Senin, 27 Maret 2017

MEDIA KITA



Sudah setahun ini saya bingung dengan media kita, baik televisi maupun koran.  Saya tidak merasa memiliki kapasitas untuk menilai pemberitaan media dan bahkan seringkali saya tidak faham tentang bagaimana media mengelola pemberitaannya.  Namun ijinkan sebagai guru saya berkeluh kesah.

Saya tidak ingat lagi, mulai kapan media kita partisan. Apakah akhir-akhir ini atau sejak dahulu.  Namun saya merasa akhir-akhir ini keberpihakan itu sangat kental dan bahkan fulgar.  Apalagi dalam urusan politik.  Kalau saya menonton berita pada televisi “A” sudah dapat ditebak apa isinya, menonjolkan sesuatu dan bahkan menjelekan sesuatu yang lain.  Demikian pula televisi “B”.  Seakan-akan kita sudah tahu, kalau ingin mendapat berita yang condong ke kiri tontonlah televisi “A” dan sebaliknya jika ingin mendapat berita yang ke kana, tontolah televisi “B”, kalau ingin mendapat berita yang condong ke depan tontonlah televisi “C” dan seterusnya.

Bagaimana dengan koran?  Tidak jauh berbeda. Bahkan gambar pada halaman depanpun sudah dapat ditebak.  Ketika ada suatu peristiwa, perbedaan gambar yang ditampilkan sangat mencolok.  Koran “X” menampilkan gambar sisi positifnya, sedangkan koran “B” menampilkan gambar sisi negatifnya.  Bahkan koran yang dahulu “netral” sekarang terasa partisannya. Memang cara pemberitaannya relatif lebih sopan.  Namun masih terasa ketidakseimbangannya.  Berita yang kepentingannya ditonjolkan, sementara berita imbangannya sangat sedikit.  Ketika naik pesawat dan di pintu masuk disediakan beberapa jenis koran, saya seringkali mengambil dua buah dan keberpihakannya berbeda.  Dan segera menermukan perbedaan itu.

Mengapa begitu ya?  Mohon para ahli menganalisis.  Mungkin bagus juga untuk sebuah penelitian.  Apakah karena di negeri ini terjadi polarisasi yang hebat, sehingga semua orang terbawa?  Apakah karena bos koran dan televisi banyak yang terjun ke politik? Apakah itu kepentingan bisnis? Apakah media dikooptasi oleh pihak-pihak tertentu?  Mengapa?  Mengapa?

Merenungkan itu, saya teringat pengalaman pada tahun 1980an.  Saat ini sebagai dosen muda, saya diminta menjadi asisten dalam sebuah pelatihan.  Ketika dosen tamu dari FSU sudah selesai memberikan kuliah, saya diminta untuk menjelaskan beberapa bagian.  Salah satu bagian yang harus saya jelaskan adalah posisi ilmu pengetahuan dalam sosial kemasyarakatan.  Dengan semangat menjelaskan bahwa posisi ilmu pengetahuan haruslah netral, sehingga dapat menjelaskan fenomena yang ada dan sekaligus memecahkan masalah yang terjadi.  Seorang dosen muda yang lebih senior dari saya dan kebetulan ikut pelatihan mengingatkan, kenetralan seperti itu hanya ada di teori. Ilmu pengetahuan memang netral, tetapi “si pengguna” tidak netral, karena memiliki kepentingan.

Apakah seperti itu yang terjadi saat ini?  Media yang seharusnya netral ternyata berpihak, karena di pengelola media punya kepentingan.  Saya juga teringat ada seorang teman aktivis yang mengritik temannya sesama aktvitas yang kemudian mengelola sebuah koran.  Teman aktivis itu mengatakan temannya berubah ketika menjadi pengelola sebuah koran.  Setelah mengelola koran, sifat aktivisnya luntur dan menjadi orientasi bisnis.  Teman aktivis itu mengatakan kalau otak temannya sekarang dipenuhi oleh pikiran bisnis yang hanya memikirkan uang.

Apakah sinyalemen teman aktivis dan pendapat kawan dosen tahun 1980an itu dapat menjelaskan fenomena pemberiataan di media saat ini?  Jujur saya tidak tahu.  Namun sungguh saya risau, karena dari media itulah masyarakat luas mendapatkan berita.  Bukan tidak mungkin pendapat masyarakat terbentuk oleh berita di media. Nah, jika demikian sangat kasihan masyarakat yang “dicekoki” berita partisan dan akhirnya secara tidak disadari menjadi partisan.  Atau memang itu yang diharapkan oleh di pembuat berita?

Sabtu, 25 Maret 2017

PENDUDUK NORWEGIA PALING BAHAGIA: Pak Roem, Pak Kadir, Mas Huda





Sambil nyopir kemarin malam saya mendengarkan Radio Suara Muslim.  Saya tidak tahu nama acaranya, tetapi yang menjadi narasumber Ir. Misbahul Huda, MBA, seorang pengusaha muda sukses yang juga seorang ustad.  Jalanan sudah agak sepi, karena sudah pukul 21.30am, sehingga saya dapat mengemudi dengan santai sambil mendengarkan radio dengan acara sangat inspiratif.

Topik yang dibahas, sepertinya tentang spiritualitas dan ritualitas.  Mas Huda mengatakan banyak masyarakat sangat intens dalam ibadah ritual atau biasa disebut ibadah mahdhah, tetapi kurang perhatian kepada hal-hal yang bersifat muamalah atau ibadah sosial.  Mas Huda memberi contoh, banyak orang yang sangat rajin sholat dan puasa, namun malas bekerja dan kurang memperhatikan lingkungan sekitarnya.  Pada hal bekerja keras dengan niat ibadah tidak kurang maknanya.  Sambil “promosi”, Mas Huda menyebutkan kelima bukunya dimaksudkan untuk mendorong pembaca menyeimbangkan antara ritual dan spiritual.  Beliau menyebutkan buku pertama yang berjudul ‘Mission Possible” dimaksudkan sebagai contoh bagaimana spritualitas bekerja.  Saya tidak ingat nama buku yang lain, yang saya ingat Mas Huda mengatakan buku berikutnya dimaksudkan untuk berbagai bagaimana spiritualitas dalam kepemimpinan dan dalam pendidikan.

Mencoba mencerna uraian Mas Huda, saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Pak Roem Rowi, guru besar UIN Sunan Ampel yang juga tokoh di masjid Al Akbar.  Pak Roem bercerita ada orang yang tergesa-gesa ingin sholat Jum’at.  Oleh karena itu, naik motor dengan ngebut meliuk-liuk, membunyikan klakson berkali-kali.  Yang penting dapat sampai di masjid dengan cepat dan mendapat shaft paling depan, namun tidak peduli apakah menyenggol kiri-kanan.  Yang penting dapat melaksanakan ibadah mahdhah dengan baik, namun seringkali meninggalkan hal-hal yang bersifat muamalah.  Pak Roem sering bekelakar, kita cenderung ini masuk surga sendirian dan tidak ingin mengajak teman lain.

Mungkin pendapat Pak Roem cocok dengan keanehan di sekitar kita.  Banyak orang yang setiap tahun pergi umrah, namun kurang peduli terhadap kemiskinan yang ada di sekitarnya. Seringkali saya juga berpikir, ketika masjid sudah cukup banyak di sekitar kita, dan kita ingin beramal, apakah membangun mushola atau masjid lagi atau kita membangun sekolah atau aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat?  Atau bahkan menyantuni orang-orang yang kesulitan makan di pinggri jalan.

Pertanyaan yang muncul, mengapa fenomena seperti itu banyak terjadi?  Dikaitkan dengan pendidikan, saya teringat sinyalemen Pak Kadir Baradja.  Menurut Pak Kadir, pendidikan agama yang selama ini berjalan di sekolah, cenderung merupakan pendidikan pengetahuan agama dan belum sampai pendidikan beragama.  Pendidikan agama cenderung mengarahkan untuk faham hukum ini dan itu, tetapi kurang menyentuh pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari.  Ibadah yang ditekankan juga ibadah ritual dan kurang menyentuh ibadah yang berdampak sosial.

Sepertinya pendapat tiga tokoh tersebut saling terkait.  Sepertinya kita perlu memperbaiki pendidikan kita, baik pendidikan agama di sekolah, di masjid/mushola, maupun di rumah tangga.  Kita juga perlu memperhatikan ibadah yang berdampak kepada masyarakat, sehingga masyarakat merasakan manfaat dari keberagamaan kita.  Bukankah kita diingatkan kalau tidak memperhatikan orang miskin, jangan-jangan kita termasuk orang yang mendustakan agama.

Nah ketika mencoba memahami tausiah tiga tokoh itu, saya jadi teringat silang pendapat tentang terplihnya Norwegia sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di dunia.  Koran maupun radio memuat bagaimana banyak pihak saling berbeda pandangan terhadap hasil penilaian badan PBB itu.  Sebagaimana kita ketahui, Norwegia adalah negara di Skandinavia dan berada di “ujung utara” bumi.  Konon negara yang masyarakatnya banyak yang “tidak beragama”, tetapi mengapa mereka bahagia?

Sangat mungkin lembaga yang melakukan penilaian itu hanya melihat aspek kebahagiaan duniawi.  Misalnya dari pendapatan per kapita, jaminan sosial, layanan pemerintah, keamanan dan sebagainya.  Namun kalau direnungkan, pelaksanaan aspek-aspek tersebut akan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dan pelaksana pemerintahan. Artinya pelaksana pemerintahan dan masyarakat di Norwegia sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat.  Nah, bukankah hal seperti itu yang dirisaukan oleh Pak Roem, Mas Huda dan Pak Kadir Baradja?  Jangan-jangan Indonesia belum masuk ke jajaran negara dengan penduduk bahagia karena kita kurang memperhatikan ibadah sosial.  Mari kita renungkan bersama.