Minggu, 24 Oktober 2021

PERLUNYA KONDUKTOR PENDIDIKAN

Tanggal 1 Oktober pagi, saya mengikuti Temu INOVASI ke-12 secara daring. INOVASI adalah nama suatu program kerjasama antara Pemerintah Australia dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar.  Seperti biasanya acara diawali sambutan oleh wakil dari Kedubes Australia di Jakarta, hari itu oleh Daniel Wood-Counselor Human Development, dilanjutkan sambutan oleh Pak Subandi-Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas dan oleh Pak M. Zain yang mewakili Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag.  Setelah itu disambung dengan pembicara kunci yaitu Pak Mark  Heyward-Direktur Program INOVASI dan Ka Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan-Pak Anindito Aditomo, Kemdikbudristek. 

Isi bagian awal biasa-biasanya saja dan sudah sering kita dengar, yaitu terjadinya learning loses akibat pandemi yang ternyata memperlebar gap hasil belajar antara anak-anak yang tinggal di kota dengan jaringan  internet bagus dengan anak-anak yang tinggal di pedesaan yang jaringan internetnya kurang bagus atau bahkan tidak ada, antara anak-anak dari keluarga mampu sehingga di rumah memiliki sarana IT bagus dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki sarana IT memadai atau bahkan tidak punya sama sekali, antara anak-anak dari keluarga terdidik sehingga dapat membantu belajar di rumah dengan anak-anak dari keluarga kurang terdidik sehingga tidak dapat membantu anaknya belajar.

Namun yang agak mengerikan ternyata learning loses itu eksponensial.  Semakin tinggi kelas di SD semakin serius learning loses-nya.  Akibat pandemi ini, siswa kelas 1 seakan-akan terlambat belajar selama 10 bulan, siswa kelas 2 seakan tertinggal 18 bulan dan siswa kelas 3 seakan tertinggal 27 bulan.  Jadi seakan-akan siswa kelas 3 saat ini kemampuannya setara dengan siswa kelas 1 yang belajar selama 6 bulan.  Data itu menunjukkan betapa ngerinya learning loses, yang secara jujur saya juga tidak membayangkan sebelumnya.  Apalagi itu terjadi di keluarga kurang mampu, kurang terdidik dan tinggal di daerah pedesaan.  Jadi menurut saya dampak pandemi terhadap pendidikan sangat serius.

Yang lebih menarik adalah paparan Pak Supriyono-Ketua Forum Madrasah Inklusif, Bu Yuliana-Guru SD di Sumba Tengah, Pak Suparmin-Kabid GTK Kabupaten Bulungan, yang kemudian dikuatkan oleh Bupati Bulungan-Pak Syarwani dan Bupati Lombok Tengah-Pak Paulus Limu.  Paparan Pak Pri, Bu Yuliana, dan Pak Parmin menunjukkan bahwa mereka bersama tim-nya melakukan inovasi yang sangat bagus ketika menghadapi pandemi.  Lebih dari itu ketiganya, meminjam istilah Pak Totok Suprayitno-moderator, seakan “sedia payung sebelum hujan”.  Maksudnya inovasi itu sudah dilakukan sebelum ada pandemi covid.  Literasi dan numerasi khususnya di SD kelas awal memang menjadi program INOVASI dengan intensif di sekolah yang menjadi binaannya.  Namun yang mencengangkan program itu dilaksanakan oleh Pak Pri,  Bu Yuliasa dan Pak Parmin dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat.  Kerennya menggunakan konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).  Dan ternyata inovasi tersebut didukung penuh oleh Bupati sebagai pemimpin tertinggi di kabupaten.

 

Ketiga orang itu secara jujur mengatakan belum mengetahui dampak apa yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa.  Yang sudah diketahui betapa para guru bersemangat dan para siswa antusias dalam belajar. Anak-anak merasa enjoy karena belajar sesuai dengan kemampuan mereka dan terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.  Bahkan Pak Parmin menyampaikan sudah banyak sekolah yang menerapkan pola tersebut.

 Mendengar cerita itu, saya merasa seakan melihat lilin-lilin kecil di kegelapan malam.  Memang lilin-lilin itu hanya mampu menerangi sedikit lingkungan di sekitarnya.  Namun lilin-lilin kecil itu menyala dengan sendirinya. Dan saya meyakini, sebenarnya banyak lilin-lilin (inovasi pendidikan) di berbagai pelosok tanah air tercinta ini. Saya pernah juga mendengar teman melakukan hal serupa di daerah Semarang Jawa Tengah, daerah Probolinggo Jawa Timur, Riau dan sebagainya.  Ibarat musik di negeri ini banyak pemusik yang memainkan alat musik tertentu sesuai dengan keahliannya.  Diperlukan dirijen atau konduktor yang menyeiramakan agar menjadi orchestra yang indah.  Mungkin itulah salah satu tugas Pemerintah.  Meminjam istilah David Osborn dalam bukunya Reinventing Government, sebaiknya Pemerintah lebih mengarahkan dari pada menangani sendiri (guiding not rowing).  Pemerintah sebaiknya memberdayakan para inovator seperti Pak Pri, Bu Yuliana dan Pak Parmin untuk terus berkarya dan menularkan pada teman sekitarnya.  Anggaran yang ada akan lebih efektif dan efisien karena lilin-nya telah menyala atas enersi sendiri, tinggal memperkuat agar lebih besar.  Jika semakin banyak lilin-lilin seperti itu saya yakin “pendidikan di negeri ini akan terang”. Semoga.

Kamis, 21 Oktober 2021

KITA PERLU GRAND DESIGN PENDIDIKAN

Tiga tahun lalu, Oktober 2018,  saya diberi oleh oleh penulisnya.  Buku dengan judul Education: Singapore Chronicles yang ditulis oleh Professor Saravanan Gopinathan, adjunct professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS.  Saat itu kami terlibat dalam sebuah workshop di Head Foundation Singapore yang diadakan oleh World Bank. Jujur saya baru membaca intens setelah ikut diskusi tentang ISPI tentang pendidikan Indonesia ke depan, walaupun begitu menerima buku itu saya membaca juga tetapi tidak serius, karena mengira itu buku cerita biasa.

Lantas apa yang membuat saya membaca buku tersebut secara intens?  Dalam diskusi tentang pendidikan, ternyata kita belum memiliki grand design sehingga seringkali “berbelok-belok”.  Bahkan seorang kawan mengatakan, seringkali kita “bolak-balik”, setiap saat dimuali dari awal lagi sehingga tidah majuaaa-maju.  Ketika itu saya jadi teringat buku tulisan Prof Gopinathan, alhamdulillah bukunya ketemu. Ketika membaca dengan intens saya terkejut dan kagum.  Ternyata Singapore memiliki tahapan pengembangan pendidikan yang jelas arahnya dan tahapannya. 

Dalam buku tersebut dimuat 6 tahapan pembangunan pendidikan di Singapore, yaitu:

(1)   Tahun 1945 – 1959: Laying Strong Foundations.

(2)   Tahun 1959 – 1978: Expanding Opportunity, Building Cohesion.

(3)   Tahun 1978 – 1990: Planning for Diversity.

(4)   Tahun 1990 – 2004: Responding to Globalization.

(5)   Tahun 2004 – 2014: Changing Pedagogy, Broadening Outcomes.

(6)   Towards a New Spring Source for Singapore Education.

Membaca buku itu, jujur saya kagum.  Ternyata Singapore memiliki grand design pendididikan sejak awal kemerdekaan.  Pastilah grand design itu bukan dibuat sekali jadi mulai awal kemerdekaannya, tetapi telah mengalami revisi sesuai dengan perkembangan zaman.  Namun jika dicermati secara jernih, tampak sekali kesinambungannya dari waktu ke waktu.  Juga tampak jelas pendidikan di Singapore digunakan sebagai wahana rekayasa social.  Dengan kesadaran sebagai negeri pulau yang diapik negara dengan komunitas Melayu kental, sementara warganegaranya multi etnik, pendidikan digunakan untuk membangun kohesi bangsanya dan mengembangan kesadaran keberagaman.

 

Yang juga sangat mengherankan di tahun 1990, Singapore sudah menyadari dan menggunakan pendidikan untuk menyiapkan warganya merespons globalisasi.  Dan ketika kita di Indonesia baru memulai menerapka konsep heutagogi dengan tergagap karena tidak dipersiapkan dengan baik, Singapore sudah memulainya pada tahun 2004.   Bahkan sejak 2012 Singapore telah merasa cukup kuat sehingga bergerak mencari sumber penguat pendidikannya, yang konon telah menjadi kiblat berbagai negara lain untuk belajar.  NUS dan NTU telah bertengger ke kelompok atas universitas kelas dunia.  NIE, satu-satu LPTK di Singapore telah menjadi tempat belajar banyak negara dalam pendidikan guru.

Belajar dari buku tersebut, rasanya sudah mendesak bagi Indonesia memiliki grand design pendidikan yang menjadi pegangan pemerintah dalam bekerja.  Dengan grand design itu, ketika terjadi pergantian pemerintahan, menteri baru harus tetap berpegang pada grand design yang sudah ada.  Bukan berarti menteri tidak boleh mengubah atau menyempurnakan, tetapi perubahan atau penyempurnaan itu haruslah merupakan kesinambungan dari desain sebelumnya dan juga atas atas kajian yang matang.  Dengan begitu kesan setiap periode pemerintahan ingin membuat sesuatu yang “baru” dengan “membuang” semua yang lama dapat dihindari. Konon sejak tahun 2016 Singapore telah melakukan kajian untuk reformasi pendidikannya yang akan dimulai tahun 2025. Jadi hampir 10 tahun persiapannya.  Tentu kajian itu dilakukan oleh pemerintahan sekarang dan sangat mungkin yang melaksanakan pemerintahan berikutnya. Jadi sangat masuk akal kalau program-program pendidikannya merupakan kesinambungan dan bukan potongan-potongan yang terpisah.