Rabu, 15 April 2020

Dokter Asdi Wihandono, SpB. Onk (K)


Senin tanggal 13 April lalu bakda insya saya rapat online dengan Prof Jazidie dan balatentaranya.  Sekitar jam 20an Mbak Atiek, dosen UWKS dan tetangga sebelah rumah, “tek-tek”pintu pagar, karena bel rumah saya ngadat. Isteri saya yang keluar dan setelah itu tergopoh-gopoh memberi tahu kalau Bu Agus (ibunya Mbak Atiek) tidak respons.  Saya segera ijin kepada peserta rapat untuk menengok karena Bu Agus sudah agak lama menderita CA payudara dan beberapa hari tidak keluar rumah karena kondisinya drop.

Begitu masuk rumah Bu Agus, saya melihat beliau terbaring di tempat tidur dikeliling putra-putranya.  Saya segera mendekat dan ikut memegang tangannya untuk melihat denyut nadinya.  Mas Bujang, putra Bu Agus yang ada disebelah saya berbisik “nadinya nggak ada Pak Muchlas”.   Saya juga tidak merasakan denyut nadi di tangan Bu Agus. Saya sarankan menelpon dokter tetangga yang biasa kami berobat.  Ternyata beliau tidak berkenan datang dan menyarakan segera dibawa ke rumah sakit.  Saya menelpon adik sepupu yang juga dokter ternyata memberi saran yang sama. Dokter tetangga dan adik sepupu saya menjelaskan jika dibawa ke rumah sakit akan dapat ditangani dengan lebih baik.  Itu SOP bidang kedokteran.

Namun putra-putara Bu Agus mengatakan “ibu tidak mau dibawa ke rumah sakit, inginnya ditunggui anak-anak saja”.   Mendengar penjelasan itu, saya menelpon dokter lain yang lebih senior dan juga doktor bidang kedokteran dan menjelaskan kondisinya.  Minta saran, sebaiknya bagaimana.  Saya dipandu bagaimana mengetahui orang sudah meninggal atau belum.  Dari saran tersebut saya menduga Bu Agus sudah meninggal.  Mendapat informasi saya, teman dokter senior itu menyarankan berunding dengan putra-putra Bu Agus.  Jika sudah menerima, ya tidak usah dibawa ke rumah sakit.

Mbak Atiek kemudian menelpon Dr. Asdi Wihandono, dokter onkologi yang merawat Bu Agus selama pengobatan di RSI Jemursari.  Alhamdulilah beliau bersedia datang, tetapi mohon ditunggu karena rumahnya lumayan jauh.  Sekitar 15 menit Dr. Asdi datang, memeriksa Bu Agus dan mengatakan sudah meninggal.  Karena musim wabah covid 19, saya usul dibuatkan surat keterangan yang menyatakan Bu Agus meninggal bukan karena covid.  Toh Dr. Asdi yang merawat selama ini sehingga tahu kondisinya.  Akhirnya dibuatkan surat keterangan tulisan tangan.

Dokter Asdi masih muda.  Dugaan saya berusia 30 tahunan. Sangat sopan dan yang sangat saya kagumi dia mau datang untuk menjenguk pasiennya walaupun rumahnya lumayan jauh.  Mungkin mendengar informasi Mbak Atiek via telepon beliau sudah punya firasat kalau Bu Agus meninggal, karena beliau yang merawatnya.  Apalagi Mbak Atiek itu magister Biologi dan dosen Fakultas Kedokteran UWKS, sehingga mungkin informasinya jelas bagi dokter Asdi. 

Setelah dokter Asdi pulang, saya bilang ke Mbak Atiek kalau dokter Asdi baik sekali. Mbak Atiek mengatakan Bu Agus juga senang sekali dengan beliau.  Katanya suatu saat pas Bu Agus kemoterapi dikunjungi oleh dokter Asdi dan itu membuat Bu Agus bersemangat kalau kemoterapi.  Mungkin dokter Asdi memenuhi sumpah dokter untuk sangat memperhatikan pasien.  Sampai-sampai mau datang kerumahnya ketika mendengar pasiennya kritis.  Seandainya semua dokter seperti beliau mungkin pasien akan sangat bahagia.  Terima kasih dokter Asdi, semoga Allah swt membalas budi baik panjenengan.

Rabu, 08 April 2020

KAMPUS MERDEKA, DARI ANDRAGOGI KE HEUTAGOGI?


Mendikbud Nadiem Makarim membuat gebrakan kedua, dengan meluncurkan program “Kampus Merdeka”.  Jika merdeka belajar, lebih diarahkan kependidikan dasar dan menengah, Kampus Merdeka diarahkan kependidikan tinggi. Menurut Mendikbud mahasiswa berkuliah di program studinya (prodinya) cukup 5 semester saja atau setara dengan 100 sks, sedangkan sisanya sekitar 40 sks dapat ditempuh pada prodi lain atau fakultas lain atau bahkan perguruan tinggi lain atau magang di dunia kerja. Untuk yang 40 sks itu mahasiswa bebas memilih matakuliah apa atau pengalaman apa yang ingin dipelajari, sesuai dengan rencananya ke depan setelah lulus.
Kampus Merdeka memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk menentukan apa yang ingin dipelajari dan bagaimana cara belajar yang diyakini paling baik. Menggunakan pemikiran Lisa Marie Blaschke (2012) kebijakan Kampus Merdeka tersebut menerapkan prinsip heutagogi. Jika ini benar, berarti Kampus Merdeka mengubah konsep pembelajaran di perguruan tinggi yang selama ini diterapkan, yaitu , dari andragogi ke heutagogi.  Jika pada andragogi pendidikan diarahkan untuk membentuk kompetensi (competency development), pada heutagogi pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan (capability development), sehingga lulusan dapat mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan kehidupannya. 
Pola pembelajaran di heutagogi menerapkan prinsip self determined, sehingga mahasiswa menentukan sendiri matakuliah yang ingin ditempuh dan bagaimana cara belajarnya. Konskuensinya, mahasiswa harus menerapkan double loop learning (Chris Argyris, 1976). Artinya dapat melakukan refleksi, apakah yang dipelajari sesuai dengan yang dia inginkan atau tidak.  Jika tidak, mereka harus berani mencari alternatif penggantinya. Dengan kata lain, mahasiswa harus mampu menerapkan prinsip meta kognisi dalam belajar.

Jika pemaknaan ini benar, maka diperlukan perubahan mendasar dari dua sisi, yaitu pola pikir mahasiswa dan pola pikir kalangan perguruan tinggi. Mahasiswa sejak awal masuk kuliah sudah harus tahu dan memutuskan profesi apa atau karier apa yang diinginkan setelah lulus. Mereka juga harus mencari informasi kompetensi apa yang diperlukan untuk menekuni karier tersebut. Berdasar informasi itu, yang bersangkutan memilih mata kuliah apa yang harus diikuti, di program studi atau fakultas atau perguruan tinggi mana, mata kuliah tersebut tersedia. Dan apakah ada kompetensi yang lebih baik dipelajari di dunia kerja.

Dunia Maya
Di era keterbukaan informasi, informasi yang terkait dengan profesi dan perguruan tinggi serta perusahaan dapat diperoleh dengan mudah di dunia maya.  Masalahnya, apakah calon mahasiswa yang baru lulus SMA itu mampu dan terbiasa untuk mencari data tersebut dan menganalisisnya. Apakah mereka sudah dapat menentukan pilihan tersebut.
Wawancara dengan siswa SMA dan guru BK menunjukkan pada umumnya siswa SMA belum memutuskan karier yang ditekuni setelah dewasa.  Pemilihan program studi maupun perguruan tinggi tempat kuliah lebih banyak didasarkan pada tingkat kefavoritan perguruan tinggi, hasil diskusi dengan teman dan dorongan orangtua.  Bagi lulusan SMA, yang penting kuliah di Universitas yang bergengsi, soal prodi itu tidak penting.
Dengan demikian, penerapan kampus merdeka pada akhirnya berimplikasi pada pendidikan di SMA. Di SMA siswa sudah dipandu dan didorong untuk menentukan karier ke depan. Bahkan mata pelajaran yang harus ditempuh di SMA juga harus disesuaikan dengan bidang karier tersebut.  Jika siswa memutuskan akan menempuh karier di bidang Keteknikan misalnya, mereka harus konsentrasi pada mata pelajaran Matematika dan Fisika. Sedang jika siswa akan menekuni bidang Kesehatan, mereka harus konsentrasi pada mata pelajaran Biologi dan Kimia.  Dengan demikian pola penjurusan di SMA saat ini perlu ditinjau kembali, paling tidak ada peminatan di dalam penjerusan yang selama ini berlaku.
Kalangan perguruan tinggi juga harus mau mengubah pola pikirnya mulai seleksi masuk perguruan tinggi sampai pengaturan organisasi perkuliahan.  Menyamakan materi tes masuk calon mahasiswa Teknik dan Kedokteran tentu tidak tepat.  Demikian halnya menyamakan materi tes masuk calon mahasiwa Ilmu Ekonomi dengan Sastra Inggris. Seleksi masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya memilah menjadi Bidang Sains dan Humaniora perlu ditinjau kembali.  Paling tidak perlu pembobotan yang mempertimbangkan hubungan antara matapelajaran yang diujikan dengan program studi yang dipilih calon mahasiswa.
Kalangan perguruan tinggi harus menerima kenyataan bahwa dunia kerja berubah dengan cepat dan cenderung kemultidisiplin.  Ego keilmuan di prodi yang biasanya sangat kental harus diturunkan.  Jurusan dan program studi harus diperjelas tugasnya. Jurusan harus didudukkan sebagai unit sumber, sedangkan program studi didudukkan sebagai unit layanan perkuliahan.
Sebagai unit sumber yang memiliki dosen dan laboratorium, tugas utama jurusan meningkatkan keprofesionalan dosen dalam melaksanakan pengembangan ilmu.  Sedangkan perkuliahan diurus oleh program studi. Program studi harus konsentrasi pada layanan, agar mahasiswa mendapatkan perkuliahan yang menjadi bekal menekuni karier yang diinginkan. Dapat saja, kurikulum di suatu program studi merupakan lintas jurusan, karena matakuliah di program studi tersebut berasal  lebih dari satu cabang keilmuan. Jika mahasiswa memutuskan ingin menekuni karier di bidang bisnis kuliner memerlukan kompetensi masak-memasak, manajemen dan lainnya.  Mungkin yang bersangkutan terdaftar sebagai mahasiswa prodi Tata Boga, tetapi mengambil mata kuliah di prodi manajemen, di prodi sistem informasi dan sebagainya.  Dengan demikian posisi program studi tidak lagi sebagai “anak”dari jurusan seperti sekarang ini.

Diperlukan persiapan matang
Meramu berbagai mata kuliah yang berasal dari beberapa disiplin ilmu bukan perkara mudah.  Apalagi jika harus dikontekskan dengan karier yang diinginkan mahasiswa.  Contextual Project Based Learning (CPBL) (Kwietniewski, 2017) menjadi salah satu pendekatan yang cocok.  CPjBL dapat diwujudkan mata kuliah sebagai wahana bagi mahasiwa berlatih memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving) secara interdisiplin untuk bidang yang nantinya akan ditekuni.
Bahkan juga dapat menjadi wahana belajar cross culture collaboration, jika proyek tersebut dikerjakan secara kelompok mahasiswa lintas prodi dan lintas universitas. Namun harus disadari bahwa dosen yang biasanya berkutat pada mono disiplin tidak terbiasa dengan CPjBL yang interdisiplin. Diperlukan masa transisi dan bahkan keterlibatan praktisi untuk mengasuh mata kuliah tersebut.
Jadi, gagasan Kampus Merdeka yang menerapkan konsep heutagogi memerlukan persiapan matang dalam pelaksanaannya. Tidak hanya menyangkut dosen, tetapi juga calon mahasiswa. Tidak hanya di perguruan tinggi tetapi juga di SMA. 
Jika tidak, maka gagasan tersebut hanya akan menjadi angan-angan, karena pasal 15 ayat (1) Permendikbud Nomer 3 Tahun 2020 yang mengatur itu menyebut pola perkuliahan “dapat” dilaksanakan di dalam prodi dan di luar prodi.  Artinya, tidak salah jika semua perkuliahan dilaksanakan di dalam prodi seperti yang berjalan selama ini.

Selasa, 07 April 2020

PRINSIP PARETO UNTUK MENGATASI PROBLEM PENDIDIKAN


Problematik pendidikan di Indonesia tampaknya memang serius.  Berbagai upaya sudah dilakukan silih berganti dalam skala nasional. Untuk mendekatkan pendidikan dengan dunia kerja, dikeluarkan kebijakan link and match.  Dimunculkan matapelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa untuk menguatkan daya juang anak-anak kita. Kurikulum diubah agar sesuai dengan perkembangan zaman.  Buku online diluncurkan agar semua siswa memperoleh buku ajar secara gratis.  Waktu belajar ditambah melalui full day school.  Bahkan ada keinginan untuk mengubah Undang-undang karena dianggap sudah ketinggalan zaman.

Namun berbagai kebijakan tersebut ternyata belum mampu mengatrol mutu pendidikan kita. Hasil PISA tahun 2018 justru turun.   Skor kemampuan membaca turun dari 397 ke 371 poin, kemampuan matematika turun dari 386 ke 379 poin, dan kemampuan sains turun dari 403 ke 396 poin. Akibatnya ranking PISA Indonesia turun dari ke-72 menjadi ke-77.  Dalam World Development Report yang diterbitkan Bank Dunia (2019: 57) disebutkan harmonized test score anak Indonesia lebih rendah dibanding Argentina, Colombia, Thailand, Philippines dan bahkan Vietnam dan Kenya.  Seakan mengakui itu, saat menjadi mendikbud Anies Baswedan mengeluarlan statemen Gawat Darurat Pendidikan Indonesia.

Jika berbagai kebijakan tersebut ternyata belum dapat meningkatkan, sebaiknya dicari cara pandang lain dan jika perlu pinjam ke bidang ilmu lain.  Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah prinsip Pareto (Kiremire, 2011).  Secara sederhana Prinsip Pareto dapat dimaknai dalam suatu problem ada komponen yang proporsinya hanya 20% tetapi jika itu dapat diselesaikan, maka komponen yang lain akan ikut selesai.  Komponen itulah yang disebut determinant component(s). Pertanyaannya, apa determinant component(s) dalam pendidikan.

Guru sebagai determinat component.
Penelitian Barber dan Mourshed (2007) menemukan siswa yang diajar oleh guru yang baik memiliki prestasi 53% diatas temannya yang diajar oleh guru yang tidak baik.  Penelitian lain yang dilakukan oleh Hattie (2003) menyebutkan guru berkontribusi 60% terhadap hasil belajar siswa, diluar kemampuan dasar yang bersangkutan.  Untuk konteks Indonesia, Pujiastuti, Raharjo dan Widodo (2012) menemukan kontribusi tersebut 54,5%.  Bagaimana itu dapat terjadi?  Disertasi Blazar (2016) di Harvard Graduate School of Education menyimpulkan hasil belajar itu fungsi dari proses pembelajaran yang dikelola oleh guru.  Apapun kurikulum dan sarana yang tersedia, pada akhirnya tergantung guru yang menggunakannya.  Jadi dapat disimpulkan bahwa guru merupakan determinant component dalam pendidikan.  Bahkan McKinsey menyatakan quality of education cannot exceed quality of teachers.  Jadi agar pendidikan bermutu, setiap sekolah harus memiliki sejumlah guru yang cukup dengan mutu yang baik.

Apakah Indonesia kekurangan guru?  Jawabnya bisa ya, bisa tidak.  Secara agregrat nasional, jumlah guru di Indonesia berlebih.  Data statistik Kemdikbud menunjukkan rasio guru-siswa SD = 1:17, SMP = 1:16, SMA = 1:15,5, SMK = 1:16,8.  Lebih mewah dibanding Jepang dan Singapore.  Namun jika kita berkunjung ke daerah, banyak sekolah yang kekurangan guru. Pengalaman mengunjungi daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar), banyak SD dengan 6 rombel hanya memiliki  2 atau 3 orang guru.  Yang terjadi adalah ketidakmerataan distribusi guru.  Di perkotaan kelebihan guru sementara di daerah 3T kekurangan guru.

Mengapa itu terjadi?  Karena calon guru enggan bertugas di daerah terpencil. Ketika ada program Guru Garis Depan (GGD), lulusan LPTK juga enggan mendaftar karena ditempatkan di daerah 3T.  Mereka sudah terbayang seperti apa kondisi daerah, karena sebagian sudah pernah ikut program Sarjana Mengajar di daerah 3T. Apalagi sebagian besar lulusan LPTK perempuan yang sangat mungkin tidak diijinkan orangtuanya untuk mengajar di daerah 3T.  Jika keengganan guru mengajar di daerah tidak dapat dipecahkan, maka sekolah-sekolah di daerah 3T akan tetap kekurangan guru.

Apa guru kita kurang bermutu?  Semua sudah tahu jawabannya.  Pertanyaannya, mengapa itu terjadi. Karena di masa lalu gengsi profesi guru sangat rendah, sehingga lulusan SLTA yang pandai tidak mau masuk LPTK.  Akhirnya mereka yang ranking bawah yang masuk ke LPTK dan akhirnya menjadi guru.

Namun data Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) jumlah pendaftar ke LPTK naik signifikan sejak tahun 2009 s.d 2013.  Diduga itu dikarenakan gengsi profesi guru membaik akibat ada tunjangan profesi.  Kondisi ekonomi guru yang membaik ternyata meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap profesi guru dan akhirnya jumlah lulusan SLTA yang ingin menjadi guru meningkat. Dengan demikian kita dapat berharap ke depan mutu guru membaik. 

Bagaimana agar mahasiswa calon guru yang bermutu itu mau bertugas ke daerah terpencil? Pasal 23 ayat (1) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen telah menyediakan landasannya, yaitu “Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan”.  Pendidikan calon guru disetarakan dengan pendidikan kedinasan seperti di AMN, AAL, AAU, STPDN dan sebagainya.  Bukankah calon guru itu dididik oleh Kemdikbud dan juga digunakan oleh Kemdikbud.

Berapa biaya yang diperlukan untuk pendidikan kedinasan guru?  UU No. 14/2005 dan PP No. 74/2008 menyebutkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun.  Hasil kajian Kemdikbud menunjukkan secara normal diperlukan guru baru sebanyak 50.000 orang/tahun sebagai pengganti pensiun. Jika  unit cost untuk 1 tahun PPG 40 juta rupiah, maka diperlukan anggaran 2 trilyun/tahun untuk menghasilkan 50.000 orang guru baru yang bermutu dan siap ditempatkan di sekolah seluruh wilayah NKRI.

Apakah itu besar?.  Jika APBN kita 2.500 trilyun, sehingga anggaran sektor pendidikan 500 trilyun, maka biaya tersebut hanya 0,4% dari anggaran sektor pendidikan.  Pertanyaannya, adakah kemauan politik untuk itu.