Kamis, 24 Juni 2021

MBKM DAN HEUTAGOGI

Jujur saya baru faham apa yang dimaksud Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari penjelasan Prof. Nizam (Dirjen Dikti) beberapa hari lalu.  Saat itu memang kami ngobrol santai bersama beberapa kawan, karena merasa kawan lama.  Nah di pertemuan semacam reuni sambil makan siang itu terjadi dialog santai tetapi dapat masuk ke hal-hal yang substansial. Apalagi dalam pertemuan itu ada Pak Nuh, Pak Yazidi, Pak Kacung, Pak Kemi yang sama-sama pernah mengalami bagaimana mengembangkan gagasan di Senayan.

Dari dialog itu saya menyimpulkan sebenarnya MBKM itu penerapan konsep heutagogy di era flat education yang dipicu oleh revolusi industri 4.0.  Dalam konsep heutagogy, siswa dan mahasiswa yang merancang kurikulum yang ingin dipelajari (individual based curriculum development).  Jadi dalam MBKM diinginkan mahasiswa menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari.

Bagaimana dengan prodi tempat kuliah?  Misalnya, mahasiswa masuk ke prodi Teknik Mesin atau Matematika.  Mahasiswa harus menentukan karier apa yang nanti akan ditekuni setelah lulus dengan ijazah S1 Teknik Mesin atau S1 Matematika.  Nah berdasarkan pilihan karier itu, dapat diketahui bekal kemampuan apa yang diperlukan. Bekal kemampuan itu harus dipelajari dari matakuliah apa atau pengalaman kerja praktik apa atau bahkan pengalaman hidup seperti apa?  Jawaban dari pertanyaan itulah yang menjadi dasar seseorang merancang kuirkulum bagi dirinya.  Dengan demikian mahasiswa memperoleh bekal yang benar-benar cocok untuk karier yang diinginkan.

 

Memahami itu, tampaknya masih banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk dapat menerapkan MBKM dengan baik.  Pertama, si mahasiswa harus dapat menentukan karier atau pekerjaan apa yang diinginkan setelah lulus nanti. Misalnya lulusan S1 Teknik Mesin ingin berkarier dimana?  Di industri (lazimnya di bagian produksi, karena jarang yang industri yang memiliki R&D besar) atau ingin berkarier di lembaga penelitian atau ingin berkarier di bidang bisnis permesian atau bahkan ingin mendirikan UMKM bidang permesinan.  Memang semuanya berbasis Teknik Mesin, tetapi bekal untuk menekuni beberapa jenis karier tersebut di atas memerlukan bekal yang tidak tepat sama.

Jika lulusan S1 Teknik Mesin berkarier di industri permesinan tentu tidak menjadi teknisi.  Kalau toh mengawali sebagai teknisi tikdak akan lama.  Mungkin akan segera menjadi foreman dan bahkan kepala divisi. Dengan demikian memerlukan bekal di luar ke-Teknik Mesin-an, misalnya bagaimana memimpin anak buah.  Jika yang bersangkutan ingin mendirikan UMKM bidang permesinan, maka bekal “bisnis” tidak kalah penting, misalnya tentang keuangan-perbankan, marketing dan sebagainya.

Kedua, diperlukan penasehat akademik (PA) yang memahami berbagai jenis karier bagi mahasiswanya.  Jika mahasiswa mengatakan ingin berkarier di bidang tertentu (misalnya mahasiswa S1/D4 Teknik Mesin ingin berkarier di bisnis permesinan), PA harus dapat menunjukkan matakuliah ini yang diambil, baik di prodinya sendiri atau di prodi lain (misalnya masalah keuangan yang ada di prodi Manajemen Fakultas Ekonomi) atau bahkan praktik di industri mana yang relevan.

Ketiga, kurikulum harus ditata ulang.  Jika diasumsikan program S1/D4 terdiri 144 sks dan dalam MBKM memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk kuliah di luar prodi bahkan kerja praktik di industry selama semester senilai 40 sks, maka beban SKS yang tersisa 104 SKS.  Jika dikurangi lagi beban SKS matakuliah umum, seperti Pancasila, Bahasa Indonesia dsb, misalnya 10 SKS, sehingga matakuliah pokok di prodi tinggal 94 SKS.  Berarti bekal pokok tentang Teknik Mesin harus selesai dengan 94 SKS.  Nah disini diperlukan kecerdasan sekaligus kearifan.  Kecerdasan untuk menemukan materi esensial dan mendasar yanh harus dikuasai oleh lulusan S1 Teknik Mesin, kearifan diperlukan agar rela jika “bidang keahlian” kita tidak termasuk materi esensial, sehingga tidak menjadi matakuliah wajib bagi mahasiswa.

Ke-empat, di luar matakuliah wajib sebesar 94 sks tersebut, kurikulum program studi harus menyediakan sederet matakuliah pilihan, yang dapat dipilih oleh mahasiswa sesuai dengan karier yang diidamkan.  Apakah perkuliahan matakuliah pilihan diselengarakan di prodi Teknik Mesin?  Menurut saya tidak harus.  Jika mahasiwa perlu menempuh matakuliah marketing, ya biarkan diambil di Fakultas Ekonomi.  Atau bahkan boleh juga ditempuh melalui magang di perusahaan.  Namun demikian harus ada dosen yang bertanggungjawab terhadap matakuliah tersebut, yang tugasnya mengarahkan kemana kemampuan marketing dapat dipelajari dan memantau bagaimana mahasiswa menempuhnya.

Jadi bahwa dalam MBKM mahasiswa punya kesempatan menempuh 40 SKS dimana saja, bukan berarti semau-maunya.  Tetapi yang sesuai dengan kemampuan yang diperlukan guna menjalani karier yang telah dipilih.  Harus dihindari mahasiswa menempuh matakuliah atau praktik industry “seketemunya” yang justru bertentangan dengan konsep heutagogy.  Semoga.

Senin, 14 Juni 2021

APA SEMUA PEJABAT HARUS DOKTOR DAN APA SEMUA TOKOH HARUS PROFESOR YA?

 Beberapa tahun lalu, pas mengunjungi anak sulung (Kiki) ke Edinburgh saya bertanya mengapa dia tidak mengambil S3.  Toh S2-nya berhasil bagus dan sekarang bekerja di universitas.  Jawabnya, pekerjaan sekarang tidak memerlukan pendidikan S3, karena bukan sebagai dosen.  Jika mengambil S3 khawatir nanti malah over qualified.  Ternyata di Inggris ada semacam pemahaman pekerjaan X memerlukan S3, pekerjaan Y cukup S2, pekerjaan Z cukup S1 dan seterusnya. Jika ada orang lulusan S3 dan melamar untuk pekerjaan Y akan ditolak karena over qualified, mungkin semacam “latar belakang pendidikan terlalu tinggi”. Ternyata pendidikan S3 itu hanya diperlukan oleh beberapa profesi yang umumnya terkait dengan riset, misalnya dosen, peneliti dan sejenis itu.

Saat itu saya bertanya lagi, mengapa begitu ya?  Mengapa orang yang berpendidikan S3 tidak boleh melamar jenis pekerjaan Y?  Bukankah ketika melamar sudah tahu posisi pekerjaan yang dilamar? Bukankah dengan melamar berarti yang bersangkutan sudah tahu kalau pekerjaan itu sebenarnya cukup dengan pendidikan S2?  Kiki tidak dapat menjelaskan. Dia hanya mengira-ira, kalau yang lulusan S3 melamar untuk yang untuk S2 akan mengurangi peluang bagi yang lulusan S2.  Nanti yang lulusan S2 melamar pekerjaan yang sebenarnya untuk lulusan S1 dan seterusnya, sehingga akan terjadi job bumping dan itu dimaknai sebagai pemborosan.

Lantas apa yang diperlukan untuk peningkaan karier seseorang?  Bukankah ketika bekerja seseorang berharap kariernya naik?  Ternyata rekam jejak (track record) pengalaman kerja.  Apa yang pernah dikerjakan dan apa prestasi saat menangani pekerjaan tersebut.  Mendengar jawaban itu saya jadi ingat John Rostron, orang Kanada yang malang melintang menjadi konsultas pendidikan di Indonesia dan bahkan sering menjadi team leader yang ternyata bukan doktor.  Demikian pula Steward Weston, orang Inggris yang menjadi direktur program Prioritas bantuan USAID untuk pendidikan di Indonesia ternyata mantan kepala sekolah dan tidak punya gelar doktor.  Waktu melamar menjadi konsultan di SSE-2 yang dibiayai oleh ADB dan konsultasn JSE-2 yang dibiayai oleh WB yang diminta juga CV bukan ijazah.

Tapi mengapa sekarang banyak pejabat di pemerintahan dan lembaga swasta yang menempuh S3?  Tentu itu baik karena menambah pengetahuan.  Namun muncul pertanyaan apakah pengetahuan yang dipelajari di S3 memang relevan betul dengan pekerjaan yang dijalani ya?  Saya pernah punya mahasiswa S3 dari perwira Angkatan Laut dengan pangkat letnan kolonel, pejabat di Dinas Perhubungan, pejabat di Dinas Pendidikan dan bahkan pengusaha.  Jujur saya tidak tahu persis apa motivasi mereka kuliah S3 di bidang Kependidikan. Ya mudah-mudahan, ilmu yang dipelajari selama kuliah bermanfaat untuk pekerjaannya.

Apakah itu tidak over qualified, seperti yang di Inggris?  Jujur saya tidak tahu, karena di Indonesia istilah itu tidak dikenal. Bahkan saya pernah bertanya-tanya ketika tahu petugas teller di bank itu lulusan S1.  Apakah memang diperlukan pengetahuan setingkat S1 untuk menjadi teller di sebuah bank?  Teman-teman saya, karyawan di Unesa banyak yang menempuh S2 dan bahkan kepada BAUK saat ini berpendidikan S3.  Demikian juga kalau kita lihat pejabat di kantor-kantor banyak yang S3 dengan berbagai program studi.  Sepertinya sekarang ini studi S3 itu tidak terkait denga pekerjaan, mungkin jadi semacam gengsi atau mungkin juga ada dampak psikologis dalam meniti karier.

Saya juga bingung ketika banyak tokoh sekarang menjadi profesor.  Sepanjang yang saya tahu profesor itu jabatan akademik dosen. Kalau memang beliau mengajar “beneran” di sebuah universitas sebagai dosen luar biasa, saya bisa mengerti. Namun kalau yang bersangkutan bukan dosen, tidak pernah mengajar dan tidak akan mengajar, saya bertanya apa perlunya memiliki jabatan akademik profesor?  Saya tidak tahu bagaimana respons orang asing ketika tahu ada tokoh yang bukan dosen tetapi memiliki jabatan akademik profesor.  Karena di negara lain, profesor itu artinya dosen. Makanya ada full profesor  (setara dengan profesor di Indonesia), associate professor (setara dg lektor kepala) dan assistant professor (setara dengan lektor).

Saya juga bingung ketiak ada profesor riset. Apakah memang jabatan periset itu perlu profesor.  Bukakah sudah ada istilah peneliti utama dan sebagainya.  Kecuali kalau yang bersangkutan juga mengajar di sebuah universitas, sebagai dosen tamu.  Di negara lain yang seperti itu disebut adjunct professor.  Mungkin semacam dosen luar biasa atau dosen tamu. Partner penelitian saya di Bremen University tidak menyandang profesor, karena beliau peneliti, bukan dosen.

Pak Satryo Brojonegoro, saat menjadi Dirjen Dikti berpendapat profesor itu hanya digunakan di kampus.  Walaupun beliau dosen Teknik Mesin ITB dan sudah profesor, kalau di Dikti tidak pernah memakai kata profesor di namanya.  Itu sebabnya, semua pejabat di Dikti tidak pernah mencantumkan profesor di surat menyurat dan sebagainya.