Jumat, 26 Oktober 2018

PENYIAPAN DAN PEMBINAAN GURU DI SINGAPORE (1)


Lima hari mengikuti workshop di THF (The Head Foundation), diselingi berkunjung ke NIE (Nanyang Institute of Education) dan Fajar Secondary School, saya merasa belajar banyak.  Selama workshop, saya sempat mengikuti presentasi dan bahkan diskusi di luar forum dengan beberapa orang yang faham bentul bagaimana Singapore menyiapkan calon guru dan membinanya setelah mereka bekerja.   Di samping Prof Gopinatan yang punya pengalaman panjang di NIE, juga Prof Berinderjeet Kaur-profesor Pendidikan Matematika di NIE-yang ternyata penggagas “teaching track” dalam pembinaan guru, Prog Teo Tang Wee-profesor Pendidikan Sains-, Dr. Jessie Png-orang yang lama menjadi Assistant Dean yang mengurusi practicum (mirip dengan PPL di LPTK), Mrs Belinda Charles-pensiunan kepala sekolah dan lama menjadi Dean of School Principal Academy (semacam MKKS di Indonesia)-, Mrs Margaret Tan-orang yang lama menjadi kepala sekolah dan baru saja pensiun.  Tentu saja, diskusi dengan beberapa dosen di NIE dan guru-guru di Fajar Secondary School.

NIE adalah satu-satunya lembaga yang bertugas menyiapkan calon guru dan sekaligus melakukan pembinaan guru, termasuk kepala sekolah, di luar pembinaan rutin oleh jajaran MoE (Kementerian Pendidikan Singapore).  Jadi Singapore tidak memiliki LPMP dan P4TK seperti di Indonesia.  Mungkin negara kecil dengan penduduk sekitar 3,5 juta dengan jumlah guru sekitar 33 ribu orang.  Secara georgrafis juga hanya merupakan sebuah pulau kecil, sehingga semua sekolah dapat dijangkau dari NIE.

Secara umum, pendidikan calon guru di Singapore dapat dibagi menjadi 3 track.  Pertama dan yang jumlahnya paling besar disebut PGDE (Post Graduate Diploma of Education) yang dilakukan di NIE selama 16 bulan.  Pesertanya mereka yang sudah memiliki ijasah universitas dalam bidang ilmu murni, misalnya Matematika, Teknik Sipil dan sebagainya.  Bukan dari bidang Pendidikan, misalnya Pendidikan Matematika.  Jadi mereka belum memiliki bekal sama sekali tentang bagaimana mengajar.

Sebelum mendaftar ke PGDE, calon mahasiswa harus menjalani apa yang disebut contract teacher, yaitu menjadi guru kontrak selama 1 semester di sekolah.  Periode ini dirancang untuk semacam penjajagan apakah yang bersangkutan memang senang menjadi guru dan juga cocok untuk menjadi guru.  Senang artinya merasa menikmati mengajar, sehingga tidak mudah keluar ketika kelak menjadi guru.  Cocok, artinya yang bersangkutan punya “bakat” menjadi guru.  Oleh karena itu rekomendasi dari kepala sekolah diperlukan ketika yang bersangkutan melamar ke PGDE.  Kepala sekolah juga tidak sembarangan memberi rekomendasi, karena dari pengalaman biasanya setelah lulus, yang bersangkutan dikembalikan menjadi guru di sekolah yang dahulu yang berangkutan menjadi contract teacher.

Berbekal surat rekomendasi dari kepala sekolah yang bersangkutan mengikuti serangkaian tes di MoE.  Begitu diterima dan mulai mengikuti kuliah, yang bersangkutan mendapat beasiswa (konon cukup besar dan cukup untuk hidup di Singapore) dan jika lulus langsung diangkat menjadi guru.  Yang melakukan tes MoE dan bukan NIE.  NIE tinggal menerima calon mahasiswa yang dikirim oleh MoE.  Pola ini dirancang, karena yang bersangkutan akan menjadi guru-nya MoE, sehingga MoE yang punya kewenangan memastikan siapa yang memenuhi standarnya.  Info yang saya dapat, pejabat di MoE, khususnya di bagian pendidikan (disebut wing teaching) dan bukan bagian pendukung (misalnya keuangan), semuanya mantan guru sehingga mengerti bagaimana guru yang baik.

Pola pendidikan PGDE menggunakan pola in-on-in-on.  Sebagian di sekolah dan sebagian di kampus. Diawali dengan perkuliahan awal di kampus selama 2 minggu (in), disambung dengan pengenalan sekolah (3 minggu), disambung lagi dengan perkuliahan di kampus (in) dan diakhiri dengan praktek mengajar selama 10 minggu di sekolah (on).   Karena mahasiswa PGDE adalah lulusan S1 murni, maka selama perkuliahan mereka mendapatkan matakuliah yang terkait dengan kependidikan dan kemudian dilanjutkan dengan PPL sebagai wahana mempratekkannya d sekolah.

Bagaimana jika bekal bidang studinya kurang?  Misalnya ada S1 Teknik Lingkungan yang ingin menjadi guru IPA?  Bagi mahasiwa seperti itu ada program khusus untuk “menambal” bekal bidang ilmu yang diangga kurang.  Program ini diluar kuliah reguler, sehingga mahasiswa harus bekerja ekstra.  Umumnya ditempuh sebelum masuk di program resmi PGDE.

Pola kedua disebut BSc (Ed) or BA (Ed) track.  Pesertanya lulusan JC (Junior College), mirip SMA tetapi yang dipersiapkan masuk ke universitas, berarti anak yang pandai-pandai.  Program ini ditempuh mahasiswa selama 4 tahun, jadi lebih lama dibanding program S1 (di Singapore disebut bachelor program) yaitu selama 3 tahun. Disebut program BSc (Ed) atau BA (Ed) bukan Bed, karena mahasiswa mendapatkan materi bidang studi “setara” dengan S1 murni.  Dengan demikian seakan-akan, program ini penggabungan antara S1 biasa (BSc ata BA) dengan PGDE. 

Pogram ini merupakan impian MoE Singapore untuk mendapatkan guru yang cerdas dan sekaligus benar-benar ingin menjadi guru sejak lulusan JC.  Yang bisa melamar ke program ini adalah kelompok terbaik dari lulusan JC dan begitu diterima akan mendapat beasiswa yang menggiurkan serta langsung diangkat menjadi guru setelah lulus.  Selama kuliah juga mendapat kesempatan mengikuti seminar di negera lain dengan biaya ditanggung negara. Lebih dari itu, juga mendapat peluang untuk mengikuti program sandwich di negara maju.  Pokoknya program BSc (Ed) atau BA (Ed) ini merupakan program unggulan, dengan fasilitas mewah.

Namun demikian “kemewahan” itu juga belum mampu menari minta anak muda di Singapore.  Informasi yang saya dapatkan tahun ini program ini hanya memiliki 52 orang mahasiswa baru, lebih sedikit dari kursi yang disediakan.  Mengapa?  Menurut informasi, walaupun gaji guru di Singapore cukup tinggi dan ketika kuliah mendapatkan fasilitas yang wah, lulusan JC masih lebih memilih ke profesi lain, yang memang secara finansial lebih menjanjikan.

Progam ketiga yaitu Dip Ed (Diploma Kependidikan), khusus untuk guru bidang seni dan olahraga.  Mereka cukup menempuh studi dalam 2 tahun dan ini merupakan program khusus, karena diambil dari mereka yang benar-benar punya bakat dalam bidang yang sesuai.  Guru seni adalah harus memiliki bakat seni yang menonjol, guru olahraga harus memiliki bakat olahraga yang menonjok, sehingga dapat menadi contoh bagi siswanya.

Sebagaimana disebutkan terdahulu, program pendidikan calon guru, baik PGDE, BSc(Ed)/BA(Ed) maupun Dip Ed, dilaksanakan di NIE dan sekolah partner. Kerjasama antara NIE dengan sekolah tampaknya berjalan dengan baik.  Semua dosen NIE, khususnya yang membidangi pendidikan pernah menjadi guru.  Semua guru dan kepala sekolah adalah mantan mahasiswa NIE. Setiap tahun guru di Singapore wajib mengikuti pengembangan diri selama 100 jam dan pada umumnya ditangani oleh NIE, sehingga mereka mengenal satu dengan yang lain, bahkan merasa satu keluarga.

Apakah semua mahasiwa PGDE, BSc(Ed), BA(Ed) dan Dip ED  lulus dan diangkat menjadi guru? Ternyata hampir semua lulus.  Kalau ada yang tidak lulus, itu yang “keterlaluan” dan biasanya terkait dengan “perilaku” dan bukan karena kemampuan mengajar.  Seleksi yang ketat, pola contract teacher, pembinaan selama kuliah yang sangat efektif, tampaknya dirancang agar tidak banyak mahasiswa yang drop dan merugikan keuangan negara.

Minggu, 21 Oktober 2018

KEJEPIT-BELAJAR DARI PROF GOPINATAN


Prof Gopinatan adalah penasehat akademik di The Head Foundation Singapore dan adjunct professor pada Lee Kuan Yew of Public Policy NUS.  Dia mantan Dean School of Education Nanyang Institute of Education NTU.  Dari tampilan fisik, maupun nama, saya menduga beliau keturunan India.  Saya mengenal beliau belum lama.  Pertama ketemu sambil sarapan padi di hotel Century sekitar 3 bulan lalu.  Kesan pertama saya, Prof Gopinatan banyak pengalaman dalam bidang pendidikan guru.

Tanggal 15-18 Oktober 2018, saya mendapat kesempatan berpartisipasi dalam workhop di The Head Foundation, bahkan saya diberi kesempatan mengisi acara itu bersama dengan Prof Gopinatan.  Berinteraksi seharian pada tanggal 15 Oktober, termasuk makan malam di restoran vegetarian, saya mendapat kesan mendalam.  Bicaranya pelan tetapi menunjukkan kesugguhan serta bijak, yang menggambarkan pengalamannya yang panjang, mulai sebagai guru sampai menjadi dekan di NIE, pensiun dan sekarang aktif sebagai adviser The Head Foundation, sebuah NGO yang bergeran dalam bidang pendidikan dan peningkatan SDM.

Salah satu yang sangat berkesan, ketika beliau bercerita tentang keluarganya.  Beliau bercerita memulai karir sebagai guru Kimia dengan kehidupan pas-pasan, dan setahap demi setahap membaik.  Anak-anaknya tidak mengalami itu, sehingga pandangannya berbeda dengan beliau.  Tampaknya beliau ingin mengatakan, daya juang anak sekarang berbeda dengan generasi beliau karena tidak mengalami susahnya kehidupan.

Pola itu tampaknya disadari oleh pemerintah Singapore, sehingga secara terprogram menumbuhkan keyakinan kepada anak-anak Singapore bahwa Singapore itu “tidak punya apa-apa”, sehingga hanya dapat mengandalkan “kepandaian”.  Orang Singapore harus pandai agar bisa “bersaing” dengan negara lain yang memiliki sumberdaya alam lebih baik.  Kesadaran itu tampaknya telah menjadi program nasional, sebagaimana diuraikan oleh LIM siong Guan, dalam bukunya berjudul “Can Singapore Fall: Making the Future for Singapore”.

Mendengar cerita itu, saya jadi ingat “filosofi kejepit”.  Orang rantau pada umumnya lebih sukses dibanding orang lokal.  Orang Jawa yang dikenal “malas” ternyata menjadi rajin dan pekerja keras ketika merantau keluar Jawa.  Sebaliknya orang Banjar yang konon juga malas ketika tinggal di Kalimantan ternyata menjadi pekerja keras ketika hidup di Jawa.

Mengapa demikian?  Tampaknya “rasa tidak aman”, takut kelaparan, takut tidak punya apa-apa menyebabkan mereka kerja keras, memutar otak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.  Sementara ketika tinggal di kampung halaman, mereka merasa aman, toh sudah punya ini dan itu, banyak keluarga di sekitarnya.  Nah, karena merasa aman tidak tumbuh jaya juang dalam kehidupan sehari-hari.

Saya juga ingat sebuah lagu yang dibawakan oleh Koes Plus, yang menyebutkan “bukan lautan hanya kolam susu..........”, yang seakan mengatakan kalau Indonesia sangat makmur.  Semuanya ada, sehingga kita tidak perlu risau dan secara tidak sadar terselip pesan kita tidak perlu kerja keras, toh tongkat dan kayu bisa jadi tanaman yang bisa dimakan.   Toh, dengan kail saja orang sudah bisa hidup dengan cukup.

Saya juga ingat konon, sekali lagi konon, dalam keluarga pengusaha, generasi pertama dan kedua memiliki daya juang sangat kuat.  Generasi pertama yang memulai, generasi kedua yang membantu generasi pertama sehingga tahu susah payahnya mengelola usaha.  Tiba pada generasi ketika, mereka lahir ketika usaha sudah besar, sehingga tidak mengalami sulitnya kehidupan bahkan tinggal menikmatinya.  Nah, konon mulai generasi ketiga inilah daya juang menurun.

Jadi, rasa aman, tidak pernah mengalami kesulitan hidup dan kondisi seperti itu dapat membuat daya juang orang tidak kuat.  Pertanyaannya, lha kalau memang kondisi nyatanya seperti itu bagaimana?  Misalnya, memang terlahir sebagai anaknya orang kaya.  Memag, terlahir di negara makmur seperti di Indonesia.  Nah, mereka yang menamakan diri sebagai ahli pendidikan, praktisi pendidikan dan pemerhati pendidikan, yang harus memikirkan.  Bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat menumbuhkan daya juang.  Semoga.

Minggu, 14 Oktober 2018

HOTEL BINTANG LIMA MAKAN KAKI LIMA


Saya yakin pembaca mengenal restoran De Cost, yang tersebar di berbagai kota.  Restoran tersebut punya slogan, kalau tidak salah “Rasa Bintang Lima, Harga Kaki Lima”.  Slogan itu dipasang di name board restoran, seakan menunjukkan ke orang lewat “makanlah di Restoran De Cost, karena rasanya top tetapi harganya murah.

Nah, hari ini saya mengalami mirip slogan itu, tepatnya “Hotel Bintang Lima Makan Kaki Lima”.  Ceritanya, saya mengikuti acara workshop yang diadakan The Head Foundation bersama Word Bank di Singapore.  Keberangkatan saya diatur oleh World Bank, sehingga saya tidak banyak mengurus.  Saya hanya berpesan, dari Surabaya ingin naik Garuda via Jakarta.  Via Jakarta, karena memenuhi pesan beberapa teman yang ingin bareng, sehingga bisa bertemu di bandara Cengkareng dan terbang sama-sama ke Changi Singapore.  Mengapa naik Garuda, semata-mata karena maskapai milik pemerintah Indonesia.  Dari Surabaya ada dua peserta, yaitu Bu Lutfi dan Bu Rooselyne, keduanya dari Unesa.

Saya mengingap di Hotel Grand Park City Hall.  Mbak Petra,staf World Bank,  yang memilihkan hotel tersebut.  Saya tidak tahu mengapa dipilihkan hotel itu, mungkin dicarikan yang dekat tempat acara.  Saat Mbah Dyah, staf World Bank, yang biasa mengurus tiket pesawat dan hotel mengurusnya, ternyata tidak dapat menggunakan vocher seperti biasanya di dalam negeri.  Oleh karena itu, menggunakan cara reimbers, yaitu saya harus membayar sendiri terlebih dahulu nanti diganti oleh World Bank.  Mbah Dyah mengatakan nanti travel agent BCD (travel agent langganan World Bank) akan minta nomor kartu kredit.

Ketika Mbak Lidia dari Travel Agent BCD mengirim email, saya menanyakan apakah room rate hotel tersebut tidak melampai plafon World Bank.  Maksudnya jangan sampai saya nombok. Aturan Wolrd Bank itu aturan besi, tidak bisa ditawar sama sekali. Jadi kalau kita nginap di hotel yang tarifnya diatas plafon harus nomboki kekurangannya. Mbak Lidia meyakinkan bahwa harga itu masih dalam plafon Word Bank.  Akhirnya saya bilang OK, tanpa melihat berapa harganya.

Saya berangkat dan menginap di Hotel Grand Park City Hall bersama dengan Bu Lutfiah dan Bu Rooselyne dari Unesa.  Teman-teman dari Indonesia lainnya menginap di Hotel Robinson. Semula saya tidak tahu mengapa. Namun, setelah tiba di hotel dan kedua ibu menanyakan room rate (tarif kamar), saya baru sadar bahwa ternyata sangat mahal.  Dan ternyata hotel tersebut bintang lima, sehingga room ratenya sangat mahal untuk ukuran orang seperti saya.  Untunglah, saya dibayari oleh World Bank, sehingga mungkin untuk ukuran mereka harga itu masih normal.

Bu Lutfi dan Bu Rooselyne risau apakah Unesa mae membayari hotel yang tarifnya mahal.  Saya berkelakar, kan ibu satu kamar untuk berdua, jadi Unesa tentu mau. Kan bisa dianggap separuh tarif per orang.  Memang agak repot, jika kemudian dibandingkan dengan tarif di Indonesia.  Apaagi di Singapore yang terkenal semua mahal.  Toh, banya orang Unesa yang sering ke luar negeri yang tarif hotelnya juga sangat mahal, misalnya di Jepang.  Moga-moga saja Unesa mengerti, apalagi WR 1 yang menugasi kedua ibu tersebut, alumni Jerman yang pasti faham tentang tarif hotel di negara lain.

Ketika, sore hari harus mencari makan malam, saya dengan Bu Lutfi dan Bu Rooselyne menjalankan slogan pada judul tulisan ini. Ketika keluar dan melihat kiri-kanan, saya baru faham mengapa tarif hotel tersebut mahal. Karena lokasinya di daerah elit dan di sekitar hotel-hotel kelas atas. Kemana-mana dekat dan mudah, karena dekat dengan jalur MRT.  Juga banyak mal di dekat hotel.

Keluar dari hotel bintang lima, tetapi mencari tempat makan yang yang murah, sehingga terjangkau oleh saku kami. Itu menjadi tidak mudah, karena di area pusat kota Singapore tidak mudah menemukan restoran halal dengan harga murah.  Pertama kami menemukan food court di basement sebuah mall dan ramai sekali.  Kami masuk dan ternyata tidak menemukan makanan yang “aman”.  Akhirnya kami keluar mencari yang lain.

Bu Lutfi dan Bu Rooselyne yang sibuk googling mencari rumah makan yang halal.  Ditemukan ada Indonesian Halal Food tetapi jauh.  Untungnya ada orang yang membawa gelas McDonald, sehingga Bu Rooselyne menanyakankan dimana McDonald yang terdekat.  Ternyata cukup dekat, sehingga kami memutuskan makan malam di McDonald saja.  Jalan kaki sekitar 15 menit.  Sampai di Mc Donal, kami memilih menu yang cocok yang kira-kira dapat membuat perut kenyang.  Tidak ada nasi, sehinga akhirnya memilih menu kentang goreng plus chiken wing dan minuman coklat panas dengan harga 6 dolar satu porsi atau sekitar 70 rb rupiah.  Harga kali lima untuk ukuran Singapore.  Jadilah tidur di Hotel Bintang Lima tetapi Makan di Kaki Lima.