Selasa, 30 Juni 2020

MENCERMATI ORANG-ORANG SUKSES (Dari Buku Pendidikan Bermaknsa-2007)


Sebenarnya apa yang kita inginkan ketika menyekolahkan anak? Walau tidak terungkapkan secara eksplisit, setiap orangtua punya harapan tertentu, pada saat menyekolahkan anaknya.  Buktinya, mereka selalu berusaha memilihkan sekolah yang terbaik bagi anaknya.  Orangtua juga rela bersusah payah dan bahkan membayar mahal, agar anaknya diterima di sekolah yang diyakini baik.
Ketika pertanyaan tersebut diajukan kepada beberapa kawan dan guru, pada umumnya dijawab: ”Biar pandai, taat beribadah, berbakti kepada orangtua, dan dapat hidup sukses kelak di masa datang”.   Istilah yang digunakan sangat bermacam-macam, tetapi empat hal itulah yang umumnya diinginkan.
Rasanya sangat rasional, jika orangtua mengharapkan anak-anaknya menjadi orang yang sukses.  Sukses tentunya tidak hanya dalam aspek materi, yaitu kaya, tetapi juga sukses dalam kehidupan beragama, keluarga, dan kehidupan sosial. 
Coba perhatian ketika seorang ayah atau ibu tengah menimang bayinya. Orang Jawa punya ungkapan besuk gedhe bisa disawang, artinya jika nanti sudah besar dapat dipandang, yaitu dapat menjadi kebanggaan keluarga.  Memang sukses anak adalah kebanggaan orangtua.  Kita juga sering memuji teman, saudara atau tetangga, yang memiliki anak sukses dan bahkan bertanya bagaimana mendidiknya.   Kepada anak-anak, kita juga sering menjadikan orang sukses sebagai contoh untuk ditiru.  Sekali lagi, sukses menurut ukuran masing-masing orangtua dan masyarakat  sekitarnya.
Pertanyaan yang muncul, bekal apa yang diperlukan agar orang dapat menggapai kehidupan yang sukses tersebut?   Jika bekal atau kunci itu dapat ditemukan, kita sebagai orangtua dapat mengupayakan agar bekal tersebut dimiliki anak kita.  Jika bekal tersebut dapat dipelajari di sekolah, tentunya guru dapat mengajarkannya kepada siswa, sehingga siswa menguasai kemampuan itu.  Bukankah anak dikirim oleh orangtuanya ke sekolah, dengan harapan mendapatkan pendidikan yang dapat digunakan sebagai bekal untuk meraih kesuksesan hidup di masa depan?
Cara berpikir yang paling mudah untuk menemukan kunci orang sukses adalah dengan pola pikir induktif, yaitu mengidentifikasi orang-orang sukses, kemudian mencermati apa kunci rahasia sukses mereka.  Jika kita mendapatkan cukup banyak kasus tentang ciri orang sukses dan dari kasus tersebut dilakukan generalisasi, maka secara prosedur berpikir, kita akan mendapatkan ciri-ciri orang sukses yang berlaku secara universal.
Dalam kesempatan memberi penataran kepada guru, kepala sekolah, pengawas, dosen, dan staf dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, juga saat memberi kuliah mahasiswa pasca sarjana, saya meminta mereka melakukan hal tersebut. Saya meminta mereka untuk mengidentifikasi ”bekal pokok/kunci” seseorang sehingga dapat sukses.  Namun, sebagian besar mereka mengalami kesulitan untuk melakukannya.  Oleh karena itu, disiasati dengan membagi pertanyaan tersebut menjadi beberapa tahapan.
Tahap pertama, saya memancing dengan pertanyaan: Bapak-bapak, biasanya punya langganan bengkel sepeda motor atau bengkel mobil.  Sebut saja bengkel Pak Didik.   Bapak selalu membawa mobil/motor yang rusak ke bengkel Pak Didik. Ibu-ibu, biasanya punya langganan penjahit yang dianggap baik, sebut saja penjahit Bu Norma.  Ibu-ibu selalu ke Bu Norma, kalau menjahitkan baju baru. Nah, sekarang sebutkan alasan, mengapa Bapak berlangganan ke bengkel Pak Didik dan Ibu berlangganan ke penjahit Bu Norma?
Terhadap pertanyaan seperti itu muncul jawaban yang sangat beragam, tetapi pada umumnya berkisar pada: karena pekerjaannya baik, orangnya jujur-tidak membohongi suku cadang yang digunakan, model bajunya mutakhir, ongkosnya tidak mahal, tempatnya dekat rumah, orangnya ramah dan tepat janji.  
Tentu setiap orang membayangkan bengkel mobil/sepeda motor dan penjahit langganannya masing-masing.  Tetapi sungguh mengagetkan, karena ciri-ciri bengkel mobil/motor yang difavoritkan, relatif sama dengan ciri-ciri penjahit yang laris.  Yang membedakan hanyalah keahliannya, yaitu ahli memperbaiki mobil/motor dan ahli menjahit baju, sedangkan ciri-ciri lainnya sama.   Dengan demikian ciri-ciri yang diajukan untuk bengkel favorit atau penjahit yang laris tersebut, diduga merupakan ciri-ciri yang  bersifat universal, yaitu ciri-ciri penjahit dan tukang bengkel yang baik, sehingga memiliki banyak langganan.
Pada tahap kedua, diajukan pertanyaan yang serupa tetapi untuk profesi lain, yaitu dokter.   Jawaban yang banyak muncul terhadap pertanyaan tersebut adalah: karena memeriksanya teliti, obat yang diberikan cocok, tempat praktik dekat dengan rumah, orangnya ramah, ongkosnya tidak terlalu mahal dan pelayananannya terhadap pasien baik.   Tentu ungkapan yang digunakan oleh peserta penataran sangat beragam, tetapi dapat disederhanakan seperti tersebut di atas.
Mari kita bandingkan ciri-ciri dokter favorit dengan bengkel/penjahit favorit yang disebutkan oleh peserta penataran tersebut. Bukankah ciri-ciri dokter tersebut sangat mirip dengan tukang bengkel mobil/motor dan tukang jahit, yang diajukan sebelumnya?  Memeriksanya teliti dan memberi obat yang cocok adalah ciri keahlian seorang dokter, yang identik dengan ungkapan pekerjaannya baik, untuk bengkel dan penjahit.  Ciri yang lain sangat mirip, misalnya ramah, pelayanannya baik dan ongkosnya murah.
Pekerjaan seorang dokter sangat berbeda dengan penjahit dan berbeda pula dengan montir, tetapi dari jawaban tersebut ternyata hampir semua ciri-ciri dokter favorit sama dengan bengkel favorit dan penjahit laris.  Yang membedakan hanyalah keahlian khususnya, yaitu mengobati bagi dokter, memperbaiki mobil bagi bengkel dan membuat baju bagi penjahit.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki ciri universal tertentu, agar memiliki banyak pelanggan. 
Pada tahap ketiga, saya mengajukan pertanyaan Apakah memiliki tetangga yang favorit, yaitu tetangga yang menyenangkan?   Hampir semua menjawab punya.  Ketika ditanyakan, apa ciri-ciri perilaku tetangga favorit tersebut, jawaban mereka juga hampir seragam, yaitu ”jujur, toleran, tidak usil, ramah, dan suka menolong”.   Walaupun jawabannya bervariasi dan bahkan seringkali disertai dengan kelakar, misalnya tetangga favorit itu yang cantik atau keren, suka meminjami uang dan seterusnya, tetapi sikap jujur, ramah, tidak usil, toleran dan suka menolong merupakan ciri-ciri umum tetangga yang baik.
Nah, kita semua tentu ingin anak kita sukses, jika menjadi dokter yang praktiknya laris, jika membuka usaha bengkel akan laris, jika membuka tailor juga laris dan di kampung menjadi tetangga yang favorit bagi masyarakat sekelilingnya.  Ciri-ciri yang diungkapkan untuk tukang bengkel, penjahit, dokter dan tentangga favorit tersebut di atas dapat menjadi pedoman kita dalam mendidik anak.
Ciri-ciri tersebut, dapat diperluas kepada orang sukses secara umum.  Oleh karena itu pada tahap ke empat, kepada peserta penataran dan mahasiswa pasca sarjana, saya  menanyakan apakah memiliki saudara, teman, atau tetangga yang dianggap orang yang paling sukses.  Biasanya mereka menjawab punya.   Untuk memudahkan, saya meminta mereka menuliskan nama orang sukses tadi dalam bentuk inisial agar orang lain tidak mengerti.  Setelah itu, mahasiswa dan peserta penataran diminta menuliskan perilaku yang menyebabkan dia sukses.  Tulisan peserta penataran tersebut kemudian dikumpulkan dan beberapa dibaca untuk berbagai pendapat.
Sungguh mencengangkan, meskipun mereka pasti menunjuk orang yang berbeda-beda, ternyata ciri-ciri yang disebutkan sangat mirip.  Perilaku orang yang dianggap sukses oleh peserta pelatihan dari berbagai profesi dan juga oleh banyak mahasiswa pascasarjana dan peserta pelatihan tersebut mencakup: ahli dalam bidang kerjanya, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja keras, ulet, pantang menyerah, kreatif, pandai bergaul, pandai memanfaatkan kesempatan, pandai memecahkan masalah dan berani mengambil risiko.
Biasanya saya meminta menyebutkan apa saja dan diselingi dengan kelakar, agar  mereka menjawab dengan santai dan bebas menyatakan pendapat.  Oleh karena itu, seringkali para mahasiswa dan peserta pelatihan menyelipkan ungkapan yang juga bernada kelakar, misalnya faktor nasib, orangtuanya kaya, mertuanya kaya, pandai berkolusi, dibantu dukun dan sebagainya.  Tentu faktor-faktor demikian tidak perlu dirisaukan.
Jika dibandingkan dengan ciri-ciri dokter, penjahit dan tukang bengkel mobil/motor yang ditemukan lebih dahulu, ciri-ciri orang sukses ini lebih luas.  Semua ciri-ciri dokter, penjahit dan tukang bengkel sudah tercakup di dalamnya dan ditambah dengan ciri lain, misalnya disiplin, bertanggung jawab, kerja keras, ulet, pantang menyerah, kreatif, pandai bergaul, pandai memanfaatkan kesempatan, pandai memecahkan masalah dan berani mengambil risiko.  Hal itu dapat dimengerti, karena saat mengidentifikasi dokter, penjahit dan bengkel, mereka baru mengungkapkan ”kebaikan” dokter, penjahit dan bengkel, tetapi belum menyebut mengapa menjadi baik.
Orang yang sukses sangat mungkin berposisi sebagai anak buah dan juga bapak buah (pimpinan).  Oleh karena itu, pandangan pimpinan terhadap anak buah yang baik dan pandangan anak buah terhadap pimpinan yang baik, juga perlu digali.  Untuk itu, ketika memberi pelatihan kepada kepala sekolah dan pejabat dari Dinas Pendidikan, saya mencoba menggali lebih dalam tentang anak buah yang baik.  Saya mengajukan pertanyaan tahap ke lima, yaitu Jika pada saat mengikuti pelatihan ini, di kantor ada tugas penting tentu menunjuk anak buah untuk menyelesaikan. Jika ada beberapa anak buah, bagaimana memilihnya?  
Pada umumnya mereka menjawab, akan memilih anak buah yang: menguasai tugas yang akan dikerjakan, pekerja keras, bertanggung jawab, berdedikasi, pandai bekerja sama dengan teman dan pandai mengatasi masalah.  Walaupun istilah yang digunakan bebeda-beda, inti jawaban tidak terlalu banyak variasinya.  Enam kemampuan tersebut hampir selalu disebutkan oleh setiap peserta.  Tentu saja, setiap peserta pelatihan menunjuk orang yang berbeda-beda untuk dideskripsikan.  Jika ternyata deskripsi ciri-ciri orang tersebut mirip, kita dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri itu memang universal dan menjadi ciri anak buah yang terpercaya.
Untuk posisi bapak buah (atasan/pimpinan), digali dari penataran guru.  Kepada peserta penataran saya ajukan pertanyaan apa ciri-ciri kepala sekolah yang ideal?.  Terhadap pertanyaan itu muncul jawaban, yang kalau dirangkum mencakup: pandai dan berwawasan luas, tegas, disiplin, memperhatikan kepentingan anak buah, memiliki relasi luas, pandai mengambil keputusan, berani mengambil risiko.
Kalau rangkuman ciri-ciri anak buah yang dipercaya dan bapak buah yang ideal tersebut dibandingkan dengan ciri-ciri orang sukses, muncul cir-ciri baru.  Dua ciri ”baru” yang muncul pada anak buah terpercaya, yaitu  berdedikasi dan  pandai bekerja sama dengan teman.   Untuk posisi pimpinan ideal, muncul ciri-ciri ”baru”, yaitu berwawasan luas, tegas, memperhatikan anak buah.
Jika dicermati dedikasi sebenarnya merupakan perwujudan tanggung jawab terhadap tugas yang diemban, sehingga ciri berdedikasi dapat diintegrasikan kepada ciri tanggung jawab.  Ciri memperhatikan anak buah dapat diintegrasikan kepada suka menolong.  Dengan demikian, penggunaan ”pimpinan” dan ”anak buah” yang baik, hanya memunculkan tiga ciri baru, yaitu pandai bekerja sama, tegas dan berwawasan luas.  Secara logika kita juga dapat memahami bahwa ketiga ciri tersebut memang penting untuk keberhasilan seseorang.
Biasanya, seseorang sangat cermat jika diminta untuk menjawab hal-hal yang terkait dengan anak kandungnya.  Oleh karena itu, saya meminta mahasiswa pasca sarjana dan peserta pelatihan dari berbagai daerah, khususnya mereka yang telah memiliki anak remaja atau yang sudah menikahkan anaknya, untuk mengidentifikasi menantu yang ideal.  Biasanya saya mengajukan pertanyaan tahap ke enam, sebagai berikut: Jika Bapak/Ibu memiliki anak gadis, dan dilamar oleh dua orang tentu harus memiliki salah satu.  Nah, untuk memilih,  kriteria apa yang digunakan?
Terhadap pertanyaan tersebut, ternyata muncul jawaban yang unik yang terkait dengan budaya.  Jawaban yang banyak muncul, antara lain: seiman dan baik ibadahnya, setia dan berbakti pada orangtua, bertanggung jawab, keturunan orang baik-baik, berpendidikan baik, sudah bekerja dan memiliki masa depan cerah, sehat jasmani-rokhani, ganteng dan mencintai anaknya.   Walaupun variasinya cukup banyak, tetapi ciri-ciri tersebut hampir disebut oleh setiap peserta.
Jika ciri menantu idaman tersebut dibandingkan dengan ciri orang sukses, tampak agak berbeda.  Semua ciri orang sukses diwadahi dalam tiga istilah, yaitu berpendidikan, sudah bekerja, dan memiliki masa depan cerah.  Ciri-ciri lainnya, lebih terkait dengan aspek keimanan dan budaya.  Hal itu dapat dipahami, karena masalah menantu terkait dengan prinsip kekeluargaan.
Ketika ditanyakan lebih lanjut Apakah ciri-ciri orang sukses yang sebelumnya mereka ajukan penting untuk calon menantu?, ternyata semua menjawab ”ya, sangat penting, agar memiliki masa depan cerah”.    Dengan demikian ciri-ciri orang sukses berlaku juga untuk calon menantu.
Jika kita menggunakan pola pikir induktif, yaitu menarik simpulan dari fakta-fakta empirik di lapangan, maka hasil wawacara dengan banyak peserta pelatihan dari berbagai daerah dan mahasiswa pascasarjana beberapa jurusan dan beberapa angkatan tersebut, kita dapat mengambil simpulan tentang ciri-ciri orang sukses.  Apa ciri-ciri yang harus dimiliki seseorang agar dapat sukses, yaitu agar ketika membuka usaha bengkel, jahitan atau berpraktik sebagai dokter akan laris, agar menjadi anak buah yang dipercaya atasan, agar menjadi atasan yang dicintai anak buah, agar menjadi tetangga yang favorit dan akan diincar oleh banyak orang untuk dipilih menjadi calon menantu.
Jika ciri-ciri tersebut disebut kunci sukses, maka isinya mencakup: beriman dan taat beribadah, jujur, menguasai bidang pekerjaan yang ditekuni, kerja keras, ulet dan pantang menyerah, kreatif, pandai memecahkan masalah, bertanggung jawab, berpengetahuan luas, pandai bekerjasama dengan orang lain, memiliki hubungan yang luas, berani mengambil risiko dan pandai mengambil keputusan, tegas dalam memimpin, suka menolong, toleran  dan tidak usil terhadap urusan orang lain.
Betulkah jawaban-jawaban mereka sesuai dengan kenyataan di lapangan?  Tentu masih perlu diuji. Seusai meresume ciri-ciri orang sukses, saya merasa perlu untuk mengamati sendiri teman dan saudara yang kebetulan sukses dalam kehidupannya.   Untuk itu, saya mengamati tiga orang teman, seorang adalah pedagang sukses yang disebutkan pada bab terdahulu dan kebetulan teman akrab saat di SMP.  Kedua, juga seorang teman yang berprofesi sebagai arsitek yang handal dan karyanya banyak dikagumi oleh masyarakat.  Ketiga, juga teman dan masih ada hubungan saudara jauh yang bekerja sebagai birokrat. Mari kita cermati gambaran sosok mereka pada uraian berikut
                                                        
Pak Badrun, Pedagang Panutan

Namanya, sebut saja Pak Badrun. Profesinya  pedagang. Sewaktu sekolah di SMP, dia tergolong siswa yang biasa-biasa saja.  Salah satu hal yang menonjol adalah dia nyambi berjualan berbagai barang ketika sekolah, seperti jualan kue, mainan bahkan petasan di saat bulan puasa.  Saat itu dia tampak senang berjualan, pada hal dia berasal dari keluarga yang cukup berada.
Pengalaman berjualan itulah yang ternyata mendorong Badrun tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi langsung berdagang setamat SMA.  Dia bercerita memulai karier dengan berdagang kembang api dan petasan dan bawang putih saat menjelang lebaran. Kemudian berkembang ke bahan kebutuhan sehari-hari, seperi beras, gula hingga minyak. Semula Badrun berjualan di teras rumahnya yang disekat menjadi semacam kios darurat.  Kembang api dan petasan dipilih karena mendatangkan keuntungan besar.  Demikian pula bawang putih dipilih, karena saat itu harga bawang putih berbeda jauh antara di daerahnya dan di Surabaya. 
Sekarang Pak Badrun sudah menjadi pedagang besar, dengan tiga buah toko dan juga sebagai pedagang barang antar kota.  Dia memiliki enam anak, empat sudah sarjana dan dua masih kuliah, tiga di antaranya sudah bekerja dan berkeluarga. Pak Badrun  memiliki rumah besar dan menjadi orang terpandang di lingkungannya.  Apalagi dia juga berperan sebagai pengurus masjid, sekaligus pengurus yayasan yang memiliki sekolah, mulai dari TK sampai SMA.  Dengan demikian cukup alasan untuk menggolongkan Pak Badrun sebagai orang sukses.
Dengan mengamati perilaku keseharian Pak Badrun dan wawancara dengannya beberapa kali, ditemukan beberapa ciri khas.  Ciri pertama, Pak Badrun ternyata selalu mencari informasi terbaru yang terkait dengan dagangan dan kegiatan lainnya.  Koran menjadi bacaan wajib, khususnya tentang perkembangan harga barang.  Pak Badrun juga memiliki ”orang-orang kepercayaan” yang akan memberikan info tentang perdagangan di kota lain.  Yang lebih mengherankan, Pak Badrun sangat cermat menganalisis terhadap informasi tersebut.  Misalnya, ketika saya berkunjung ke rumahnya, Pak Badrun menerima informasi dari ”orangnya” di kota lain, bahwa ada wabah ayam di kota tempat tinggalnya.  Saat itu juga Pak Badrun mengajak diskusi bagaimana harga telor ayam beberapa minggu yang akan datang.  Pak Badrun memprediksi sekitar 2-3 minggu lagi harga telor ayam akan naik.
Ketika membaca berita di koran bahwa harga cabe merosot, Pak Badrun justru menganjurkan kawan-kawannya menanam cabe.  Mengapa demikian? menurut Pak Badrun, pada umumnya orang tidak mau menanam pada saat harga jatuh, akibatnya akan terjadi kekurangan produksi dan selanjutnya harga akan naik.  Saya dibuat kaget dengan prediksi tersebut.
Pak Badrun juga menyarankan beberapa teman, bahkan kini bersama seorang temannya  merintis usaha untuk menanam padi dan sayuran tanpa pupuk dan obat-obatan kimiawi.  Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk hijau.  Dengan penuh keyakinan Pak Badrun menjelaskan bahwa ke depan, akan banyak orang yang memilih beras, sayur mayur dan buah-buahan yang bebas pestisida, walaupun harganya mahal.  Pada saat ekonomi masyarakat membaik, jumlah orang semacam itu akan semakin banyak dan akan menjadi pangsa pasar khusus.
Sungguh mengagumkan.  Pak Badrun yang ”cuma” tamatan SMA dan tinggal di kota kecil ternyata mampu memprediksi berbagai hal, yang mungkin seorang sarjanapun belum tentu mampu melakukan.  Ketika petani pada umumnya berpikir mencari jenis benih dan pupuk yang mampu menghasilkan panen maksimal, Pak Badrun justru melihat peluang untuk hal sebaliknya, yaitu bertani secara tradisional yang walaupun hasil panennya sedikit tetapi harganya akan mahal.  Jargon back to nature yang banyak dilontarkan oleh para ahli, ternyata sudah disadari oleh Pak Badrun dan itu menjadi inspirasi untuk berinovasi dalam pertanian.
Ketika hal itu kami tanyakan, Pak Badrun dengan kelakar menjawab ”pedagang harus mampu melihat peluang, kalau tidak ya tidak akan dapat bersaing”.  Pak Badrun menjelaskan, untuk melihat peluang itu orang harus banyak membaca dan bertanya untuk mencari informasi, kemudian menganalisisnya.  Jargon bahwa ”siapa yang memiliki informasi lebih dahulu akan menang satu langkah dalam persaingan” ternyata sudah disadari bahkan dilakukan Pak Badrun.
Ciri kedua, kemampuan Pak Badrun dalam berkomunikasi sangat bagus.  Pernah, suatu ketika saya datang ke tokonya, dan saat itu Pak Badrun sedang menghadapi pelanggan yang marah-marah.  Tampaknya pelanggan tersebut komplain soal mutu barang.  Yang mengagumkan, Pak Badrun dengan sabar dan tersenyum mendengarkan ”omelan” pelanggan tersebut.  Baru setelah si pelanggan berhenti, Pak Badrun menjelaskan duduk persoalannya dan secara gentleman mengatakan akan mengganti, kalau memang kerusakan barang tersebut diakibatkan kesalahan karyawannya.   Di akhir pertemuan itu, si pelanggan pulang dengan wajah puas.
Dari mengamati cara Pak Badrun berdialog dengan pelanggan yang sedang marah, ada dua hal yang menonjol, yaitu kemampuan Pak Badrun dalam memilih kata-kata dan cara mengungkapkan serta kemampuan mengendalikan emosi dan menunjukkan empati pada lawan bicaranya.
Tampaknya kemampuan mengelola emosi yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui tulisannya tentang Emotional Intelegence, sudah disadari dan diterapkan oleh Pak Badrun.  Kemampuannya mengelola emosi itulah yang menyebabkan Pak Badrun dapat tetap tersenyum dan penuh kesabaran menghadapi pelanggan yang marah.  Dan itu ternyata membuahkan hasil kepuasan pelanggan.
Ketika ditanya apakah dia membaca buku Emotional Intelegence, Pak Badrun menjawab ”ya”.  Tetapi dia menambahkan bahwa sudah menerapkan prinsip itu jauh sebelum membaca bukunya Daniel Goleman. Pak Badrun mengatakan bahwa modal utama pedagang adalah kepercayaan dan untuk memperoleh kepercayaan diperlukan dua syarat, yaitu jujur dan punya banyak kawan.  Oleh karena itu, menurut Pak Badrun, menipu pelanggan tidak boleh dilakukan.  Sekali ditipu, pelanggan akan kapok dan akan menceritakan hal itu  kepada kawan-kawannya.  Pedagang yang menipu pelanggan, ibarat menutup pintu sukses untuk diri sendiri.
Dengan mengutip beberapa ayat Al Qur’an dan Hadits, Pak Badrun menjelaskan betapa pentingnya kejujuran, yang merupakan salah satu komponen penting dari akhlaq.  ”Nabi Muhammad adalah contoh pedagang yang jujur, sehingga semua orang ingin membeli dagangannya dan semua orang ingin bekerja dengannya”.  Tampaknya Pak Badrun tidak hanya menerapkan prinsip emotional intelegence, tetapi juga spiritual intelegence dalam berdagang.  Ketika saya tanyakan bagaimana bisa sesabar itu menghadapi omelan orang, ”orang sabar itu dicintai Allah,” katanya sembari tertawa.
Kawan juga merupakan faktor penting bagi pedagang.  Kawan itulah yang akan menjadi pelanggan utama dan sekaligus mengiklankan dagangannya kepada teman-teman lainnya.  Menurut Pak Badrun, pelanggan yang setia akan menjadi pengiklan yang lebih baik, dibanding selebaran atau spanduk.  Oleh karena itu Pak Badrun berusaha mengakrabi pelanggannya, sehingga menjadi teman. Begitu telah menjadi kawan, pertahankan dan jangan sampai lepas. Teman adalah modal penting dalam berdagang, sedangkan musuh adalah ibarat kanker dalam berdagang.  Tampaknya pepatah Cina kawan seribu terlalu sedikit, sedangkan musuh satu terlalu banyak dianut oleh Pak Badrun.
Suatu saat saya diajak Pak Badrun dalam suatu kegiatan sosial di masjid tempatnya menjadi pengurus (takmir), yang lokasinya menyatu dengan sekolah di mana dia menjadi salah satu pengurus yayasannya.  Omong-omong dengan orang-orang yang terlibat kegiatan tersebut dan mengamati Pak Badrun berinteraksi dengan temannya, saya menemukan ciri Pak Badrun yang ketiga, yaitu pergaulannya luas dan memiliki kepedulian tinggi pada penderitaan orang lain.  Pak Badrun ternyata kenal baik dengan ”orang-orang besar” di daerahnya, baik dari jajaran pemerintah daerah, kepolisian, maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Pak Badrun ternyata sangat pandai bergaul, dengan enaknya mengobrol dengan ibu-ibu yang sedang mencuci piring, tetapi juga dengan enak sekali menyapa dan ngobrol dengan seorang pejabat pemda yang kebetulan datang.  Sepertinya Pak Badrun dapat bergaul dengan ”orang kecil” maupun ”orang besar”.   Beberapa orang yang saya ajak ngobrol mengatakan bahwa Pak Badrun pandai bergaul dan bekerja dengan siapa saja.
Ketika pulang dari acara tersebut saya menanyakan, apa yang mendorongnya aktif di kegiatan masjid maupun menyempatkan diri untuk mengurus sekolahan, padahal sehari-hari sudah disibukkan oleh perkerjaannya sebagai pedagang.  Sungguh mengejutkan, Pak Badrun menjawab bahwa menurut Islam sebaik-baik orang itu jika bermanfaat bagi lingkungannya.  Dengan aktif mengikuti kegiatan sosial dia ingin bermanfaat bagi lingkungannya.   Ungkapan tersebut menunjukkan ciri ke empat Pak Badrun, yaitu kepedulian pada masyarakat.
Ciri ke lima Pak Badrun yang saya tangkap dari mengamatinya selama berminggu-minggu adalah kemauannya untuk belajar, baik melalui membaca buku, bertanya kepada orang yang dianggap lebih tahu dan mencermati fenomena kehidupan, kemudian menganalisisnya.  Di rumahnya terdapat cukup banyak buku, khususnya buku-buku populer, seperti buku ESQ karya Ary Ginanjar, Perang Bisnis dengan Strategi Perang ala Sun Tzu oleh Donald Kranse, buku berjudul Muhammad sebagai Pedagang (berupa fotocopy), buku-buku karya Quraish Shihab dan Aa Gym serta majalah SWA beberapa terbitan. Walaupun berprofesi sebagai pedagang, Pak Badrun ternyata terus belajar dari berbagai bahan bacaan.  Kepada saya, Pak Badrun mengatakan belajar adalah kewajiban bagi orang Islam, mulai dari buaian ibu sampai menjelang masuk liang lahat.
Ketika merasa sudah memperoleh lima ciri yang menjadi modal kesuksesan Pak Badrun, saya menanyakan apa pesan Pak Badrun kepada pemuda yang ingin bekerja sebagai pedagang.  Dia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi bercerita bahwa banyak anak muda yang kini ingin jadi pengusaha, tetapi langsung patah semangat ketika mengalami kesulitan atau kegagalan.  Banyak orang yang memulai usaha, tetapi hanya sedikit yang pantang menyerah dan mampu bangkit kembali ketika jatuh.  Padahal, setiap pedagang dan pengusaha pasti pernah mengalami kesulitan dan kegagalan.  Dengan ungkapan itu, secara tidak langsung Pak Badrun ingin berperan bahwa untuk menjadi pedagang atau pengusaha yang sukses, orang harus pantang menyerah.  Jadi itulah tampaknya ciri ke enam yang menyebabkan Pak Badrun sukses sebagai pedagang.

Ir. Wahyu, Arsitek yang Tekun

Dia seorang arsitek profesional, usianya sekitar 50 tahun.  Banyak rancangannya menjadi bangunan monumental yang menjadi ikon daerah.  Orangnya sederhana dan tidak kelewat banyak bicara, tetapi hampir semua rekan sejawat mengakui dia sebagai arsitek handal.  Sebut saja namanya Ir. Wahyu (nama samaran).  Untuk mendapatkan gambaran tentang Pak Wahyu secara utuh, saya beberapa kali mengunjunginya di studio yang merangkap menjadi kantornya, omong-omong dengan dia, staf di kantor tersebut dan rekan kerjanya.  Saya juga melakukan wawancara dengan beberapa pengguna jasa arsitek Pak Wahyu.
Dari sejumlah kunjungan dan omong-omong tersebut ditemukan ciri-ciri yang diduga menjadi penyebab Pak Wahyu sukses.  Ciri pertama, Pak Wahyu sangat tekun dan teliti dalam bekerja.  Beberapa stafnya menyebut Pak Wahyu adalah seorang pekerja keras dan perfectionist, karena ingin setiap apa yang dikerjakan hasilnya sempurna. Pak Wahyu akan mengoreksi sebuah rancangan, kalau dirasa masih ada yang belum sempurna, walaupun orang yang memberi order sudah puas.
Saya pernah mendampingi Pak Wahyu, ketika ada seorang pelanggannya meminta membuatkan rancangan rumah.  Pak Wahyu cukup lama melakukan wawancara dengan Bapak dan Ibu pelanggan tersebut, tetang hobi dan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan. Pak Wahyu juga menunjukkan berbagai gambar rumah di majalah serta foto-foto dan meminta tamunya untuk mengomentari gambar dan foto rumah tersebut. Ternyata informasi tersebut digunakan sebagai dasar membuat rancangan rumah yang sesuai kepribadian penghuni, kegiatan sehari-hari dan juga untuk menyalurkan hobi keluarga tersebut.  Saya tertegun, ketika Pak Wahyu menjelaskan bahwa kenyamanan rumah akan membantu kesehatan penghuni, keharmonisan rumah tangga dan ujungnya akan membuat orang fresh dalam memulai pekerjaan yang tentunya akan meningkatkan produktivitas kerja yang bersangkutan.
  ”Arsitek yang asal-asalan dalam merancang bangunan dapat menyebabkan penghuninya tidak sehat, keluarganya tidak harmonis dan produktivitas kerjanya menurun”, begitu pesan Pak Wahyu.  Di ruang kerja para staf artisteknya terpasang tulisan besar-besar yang dipasang di tembok, berbunyi ”HASIL RANCANGAN ANDA IKUT MENENTUKAN KESEHATAN PENGHUNI, KEHARMONISAN KELUARGA DAN PRODUKTIVITAS KERJANYA”.  Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pak Wahyu benar-benar mengusai bidang pekerjaannya.  Ciri kedua, yaitu menguasai bidang pekerjaannya inilah yang membuat klien dan rekannya mengakui sebagai arsitek handal.
Pak Wahyu tampaknya membina anak buahnya dengan teladan dan bukan omongan.  Perilaku keseharian Pak Wahyu, seperti bekerja keras, tekun dan teliti telah menjadi teladan bagi anak buahnya dan itu diakui oleh stafnya.  Mereka menyebut Pak Wahyu bukan hanya sebagai atasan atau bos, tetapi juga sebagai teladan bagaimana bekerja secara profesional. Jadi ciri ketiga Pak Wahyu adalah menjadi teladan bagi anak buahnya.  Dia sering ke ruang kerja anak buahnya, untuk memeriksa dan membetulkan pekerjaan mereka yang keliru atau kurang sempurna.  Walaupun pendiam, ternyata Pak Wahyu dapat enak omong-omong dengan anak buahnya.  Anak buahnya ternyata juga tidak takut untuk bertanya dan bahkan mengoreksi pendapat Pak Wahyu.  Kebiasaan Pak Wahyu mendatangi ruang kerja stafnya, memeriksa pekerjaan dan kemudian memberi koreksi, menanyakan kesulitan dan membantu memecahkan, menjadikan anak buahnya sangat menghormatinya.  Seorang staf senior menyatakan, dia sudah bekerja di kantor tersebut selama 18 tahun dan tidak ingin pindah, walaupun beberapa kali ditawari kantor lain sejenis.
Bagaimana Pak Wahyu memulai kariernya sehingga menjadi aristek yang handal?  Ternyata dia sudah bekerja sebagai drafter (juru gambar) di kantor Biro Arsitek, sejak kuliah tahun kedua.  Pak Wahyu menceritakan panjang lebar tentang kehebatan arsitek yang dia bantu, sehingga Pak Wahyu merasa lebih banyak belajar dari atasan tersebut dibanding dari bangku kuliah.  Di Biro Arsitek itulah, Pak Wahyu belajar banyak hal, misalnya tentang filosofi kehidupan, bekerja dengan ulet dan jujur, melayani klien dengan baik dan bahkan mengelola bisnis secara baik.  Setelah bekerja selama 9 tahun, setelah lulus sebagai insinyur dan telah merasa cukup bekal, barulah  Pak Wahyu ingin mendirikan usaha sendiri.  Anehnya, atasan yang dikagumi itu justru mendorongnya dan bahkan memfasilitasi agar usaha Pak Wahyu dapat berjalan dengan baik.  Dia tidak takut tersaingi, walaupun tahu betul bahwa usaha yang dirintis Pak Wahyu adalah kantor Konsultan Perencanaan yang bidang utamanya juga dalam merancang bangunan.  Oleh karena itu hubungan Pak Wahyu dengan mantan bos-nya itu tetap berjalan baik, bahkan sering bekerja sama dalam suatu proyek tertentu.
Suatu saat Pak Wahyu mengundang saya untuk ngobrol malam hari di kantornya. Tentu ini ajakan yang menyenangkan.  Sambil ngobrol saya mengamati buku yang begitu banyak di studio Pak Wahyu dan mencakup berbagai jenis dan bidang.  Di samping buku-buku tentang rancang bangun dan manajemen, ternyata banyak juga buku tentang psikologi populer dan buku-buku futuristik.  Beberapa di antaranya Rethinking the Future karya Rowan Gibson (ed), Lateral Thinking  Eduard de Bono, ESQ dari Ary Ginanjar, Megatrends oleh Naisbitt, Dunia Tanpa Batas oleh Kenichi Ohmae dan Me Too is not My Style oleh Stan Shih.
Ketika ditanya alasan keberadaan begitu banyak buku dari berbagai jenis tersebut, Pak Wahyu dengan tenang menjelaskan bahwa untuk mampu membuat rancang bangun yang baik, dia perlu membaca banyak buku untuk memperoleh berbagai informasi baru.  Tugas arsitek, menurutnya, adalah memindahkan keinginan dan kebutuhan pemberi order menjadi rancangan bangunan.  Oleh karena itu, arsitek harus pandai menangkap apa yang diinginkan sekaligus apa yang dibutuhkan oleh klien.  Untuk dapat menggali keinginan dan kebutuhan itu, arsitek harus pandai ”memancingnya” dalam suatu dialog.  Yang sering terjadi, keinginan dan kebutuhan itu baru terungkap, ketika diberikan contoh dan bahan banding.  Nah, di situlah pentingnya arsitek selalu meng-up date, pengetahuannya.
Apa untungnya membaca buku-buku yang sepertinya tidak terkait dengan bidang arsitektur? ”Wow, banyak manfaatnya,” tukasnya bersemangat.  Ambil contoh buku Megatrend. Karya John Naisbitt itu memberinya inspirasi bahwa arsitek harus mampu membuat rancangan yang tidak terbatasi oleh batas negara, tetapi tetap bersumber dari nilai-nilai kehidupan lokal.  Jadi ciri ke empat Pak Wahyu adalah kebiasaan belajar terus dan memanfaatkan hasilnya untuk profesinya sebagai arsitek.
Setelah ngobrol sana-sisi, Pak Wahyu dengan serius menyatakan bahwa dia risau dengan kondisi pendidikan saat ini.  Menurutnya, pendidikan seperti misleading, karena hanya menekankan pada mempelajari buku-buku dan melupakan mengajarkan perilaku jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab.  Pak Wahyu memberikan contoh teman teman cucunya yang tidak merasa bersalah, ketika menyontek ketika ulangan.  Dia merasa kewalahan menanamkan sikap dan kebiasaan baik kepada cucunya, karena di sekolah justru tidak mendapat perhatian.  Dari pengalamannya bekerja sebagai profesional, justru jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab, itulah yang menjadi modal utama.  Dia memberi contoh, ketika ada karyawan baru di kantornya, lebih mudah membimbing mereka yang ”kurang bekal pengetahuan” tetapi jujur, disiplin, tanggung jawab dan mau bekerja keras, dibanding karyawan baru yang ”pandai” tetapi tidak disiplin, tanggung jawab dan malas.
Ungkapan Pak Wahyu itu mengingatkan saya, yang beberapa tahun lalu diminta oleh sebuah perusahaan ”X” membantu melakukan seleksi calon karyawan.  Kepada Direktur Umum perusahaan itu, yang kebetulan kawan, saya bertanya apa kriteria pokok yang diperlukan di perusahaan tersebut.  Sambil bercanda, dia menjawab:  pertama: jujur, kedua: disiplin, ketiga: tanggung jawab, ke empat: nalarnya berjalan baik.  Menurut dia, karyawan pandai tetapi tidak jujur akan mencuri.  Karyawan pandai tetapi tidak disiplin akan merusak situasi kerja di perusahaan.  Karyawan pandai tetapi tidak tanggung jawab akan bekerja secara sembarangan.  Jadi syarat seleksi karyawan di perusahaan ”X” tersebut sangat mirip dengan apa yang disampaikan Pak Wahyu.

Pak Trisman Birokrat Lurus

Sampel orang sukses berikutnya seorang birokrat. Orangnya ramah dan sudah bekerja sejak lulus SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas).  Sebut saja namanya Pak Trisman. Pak Trisman melanjutkan kuliah sambil bekerja dan saat ini telah menyelesaikan jenjang S2 dari Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi ternama.  Kariernya Pak Tris sangat bagus, sehingga pada umur sekitar 45 tahun, sudah menduduki jabatan                                                                                                                                      cukup tinggi di kantornya.
Untuk dapat mengetahui ciri perilaku Pak Tris, saya beberapa kali berkunjung ke rumahnya dan ke kantornya.  Dari pengamatan dan wawancara bebas dengan anak buahnya, didapatkan cerita tentang ciri pertama Pak Tris, yaitu disiplin, pekerja keras, perhatian dan suka menolong anak buah, tetapi juga keras dalam menerapkan aturan kerja.  Seorang stafnya mengatakan Pak Tris selalu datang sebelum jam kantor dan selalu melongok ke ruang kerja anak buahnya ketika jam kerja mulai.  Pak Tris selalu membantu jika anak buahnya mengalami kesulitan, tetapi sebaliknya akan marah jika ada anak buahnya tidak sungguh-sungguh dalam bekerja dan bahkan mengambil tindakan tegas jika ada anak buahnya tidak jujur.
Ketika hal itu dikonfirmasi kepada Pak Tris, dia menjelaskan bahwa kejujuran dan kesungguhan merupakan modal dasar dalam bekerja.  ”Saya sangat sedih jika ada staf yang tidak sungguh-sungguh dalam bekerja, karena itu menunjukkan niatnya tidak tulus. Padahal, hasil kerja itu akan sangat tergantung dari niatnya. Kalau niatnya tidak tulus, dia tidak akan sungguh-sungguh dalam bekerja dan tidak akan peduli apakah hasilnya bagus atau jelek.”   Dari ungkapan tersebut tampak sekali Pak Tris ingin setiap orang bekerja dengan niat tulus, sehingga sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas yang diterima.
Tentang kejujuran, Pak Tris mengatakan bahwa kejujuran merupakan syarat pokok, apalagi jika itu menyangkut uang. Staf yang tidak jujur menurut Pak Tris sangat membahayakan, karena mungkin memberikan data yang tidak benar dan itu sangat membahayakan perhitungan-perhitungan di kantornya, yang kebetulan banyak terkait dengan keuangan. ”Ketidakjujuran dapat mendorong seseorang untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk berbuat jahat demi kepentingan diri sendiri”.  
Diamati dari kehidupan sehari-harinya,  Pak Tris tergolong sederhana, dibandingkan dengan masa kerja dan jabatan yang dimiliki dan juga dibanding dengan rekan-rekan selevelnya.   Beberapa stafnya menyebut Pak Tris sebagai orang yang ”lurus”.  Jadi apa yang diharapkan dari stafnya dan Pak Tris juga melakukan yaitu kejujuran dan itu merupakan ciri dia yang kedua.   Ketika hal itu saya komunikasikan dengan isterinya, Bu Tris menjawab suaminya selalu mengingatkan bahwa harta sedikit tetapi diperoleh secara halal akan membuat kehidupan lebih tenteram dibanding harta banyak tetapi diperoleh dengan cara tidak halal.
Dua mantan atasan Pak Tris memberi komentar tentang mengapa karier Pak Tris meroket naik. Pak Tris itu orangnya sangat baik karena jujur, pekerja keras, dapat bekerja sama dengan orang lain, dan banyak ide untuk memecahkan masalah.   Apakah memang benar  Pak Tris memiliki kemampuan seperti itu, rekan selevel Pak Tris pada umumnya mengiyakan. Jadi itu merupakan ciri ketiga Pak Tris, sehingga sukses dalam bekerja sebagai birokrat.
Ketika ada kesempatan agak longgar, saya menanyakan mengapa Pak Tris bersusah payah sekolah sampai jenjang pascasarjana, padahal sudah begitu sibuk dengan pekerjaannya di kantor.  Dan mengapa dia memilih kuliah S2 di perguruan tinggi yang konon cukup sulit kelulusannya.  Jawaban Pak Tris sungguh mengagetkan.  Justru di universitas, baik saat kuliah dengan dosen, membaca referensi,  menyusun makalah, maupun saat diskusi dengan rekan mahasiswa itulah, dia merasa mendapatkan banyak gagasan untuk memperbaiki pekerjaan dan memecahkan masalah yang dihadapi di kantor.  Oleh karena itu Pak Tris memilih perguruan tinggi yang justru dikenal ”sulit” lulus untuk mengambil jenjang S2 dan bukan memilih perguruan tinggi yang dikenal ”mudah” kelulusannya. Seakan ingin menegaskan, Pak Tris mengatakan dia kuliah untuk memperoleh tambahan pengetahuan dan bukan sekadar memperoleh ijazah.  Jadi belajar dengan sungguh-sungguh merupakan ciri ke empat kesuksesan Pak Tris.

Bu Candra Guru Idola

Setelah memperoleh gambaran yang cukup lengkap dari ketiga orang sukses tersebut di atas, terasa masih ada yang kurang, yaitu belum ada contoh perempuan yang sukses dan belum ada yang mewakili profesi yang tidak menjanjikan dari aspek penghasilan. Oleh karena itu, saya mencari ibu guru yang sukses untuk diamati.  Dari beberapa informasi akhirnya didapat sosok Ibu Chandra (nama samaran).  Menurut informasi, Bu Chandra berumur sekitar 35 tahun dan merupakan guru yang merangkap wakil kepala sekolah.  Dia sangat pandai, kreatif, pekerja keras, disenangi oleh siswa maupun rekan kerjanya, sehingga di usia yang relatif mudah sudah ditugasi sebagai Wakil Kepala Sekolah dan banyak diminta oleh rekan sejawat sebagai  narasumber dalam berbagai diskusi.
Ketika bertemu, kesan pertama dari Bu Chandra adalah orangnya ramah, enerjik, orang yang sibuk dan banyak teman.  Bu Candra ternyata pernah mengikuti suatu seminar, di mana saya menjadi salah satu penyaji, sehingga dia sudah merasa kenal dengan saya. Oleh karena itu, Bu Candra bersedia untuk diajak diskusi beberapa kali, asal tidak mengajar dan tidak ada tugas yang mendesak.
Dari diskusi beberapa kali, dapat ditangkap bahwa ciri pertama Bu Candra adalah ramah dan banyak ide/gagasan, khususnya untuk memperbaiki proses pembelajaran.   Kemampuan Bu Candra dalam berkomunikasi sangat bagus.  Dia dapat memilih kata-kata yang tepat, disampaikan dengan santun, dengan intonasi yang jelas, sehingga pendengar yakin akan gagasan yang disampaikan.  Oleh karena itu, dapat dipahami jika banyak gagasan Bu Candra yang diterima oleh sekolahnya atau rekan sejawatnya.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian diwujudkan, walau kadang harus merogoh kantong sendiri, sebelum sekolah menggantinya.  Dengan melihat beberapa karya yang dihasilkan, saya setuju dengan masukan rekan kerjanya, bahwa Candra pekerja keras dan berani mengambil risiko.  Itulah ciri kedua Bu Candra, sehingga membuat dia berhasil sebagai guru.  Kepala sekolahnya mengatakan bahwa Bu Candra adalah tipe guru yang banyak ide dan konsekuen, artinya tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.
Ketika berdiskusi, tiba-tiba Bu Candra menyodorkan naskah tulisan seseorang berupa print out komputer.  Ternyata naskah itu diambil Bu Candra dari home page tertentu.  Saya sempat tertegun ada guru yang ternyata mencari referensi melalui home page.  Pada hal, mahasiswa program S3 banyak yang enggan melakukan dengan berbagai alasan.  Setelah mendiskusikan naskah tersebut, saya baru paham bahwa Bu Chandra banyak membaca, sehingga walaupun secara formal berpendidikan S1, tetapi pengetahuannya mungkin setara dengan lulusan S2. Jadi ciri ketiga Bu Candra adalah kemampuannya  untuk belajar terus dengan berbagai cara.
Ciri ke empat Bu Candra adalah kemampuan kerja sama dengan orang lain.  Beberapa teman yang mengusulkan Bu Candra sebagai contoh guru yang sukses, sebenarnya sudah menyebutkan bahwa dia mudah bekerja sama dengan orang lain.  Setelah beberapa kali bertemu dan berdiskusi, saya mempercayai hal itu. 
Setelah mendapatkan ciri-ciri empat orang yang sukses dalam profesinya, marilah kita bandingkan dengan ciri-ciri yang diutarakan oleh para peserta penataran dan mahasiswa pascasarjana yang disebutkan terdahulu.


Tabel 1.
Perbandingan Ciri-ciri Orang Sukses
Ciri Orang Sukses Menurut Pendapat Peserta Penataran dan Mahasiswa Pascasarjana
Ciri Orang Sukses Menurut Hasil Observasi dan Wawancara Saya thd 4 Orang Sukses
  1. beriman dan taat beribadah.
  2. jujur.
  3. menguasai bidang pekerjaan yang ditekuni.
  4. kerja keras.
  5. ulet dan pantang menyerah.
  6. kreatif dan pandai memecahkan masalah.
  7. bertanggung jawab.
  8. berpengetahuan luas.
  9. pandai bekerjasama dengan orang lain.
  10. memiliki hubungan yang luas.
  11. berani mengambil risiko.
  12. pandai mengambil keputusan.
  13. tegas dalam memimpin.
  14. suka menolong.
  15. toleran.
  16. tidak usil terhadap urusan orang lain.

  1. jujur
  2. disiplin
  3. bertanggung jawab.
  4. kerja keras dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
  5. menguasai bidang pekerjaannya.
  6. tekun dan teliti dalam bekerja
  7. banyak ide, kreatif dan pandai memecahkan masalah.
  8. sabar
  9. pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan.
  10. selalu belajar terus untuk meningkatkan pengetahuan yg terkait dengan profesinya.
  11. tegas dalam memimpin.
  12. mampu menjadi teladan bagi anak buah.
  13. suka menolong dan memperhatikan kepentingan orang lain.
  14. mampu berkomunikasi dengan bagus.
  15. mudah bekerjasama dengan orang lain.
  16. mampu mengelola emosi dengan baik.
  17. berani mengambil risiko.

Sungguh mengejutkan, karena ciri-ciri orang sukses versi peserta penataran dan mahasiswa pasca sarjana sangat mirip dengan hasil observasi dan wawancara dengan ”4 orang sukses”.  Tentu istilah yang digunakan berbeda, tetapi intinya sangat mirip.  Misalnya berpengetahuan luas yang diajukan peserta penataran identik dengan selalu belajar terus untuk meningkatkan pengetahuan yg terkait dengan profesinya.  Memiliki hubungan luas identik dengan mampu berkomunikasi dengan baik yang disertai dengan mampu bekerja sama dengan banyak orang.
Ciri yang diajukan oleh peserta penataran, tetapi tidak muncul dari hasil observasi dan wawancara adalah beriman dan taat beribadah.  Namun hal itu, hanyalah masalah penekanan.  Pak Badrun saya yakini orang yang taat beribadah.  Demikian pula Pak Wahyu dan Pak Tris. Memang saya tidak mengamati Bu Chandra, tetapi dari kejujuran dan perilakunya, dapat diduga kuat dia juga taat dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
Dari uraian di atas, secara induktif kita telah menemukan sikap dan perilaku yang menjadi kunci seseorang, sehingga yang bersangkutan sukses dalam kehidupan.  Sukses tidak hanya dalam aspek materi dan karier, tetapi juga dalam sosial kemasyarakatan.  Bahkan dari aspek ibadah, yang menjadi sumber nilai-nilai kehidupan. Kita sebut saja sikap dan perilaku tersebut dengan kecakapan hidup atau life skill, karena kecakapan atau skill itulah yang ternyata menyebabkan seseorang sukses dalam kehidupannya.
Pertanyaannya kini, apakah sekolah telah mengajarkan dan menumbuhkembangkan ciri-ciri orang sukses tersebut kepada siswa?  Rasa-rasanya belum atau bahkan masih jauh dari itu.   Saya juga terkejut, karena dalam mengajar dan memberi kuliah selama lebih dari 25 tahun, tidak membayangkan bahwa kemampuan itulah yang sebenarnya diperlukan siswa atau mahasiswa untuk menggapai sukses dalam kehidupan.
Untuk menemukan gambaran apakah kecakapan hidup yang menjadi kunci orang sukses tersebut sudah dikembangkan di sekolah, saya  mengajukan pertanyaan kepada para peserta penataran, tentang teman sekolah di SD, SMP, SMA/SMK atau kuliah yang kini dianggap paling sukses di antara teman lainnya.  Mereka diminta untuk memilih teman sekolahnya, yang kini dianggap paling sukses.  Setelah menemukan, saya minta mereka mengingat bagaimana perilaku teman tersebut, saat masih sekolah.  Apakah dia merupakan siswa/mahasiswa yang sering mendapat juara kelas?  Apakah dia sering dipuji oleh bapak/ibu guru/dosen sebagai murid yang pandai?
Jawaban yang muncul, ternyata teman yang kini paling sukses tidak selalu mereka yang juara kelas.  Bahkan sebagian besar mereka yang kini sukses adalah mereka yang nilainya biasa-biasa saja, tetapi aktif di kegiatan sekolah atau masyarakat, suka kotak-katik dan banyak akalnya, suka membantah, suka membandel dan berani mengambil risiko, sering menjadi pimpinan dalam kegiatan dan seringkali sudah sambil bekerja pada saat sekolah/ kuliah. 
Setelah itu, saya minta mereka mengingat teman sekolahnya yang dahulu selalu mendapat ranking di kelas dan dipuji oleh bapak/ibu guru.  Setelah ingat, saya meminta mereka menyebutkan apakah mereka sekarang sukses dalam kehidupannya.  Jawaban yang muncul, tidak semua mereka yang dulu juara kelas kini sukses dalam kehidupannya.  Memang ada juga yang sukses, tetapi tidak banyak.  Kebanyakan hanya sedang-sedang saja dan bahkan diungguli oleh temannya yang dulu bukan juara kelas.
Jawaban tersebut seakan-akan membawa kita pada pendapat bahwa prestasi siswa di sekolah, yang ditunjukkan dengan nilai yang diperoleh siswa, bukan merupakan prediktor kesuksesan yang bersangkutan ketika memasuki kehidupan di masyarakat.  Jika prestasi tersebut merupakan bentuk penguasaan apa yang dipelajari di sekolah, berarti apa yang dipelajari siswa di sekolah tidak cocok dengan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk mencapai sukses dalam kehidupan.
Oleh karena itu, dengan setengah berkelakar, saya sering mengatakan kepada peserta pelatihan yang pada umumnya guru, kepala sekolah dan birokrat di bidang pendidikan, bahwa fakta tersebut menunjukkan kontribusi pendidikan terhadap kesuksesan siswa  tidak terlalu besar, sehingga wajar jika para pendidik tidak mendapatkan penghasilan yang besar.  Mengapa?  Karena kontribusinya terhadap kesuksesan siswa kecil, maka wajar jika gaji pendidikan juga kecil.
Tentu ungkapan itu hanyalah kelakar, tetapi punya maksud untuk mendorong kita semua, para pendidik, untuk merenungkan fenomena bahwa apa yang selama ini kita lakukan di sekolah, ternyata tidak banyak memberikan bekal untuk kesuksesan hidup siswa.  Siswa yang kemudian sukses setelah dewasa, justru mendapatkan bekal dari aktivitas keorganisasian, dalam pekerjaan yang digeluti sambil sekolah/kuliah, dalam aktivitas individu yang memaksa dia kerja keras, kotak-katik untuk menemukan inovasi dan bahkan kebandelannya.      
            Lebih menyedihkan, perbuatan seperti itu seringkali kurang disenangi oleh guru.  Jika ada anak yang senang kotak-katik, membantah pendapat guru, aktif dalam aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan dan sambil bekerja saat sekolah, guru sering mengingatkan agar lebih mementingkan pelajaran, sehingga tidak jatuh prestasinya.   Seakan-akan aktivitas tersebut difahami berada ”di luar” kawasan pendidikan atau kurang penting dibanding mengikuti pelajaran di kelas.  Padahal, uraian di atas menunjukkan, justru melalui kegiatan semacam itu siswa memperoleh kesempatan untuk memperoleh kunci orang sukses.
Di samping itu, pendidikan di sekolah seringkali diwarnai dengan arogansi mata pelajaran oleh guru. Setiap guru merasa mata pelajaran yang dibina begitu penting, sehingga kalau bisa minta ”jatah” jam pelajaran yang banyak.  Karena diyakini penting, setiap guru meminta siswanya mempelajari banyak konsep dan teori dalam mata pelajaran tersebut.  Seakan-akan setiap siswa harus sekaligus menjadi ahli Matematika, ahli Fisika, ahli Ekonomi, ahli Sejarah, ahli Bahasa Inggris dan sebagainya.  Akibatnya siswa harus mempelajari begitu banyak konsep dan teori, walaupun sebenarnya tidak terlalu terkait dengan kehidupan yang dihadapi sehari-hari dan juga tidak terkait erat dengan kunci untuk menggapai sukses.
Praktik pendidikan di sekolah kini telah tereduksi menjadi wahana untuk menguasai materi ajar yang ada dalam buku, tanpa dipertanyakan apakah apa yang dipelajari tersebut bermanfaat bagi siswa, dalam menghadapi kehidupannya di masa datang.  Oleh karena itu sangat wajar, kalau pendidikan tidak dapat memenuhi harapan orangtua, yaitu memberikan anak bekal untuk menggapai sukses. Bukankah orangtua menyekolahkan anaknya dengan harapan dapat memperoleh bekal untuk menggapai sukses, di kemudian hari? Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian praktik pendidikan diprotes oleh Rendra, oleh Kiyosaki, oleh tetangga di kampung halaman, oleh petani di Lamongan dan oleh nelayan di Pasuruan.  
Mengapa hal itu terjadi?  Mengapa praktik pendidikan di sekolah jauh dari harapan?  Bukankah menurut para ahli, pendidikan adalah upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan diri guna menghadapi masa depannya?  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan negara.  Namun filosofi pendidikan yang dirumuskan para ahli dan definisi pendidikan yang tercantum dalam UUSPN 20/2003 tersebut tidak terimplementasikan dalam praktik pendidikan di sekolah.  Praktik pendidikan di sekolah telah tereduksi menjadi sebuah proses mekanistik yang bertujuan untuk memasukkan mata pelajaran ke benak siswa, tanpa dipikirkan apakah itu akan menjadi bekal penting bagi kehidupan siswa di masa datang atau tidak.
Jika hal itu yang terjadi, apakah yang dapat kita lakukan?  Apa yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang merasa ahli dan juga menganggap dirinya peduli pada pendidikan?  Tampak gagasan Michel Porter, bahwa dalam berinovasi kita tidak boleh hanya berpikir how to do tetapi harus berpikir what to do berlaku untuk pendidikan.  Untuk memperbaiki praktik pendidikan, kita tidak cukup berpikir bagaimana metoda pembelajaran yang baik, tetapi juga mempertanyakan apakah materi yang dipelajari siswa di sekolah, telah sesuai dengan kebutuhan mereka untuk menggapai sukses. []

Sabtu, 27 Juni 2020

UNTUK APA ANAK HARUS SEKOLAH? (Dari Buku Pendidikan Bermakna-2007)


Dalam sebuah kesempatan, saya pulang kampung untuk berlibur. Secara tak sengaja menjumpai fenomena yang sangat menarik.  Fenomena yang perlu direnungkan oleh siapa saja yang merasa peduli dengan dunia pendidikan.  Kampung halaman saya berada di wilayah pedesaan perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah, jauh dari kebisingan kota dan merupakan daerah pertanian yang cukup subur.  Saat itu merupakan masa tanam padi, sehingga warga desa beramai-ramai menggarap sawah, untuk mempersiapkan penanaman benih padi.  Tidak jauh dari persawahan itu, terdapat pasar desa yang walaupun pasar krempyeng, yaitu pasar yang hanya ada kegiatan di pagi hari sampai sekitar jam 10.00, tetapi cukup ramai.  Di pasar itulah pada umumnya masyarakat menjual hasil pertanian dan membeli kebutuhan sehari-hari.
Di saat menikmati pemandangan sawah dengan air berlimpah, beberapa kelompok wanita giat menanam benih padi, beberapa pria mencangkul, membajak dan menggaru, saya melihat sekelompok anak muda sedang asyik bercengkerama di poskamling.  Dari cara mereka berpakaian, terkesan tidak seperti lazimnya pemuda desa yang sedang ke sawah, tetapi  lebih mirip dengan anak muda perkotaan.  Mereka memakai T-shirt dengan gambar khas anak muda masa kini dan bercelana jin atau celana biasa yang sudah “belel”.
Didorong rasa ingin tahu, saya mendatangi mereka dan ikut nimbrung ngobrol bersama. Mereka ramah, mudah akrab dan bahkan tampak senang saat saya bergabung sambil menanyakan hal ini dan itu.  Mereka juga ganti bertanya tentang Surabaya tempat saya selama ini tinggal.  Dari obrolan santai, saya jadi tahu kalau ternyata mereka itu tetangga saya di kampung, bahkan seorang di antaranya masih terhitung kerabat.  Melalui obrolan itu, saya tahu bahwa mereka itu semuanya warga asli kampung setempat. Dari lima anak muda itu, seorang di antaranya mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, seorang lainnya lulusan SMK, dua orang lagi lulusan SMA dan seorang terakhir lagi drop out SMK. 
Mereka sedang mengobrolkan sinetron yang sedang gencar ditayangkan televisi, diselingi  kelakar khas anak muda. 
“Mengapa tidak ikut membantu orangtua ke sawah?” saya mencoba memancing tanya.
            “Ya, gimana ya..” salah seorang dari mereka menjawab sementara teman yang lain turut tersenyum. Dengan malu-malu dan terbata-bata akhirnya dia melanjutkan  jawaban, “Mosok Pak, lulusan SLTA bekerja di sawah, mestinya kan bekerja di kantor atau di pabrik.”
            Saya juga menangkap kesan bahwa mereka menganggap pekerjaan sebagai petani dan pedagang di pasar desa adalah pekerjaan rendahan, sehingga tidak cocok bagi mereka.  Agaknya anak-anak muda itu berharap kelak akan mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai kantor atau sebagai karyawan pabrik di kota.
Kesan itu bertambah kuat, ketika saya mencoba mendengarkan obrolan mereka lebih jauh.  Materi yang diobrolkan bukan lagi bernuansa pedesaan. Mereka asyik berbincang soal bagaimana “mengakali” polisi lalu lintas agar tidak kena tilang, ngomong soal grup musik Slank yang baru saja digelar di kota dan sejenisnya. Salah seorang tampak bangga sekali menyebut dirinya sebagai Slanker.  Obrolan khas pemuda perkotaan. Gaya bicara dan idiom-idiom yang digunakan hingga pakaian dan asesori yang disandang sangat mirip anak muda di perkotaan.  Jika tidak mengetahui siapa mereka, orang akan menduga mereka itu pemuda dari kota yang sedang berlibur ke desa. 
Ketika saya mencoba memancing dengan pertanyaan, mengapa para petani tidak memanfaatkan sawah untuk memelihara ikan lele sambil ditanami padi dan mengapa pasar desa tidak punya toko yang buka sampai sore hari, supaya warga desa dapat mudah membeli kebutuhan sehari-hari, mereka tidak memberi tanggapan yang serius.  Sepertinya, anak-anak muda itu tidak lagi tertarik untuk mencermati keadaan di pedesaan sekitarnya.  Ketika ditawarkan ide, bagaimana kalau di desa dibuat alat untuk mengolah tomat menjadi saus, dengan alasan banyak hasil panen tomat tetapi  harganya murah, sementara harga saus cukup mahal, mereka juga tidak memberi respon memadai.  Justru mereka lebih memilih bertanya, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan di Surabaya atau menjadi tenaga kerja (TKI) di luar negeri.
“Apa rencana kalian ke depan?”
“Saya ingin mencari pekerjaan ke kota atau mungkin ke luar negeri,” kata seorang dari mereka.
“Saya sudah mengajukan lamaran ke beberapa perusahaan di kota, tapi belum ada jawaban,” kata yang lain. Salah seorang bahkan sudah merencanakan akan ke Malaysia. “tapi masih menunggu biaya, mau dijualkan tanah dulu.”
“Lho, apa uang hasil penjualan tanah tersebut tidak lebih baik untuk modal berdagang atau membuka toko di pasar desa?”
Pria itu cuma tersenyum. Kentara sekali dia tidak tertarik. Sepertinya kehidupan desa sudah dianggap masa lalu yang harus ditinggalkan dan menggantinya dengan kehidupan baru di kota atau bahkan di luar negeri.
Merasa tidak puas dengan jawaban dari anak-anak muda yang masih tetangga sendiri itu, saya berkeinginan menanyakan kepada para orangtuanya.  Secara kebetulan besuknya ada tetangga yang mengadakan kenduri, sehingga ada ajang untuk bertemu dengan mereka.  Dengan bahasa sederhana, kejadian di poskamling tadi saya ungkap kembali. Sangat mengejutkan, mereka tidak menjawab, tetapi justru balik bertanya dan bermuatan setumpuk  keluhan. Berikut ini di antaranya:
Mengapa setelah sekolah anak-anak saya justru ora ngerti gawean (tidak mengerti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan).”  
“Mengapa anak-anak yang disekolahkan dengan menguras biaya, sekarang malah jadi beban. Mereka tidak mau membantu kerja dan selalu minta uang. Alasannya untuk cari kerjaan di kota”.
“Mengapa setelah sekolah, anak-anak jadi kurang menghargai orangtua?”
Saya sampai gelagapan untuk menjawab, karena keluhan tidak hanya datang orangtua dari pemuda yang pagi harinya ngobrol di poskamling, tapi juga dari peserta kenduri lainnya.  Dari obrolan di arena kenduri itu terungkap kekecewaan mereka terhadap anak-anaknya yang bersekolah di kota.  Sampai-sampai muncul ungkapan, untuk apa anak harus sekolah, jika hasilnya seperti itu.  Ketika memasukkan anak ke sekolah, orangtua berharap anak-anaknya akan menjadi “orang”, yaitu pandai dan memperoleh pekerjaan yang “terhormat” dan tidak seperti orangtuanya yang hidup susah sebagai petani.  Kenyataannya, setelah lulus mereka tidak memperoleh pekerjaan dan justru menyusahkan orangtua.  Setengah berkelakar, ada peserta kenduri yang mengatakan “menyesal” menyekolahkan anak sampai menjual sapi, kalau ternyata hasilnya seperti itu.

*

Pertanyaan dan ungkapan warga desa itu terus membebani pikiran.  Ketika beban tersebut belum terurai, dua hari berikutnya saya menjumpai fenomena yang juga sangat menarik.  Hari itu hari Minggu, saya bermaksud jalan-jalan ke pasar desa dengan ditemani keponakan yang masih kelas 2 SD.  Ketika melintas di poskamling, tampak banyak anak-anak muda yang ramai bercengkerama, jumlahnya lebih banyak dibanding dua hari sebelumnya, sehingga sebagian duduk pada buk, yaitu pagar pendek pengaman gorong-gorong sungai.  Setelah dekat tampak bahwa mereka adalah para remaja.
Terdorong rasa ingin tahu apa yang mereka kerjakan, saya membatalkan niat jalan-jalan ke pasar desa dan ikut nimbrung duduk-duduk di dinding gorong-gorong.  Ternyata mereka adalah anak-anak setempat yang umumnya sedang duduk di SMP dan MTs.  Hari Minggu tampaknya dimanfaatkan untuk santai dan bercengkerama di poskamling.  Tiga anak yang duduk di buk ternyata siswa SMP dan sedang mendiskusikan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang akan diikuti oleh kelompoknya di sekolah.  Mereka sedang mencari topik apa yang akan dijadikan penelitiannya.  Topik-topik yang didiskusikan pada umumnya terkait dengan IPA, khususnya yang dekat-dekat dengan elektronika.  Salah topik yg hangat dibicarakan adalah akan membuat alat yang dapat mengatur lampu listrik di rumah dapat menyala dan mati secara otomatis. 
Ketika diskusi berhenti, sambil menunjuk ke aliran sungai di bawah tempat duduk, saya bertanya: “Mengapa air sungai berwarna coklat?”.   Ketiga anak saling pandang, dan seorang menjawab, “karena tadi malam hujan lebat.”  Ketika saya kejar dengan pertanyaan “mengapa ya, kalau terjadi hujan lebat air sungai menjadi coklat”, tidak muncul jawaban.  Setelah agak lama, saya bertanya lagi: “Mengapa di bawah rumpun bambu tidak tumbuh rumput?”, sambil menunjuk lahan di samping poskamling.  Ternyata juga tidak muncul jawaban.
Setelah menunggu beberapa saat, saya memancing dengan pertanyaan: “Apa untuk tumbuh rumput perlu sinar matahari ya?”.  Hampir bersamaan, ketiga remaja itu mengiyakan dan salah seorang meneruskan bahwa semua tumbuhan tidak akan subur kalau tidak ada sinar matahari.  “Mengapa pada awal musim tanam padi, petani selalu memotong dahan pohon di pinggir sawah?”.   Mereka menjawab, agar dedaunan pohon tidak menutupi padi yang baru ditanam, sehingga padi mendapat cukup sinar matahari.
Setelah itu, saya menunjuk air sungai dan bertanya: “Apa yang dikandung air sungai sehingga berwarna coklat?”.  Mereka menjawab, air tersebut mengandung lumpur.  Ketika ditanyakan, bagaimana air sungai dapat mengandung lumpur, mereka menjawab bahwa lumpur berasal dari gunung yang terbawa oleh air hujan.
Dari sudut pandang pendidikan, tanya jawab dengan siswa SMP tersebut menarik.  Mereka sebenarnya punya pengetahuan tetapi tidak dapat mengaitkan dengan fenomena alam yang dihadapi.  Mereka mengerti kalau tanaman memerlukan sinar matahari untuk dapat tumbuh dengan baik.  Mereka tahu kalau air sungai berwarna coklat karena mengandung lumpur.  Namun demikian, mereka tidak dapat atau tidak terbiasa mengaitkan pengetahuan itu dengan fenomena alam yang dihadapi.  Mereka baru mengetahui kaitan tersebut, setelah dipancing-pancing dengan pertanyaan tertentu.
Setelah sekitar satu jam, kemudian saya ganti bergabung dengan anak-anak yang berada di dalam poskamling. Ketika itu, ada seorang anak yang datang dari pasar dan membawa beberapa buah mangga.  Saat ditanya berapa harga mangga itu, dia menyebut angka tertentu yang cukup mahal.
”Mengapa sekarang harga mangga begitu mahal?”
”Karena tidak musim panen mangga.”
“Mengapa kalau tidak panen harganya mahal?” saya mengejar.
“Ya, memang begitu, kalau sedang tidak musim harganya selalu mahal.”
Fenomena kedua di atas sungguh menarik untuk direnungkan.  Pertama, ternyata anak-anak yang tidak membantu orangtuanya ke sawah tidak hanya mereka yang sudah tamat SLTP atau SLTA, tetapi juga mereka yang masih bersekolah.  Di hari Minggu, mereka lebih sedang bercengkerama di poskamling, sementara orangtua mereka bekerja di sawah tanpa mengenal hari libur.  Memang mereka tidak mengatakan bertani itu pekerjaan rendah dan kurang cocok bagi anak SMP/SMA/SMK, tetapi perilaku mereka menunjukkan kekurangpekaan terhadap beban pekerjaan keluarga.  Mereka bersantai bersama temannya, sementara orangtua mereka membanting tulang di sawah di dekat mereka.
Kedua, pikiran anak-anak itu tidak membumi di lingkungan sekitarnya.  Walaupun mereka sedang berpikir tentang LKIR,  yang dipikirkan ternyata bukan hal-hal yang terdapat di lingkungannya.  Mereka memikirkan teknologi elektronika yang dipelajari di sekolah, tetapi justru tidak tertarik atau bahkan tidak paham tentang fenomena yang ada di sekitarnya.  Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi hujan lebat air sungai berwarna coklat dan mengapa lahan yang terlindung kerindangan rumpun bambu tidak ditumbuhi rumput.  Padahal kedua fenomena tersebut tentunya dipelajari dalam pelajaran di SMP atau bahkan SD, dan layak dibuat bahan LKIR.  Demikian pula, mereka tidak dapat menjelaskan mengapa harga mangga saat panen murah dan pada saat tidak musim panen berubah menjadi mahal.
Kejadian itu membuat saya merenungkan, apa yang salah salah dalam pendidikan kita?  Mengapa setelah sekolah, anak-anak justru berperilaku seperti itu?  Perenungan itu  mengingatkan saya kepada kejadian sekitar tahun 1994, ketika diminta oleh pemerintah untuk membantu melakukan sosialisasi program Wajib Belajar 9 Tahun.  Di suatu daerah pinggir selatan dari Kabupaten Lamongan, saya berusaha meyakinkan masyarakat yang tinggal di Desa Bluluk Kecamatan Sukorame, agar menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai tamat SMP.  Desa Bluluk merupakan desa ”miskin” yang berada di pinggiran hutan.  Pada umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan anak-anak mereka membantu bekerja ke sawah atau menggembala sapi atau kambing ke pinggiran hutan.
Pada suatu sore saya terlibat ”diskusi” dengan dua orang warga Bluluk yang sedang menunggui kambing mereka di pinggiran sawah.   Sesuai dengan tugas yang diemban, sore itu saya berusaha meyakinkan dua warga Bluluk tersebut tentang betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.  Anak-anak yang bersekolah akan memiliki pengetahuan yang sangat berguna untuk kehidupannya di masa datang.  Dengan bersekolah anak-anak akan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang baik, sehingga nanti dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding orangtuanya yang dulu tidak sempat sekolah.
Setelah terjadi tanya jawab tentang berbagai hal, di akhir pertemuan itu salah seorang dari mereka berkata: ”Pak kalau anak saya sekolah ke SMP, saya tentu menjual kambing untuk biaya.  Kalau nanti sudah lulus, apa dia bisa membeli kambing?  Padahal, kalau dia tidak sekolah tentu dapat menggembala kambing ke sawah atau hutan dan setiap tahun akan memperoleh anak kambing.
Sebagai seorang yang saat itu baru selesai menempuh program doktor dan sangat yakin akan manfaat akan pendidikan, saya berusaha meyakinkan kedua warga Bluluk itu bahwa anak yang bersekolah nantinya akan memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik, dibanding yang tidak bersekolah.  Ketika nanti sudah dewasa dan bekerja, anak yang bersekolah akan mampu membeli kambing dan bahkan sapi.  Namun, sampai pertemuan berakhir karena sudah mendekati saat Maghrib, toh kedua warga Bluluk itu tetap saja tidak memahami apa yang saya jelaskan.
Pada saat itu, saya berpendapat bahwa pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan naif dan tolol yang hanya diajukan oleh orang tidak terdidik yang tinggal di daerah terpencil.   Tetapi ketika dihadapkan fenomena anak-anak muda ”terdidik” yang ternyata justru mengecewakan orangtuanya, saya kemudian justru bertanya kepada diri sendiri. Jangan-jangan apa yang diomongkan warga Bluluk itu justru benar, realita yang terjadi di lapangan.  Hanya saja,  dia tidak dapat mengungkapkan dengan argumentasi yang bagus dan saat itu saya dihinggapi ”kesombongan intelektual”, maka statemen warga desa itu menjadi kelihatan bodoh.
Sekembali ke Surabaya, saya berusaha membongkar lagi dokumen kegiatan di Bluluk dan Sukorame Lamongan untuk mengetahui bagaimana trankrip ”diskusi” saat itu.  (Pada saat itu, setiap pertemuan, obrolan, dan diskusi wajib dibuat transkripnya, sebagai bahan pengambilan simpulan dan kebijakan untuk langkah selanjutnya).  Ketika menemukan dan membaca transkrip, saya menjadi terkejut.  Ternyata ungkapan-ungkapan yang mirip pertanyaan tetangga di kampung itu, juga sudah terungkap ketika kami melakukan sosialisasi Wajar 9 Tahun di Lamongan.  Secara jujur saya harus mengakui saat itu tidak mampu menangkap apa yang dirisaukan oleh masyarakat tentang pendidikan kita.  Dalam bahasa sekarang, saya ternyata termasuk yang ”telmi” (telat/terlambat mikir) dibanding warga Bluluk.
Ya, apa yang salah dalam pendidikan kita?  Mengapa anak-anak yang sekolah sampai SMP, SMA, SMK dan justru perguruan tinggi, justru menjadi beban orangtua?  Mereka justru mengecewakan orangtuanya, karena tidak mau lagi membantu bekerja ke sawah atau ke pasar dan justru gemar duduk-duduk sambil ngobrol?   Betulkah pemikiran Ivan Illich tentang deschooling society?  Betulkah sekolah merupakan candu? Bukankah melalui pendidikan, anak belajar ilmu pengetahuan yang nantinya akan sangat penting untuk bekal menghadapi kehidupan setelah dewasa? Bukankah pendidikan merupakan wahana untuk mencerdaskan bangsa?  Bukankah negara yang memperhatikan bidang pendidikan biasanya maju dalam bidang ekonomi maupun perkembangan ilmu pengetahuan? Bukankah Malaysia yang sejak tahun 1970-an melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan, kini terbukti menjadi negara yang relatif maju di kawasan Asia Tenggara dan merupakan negara yang diperhitungkan dunia?
Pertanyaan itu berminggu-minggu melingkar-lingkar dibenak.  Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab dengan baik, saya kembali ditohok dengan sebuah pertanyaan seorang nelayan di daerah Pasuruan.   Saat itu saya sedang bermobil bersama beberapa kawan sepulang bertugas di daerah Situbondo.  Karena mengemudi sendiri dari Situbondo ke Surabaya dan merasa payah, saya memutuskan untuk  istirahat di suatu pantai di mana banyak nelayan tradisional sedang istirahat.  Siapa tahu dapat membeli ikan segar hasil tangkapan mereka.
Sambil melepas lelah, saya mendatangi beberapa nelayan yang sedang memperbaiki jaring dan mengurus perahu sehabis melaut.  Sambil menawarkan rokok, saya berusaha untuk ikut nimbrung mengobrol untuk mengetahui apa yang mereka kerjakan, bagaimana hasil tangkapan ikan hari itu dan bagaimana kehidupan nelayan di daerah itu.
Setelah menjawab pertanyaan saya tentang berbagai hal, tampaknya para nelayan ingin tahu apa pekerjaan saya dan apa maksudnya menanyakan berbagai hal tentang kehidupan nelayan.  Nah, setelah tahu bahwa saya seorang pendidik (dosen) salah seorang di antara mereka mengajukan keluhan tentang anaknya. 
”Anak saya dua orang. Satu orang –itu- yang sedang memperbaiki jaring.”    katanya sambil menunjuk anak muda yang tekun memperbaiki jaring di bawah pohon.
 ”Yang satu sedang sekolah di SMP. Saya sekolahkan, ke SMP karena diperintah oleh Kepala Desa. Pak, tetapi saya sekarang bingung, karena anak saya yang sekolah justru tidak mau kalau diajak bekerja. Dia sukar kalau diajari bagaimana mengarahkan perahu saat di laut dan tidak pandai kalau disuruh memilih ikan.  Mengapa begitu, Pak?  Bukankah seharusnya dia lebih pandai karena belajar sampai SMP? Mengapa justru kalah dibanding kakaknya, yang hanya sampai kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah?”
Walaupun diajukan dalam bentuk pertanyaan dan diungkapkan dalam bahasa daerah yang santun, toh isinya tetap saja bernuansa menggugat.   Protes kepada saya, yang sebelumnya sambil bertanya tentang ini dan itu, secara tidak sengaja menganjurkan agar para nelayan menyekolahkan anaknya, dengan harapan nantinya dapat menjadi nelayan modern.  Terbayang di benak saya, jika anak-anak nelayan itu mendapat pendidikan yang  baik, nantinya akan menjadi nelayan modern yang memiliki perahu bermesin dengan peralatan modern, sehingga mampu mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. Bahkan mampu mengelola hasil tangkapan tersebut dengan baik dan tidak dicengkeram oleh para tengkulak ikan, seperti nasib orangtuanya.
Mendapatkan pertanyaan telak seperti itu, kembali saya tidak mampu memberi penjelasan yang baik, kecuali jawaban yang bersifat normatif, yaitu jika anak-anak bersekolah akan mendapatkan bekal ilmu pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat untuk memperbaiki kehidupannya sebagai nelayan di masa datang.  Sebuah jawaban  normatif itu tentu tidak memuaskan sang penanya.  Saya sendiripun dalam hati sebenarnya juga ragu betulkah jawaban itu.  
Kumpulan keluhan, suara-suara rakyat desa itu kembali menggumpalkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan kita, sehingga mereka merasa bahwa ketika anaknya sekolah justru ”kurang pandai” dibanding yang tidak sekolah?   Apa yang salah dengan pendidikan kita, sehingga perilaku anak-anak yang sekolah justru kurang baik?
Beberapa waktu kemudian, saya diminta untuk mengembangkan suatu program pendidikan di Depdiknas dan melalui program tersebut saya dapat sering bertemu dengan para guru dan kepala sekolah dari berbagai daerah di Indonesia.  Dalam berbagai kesempatan saya ingin mendapatkan konfirmasi apakah fenomena yang saya jumpai di lapangan juga terjadi di daerah mereka.  Sungguh mengagetkan, ternyata sebagian besar guru dan kepala sekolah juga menyatakan hal yang sama.  Mereka menegaskan  bahwa anak-anak yang tamat atau drop out dari SMP, SMA dan SMK seringkali justru tidak mau membantu orangtuanya bekerja ke sawah, mencari ikan ke laut atau berdagang di pasar.  Bahkan seringkali mereka membuat keonaran di kampung, karena menganggur.
Tetapi ketika ditanyakan, jangan-jangan pendidikan kita keliru, sehingga menyebabkan hal-hal tersebut, pada umumnya mereka menolak.  Mereka merasa pendidikan yang dilaksanakan sudah betul, tetapi sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan anak-anak frustrasi dan kemudian berbuat yang aneh-aneh di kampung.  Ketika ditanyakan, mengapa mereka tidak mau kembali bertani, bekerja sebagai nelayan atau pedagang di pasar, para guru pada umumnya menyatakan bahwa memang seharusnya mereka memperoleh pekerjaan yang lebih ”baik” dan tidak kembali bertani atau melaut seperti orangtuanya yang dulu tidak sekolah.
Walaupun jawaban tersebut kadang-kadang dibantah oleh guru lainnya, tetapi sebagian besar guru yang saya jumpai menyetujui pendapat tersebut.  Jadi tampaknya, apa yang diutarakan anak-anak muda tetangga di kampung, tentang mengapa tidak mau membantu orangtuanya ke sawah, sama dengan pendapat sebagian besar para guru.  Mungkinkah memang itu yang menjadi pemahaman kita tentang pekerjaan?  Betulkah  petani, nelayan dan pedagang di pasar itu ”pekerjaan rendah” dan kurang cocok bagi anak-anak yang sudah tamat SMP atau SMA/SMK?  Betulkah setelah tamat SMP atau SMA/SMK seseorang harus menjadi pegawai atau karyawan di kota?
Agaknya memang ada sesuatu yang tidak beres dalam pendidikan kita, sehingga alumni sekolah menengah bahkan sarjana tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

*

Suatu saat saya berjumpa dengan seorang teman lama saat sekolah di SMP. Dia kini  menjadi pedagang yang sukses.  Saya bertanya apakah anak-anaknya juga berperilaku memprihatinkan seperti itu, dia memberi jawaban yang sungguh sangat menarik.   Dia menyatakan, pendidikan saat ini terlalu teoritik dan tidak terkait dengan kehidupan nyata.
 ”Anak-anak banyak belajar Matematika, IPS dan sebagainya, tapi yang dipelajari itu tidak cocok dengan bagaimana cara berdagang agar dapat untung besar. Kerja keras,  ulet, dan berpikir dengan cepat tidak dipelajari di sekolah, padahal itu penting bagi pedagang.  Karena itu, anak-anak saya, saya ajari sendiri di rumah dengan cara saya ajak praktek langsung di toko”.
Ungkapan teman pedagang tersebut, sedikit-banyak memberi gambaran apa yang sebenarnya terjadi pada pendidikan kita selama ini, dari sudut pandang seorang pedagang yang sukses.   Pendidikan kita tampaknya kelewat  teoritik, seperti di awang-awang, tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari.  Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali belajar dari buku, bersenang-senang ala kehidupan anak kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan dengan bekal selembar ijazah.  Oleh karena itu sangat wajar jika orangtua mereka mempertanyakan ”untuk apa anak harus sekolah, jika setelah itu justru menjadi beban orangtua”.
Mencoba memahami hal itu, saya menjadi ingat sebuah sajak karya penyair besar W.S. Rendra dengan judul Sajak Seonggok Jagung, yang selengkapnya sebagai berikut:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dari suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.

Tetapi ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.

Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
tetapi kurang latihan bebas berkarya.

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(Dikutip dari: Potret Pembangunan dalam Puisi, 1975)

Ternyata Rendra telah merasakan ketidakberesan pendidikan kita sejak tahun 1970-an.  Sebagai budayawan Rendra, tampak sangat peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, termasuk hal-hal yang terkait dengan pendidikan.  Para pendidik, termasuk saya justru  tidak merasakan ketidakberesan itu dan tetap bersikukuh bahwa pendidikan yang dipraktekkan selama ini sudah benar.  Tetapi, dengan fenomena anak muda di kampung halaman, yang menurut banyak guru juga terjadi di daerah mereka, kita perlu merenungkan betulkah pendidikan yang selama ini kita praktekkan di sekolah sudah benar?
Tampaknya kerisauan terhadap praktek pendidikan tidak hanya terjadi di Indonesia.  Robert T. Kyosaki, orang Jepang kelahiran Hawai yang kini terkenal dengan bukunya Rich Dad Poor Dad, juga mempertanyakan isi pendidikan di negaranya, dengan menulis buku yang dengan judul provokatif:  If you want to be rich and happy, don’t go to school.   Dalam buku itu, Kyosaki menyimpulkan pendidikan selama ini tidak memberikan bekal untuk menghadapi kehidupan nyata.  Walaupun terkesan bahwa Kyosaki mempersempit makna hidup dengan mencari kekayaan materi, tetapi ungkapannya tentang pendidikan sangat rasional.
Pertanyaan yang muncul, jangan-jangan pendapat Rendra dan Kyosaki tersebut benar, karena juga didukung oleh fakta di lapangan.   Kalau ternyata memang praktek pendidikan selama ini justru mencabut anak-anak dari kehidupan nyata, lantas apa yang harus kita perbuat?  Sudah saatnya, kita yang merasa sebagai pendidik atau orang yang peduli pendidikan, mencari solusi agar pendidikan benar-benar mampu mengantarkan anak didik menyiapkan diri guna menghadapi masa depannya.
Ungkapan Michael Porter, profesor administrasi bisnis di Harvard Business School, bahwa sebaiknya kita tidak hanya berpikir tentang how to do, tetapi juga harus berpikir what to do,  tampak relevan untuk direnungkan.   Dalam pendidikan, kita tidak boleh hanya memikirkan metoda pembelajaran yang cocok dengan anak kita, tetapi juga harus berani mempertanyakan ”apakah materi yang dipelajari anak-anak memang sudah tepat”.  Pengertian tepat untuk materi belajar, tentunya harus dikembalikan pada filosofi belajar itu apa dan untuk apa anak harus belajar di sekolah.  Kita juga perlu mempertanyakan apa yang diharapkan orangtua saat mengirimkan anaknya untuk bersekolah. []