi saran atau jawaban terhadap pertanyaan teman tadi.  Saya kawatir jangan-jangan komentar Pak Nuh tersebut benar, walaupun sebenarnya saya tidak sependapat.  Itu sebabnya saya ragu-ragu, menjawab sesuai dengan nalar saya atau mengajukan pemikiran Pak Nuh tadi.

Walaupun dari usia Pak Nuh lebih muda dibanding saya, seringkali pemikiran Pak Nuh melampaui usianya.  Saya kenal beliau sejak tahun 1990an, ketika sama-sama aktif di ICMI Jawa Timur.  Kami sering terlibat dalam berbagai kegiatan.  Apalagi kemudian, beberapa teman termasuk di dalamnya Pak Nuh dan saya membentuk Nara Qualita Ahsana, sehingga kami sering ketemu dan berdiskusi. Dan sejak itu saya menangkap pemikiran beliau, yang kadang-kadang “beyond” rasional saya.

Karena ragu, akhirnya saya bercerita saja pendapat saya dan komentar Pak Nuh yang tidak sama dengan pemikiran saya.  Silahkan teman tadi yangmengambil kesimpulan.  Saya sampaikan bahwa menurut saya anak yang lulus S1 perlu segera mendapat pengalaman menerapkan ilmunya dalam kehidupan di dunia kerja dan di masyarakat.  Situasi pendidikan di sekolah/universitas berbeda dengan situasi di masyarakat.  Di sekolah/universitas, semua serba disederhanakan agar siswa/mahasiswa mudah memahami masalah.  Semua serba dibatasi agar masalah tidak terlalu kompleks. Bahkan seringkali, bidang ilmu “memisahkan diri” seakan-akan berdiri sendiri dan tidak terkait dengan bidang lainnya.  Sementara itu, dalam kehidupan nyata di masyarakat, termasuk di pekerjaan, masalah selalu kait mengakit dengan lainnya.  Kemampuan memahami kerterkaitan masalah yang satu dengan lainnya seringkali menentukan apa tindakan atau langkah pemecahannya.

Cara kerja yang biasa dilakukan di sekolah/universitas juga sangat berbeda dengan kehidupan nyata di masyarakat.  Kerja sendirian biasa dilakukan di sekolah/universitas, baik dalam mengerjakan tugas-tugas maupun ujian.  Sementara itu hampir setiap pekerjaan di masyarakat dikerjakan oleh tim.  Oleh karena itu kemampuan bekerjasama menjadi sangat penting.
Itulah sebabnya saya meyakini sebaiknya anak yang lulus S1 segera bekerja.  Bekerja dalam arti luas.  Tidak harus bekerja di kantor atau perusahaan.  Dapat saja bekerja di lembaga sosial atau bahkan berdiri sendiri merintis usaha mandiri.  Yang penting mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan berkerja dan bermasyarakat.

Saya mengajukan bukti empiris, bahwa banyak orang sukses ternyata sudah nyambi bekerja atau aktivitas sosial kemasyarakatan ketika sekolah/kuliah.  Mengapa?  Karena saat kuliah sudah dapat memadukan teori yang diperoleh di kuliah dengan praktek di dunia kerja atau kegiatan sosial.  Dengan demikian, saat lulus yang bersangkutan telah punya pengalaman lengkap untuk melaju di kehidupan bermasyarakat.

Lantas bagaimana dengan komentar Pak Nuh?  Demikian kira-kira pertanyaan lanjutan teman tadi.   Sejujurnya saya menjawab tidak tahu.  Saya hanya menduga Pak Nuh berpendapat tantangan kehidupan ke depan lebih berat, sehingga bekal S1 dianggap belum cukup.  Dan perkembangan seperti itu memang wajar. Seperti zaman dahulu bekal SMA sudah dianggap sudah bagus, tetapi kemudian sesuai dengan perkembangan tidak lagi memadai dan memerlukan bekal S1.  Pada masa lalu untuk menjadi guru SD cukup berpendidikan SGB yang “hanya” setingkat SMP.  Kemudian ditingkatkan menjadi SGA, setingkat SMA.  Berikutnya ditingkatkan lagi menjadi D2 dan sekarang harus S1.  Bahkan sesuai dengan Undang-undang tetang Guru dan Dosen, S1 masih harus ditambah dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).  Jadi komentar Pak Nuh juga ada dasarnya.

Saya menambahkan jika dugaan tersebut benar, saya menyarankan kalau anaknya yang sudah lulus S1 akan langsung melanjutkan ke S2, sebaiknya juga didorong untuk nyambi bekerja.  Dengan begitu akan menjadi jalan tengah antara pentingnya pengalaman kerja dan penting penambahan bekal pendidikan.  Mendapatkan bekal (teoritis) tambahan tetapi juga memperoleh pengalaman menerapkan dalam kehidupan.  Semoga.

Minggu, 12 Mei 2013

CHILD CARE DI LAB SCHOOL UNESA


Ada perubahan signifikan dalam pola kehidupan keluarga muda, khususnya keluarga terdidik di kota.  Dan itu terkait dengan pendidikan, sehingga para ahli dan praktisi pendidikan harus memikirkannya.  Fenomena itu sangat mungkin berpengaruh kepada perilaku anak-anak saat ini.  Sangat mungkin perubahan itu sudah dimulai tahun 1980an dan kita luput memperhatian, sehingga dampaknya tidak terantisipasi.

Apa itu?  Ibu-ibu yang bekerja penuh waktu di luar rumah.  Di masa lalu, pada umumnya ibu tidak bekerja penuh waktu.  Kalau toh bekerja di sekitar rumah, sehingga tetap dapat mengasuh dan membimbing anak-anak.  Kalau toh bekerja di luar rumah, tidak untuk penuh waktu.  Oleh karena itu, ibu dapat mengasuh dan membimbing anak-anak ketika pulang sekolah.

Saat ini ibu-ibu muda dan terdidik pada umumnya bekerja penuh waktu di luar rumah.  Tidak sedikit ibu-ibu yang “mengejar” karier, sehingga seringkali sore bahkan larut malam baru pulang ke rumah.  Pertanyaan yang mucul, terus dengan siapa anak-anak di rumah?  Mungkin pagi hari anak-anak sekolah, tetapi setelah pulang dengan siapa di rumah?  Siapa yang mengasuh atau membimbing ketika mereka di rumah?

Di negara maju, misalnya di Inggris konon ada undang-undang yang menyatakan anak sampai usia 12 tahun tidak boleh di rumah tanpa ditemani oleh orang dewasa.  Karena itu undang-undang, maka jika ada yang melanggar akan dikenakan tindakan hukum.  Akibatnya keluarga yang memiliki anak usia di bawah 12 tahun, pada umumnya memilih bekerja paruh waktu atau menitipkan anaknya di Day Care.  Sore hari saat orangtua pulang kerja, anak dijemput untuk pulang.

Indonesia belum memiliki undang-undang seperti itu.  Dan lagi, tenaga pembantu rumah tangga banyak.  Oleh karena itu, pada umumnya keluarga muda yang bekerja penuh waktu di luar rumah, menyerahkan pengasuhan dan pembimbingan anak-anak kepada pembantu rumah tangga.  

Sayangnya, pada umumnya pembantu rumah tangga tidak memiliki bekal pengetahuan bagaimana mengasuh dan mendidik anak-anak.  Pada akhirnya, yang penting anak tidak menangis dan yang paling sering diajak nonton TV.  Jadilah anak-anak tersebut dididik oleh TV.  Sayangnya lagi, tayangan TV di Indonesia saat ini kurang mendidik.  Itulah yang terjadi pada anak-anak di negeri ini.

Berangkat dari pemikiran itu, Unesa mendirikan Child Care (CC) yang lokasinya di kompleks PAUD Lab School Kampus Ketintang.  Diharapkan CC tersebut dapat menjadi tempat para ibu muda yang bekerja penuh untuk “menitipkan” putranya.  Kata menitipkan sengaja diberi tanda “….”, karena selama di CC anak akan mendapat pengasuhan yang sesuai dengan perkembangan fisik maupun psikologisnya.

Paragraf di atas terkesan seperti iklan.  Namun memang itu tekat Unesa.  Kita tahu usia anak-anak tersebut adalah usia emas (golden age)  yang menentukan perkembangan anak di masa depan.  Oleh karena itu, anak harus mendapat asuhan dan rangsang yang tepat untuk memicu perkembangan kea rah yang positif dan maksimal.

Ketika ide membuat CC itu dibahas, saya menyampaikan itu bahwa ide bagus. Ide  cermelang untuk menghindari munculnya “anak pembantu dan anak TV”, namun ada catatannya.  Apa itu?  Unesa harus sungguh-sungguh dalam mengelola CC.  Tidak boleh setengah-setengah.  Mengapa?   Karena kualitas pengasuhan di CC akan menentukan masa depan anak.  Jangan samai pengasuhan di CC tidak beda signifikan dengan pengasuhan oleh pembatu atau oleh TV.

Untuk itu, CC di Unesa harus ditangani oleh mereka yang benar-benar faham dan terampil dalam tugasnya.  Sarana juga harus disediakan sesuai kebutuhan perkembangan anak-anak.  Dan alhamdulillan, CC di Unesa sudah dimulai dan konon sudah ada tujuh orang yang menitipkan putranya.  Semoga Unesa dapat berkontribusi dalam pengasuhan anak-anak dari keluarga yang suami dan istri bekerja penuh waktu di luar rumah.