Rabu, 28 Juni 2017

“PEMILIK” BALI ITU SIAPA YA?



Bagi saya, liburan Idul Fitri tahun ini sungguh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.  Menjelang Idul Fitri, saya dapat cucu baru yang lahir pd tanggal 4 Juni 2016.  Cucu laki-laki bernama Arjuna Revi Valerian, “hadiah” dari anak kedua saya, Reza dengan isterinya Camel.  Anak saya yang tinggal di Edinbrugh, Kiki berlibur selama 3 minggu untuk ber-idul fitri di tanah air, bersama suaminya, Roy.  Anak bungsu saya, Lala yang tinggal di Jakarta juga ber-idul fitri di Surabaya bersama dengan suaminya Bimo dan anaknya Freya.   Jadi tahun ini saya dapat merayakan Idul Fitri dengan keluarga lengkap. Apalagi Lala dan Kiki mengatur untuk berfoto bersama dengan mengundang tukang foto profesional.  Mumpung lengkap, begitu kata mereka. Apalagi ada warga baru, si Juna anak Reza yang baru berumur 3 minggu.

Hari raya pertama dan kedua berjalan seperti biasanya.  Sholat Idul Fitri di halaman masjid Al Azis di dekat rumah.  Setelah itu bersalaman dengan tetangga kiri-kanan yang umumnya juga sholat disitu.   Pulang kerumah makan pagi seadanya, dan terus siap-siap mengunjungi Ibu mertua, yang biasa kami panggil Yang Ti di Malang.  Perjalanan Surabaya-Malang cukup lancar, walaupun sedikit tersendat di Singosari dan pertigaan Karanglo.

Sampai di rumah Yang Ti sudah pukul 11an dan langsung makan masakan khas lebaran.   Bercengkerama dan ngobrol ngalor-ngidul, sampai pukul 14.30.  Asyik, karena kebetulan Dik Heny dan isterinya Dik Lis, adik isteri saya juga datang bersama tiga anaknya, Ilmi, Ridho dan Sulthon.  Agak siang sedikit juga muncul adik satunya lagi, yaitu Agus.  Mbak Yul, kakak isteri sudah datang bersama anaknya, Ane beberapa hari sebelumnya.  Jadi kami empat keluarga ngumpul bareng di rumah Yang Ti.

Setelah istirahat di penginapan, sorenya berkunjung ke Bu Lik Mien, bibi-sepupu ibu saya- yang dahulu saya tumpangi sewaktu kuliah.  Menurut saya, Mbah Mien adalah “ibu yang terbaik”.  Semua saudara sangat hormat kepada beliau.  Orangnya sabar dan hampir tidak pernah marah.  Banyak keponakan yang pernah “numpang” beliau saat sekolah atau awal bekerja.  Sewaktu masih dinas beliau bersama almarhum suaminya, biasa saya panggil Pak Lik Ichwan, tinggal di Surabaya.  Namun setelah pensiun pindah ke Malang, tempat kelahiran Pak Lik Ichwan sambil mengelola pengajian di sekitar rumahnya.

Kiki dan Lala, jauh hari sudah mengatur pada hari ketiga-ke empat dan kelima Idul Fitri ingin “memboyong bapak-ibunya berlibur ke Bali”.  Jadi tahun ini, untuk pertama kalinya saya dan isteri belibur bersama anak-cucu ke Bali.  Agak sayang, anak kedua saya, Reza tidak dapat ikut karena baru punya baby.

Kami menginap di vila “Pondok Teman” di Jl Raya Semer no 40 Kuta Utara.  Vila kecil milik orang Jerman tetapi yang mengelola orang Perancis.  Vilanya sangat nyaman, dengan 3 kamar tidur, lengkap dengan kolam renang kecil.  “Si Perancis” sangat ramah. Kami sempat ngobrol beberapa saat. Mbak Yani, pembantu di vila tersebut juga sangat ramah.  Kami semua merasa sedang tinggal selama 3 hari-dua malam.

Tentu selama di Bali kami mengunjungi beberapa obyek wisata dan berkuliner di beberapa restoran.  Semua serba bagus, mungkin menerapkan standar internasional, walaupun sedikit mahal.  Namun ada yang mengganjal di pikiran saya.   Kok “rasa” orang Balinya sedikit sekali ya?  Dari obrolan santai dengan beberapa orang yang saya temui, saya mendapat informasi obyek wisata dan restoran yang saya kunjungi dimiliki oleh bukan orang Bali.  Pengunjungnya banyak orang luar Bali dan bahkan pegawainya banyak orang non Bali.

Pada kemana si Wayan, Putu, Gede, Made, Kadek, Nyoman, Komang dan Ketut?  Merenungkan fenomena itu, saya lantas ingat puisi yang dibaca oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmatyo, yang selalu ada kalimat “tapi bukan kami punya”.  Apa memang ada kaitanya?  Atau puisi Pak Panglima itu dimaksudkan mempertanyakan fenomena di Bali? Sebagai guru, saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan fenomena itu.  Bahkan kalau boleh ikut bertanya dan memohon penjelasan dari para ahli.

Jumat, 23 Juni 2017

PAK SOLIKIN



Perawakannya kurus tinggi, berkulit coklat kehitaman. Senyumnya selalu mengembang menampakkan giginya yang ompong satu.  Pekerjaan utamanya satpam di perumahan Tamandayu Pandaan.  Namun diminta tolong juga untuk merawat halaman rumah anak saya.  Oleh karena itu saya sering ketemu kalau pas berkunjung ke rumah itu dan kebetulan beliau sedang merawat halaman.

Kalau tidak salah, Pak Solikin mulai merawat halaman itu sekitar dua tahun lalu. Halaman yang merupakan hamparan rumpun gajah mini sangat rapi, pohon jambu, rambutan, mangga dan kelengkeng juga tampak terawat.  Bahkan sederet kamboja juga tampak terawat rapi.  Ada juga jambu biji yang ditanam di pot besar, buah naga yang merambat di tembok dapur dan kalau tidak keliru ada pohon pinang yang biasanya untuk makan sirih.  Semuanya tampak subur dan terawat dengan baik.  Tampaknya Pak Solikin bekerja sangat baik.

Beberapa kali bertemu, saya jadi akrap dengan beliau. Biasanya Pak Solikin naik motor protolan tanpa plat nomor polisi.  Saya tidak pernah bertanya tentang motornya.  Katanya rumah Pak Solikin tidak jah dari daerah itu, jadi sangat mungkin motor itu hanya dipakai di sekitar kampung dan kompleks perumahan Tamandayu, sehingga tidak memerlukan pelat nomor polisi.  Apalagi motornya sangat tua yang tentu tidak dapat untuk ngebut.

Dari penampilan, pekerjaan dan cerita beliu tentang keluarganya, saya menduga Pak Solikin bukanlah orang kaya.  Bahkan sangat mungkin hidupnya pas-pasan saja.  Namun yang saya kagum dan bahkan sulit untuk memahami adalah semangat untuk memberi.  Saya beberpa kali diberi sesuatu oleh beliau.

Saya ingat betul, suatu saat saya dan isteri mampir kerumah anak saya dan melihat Pak Solikin menata anggrek di teras rumah.  Isteri saya berguman bagus ya anggreknya.  Langsung Pak Soliki menyahut “monggo bu dibawa saja ke Surabaya, nanti saya bawakan lagi dari rumah untuk rumah ini”.  Setengah memaksa agar anggrek dibawa oleh isteri saya dan betul akhirnya dibawa pulang ke Surabaya.

Suatu saat ketika akan ke Malang saya bertemu dengan Pak Solikin.  Beliau bertanya apa tidak mampir ke rumah anak, dan saya jawab nanti pulangnya saja.  Kapan?  Saya jawab hari “X”.  Karena urusan di Malang belum selesai, saya pulang ke Surabaya terlambat dua hari (atau “X+2”).   Ketika sampai di rumah anak, ternyata sudah ada pisang emas satu tandan dan ternyata pemberian Pak Solikin.

Menjelang bulan Romadhon saya ini saya mampir ke rumah anak dan kebetulan ketemu Pak Solikin.  Beliau minta alamat rumah saya. Tentu saya beri, dengan pikiran siapa tahu pas ke Surabaya beliau berkenan mampir.  Nah, minggu lalu pas dengan isteri dari Malang dan perjalanan santai saya mampir ke rumah anak.  Kebetulan Pak Solikin sedang membersihkan taman.  Saya kaget, ketika tidak lama Pak Solikin pulang dan datang lagi membawa pisang susu masak 4 sisir dan pisang hijau mentah satu tandan yang sangat besar.  Beliau bilang sebenarnya ingin mengantar pisang itu ke Surabaya, namun belum sempat dan saya datang. Katanya, biar bisa untuk camilan pas buka atau sahur.

Sungguh luar biasa.  Saya sungguh kagum dengan Pak Solikin, dalam keadaan ekonomi yang saya duga pas-pasan tetapi semangat memberi sangat besar.  Saya merasa kalah dengan beliau.  Semoga Allah membalas dengan yang berlipat dan lebih dari itu semoga amal itu menjadi bekal beliau besuk ke sorga.

Sambil menyopir pulang membawa pisang itu, saya berpikir “mungkin inilah cara Allah memberi pelajaran kepada saya dan isteri, bahwa memberi sesuatu kepada orang lain itu tidak usah menunggu kaya”.  Ternyata “guru untuk memberi itu dapat berasal dari satpam yang hidupnya pas-pasan”.  Bukankah harta kita yang sesuangguhnya itu adalah harta yang kita berikan kepada orang lain dengan niat ibadah.  Semoga.

Senin, 19 Juni 2017

GAGASAN DAN CARA MENGKOMUNIKANNYA



Beberapa riset tentang 21st Century Skills menempatkan kemampuan komunikasi (communication skill) sebagai salah satu kemampuan penting, disamping critical thinking, problem solving, creativity dan collaboration.  Mengapa demikian?  Bukankah berkomunikasi merupakan aktivitas biasa yang kita lakukan sehari-hari?

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian.  Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain, sehingga kemampuan komunikasi sangat berpengaruh dalam interaksi seperti itu.  Ketika kehidupan masih sederhana dan manusia berinteraksi dengan rekannya yang sama budaya serta adat istiadatnya, mungkin saja kemampuan komunikasi tidak banyak merepotkan.  Namun ketika, kehidupan makin kompleks, orang harus berinteraksi dengan rekannya yang berbeda budaya, berbeda keyakinan, bereda kepentingan dan sebagainya, maka kemampuan bekomunikasi sangat penting.

Orang bijak mengatakan, gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia harus dikomunikasi dengan tepat.  Jika tidak dapat terjadi gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia itu ditolak orang lain, karena cara mengkomunikannya kurang pas.  Kalau ingin meyakinkan anak-anak SD juga harus menggunakan bahasa yang dimengerti oleh anak SD.  Jika berdiskusi dengan petani, yang harus menggunakan bahasa yang difahami oleh petani.  Jangan mengajukan gagasan ketika orang yang diajak diskusi lagi sumpek.  Pepatah Jawa mengatakan “kudu weruh empan papan”.  Terjemahan bebasnya kita harus tahu kapan menyampaikan gagasan itu.

Mungkin itu juga yang terjadi dengan polemik tentang Lima Hari Sekolah (LHS).  Ketika membaca Kemendikbud tentang LHS, saya menangkap lima hari sekolah itu lebih tepat disebut lima hari belajar.  Nah, belajarnya dapat di satu sekolah, dapat di sekolah dan madrasah, dan sebagainya.  Pelaksanaan LHS juga dapat bertahap sesuai dengan kemampuan sekolah.  Tujuan pokoknya agar pendidikan karakter berjalan lebih efektif.

Mungkin sekali cara mengkomunikasikan Permendikbud itu yang kurang efektif.  Saya sendiri baru tahu setelah terjadi rame-rame di koran.  Yang diramaikan adalah Full Day School, pada hal Permendikbud itu sama sekali tidak tercantum istilah itu.  Keluwesan pelaksanaan LHS juga tidak banyak dibahas dalam polemik yang muncul.

Memang masih ada ganjalan yang tampaknya belum sempat dipikirkan ketika merancang Permendikbud tersebut.  Misalnya bagaimana dengan makan siang anak-anak.  Anak-anak di pedesaan tidak lazim makan di sekolah dan orangtua juga tidak biasa menyediakan anggaran untuk itu.  Bagaimana dengan sekolah yang sekolah yang lahannya sempit, sehingga tidak memiliki tempat untuk bermain.  Bagaimana dengan udara siang yang sangat panas, sementara sekolah tidak menggunakan AC.

Problem LHS dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua.  Pelajaran bagaimana mengkomunikasikan gagasan agar orang lain dapat memahami.  Pelajaran bahwa gagasan yang baik memerlukan cara mengokumunikasikan baik pula. Semoga.