Selasa, 01 Desember 2020

MISKONSEPSI PTK

 

PTK atau penelitian tindakan kelas yang diadopsi dari CAR) (classroom action research) tentu sudah dikenal oleh guru bahkan oleh mahasiswa calon guru di LPTK. Setahu saya mahasiswa calon guru baik di jenjang S1 maupun PPG sudah belajar tentang PTK.  Pada laporan penelitian, baik di jurnal maupun dokumen lainnya, PTK juga banyak dijumpai.  Sayangnya, menurut saya PTK sudah bergeser dari tujuan semula saat awal PTK (CAR) itu digagas dan dikembangkan.

Bagaimana awalnya PTK berkembang dapat dibaca di beberapa referensi, antara lain tulisan Fang Qi (2007) yang menjelaskan perbedaan Research (dengan R besar) dan research (dengan r kecil). Agar mudah difahami kita anggap Research (dengan R besar) itu sebagai bentuk penelitian khusus, yang salah satunya PTK, sedangkan research (dengan r kecil) itu bentuk penelitian umum yang lazimnya dilakukan oleh para ahli.  Nah PTK atau CAR termasuk penelitian dengan R besar, yang tidak tepat sama dengan penelitian pada umumnya, katakanlah tidak menggunakan metoda yang canggih, teori yang canggih, seperti penelitian “ilmiah” para ilmuwan.

PTK itu sebagai upaya para guru untuk terus menerus meningkatkan kualitas pembelajaran yang diampu.  Jadi menggunakan filosofi continuous improvement atau kaizen dalam istilah di Jepang.  Jadi tujuan utamanya bukan menemukan “sesuatu teori baru atau sesuatu yang baru” seperti pada penelitian ilmiah. Kalau toh kemudian hasilnya diolah menjadi karya ilmiah, anggap saja sebagai “bonus” dan bukan tujuan utama.  

Apakah dengan begitu PTK tidak didukung oleh teori dan metode penelitian yang canggih?  Merujuk pendapat beberapa ahli, Fang Qi (2007) menyatakan teori pada tataran tertentu itu identik dengan logika. Mungkin ingat konsep “logiko-hipotektika-verificative” yang dikenalkan oleh Jujun Suriasumantri (2009) dalam buku Filsafat Ilmu.  Dan PTK  lebih mendasarkan logika dibanding harus mencari rujukan kemana-mana.  Oleh karena itu dalam melaksanakan PTK, guru lebih mengandalkan logikanya.  Toh, yang diteliti adalah pekerjaan yang sehari-hari dilakukan.


Bagaimana dengan metoda pelitiannya?  Yang diandalkan PTK adalah kelogisan, keruntutan dan kejujuran dalam melakukan.  Artinya tahapan yang dilakukan harus logis, dilakukan secara runtut dan dengan jujur.  Pada awalnya PTK mengadopsi prinsip PDC (plan-do-check) yang biasa dilakulan dalam manajemen. Kemudian disempurnakan menjadi DIOR (design-implementation-observation-reflection) atau perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi. Dengan melaksanakan empat tahapan secara runtut dan terus menerus diyakini akan terjadi peningkatan mutu pembelajaran.

Observasi selama proses pembelajaran, tanya jawab dengan siswa dan mengecek hasil belajar siswa itu yang lazim disebut dengan assessment for learning atau di kita disebut tes formatif.  Mengetahui proses dan hasil belajar siswa untuk memperbaikinya.  Atas dasar data tersebut dilakukan refleksi yaitu analisis untuk mempertanyakan “apa yang menyebabkan hasil belajar siswa belum maksimal dsb”.  Disebut refleksi karena arahnya lebih mempertanyakan apa yang perlu dilakukan guru agar siswa dapat belajar lebih baik.  Nah jika refleksi dapat menemukan jawaban “seharusnya begini dan begitu”, kemudian disusun skenario pembelajaran berikutnya.   Itulah tahap perencanaan pada siklus berikutnya.

Ketika pemikiran itu saya obrolkan dengan teman dokter, yang bersangkutan mengatakan “lho pola pikir itu yang dilakukan dokter dalam bekerja”.  Pasien datang dengan keluhan tertentu, didiagnona dan diberi obat dan perlakuan tertentu.  Setelah itu diobservasi perkembangannnya, jika belum sempurna dilakukan perubahan obat dan atau perlakuannya, namun jika perkembangannya bagus, obat dan perlakuan dilanjutkan.  Teman tadi berseloroh “kalau begitu saya juga melakukan PTK namun kepanjangannya “penelitian tindakan klinik”.


Apa hanya dokter yang menggunakan pola pikir itu dalam bekerja?  Menurut saya tidak. Juru masak dan bahkan ibu-ibu ketika memasak juga menggunakannya. Ngicipi masakan itu mirip dengan assessment for cooking, karena tujuannya untuk mengetahui apakah ada yang perlu ditambahkan agar masakannya enak.  Setiap kali masak ibu-ibu akan selalu ngicipi dulu sebelum “difinalkan”, walupun masakannya sama dengan kemarin.  Bahkan bisa jadi beberapa kali ngicipi, jika rasanya belum pas. 

Lantas, dimana terjadinya miskonsepsi? Pertama, tujuan PTK bukan untuk menghasilkan karya ilmiah tetapi untuk memperbaiki proses pembelajaran.  Anehnya banyak guru dan juga dosen melakukan PTK dengan tujuan menghasilkan karya ilmiah. Apakah mengolah hasil PTK menjadi karya ilmiah itu salah?  Sama sekali tidak.  Itu bagus. Namun itu bonus, bukan tujuan utama.  Yang keliru adalah kalau itu dijadikan tujuan dan kemudian setelah beberapa siklus dan hasilnya cukup untuk bahan karya ilmiah, PTK “dihentikan”.  Pada hal, masalah pembelajaran akan terus muncul, karena topiknya berganti, situasinya berganti, tuntutan juga berganti, sehingga idealnya PTK dilakukan terus menerus sebagaimana konsep Kaizen atau continuous improvement program.

Jika PTK dilakukan secara terus menerus, berarti guru harus melakukan observasi secara terus menerus, mengumpulkan berbagai data secara terus menerus?  Itulah yang semestinya dimuat di catatan guru (teacher note) atau jurnal mengajar. Tentu tidak perlu panjang lebar seperti dalam penelitian kualitatif yang nantinya dimuat sebagai data saat artikelnya dimuat di jurnal atau untuk tesis S2.  Cukup beberapa baris sebagai pengingat. Toh yang menulis di jurnal mengajar ya guru sendiri, yang nanti membaca dan menggunakannya untuk melakukan refleksi juga guru sendiri. Jadi cukup satu dua kalimat sebagai pengingat. Kalau data tersebut didiskusikan dengan guru lain untuk mendapatkan masukan (second opinion dalam istilah kedokteran) tentu lebih bagus.  Dan itulah sebenarnya tujuan dibentuknya KKG/MGMP, baik secara mini di sekolah maupun yang lebih besar skalanya di gugus.

Kedua, karena tujuannya untuk membuat karya ilmiah maka harus ada rujukan teori yang canggih dan jika tidak ada tidak boleh diteruskan. Alias PTK harus dihentikan.  Apa mencari rujukan teori yang bagus itu salah?  Sama sekali tidak, tetapi yang keliru adalah PTK dihentikan karena belum memperoleh rujukan teori.  Seperti disebut oleh Fang Qi dan juga secara tersirat diungkap oleh Jujun Suriasumantri, dalam tataran sederhana teori itu akal sehat (comment sense) atau logika. Jadi jika belum ada rujukan teori, guru dapat menggunakan logika untuk melakukan refleksi maupun membuat perencanaan.

Ketiga, untuk melaksanakan PTK harus ada proposal, ada perangkat pembelajaran, ada instrument untuk mengukur hasil belajar.  Jika tidak PTK tidak boleh dilaksanakan.  Tentu sangat bagus jika semua yang disebut di atas ada, tetapi yang tidak tepat adalah  PTK tidak boleh dilakukan jika itu tidak ada.  Bukankah proposal, perangkat, instrument itu dibuat oleh guru yang melakukan PTK.  Tentu yang dituangkan menjadi proposal, perangkat, instrument itu sesuatu yang ada di pikiran yang bersangkutan. Jadi seandainya guru tidak punya waktu cukup, mungkin catatan-catatan pendek dapat mewakili proposal, perangkat, instrument tersebut.  Yang pokok PTK harus berlangsung secara terus menerus seiring dengan proses pembelajaran.

Jadi simpulannya, PTK itu sebenarnya melekat (embedded) dengan proses pembelajaran, sehingga begitu proses pembelajaran berjalan, maka PTK juga berjalan. Semoga.

Senin, 16 November 2020

FENOMENA HRS

Saya termasuk orang yang tidak menduga  begitu banyak orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS).  Dari layar TV maupun rekaman youtube kita dapat melihat ribuan orang menyemput kedatangan beliau, sehingga wajar kalau kemudian membuat jalan menuju bandara sempat macet beberapa jam. Fenomena yang sama terjadi saat HRS memberikan pengajian di Megamendung daerah Puncak.  Orang rela berdiri ditepi jalan mulai dari Ciawi sampai lokasi untuk menyambutnya.  Ketika beliau menikahkan putrinya sekaligus acara Maulid Nabi, ribuan orang juga hadir di Petamburan, tempat kediaman beliau.  Sungguh luar biasa. Sampai Pemda DKI mendenda panitian sebesar 50 juta rupiah karena dinilai melanggar protokol kesehatan.

Bahwa HRS adalah iman besar FPI saya yakin semua orang tahu.  Bahwa beliau yang menjadi tokoh sentral acara 212 pernah dimuat TV dan media sosial. Bahwa beliau pernah tersangkut masalah dengan pihak kepolisian dan kemudian umroh dan berdiam di Saudi Arabia selama 3,5 tahun juga banyak disebut media sosial.  Namun begitu gegap gempita masyarakat menyambut beliau pulang “kampung” betul-betul diluar dugaan saya.  Antusiasme masyarakat menyambutnya seakan melebihi penyambutan pejabat tinggi negara.

 

Fenomena apa itu ya?  Jujur, saya tidak punya kapasitas menjawab.  Mungkin teman-teman yang mendalami psikologi sosial yang dapat memberikan penjelasan secara akademik.  Namun sebagai guru, saya khawatir suatu saat akan ditanya oleh murid.  Itulah yang menjadi beban pikiran.  Apalagi media TV dan media sosial sangat gencar memberitakan dan para analis juga banyak mengulasnya di media sosial.  Repotnya, guru kan tidak bebas seperti para analis dalam memberikan penjelasan, karena terikat dengan kaidah paedagogik maupun kaidah pendidikan secara umum.

Ada analis yang mengatakan ketika masyarakat dihimpit oleh berbagai masalah kehidupan, akan merindukan “sosok” yang diharapkan dapat memberikan harapan.  Nah apakah itu yang terjadi pada fenomena HRS, karena saat ini masyarakat sedang dilanda pandemik covid yang berdampak kepada segala aspek kehidupan.  Belum lagi berbagai informasi di media sosial yang sangat gencar memberitakan demonstrasi yang memprotes UU Omnibuslaw dan sebagainya.  Betulkah karena kondisi itu kemudian HRS dianggap sebagai “dewa penolong” yang mampu mengeluarkan mereka dari himpitan hidup?

Ada juga analis yang mengatakan bahwa fenomena HRS terkait dengan “psikologi kasihan”.  Ketika HRS dilaporkan oleh beberapa pihak terkait dengan beberapa masalah, sampai yang bersangkutan harus mengungsi muncul rasa kasihan dari masyarakat.  Rasa kasihan itu kemudian bercampur dengan berbagai masalah lain dan akhirnya mengkristal menjadikan HRS sebagai orang yang “teraniaya” dan harus dibela.  Bahkan ada analis yang termasuk kelompok kedua ini berpendapat kemunculan Bu Mega dan Pak SBY sedikit banyak juga ditopang oleh fenomena “kasihan”.  Bu Mega dianggap teraniaya pada akhir-akhir Orde Baru.  Pak SBY dianggap teraniaya ketika awal mendirikan Parta Demokrat dan kemudian mencalonkan diri sebagai presiden.

Analis lain mengatakan ketokohan HRS sudah diawali ketika pilkada DKI, dimana HRS merupakan salah satu tokoh yang gencar melawan Ahok.  HRS-lah dibalik tuntutan hukum ke Ahok yang berbuah penjara itu.  Apalagi kemudian dikaitkan dengan peristiwa 212 yang mampu menghimpun ribuan masyarakat tumpah ruah di monas dan dihadiri banyak tokoh.  Ketika kemudian HRS terbelit kasus hukum yang oleh beberapa pihak disebut kriminalisasi ulama, ketokohan HRS justru melonjak.  Terakhir ketika HRS tinggal di Saudi Arabia dan oleh media sosial dikabarkan dihambat untuk pulang, ketokohan lebih melejit dan akhirnya dirindukan banyak orang.  Apakah seperti itu?

Masih banyak analisis lainnya.  Namun sekali lagi, secara jujur saya tidak memahami masalah itu.  Sebagai guru, saya berharap ada ahli yang melakukan riset tentang fenomena HRS ini sehingga menjadi pelajaran sejarah yang sangat berharga di masa depan.  Jika Bung Karno memunculkan sloga Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), saya yakin yang dimaksudkan adalah sejarah sebagai pelajaran untuk menyiapkan diri di masa depan.  Sejarah bukan sekedar hafalan peristiwa apa, kapan terjadi, siapa yang terlihat dan bagaimana kronologinya.  Belajar sejarah bukan seperti menonton ketoprak atau mendengarkan sandiwara radio terus selesai, tetapi menganalisis “mengapa peristiwa itu terjadi” dan apa korelasinya dengan fenomena sekarang ada prediksi kita untuk masa depan.

Di media sosial berseliweran informasi tentang HRS dan seringkali saling bersilang.  Ada yang mengatakan begini ada yang mengatakan begitu.  Ada yang memuji tetapi juga ada yang mencemooh, dengan argumentasi masing-masing. Itu yang membuat guru menjadi serba salah.  Semoga saja ada penelitian akademik terhadap fenomena HRS, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru jika ada murid yang bertanya.

Selasa, 03 November 2020

RESEARCH UNIVERSITY vs TEACHING UNIVERSITY

 

Saya tidak tau kapan kedua istilah itu mulai digunakan dan kapan populer di Indonesia.  Seingat saya istilah itu kemudian banyak dibicarakan ketika ada kebijakan untuk mendorong universitas di Indoensia menjadi word class university (WCU).  Seakan-akan untuk menjadi WCU haruslah menjadi research university (RU).  Pemaknaan itu dapat difahami karena WCU selalu dikaitkan dengan perankingan yang dilakukan oleh Times Higher Education dan kadang-kadang oleh Shanghai Jia Tong.  Nah universitas yang menduduki peringkat atas ke kedua perankingan itu konon tergolong RU.

 Apa sih definisi RU?  Biasanya orang mengatakan RU adalah universitas yang misi utamanya melakukan riset (a research university is a university that is committed to research as a central part of its mission).  Mungkin akan lebih jelas kalau dikontraskan dengan teaching university (TU) yang biasanya dimaknai sebagai universitas yang fokus utamanya mendidik mahasiswa agar menjadi orang sukses setelah lulus (a teaching university is focused on students and strives to make their success a top priority).  Jadi RU dan TU memiliki misi yang berbeda, sehingga fokus programnya juga berbeda. 

 Karena RU dan TU tidak dapat dibandingkan, maka seharusnya dibuat perankingan terpisah.  Katakankah ada urutan RU dari yang sangat baik ke yang kurang baik, dengan cara yang sama  dapat dibuat urutan TU dari yang sangat baik sampai yang kurang baik. Tentu indikator yang digunakan untuk metranking RU berbeda dengan yang digunakan untuk meranking TU.  Sejauh yang saya ketahui belum ada perangkingan universitas yang khusus untuk TU. Jika ada perankingan TU dugaan saya akan mengerem universitas untuk berbondong-bondong menamakan dirinya RU, walaupun sebenarnya lebih cocok menjadi TU.

 Mana yang lebih hebat antara RU dan TU? Menurut saya tidak dapat dibandingkan, karena memiliki misi yang berbeda dan program yang berbeda, tentu kegiatan utamanya berbeda.  Jika kegiatan utamanya berbeda tentunya sumber daya dan sarana-prasarana yang diperlukan juga berbeda. Mungkin mirip antara toko sayur dan toko buah. Karena dagangannya berbeda, tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang tidak sama. Memang toko sayur juga menyediakan beberapa jenis buah tetapi tentu hanya sedikit porsinya.  Demikian pula toko buah, mungkin juga menyediakan sayur tetapi juga sedikit porsinya.  Mungkin juga ada toko besar yang memang sebagai toko buah sekaligus toko sayur, sehingga menyediakan keduanya secara “lengkap”, namun yang seperti ini tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar.  Memang juga ada toko kecil tetapi menyedikan sayur dan buah sekaligus.  Namun yang seperti itu biasanya bukan toko buah yang lengkap dan juga bukan toko sayur yang lengkap.

Mirip dengan analagi itu, RU juga memiliki mahasiswa dan melaksanakan proses pendidikan, tetapi juga bukan fokus utamanya. Atau bahkan hanya untuk mendukung riset yang menjadi fokus utamanya. Pada universitas seperti itu biasanya mengutamakan program pendidikan S2 dan S3 karena dapat dikaitkan langsung dengan riset yang dilakukan oleh para dosennya. Lulusannya diharapkan juga akan menjadi peneliti yang handal, sehingga proses pembelajaran lebih banyak berupa “nyantrik” kepada peneliti handal yang menjadi dosen di RU tersebut. Sebaliknya, TU tentu juga memiliki kegiatan riset, namun itu bukan fokus utamanya dan riset-riset yang dilakukan lebih banyak diarahkan untuk mendukung proses pendidikannya. Dari mana pengembangan kelimuan untuk updating para dosen di TU?  Diperoleh dari RU yang memiliki bidang keilmuan sejenis.  Jadi tugas utama dosen di TU bukan menemukan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi menggunakannya untuk menyiapka SDM yang siap memasuki lapangan kerja. Mungkin ada universitas yang mampu sebagai RU dan TU, tetapi tentu memerlukan SDM yang banyak dan bagus untuk keduanya dan juga memiliki sarana-prasarana yang mumpuni untuk keduanya.  Mungkin juga ada universitas “kecil” yang ingin menangani keduanya, namun sangat mungkin tidak dapat menjadi RU yang baik dan juga tidak dapat menjadi TU yang baik.

 Mungkin muncul pertanyaan, seperti apa contoh TU?  Sebenarnya banyak.  Akademi di kalangan TNI dan Polri lebih cocok disebut TU.  Karena fokusnya menghasilkan perwita TNI dan Polri yang baik.  Semua perguruan tinggi kedinasan atau “kementerian di luar Kemdikbud menurut saya termasuk TU, karena fokusnya menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kementerian tersebut. Lantas dimana letak risetnya?  Di lembaga litbang yang dimiliki kementerian tersebut.

Apakah semua universitas/perguruan tinggi dibawah Kemdikbud termasuk RU?  Menurut saya tidak dan sebaiknya setiap universitas/perguruan tinggi tersebut memastikan diri sebagai RU atau sebagai TU.  Boleh juga menjadi RU dan TU tetapi dengan kesadasaran bahwa untuk itu diperlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar.  Yang perlu dihindari adalah ketidakjelasan misi, sehingga membuat programnya juga tidak jelas. RU bukan,TU juga bukan.  Atau ingin menjadi RU sekaligus TU tetapi tidak memiliki SDM dan sarana-prasarana yang memadai sehingga mustahil tercapai.

Pada konteks Indonesia rasanya diperlukan lebih banyak TU dibanding RU.  Indonesia memerlukan sangat banyak SDM bidang operasional berbagai jenis industri, baik manifaktur, pertanian, perikanan, perdagangan, pariwisata, jasa dan sebagainya.  Bukan berarti kita tidak memerlukan hasil-hasil penelitian untuk mempercepat perkembangan industri tetapi tentu tidak sebanyak SDM bidang operasional.

Karena baik RU dan TU sama-sama diperlukan dan tidak dapat diperbandingkan, maka keduanya memerlukan penghargaan yang setara.  Artinya universitas yang memutuskan menjadi TU dan berhasil baik harus diberi penghargaan yang setara dengan universitas yang memutuskan menjadi RU dan berhasil baik.  Dengan demikian tidak harus semua universitas menjadi RU dan sebaliknya juga tidak semuanya menjadi TU. Bagaimana komposisi antara RU dan TU memerlukan kajian yang mendalam. Konon Malaysia pada awalnya hanya menunjuk empat universitas yang kemudian menjadi enam buah menjadi RU.  Menurut saya Indonesia juga perlu merumuskan berapa buah universitas yang ditugasi menjadi RU dan dalam bidang ilmu apa saja, yang sesuai dengan kebutuhan negara.  Sedangkan lainnya lebih baik menjadi TU untuk menghasilkan SDM yang diperlukan pembanguna negara ini.

Bagaimana dengan LPTK?  Menurut saya LPTK itu perguruan tinggi “semi kedinasan”, karena dibawah pembinaan Kemdikbud dan lulusannya berupa guru juga bekerja di sekolah yang berasa di bawah pembinaan Kemdibud.  Kemdikbud tentu tahu kualifikasi dan kompetensi guru yang diperlukan, berapa jumlahnya dan apa saja jenisnya.  Dengan begitu dapat dilakukan perancangan berapa LPTK yang diperlukan dan apa saja program studinya, bahkan di mana lokasi yang tepat terkait dengan geografis Indonesia.  Tentu diperlukan beberapa LPTK yang didorong menjadi RU untuk melakukan penelitian berbagai hal yang terkait dengan kependidikan.   Semoga.   

Kamis, 29 Oktober 2020

Faktor Kunci Peningkatan Mutu Pendidikan

 

Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai program, proyek dan terobosan telah dicoba, baik itu yang merupakan inisiatif daerah, inisiatif nasional, bantuan para ahli negara lain, juga para pengelola lembaga pendidikan. namun hasilnya belum menggembirakan.  Data UN (yang akan segera digantikan oleh AKM), hasil PISA dan beberapa data lain menunjukkan kualitas pendidikan kita masih belum menggembirakan.

 Muncul pertanyaan, apa yang salah dalam berbagai upaya tersebut?  Apakah upaya tersebut belum menyentuh problem utama dari pendidikan kita? Kalau menggunakan teori Pareto, apakah berbagai usaha tersebut tidak menyentuh critical factor pendidikan di Indonesia? Dalam Bahasa Surabaya, apakah berbagai upaya tersebut belum sampai pada “punjerannya”? Atau pendekatannya yang keliru?  Atau kita kurang serius dalam melakukan?  Atau, atau, atau lainnya.  Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk membahas kemengapaan tersebut di atas, tetapi ingin berbagi tentang hasil analisis terhadap situasi sekolah kita, dengan harapan dapat memberikan satu pandangan berdasar data penelitian.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah baru saja melakukan uji coba instrumen baru akreditasinya.  Instrumen tersebut memang baru, tetapi jika dilihat hasil analisisnya menunjukkan validitas dan reliabilitas sangat baik. Pada Gambar 1 tampak bahwa interkorelasi butir-butir (X1-X11) terhadap variabel induknya (ML=mutu lulusan), butir-butir (X12-X18) terhadap variabel induknya (PB=proses pembelajaran), butir-butir (X19-X22) terhadap induknya (MG=kinerja guru), dan butir-butir (X23-X35) terhadap variabel induknya (MSM=manajemen sekolah) cukup baik. Dengan demikian hasilnya cukup kuat untuk digunakan sebagai simpulan. 

Gambar 1 juga menunjukkan hasil analisis SEM yang diolah dari lebih seratus sekolah.  Dari gambar tersebut tempak kalau 64% mutu lulusan dapat dijelaskan oleh proses pembelajaran yang terjadi. Sementara 66% pembelajaran dapat dijelaskan oleh kinerja guru.  Dan 92% kinerja guru dapat dijelaskan oleh manajemen sekolah.  Kalau angka-angka tersebut dicermati, semua di atas 60%, yang secara sederhana dapat dimaknai faktor lain tentu lebih kecil.

Jika mutu lulusan dimaknai sebagai indicator utama mutu pendidikan, maka hasil SEM tersebut dapat dirangkai sebagai berikut.  Mutu pendidikan dipengaruhi sangat kuat oleh kualitas pembelajaran yang terjadi di sekolah, sedangkan mutu proses pembelajaran dipengaruhi oleh kinerja guru, dan kinerja guru dipengaruhi oleh manajemen sekolah.  Jika menggunakan teori Pareto, maka bagaimana memperbaiki manajemen sekolah dan kinerja guru menjadi kunci utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Temuan tersebut sejalan dengan temuan Abu Dohuo (199) bahwa hasil belajar siswa merupakan inovasi pembelajaran yang dilakukan guru. Untuk dapat melakukan inovasi diperlukan tiga syarat, yaitu guru memiliki kompetensi dan juga memiliki komitmen untuk melakukan inovasi untuk meningkatkan hasil belajar siswa.  Nah, komitmen kerja guru ternyata sangat diperngaruhi oleh iklim kerja dan iklim kerja itu merupakan hasil manajemen sekolah.

Apakah temuan tersebut juga berlaku di perguruan tinggi?  Sampai saat ini saya belum pernah membaca penelitian seperti itu dalam konteks perguruan tinggi.  Namun jika kita baca artikel tentang outcome based education, misalnya artikel Eldeeb dan Shatakumari. (2013) dengan judul Outcome Based Education: Trend Review, juga tentang outcome based accreditation, misalnya Harmanani (2017) dengan judul An Outcome Based Assessment Process for Accrediting Computer Programmes, tampaknya juga berlaku di perguruan tinggi. Tentu sangat baik jika ada penelitian yang mereplikasi penelitian di atas dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia.


Senin, 12 Oktober 2020

HOTS: ISTILAH YANG BANYAK DISALAHARTIKAN (Diambil dari Kuliah Umum bagi Mahasiswa PPG Dalam Jabatan, Tanggal 11 September 2020)

 Saya tidak ingat kapan istilah HOTS (high order thinking skills) mulai popular di kalangan guru dan para pendidik di Indonesia.  Yang jelas sekarang menjadi salah satu kosa kata penting di dunia pendidikan.  Guru dituntut untuk mengembangkan HOTS pada murid-muridanya.  Konon soal di AKM (asesmen kompetensi minimum) yang nanti akan mengantikan UN (ujian nasional) disusun berbasis HOTS.  Sayangnya masih banyak guru yang belum memahami konsep HOTS dengan baik.  Ketika mengikuti capacity sharing untuk calon dosen pembimbing dan guru pamong yang kelak mendampingi mahasiswa PPG-PGSD (Pendidikan Profesi Guru SD), yang diselenggarakan oleh Kemdikbud bersama Tanoto Foundation, secara jujur beberapa guru menyatakan masih belum memahami konsep HOTS, sehingga bingung ketika harus menerapkan pada muridnya.

 HOTS bukankah definisi tunggal, namun secara umum dimaknai sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mencakup berpikir kritis, kreatif, reflektif dan memecahkan masalah. Sepertinya itulah yang disebut dua C di bagian awal dari 4-C yaitu critical thinking dan creativity. Ada yang membuat definsi lebih singkat, yaitu memecahkan masalah dengan kreatif (solving problem creatively).

Berbagai definisi tersebut sebenarnya saling terkait. Untuk dapat memecahkan masalah secara kreatif tentu diperlukan kemampuan berpikir kritis dan reflektif untuk memahami masalah yang ingin dipecahkan. Sedangkan untuk menemukan pemecahan yang kreatif tentu diperlukan kreativitas tinggi. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom (walaupun tidak benar-benar pas), berpikir kritis dan reflektif itu sejajar dengan level analisis-sintesis dan evaluasi.  Beberapa ahli menyebutnya sebagai bagian dari metakognisi.  Sedangkan berpikir kreatif sejajar dengan mengkreasi dalam taksonomi Bloom.  Itulah sebabnya beberapa orang menyebutkan tiga level di awal taksonomi Bloom (mengingat, memahami, menerapkan) merupakan LOTS (low order thinking skills), sementara tiga level di atasnya (analisis-sintesis, evaluasi, mengkreasi) termasuk HOTS.

Kebingungan muncul lagi, ketika peserta capacity sharing diminta untuk merancang pembelajaran untuk siswa SD Kelas 1 untuk menumbuhkan HOTS.  Seorang guru SD yang telah lama mengajar Kelas 1 SD mengatakan, tidak mungkin itu.  Yang bersangkutan mengajukan argumen karena anak-anak Kelas 1 SD masih dalam taraf berpikir konkret.  Tampaknya guru tersebut mengaitkan dengan teori perkembangan kognitif dari Piaget.  Dengan demikian anak belum dapat berpikir abstrak. 

Seorang peserta lain menunjukkan rancangan pembelajarannya dengan cara menunjukkan sikap gigi yang dikelompokkan  Satu kelompok terdiri dari 3 buah dan satu kelompok lainnya terdiri dari 2 buah.  Nah, anak SD Kelas 1 diminta mengisi semacam persamaan di LK-nya. Melihat itu, seorang peserta lain mengatakan, anak SD kan belum pandai membaca dan menulis, mana mungkin disuruh mengerjakan LK seperti itu.  Mendengar ungkapan itu banyak peserta yang umumnya para guru membenarkan.

Saya coba menengahi dengan mengatakan, bagaimana kalau pertanyaan tersebut diberikan secara lisan?  Jadi anak SD Kelas 1 ditunjukkan gambar atau kalau perlu guru membawa sikat gigi sungguhan dan diperagaan seperti gambar itu.  Kemudian guru bertanya secara lisan, jumlah sikat gigi siapa yang lebih banyak  Apakah siswa dapat menjawab?  Hampir semua peserta mengatakan bisa.  Artinya siswa Kelas 1 SD sudah dapat membandingkan. Ketika saya bertanya, membandingkan seperti itu menutut taksonomi Bloom termasuk apa.  Peserta menjawab, termasuk evaluasi.  Jadi siswa SD Kelas 1 juga sudah bisa melakukan evaluasi, berarti sudah bisa HOTS.  Baru peserta “ngeh”.   Jadi peserta mengatakan anak belum bisa mengatakan anak SD Kelas 1 belum bisa menjawab, lebih dipengaruhi gambaran bahwa anak SD Kelas 1 belum dapat membaca.

Ketika peserta sibuk berdiskusi, saya coba menunjukkan gambar halaman suatu sekolah dan anak dua anak yang lari dari pojok ke pojok lapangan. Katakanlah Budi lari menyusuri pinggir lapangan, sedangkan Tomi berlari memotong tengah lapangan.  Apakah anak SD Kelas 2 dapat menebak siapa yang lebih sampai lebih dahulu.  Serentak peserta mengatakan bisa.  Saya tanya lagi, apakah yakin anak SD Kelas 2 bisa.  Dijawab bisa. Saya tanya lagi, kira-kira bagaimana anak SD Kelas 2 bisa sampai simpulan Tomi lebih cepat sampai?  Seorang peserta yang kebetulan guru kelas 2 mengatakan, anak SD Kelas 2 akan melihat jalur yang ditempuh Tomi lebih pendek, sehingga akan lebih cepat sampai.  Anak SD Kelas 2 dapat membandingkan, karena bisa di lihat dengan jelas. Bukankah itu membandingkan?  Bukankah itu pada dasarnya evaluasi? Berarti anak SD Kelas 2 sudah dapat sampai pada evaluasi menurut Bloom. Jadi kembali bahwa anak SD Kelas 1 dan Kelas 2 sudah dapat HOTS, karena dapat melakukan evaluasi.Ketika waktu istirahat, beberapa peserta diskusi apakah soal HOTS dikaitkan dengan soal-soal ulangan yang sulit.  Kepada mereka saya ajukan pertanyaan, jika anak SD Kelas 3 diminta mengerjakan soal:

                                           1/7 + 0, 42 X 2/6 = ………………………………

Apakah mereka dengan mudah dapat mengerjakan?  Serentak, mereka menjawab “sulit pak”. Saya bertanya lagi, jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, pengerjaan soal tersebut termasuk kategori apa ya.  Dijawab penerapan, karena hanya menerapkan prinsip penjumlahan dan perkalian.  Saya bertanya lagi, jadi termasuk HOTS atau LOTS. Dijawab LOTS.  Jadi ada soal ulangan yang sulit, pada hal termasuk LOTS.  Sementara tadi ada soal yang mudah, buktinya dapat dikerjakan anak SD Kelas 1 tetapi termasuk HOTS.  Kesimpulannya tidak semua soal HOTS itu sulit dan tidak semua soal LOTS itu mudah.  Dengan kata lain, tingkatan berpikir tidak selalu sejalan dengan tingkat kesukaran soal. 


Jadi bagaimana cara mudah memahami HOTS?   HOTS biasanya mengaitkan dua konsep atau fenomena yang kemudian dikaitkan.  Dalam contoh di atas anak membandingkan dua fenomena, yaitu jumlah sikat gigi dan membandingkan jarak lintasan lari.  Untuk membandingkan dua konsep, misalnya mengapa di bawah pohon yang rindang rumput tidak tumbuh?  Rumput utuk tumbuh dengan baik memerlukan sinar matahari, sementara di bawah pohon yang rindang sinar matahari tidak tembus. Contoh lain, mengapa waktu hujan deras air sungai besar berwarna coklat?  Air sungai besar biasanya berasal dari gunung atau perbukitan. Waktu hujan air akan membawa tanah yang menyebabkan air berwarna coklat

Minggu, 20 September 2020

BLENDED LEARNING AKAN MENJADI TREND DI ERA PASCA COVID

 Ketika memberikan paparan tentang pembelajaran di era pandemic covid-19, saya selalu mengatakan jangan-jangan covid-19 itu bagian dari Allah swt memberi pelajaran kepada kaum pendidik. Bukankah dalam bidang lain penggunaan teknologi digital (IT) telah kira rasakan.  Kita sudah hampir tidak pernah mengambil uang ke bank, karena lebih enak ke ATM. Bahkan akhir-akhir ini mengirim ke suadara atau membayar sesuatu kita menggunakan mobile banking. Ketika bepergian naik kereta kita membeli tiket online dan chek in di stasiun juga menggunakan mesin chek in.  Majalah, jurnal dan buku elektronik (e-magazine, e-journal, e-book) telah kita unduh dan kita baca.  Pertanyaannya, mengapa kita belum mencoba pembelajaran online (e-instruction)?

Setelah selama 6 bulan kita terpaksa melaksanakan pembelajaran onlie, tampaknya guru, dosen, siswa, mahasiswa juga mulai terbiasa.  Kita juga terpaksa melakukan rapat-rapat secara online. Bahwa banyak kendala dan banyak kekurangan kita harus mengakui. Namun kita juga harus mengakui ada beberapa manfaat yang kita petik dalam melaksanaan pembeajaran online dan rapat online selama enam bulan ini.

Tidak semua topik/kompetensi dapat dilaksanakan dengan pembelajaran online.  Ada yang bisa dengan mudah, ada yang bisa tetapi tidak mudah, dan ada yang rasanya tidak mungkin dilakukan secara online.  Teman-teman guru dan dosen tentu dapat merasakan itu.  Hal-hal yang terkait dengan aspek kognitif dan levelnya informatif, guru dapat memandu siswa mencariya di berbagai sumber online. Mbah google adalah salah satu “penunjuk jalannya”.  Namun ketika mulai melakukan analisis terhadap informasi tersebut, tampaknya pendampingan secara intensif sangat diperlukan.  Penerapan suatu rumus tampaknya juga memerlukan pendampingan.  Yang rasanya sulit untuk dilaksanakan secara onlie adalah yang terkait dengan skills. Yang sederhana dan tidak berbahaya masih bisa walaupun tidak mudah.  Namun jika gerakan atau keterampilan itu kompleks dan atau berbahaya akan sangat sulit, sehingga memerlukan pendampingan secara tatap muka.

Beberapa aspek karakter dan yang terkait dengan “rasa” memerlukan keteladanan sehingga interaksi secara fisikal diperlukan.  Memang bisa dicontohkan melalui video tetapi dalam tahap tertentu, keteladanan secara nyata sangat diperlukan.  Apalagi kita telah faham bahwa penumbuhkan karakter itu memerlukan waktu lama dan konsistensi dalam kehidupan keseharian.

Di sisi lain, pembelajaran online ternyata juga memberikan dampak positif. Siswa yang biasanya jarang bertanya ketika pembelajaran dilakukan secara tatap muka, tiba-tiba menjadi aktif bertanya dan menyampaikan pendapat.  Siswa menjadi terlatih mencari informasi.  Jika ketika tatap muka, guru cenderung memberikan informasi secara ceramah, saat pembelajaran online siswa terbiasa mencarinya dari sumber-sumber di dunia maya melalui internet.  Rapat secara online ternyata juga efetif, karena peserta dapat mengikuti dari mana saja.  Peserta rapat juga menjadi lebih aktif.  Bahkan akhir-akhir ini seminar online seakan mewabah dan banyak yang gratis.

Pertanyaannya, apakah ketika pandemic covid-19 dan sekolah telah “dibuka” kembali, apakah pembelajaran online akan hilang dan pola pembelajaran kembali seperti dulu?  Sebelum  mencoba melakukan analisis,  ijinkan saya bercerita dahulu.  Beberapa minggu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan teman yang menekuni dunia marketing.  Beliau mengatakan nanti mall itu akan berubah fungsi.  Bukan tempat orang jual-beli, tetapi tempat orang jalan-jalan untuk mencuci mata dan sekaligus sebagai show room. Lantas, dimana jual-belinya?  Online.  Jadi orang ke mall untuk melihat barang, melihat harga dan jika perlu mencobanya. Tetapi tidak membeli. Setelah mengetahui barang yang dirasa cocok dan jalan-jalan juga sudah puas, akan pulang untuk membelinya secara online dari rumah.  Mengapa?  Karena harganya lebih murah.  Prediksi seperti itu juga sudah disadari oleh para pengusaha, sehingga disamping membuka gerai di mall mereka juga menyediakan layanan penjualan online.

Apa semua barang aman diberi secara online?  Ternyata tidak.  Kalau barang yang dibeli suatu produk yang standar, misalnya sepatu merk tertentu. Baju merk tertentu, katanya aman dibeli secara online.  Tetapi untuk barang-barang yang khas, misalnya baju batik, perhiasan sejenis emas yang tidak memiliki standar tertentu, pembelian sebaiknya dilakukan secara langsung.

Bagaimana dengan gofood?  Apakah rumah makan akan sepi setelah pandemic berakhi?  Menurut teman saya tadi, tidak.  Namun berubah.  Orang yang ke rumah makan atau warung adalah mereka yang ingin makan sambil santai bersama dengan teman-teman.  Di samping itu, makanan seringkali “berubah rasa” ketika dibawa pulang.  Oleh karena itu, rumah makan tidak akan banyak tergerus seperti gerai di mall yang menjual barang non makanan matang. Apa gofood atau sejenisnya akan berhenti?  Juga tidak.  Orang yang ingin makan karena lapar bukan ingin santai, apalagi malas keluar rumah atau keluar kantor, akan tetapi menggunakan gofood. Jadi keduanya akan tetap jalan.

Nah sekolah, bagaimana dengan proses pembelajaran?  Saya meyakini, walaupun nanti pandemic sudah berakhir, pembelajaran online akan tetap berjalan.  Tidak sendirian, tetapi berpadu dengan “pembelajaran tradisional”.  Itulah yan disebut blended learning, atau sederhananya campuran antara pembelajaran online dengan tatap muka.  Bukan berarti siswa tidak datang ke sekolah.  Bisa saja siswa berada di dalam kelas, tetapi mereka sedang mempelajari materi secara online.  Bukan berarti tidak ada guru.  Guru ada, tetapi fungsinya membantu jika siswa mengalami kesulitan. Bisa saja setelah beberapa saat siswa belajar online dilanjutkan latihan memecahkan masalah yang dilakukan secara interaktif langsung bersama guru.  Alias seperti yang dahulu dilakukan.

Nah yang sekarang perlu dipikirkan dan disiapkan adalah mana bagian yang dapat atau lebih efektif dilakukan secara online dan mana yang harus secara interaksi tatap muka dengan guru. Terkait dengan online atau tatap muka, mungkin aspek kognitif, afektif dan psikomotor memerlukan cara yang tidak tepat sama.  Mungkin juga level SD, SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi juga memerlukan pendekatan yang berbeda.   Semua ini masih baru dan belum ada yang punya pengalaman.  Sebaiknya semua guru, dosen apalagi mereka yang ahli pembelajaran melakukan inovasi untuk menyongsong era baru, era blended learning. Semoga.

Senin, 06 Juli 2020

’LIFE SKILLS’ VS MATA PELAJARAN-dari Buku Pendidikan Bermakna-2007


Meluruskan Makna Life Skills
Ketika pertama kali saya menggunakan istilah life skill, di dalam naskah pidato pengukuhan guru besar pada 14 Desember 1998, banyak kawan mempertanyakan apa maknanya.  Apakah itu sama dengan basic skill dalam konsep pendidikan vokasional atau skill dalam taksonomi Bloom?  Jawaban saya saat itu life skill adalah kecakapan hidup, yaitu kecakapan yang diperlukan seseorang untuk dapat sukses dalam kehidupannya, persis seperti yang kita temukan dalam bab Mencermati Orang-orang Sukses.
Sengaja digunakan istilah ”kecakapan” sebagai kata Indonesia (terjemahan) dari  ”skill” dan bukan ”keterampilan”.  Hal itu  semata-mata untuk menghindari penyempitan arti skill sebagai keterampilan manual.  Mengapa demikian?  Karena selama ini, istilah keterampilan diasosiasikan dengan keterampilan psikomotorik dari taksonomi Bloom, sehingga maknanya menyempit menjadi keterampilan yang bersifat manual saja.  Akibatnya, ketika konsep life skill diperkenalkan kepada sekolah, banyak SD dan SMP yang mengadakan program keterampilan bagi siswa, misalnya siswa SD diajari memelihara itik, membuat keset (untuk membersihkan kaki, sebelum masuk rumah) dan sebagainya.  Bukan berarti, siswa SD tidak boleh berlajar keterampilan manual, tetapi life skill jauh lebih luas dari sekadar ketrampilan manual. 
Penggunaan kata life skill dalam makna lain, juga terjadi pada Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 26, ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.  Rumusan tersebut mengesankan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan bentuk ”program pendidikan”, seperti program pendidikan kepemudaan dan sebagainya.  Jadi bukan suatu substansi pendidikan.
Seperti yang akan diuraian lebih lanjut, pada buku ini pendidikan kecakapan hidup (life skill education) dimaknai sebagai substansi pendidikan, yaitu pendidikan yang mengajarkan kecakapan untuk menggapai kesuksesan hidup, sebagaimana digambarkan pada bab Mencermati Orang-orang Sukses.   Substansi life skill dapat masuk ke berbagai program pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan memang menyiapkan anak didik agar sukses di kehidupannya kelak.
Saya merasa heran ketika pada tahun 2001 istilah life skill tiba-tiba muncul dan cepat populer di Indonesia dan bahkan dari penelusuran di media internet, ternyata juga banyak negara yang sudah menggunakan istilah itu dengan arti yang berbeda-beda.  Dalam dunia maya (internet) kini ada beberapa situs yang namanya terkait dengan life skill.  Bahkan ada banyak situs yang secara khusus memuat berbagai hal yang terkait dengan life skill, misalnya program life skill untuk remaja dan bahkan ada program life skill khusus untuk isteri pelaut.   Unesco juga pernah menyeponsori pertemuan yang membahas program-program life skill education, salah satunya di Seoul Korea Selatan, pada Desember 2003.
Salah satu negara yang relatif sangat serius dalam mengembangkan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) adalah Hongkong.  Melalui Basic Education Curriculum Guide: Building in Strength 2002, Hongkong tampak berusaha menyempurnakan pendidikannya dengan memasukkan life skill ke dalamnya.  Dalam naskah tersebut dimuat, apa yang mereka sebut sebagai National Learning Goals, yang ternyata isinya juga mirip dengan life skill yang kita hasilkan lewat proses induksi, seperti  diuraikan di bab terdahulu.
Negara lain yang juga getol mengembangkan konsep pendidikan yang mirip life skill adalah New Zealand. Dari berbagai dokumen, diketahui bahwa mereka telah merumuskannya pada tahun 1993, dalam The New Zealand Curriculum Framework.   Mereka menyebutnya dengan istilah ”the essential skills”, yang ingin dikembangkan melalui pendidikan di negara tersebut.  Dalam dokumen tersebut tertulis, the essential skills merupakan kecakapan yang diperlukan generasi muda, untuk dapat berpatisipasi secara efektif dalam kehidupan di masyarakat.
Walaupun makna life skill yang dipakai oleh para pengguna dari berbagai negara berbeda-beda, tetapi jika dicermati mengandung satu makna universal, yaitu kecakapan yang diperlukan untuk menghadapi problema kehidupan dan kemudian secara aktif dan kreatif memecahkannya.  Bukankah pengertian itu identik dengan pengertian yang kita gunakan pada bab Mencermati Orang-orang Sukses?   Bukankah untuk sukses, memang diperlukan kecakapan untuk menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan secara kreatif?  Bahkan beberapa ahli menyatakan, diperlukan kecakapan untuk mengantisipasi akan adanya masalah dan kemudian mengubah masalah tersebut menjadi manfaat.   Oleh karena itu, dalam buku ini, life skill tetap diartikan sebagai kecakapan yang diperlukan untuk menggapai kesuksesan hidup.
Kata ”sukses” mengandung makna yang luas dan tidak tepat sama rinciannya bagi setiap orang.  Seperti disinggung pada bab sebelumnya, tentu orang tua tidak ingin anaknya hanya sukses dalam aspek karier dan materi, tetapi gagal dalam membina rumah tangga.  Orang tua juga tidak ingin anaknya sukses dalam membina rumah tangga dan materi, tetapi tidak disenangi oleh masyarakat sekitarnya.  Mereka tidak ingin anaknya sukses dalam karier dan kaya, tetapi tidak taat beragama.  Sebaliknya orangtua tidak puas jika anaknya anaknya taat menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, puasa dan membayar zakat serta telah melaksanakan ibadah haji, tetapi gagal dalam karier dan berumah tangga.   
Jika peran manusia dalam kehidupan dapat diidentifikasi, kita dapat melakukan analisis untuk menemukan kecakapan hidup yang diperlukan untuk melaksanakan peran tersebut.  Jika kecakapan hidup dapat ditemukan, maka kita dapat menyiapkan pola pendidikan yang mampu mengembangkan kecakapan tersebut, baik itu untuk dilaksanakan di keluarga maupun di sekolah.  Dengan cara itu, pendidikan yang kita lakukan akan benar-benar mengembangkan kecakapan yang diperlukan untuk memerankan diri dalam kehidupan di masa datang.

Empat Peran dalam Kehidupan

Dari berbagai referensi dan pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari, saya mencoba mengkonstruksi peran manusia dalam kehidupan, seperti tampak pada Gambar 2.   Setiap orang memiliki empat peran dalam kehidupan, yang dilaksanakan secara bersama-sama dan simultan, yaitu sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari lingkungan alam, dan terakhir tetapi sangat penting adalah sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai pribadi yang mandiri, seseorang dituntut untuk mampu menghadapi dan memecahkan problema yang dihadapi.  Di dalam pekerjaan, tentu selalu ada problema yang harus dipecahkan dan bahkan orang yang tidak bekerja, dalam arti mencari uang seperti ibu rumah tangga, juga selalu menghadapi problema.   Anak kecil yang rewel dan minyak goreng habis, di saat akan masak adalah contoh problema bagi ibu rumah tangga.  Anak sekolah juga selalu menghadapi problema, misalnya harus mengerjakan PR (pekerjaan rumah) di saat ingin ikut ibunya ke toko atau  besuk akan ulangan tetapi sore ini ada siaran final AFI (Akademi Fantasi) di Indosiar.  Pramuka yang sedang sendirian di hutan, juga menghadapi problema seperti itu, misalnya ketika berjalan ada sungai di depannya, sehingga harus memilih menyeberang dengan risiko basah dan bahkan tenggelam atau berjalan melingkar tetapi jauh atau ada cara lain yang harus ditemukan.





Gambar 2  Peran manusia dalam kehidupan[1]

Kecakapan seperti itu seringkali disebut kecakapan personal (personal skill), yaitu kecakapan yang diperlukan untuk mampu menjadi pribadi yang mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain. Kecakapan personal diperlukan, walaupun yang bersangkutan hidup seorang diri di tengah hutan.  Untuk itu diperlukan kecakapan untuk memahami problema yang dihadapi, menggali informasi yang relevan guna menyempurnakan pemahaman tersebut, menganalisis dan menemukan alternatif-alternatif untuk mengatasi problema tadi, serta mengambil keputusan alternatif mana yang akan diambil.
Setiap orang akan selalu menghadapi problema dalam kehidupannya, yang jenis dan tingkatannya berbeda sesuai dengan usia dan profesinya.  Problema yang dihadapi siswa SD tentu berbeda dengan yang dihadapi mahasiswa, berbeda dengan ibu rumah tangga, berbeda dengan pedagang, berbeda dengan pegawai di kantor pemerintahan.  Tetapi yang pasti, setiap orang akan selalu menghadapi problema yang menuntut untuk dipecahkan secara kreatif dan arif.
Untuk mampu memahami suatu masalah secara utuh, diperlukan berbagai informasi yang relevan.  Berbagai informasi tersebut selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh dan akurat.  Tanpa adanya informasi yang lengkap dan analisis yang baik, pemahaman tidak akan dapat sempurna.  Oleh karena itu, kecakapan menggali dan menganalisis informasi merupakan bagian dari pemahaman suatu problema.
Pemecahan yang kreatif adalah yang mampu menghasilkan solusi yang efektif dengan waktu cepat, tenaga sedikit dan biaya yang minimal, sedangkan pemecahan yang arif artinya pemecahan yang memperhitungkan dampak negatif yang terjadi, baik bagi diri sendiri, orang-orang lain yang terkait maupun lingkungan alam sekitarnya.
            Orang yang mampu memecahkan problema yang dihadapinya secara kreatif dan arif, seringkali menyebabkan yang bersangkutan sukses dalam profesinya.  Orang seperti itu seakan justru memperoleh manfaat dari problema yang dihadapi, karena lebih dahulu menemukan solusi dibanding orang lain yang menghadapi problema serupa.  Seorang guru yang menghadapi siswa yang nakal, kemudian menemukan metoda mengajar yang mampu mengarahkan kenakalan siswa tadi, menjadi semangat berkompetisi, akan menjadikan yang bersangkutan sebagai rujukan atau guru tempat bertanya bagi guru yang lain.  Seorang pedagang yang menghadapi problema harga barang naik-turun, kemudian menemukan metoda untuk mengantisipasinya, akan menjadi pedagang yang terus memperoleh keuntungan.
            Untuk mampu memahami masalah yang dihadapi, menggali informasi yang terkait, melakukan analisis secara cermat, menemukan alternatif-alternatif yang ada dan mampu memilih alternatif yang paling baik, tentu diperlukan keahlian yang terkait dengan bidang tersebut.  Pada contoh kasus Pak Didik, si tukang bengkel mobil pada Bab sebelumnya, disebut sebagai ciri menguasai bidang pekerjaannya.
            Kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tukang bengkel tentu berbeda dengan kemapuan menjadi guru dan berbeda dengan politisi.  Oleh karena itu kecakapan hidup seperti itu disebut kecakapan hidup spesifik (specific skill).  Apakah kecakapan hidup spesifik cukup sebagai bekal sukses dalam menekuni keahliannya?  Ternyata tidak cukup.   Diperlukan kemampuan menggali informasi lain yang terkait, melakukan analisis yang holistik dan cermat, menemukan beberapa alternatif pemecahan dan mampu memilih alternatif yang terbaik.
            Mungkin ada yang bertanya, apakah ada orang ahli dalam bidangnya, tetapi tidak mampu melakukan analisis terhadap problem yang dihadapi dan mencari alternatif pemecahannya.  Di sini perlu diklarifikasi.  Ada orang yang penguasaan bidangnya hanya sempit dan itu-itu saja, tetapi ada juga orang yang penguasaan bidang keahliannya terus  berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Sebagai contoh, tukang bengkel yang keahliannya menyetel mobil terbatas pada karborator dan platina, akan kebingunan saat menghadapi mobil generasi baru, yang menggunakan CDI dan sistem injeksi pada aliran bahan bakar.  Guru yang keahliannya hanya menjelaskan isi buku tertentu kepada siswa, akan kelabakan ketika tahu siswanya sudah lebih dahulu membaca kasus mutakhir di majalah atau internet dan kemudian menanyakannya di kelas.
            Nah di situ tampak, perbedaan antara ahli dalam pengertian pertama, yaitu dari itu – ke itu saja dan ahli dalam pengertian terus mengikuti perkembangan.  Bukankah, untuk dapat mengikuti perkembangan, seorang yang sudah ahli harus terus belajar, yaitu menggali informasi, kemudian menganalisis bagaimana keterkaitan dengan keahlian yang selama ini telah dikuasai dan selanjutnya mengintegrasikan menjadi ”keahlian baru” yang lebih mutakhir? 
            Pada kondisi lain, ada orang yang keahliannya hanya terbatas dan tidak memahami jika hal itu terkait dengan bidang lain.  Sebagai contoh, pada umumnya petani kita hanya paham bagaimana cara yang baik dalam menanam padi, jagung, atau kedele.  Mereka tidak paham, berapa kebutuhan padi, jagung dan kedele di daerahnya dan kapan ketiga hasil panen itu diperlukan masyarakat, serta berapa harga per kilo dari padi, jagung dan kedele yang wajar.  Akibatnya, mereka seringkali dihadapkan pada kenyataan hasil panennya bagus, tetapi harganya jatuh.  Dalam kondisi seperti itu, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali menjual hasil panennya dengan merugi.
            Pada kasus seperti itu, gagasan Pak Badrun, si pedagang sukses yang diceritakan pada bab terdahulu dapat menjadi pelajaran.  Pak Badrun, mampu mengaitkan bidang pertanian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga memunculkan gagasan menanam padi secara tradional, tanpa pupuk kimia dan bahan pestisida.  Walaupun hasil panennya lebih sedikit, tetapi harga jualnya justru lebih besar.
               Pola pikir petani yang dicontohkan di atas, disebut pola pikir yang parsial dengan skemata lepas.  Artinya menganggap pekerjaan bertani adalah menanam padi, jagung, kedele, sayuran serta buah-buahan dengan sebaik-baiknya dan itu tidak ada hubungannya dengan perdagangan.  Padahal, kenyataannya hasil pertanian akan masuk dalam dunia perdagangan, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.   Oleh karena itu, pola pikir Pak Badrun dengan cara holistik-integratif, lebih cocok untuk digunakan dan dalam praktiknya memang lebih memberikan keuntungan.
            Sayangnya, dalam pendidikan kita, pola pikir parsial itulah yang banyak digunakan.  Siswa diminta belajar Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, PPKn, Ekonomi dan sebagainya, dan hanya sedikit sekali (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah) diajak  belajar mengintegrasikannya dalam dalam pola pikir yang utuh guna memahami suatu masalah kehidupan.  Ungkapan Pak Wahyu, arsitek profesional yang sukses pada bab sebelumnya, yang mengatakan bahwa dia lebih banyak belajar dari arsitek seniornya di tempat kerja, dibanding di bangku kuliah, ada benarnya.   Dari seniornya itulah, Pak Wahyu banyak belajar kearifan hidup dan bagaimana menjadi arsitek profesional, bukan sekadar belajar mata kuliah-mata kuliah, secara parsial (terpisah-pisah).
            Secara psikologis, kecakapan-kecakapan yang disebutkan di atas, terkait erat dengan kecakapan berpikir, baik berpikir rasional/secara keilmuan, maupun berpikir lateral/secara kreatif.  Berpikir rasional sangat diperlukan pada saat melakukan analisis, sedangkan berpikir lateral sangat diperlukan pada saat mencari alternatif pemecahan masalah.Oleh sebab itu, kecakapan-kecakapan tersebut dapat digolongkan sebagai kecakapan berpikir (thinking skill).
Di samping harus memiliki thinking skill yang baik, untuk dapat menjadi pribadi mandiri yang sukses, seseorang juga harus disiplin, jujur, kerja keras, ulet, sabar, pantang menyerah dan berani mengambil risiko.  Meskipun hidup seorang diri, jika ingin sukses orang tetap harus disiplin, misalnya disiplin dalam mengatur waktu dan dalam mengerjakan tugasnya, jujur dalam menerapkan prosedur kerja, kerja keras serta ulet dan pantang menyerah di saat mengahadapi kesulitan.  Pada saat tertentu, seseorang juga harus berani mengambil risiko. 
            Kecakapan-kecakapan yang disebutkan terakhir lebih dekat dengan sikap (attitude), dibanding dengan kecakapan berpikir. Oleh karena itu, kecakapan-kecakapan tersebut dapat digolongkan sebagai sikap hidup (life attitude).  Walau demikian, dari pengalaman, aspek ini tidak kalah penting dibanding kecakapan berpikir.  Bahkan para ahli mengatakan bahwa EQ (emotional quotient) lebih menentukan keberhasilan seseorang dibanding dengan IQ (intelectual quotient), dan kecakapan-kecapan yang berwujud sikap itulah isi dari EQ.  Dan kini, IQ dan EQ tidak cukup, karena keduanya harus dipandu oleh SQ (spiritual quotient).
            Sayangnya sikap hidup tesebut kurang mendapat perhatian dalam praktik pendidikan di sekolah selama ini.  Guru/dosen sepertinya terlalu sibuk ”memompakan” materi ajar dan lupa akan pentingnya sikap hidup, yang ternyata beperan besar dalam kesuksesan hidup seseorang.  Atau mungkin, mereka berpikir bahwa pengembangkan sikap hidup itu hanya tugas guru Agama dan guru PPKn.  Sedihnya, guru Agama dan guru PPKn juga disibukkan untuk ”memompakan” materi ajar pada tataran kognitif dan tidak sampai pada penghayatan serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.  Apalagi hasilnya juga diukur melaalui hasil ulangan/ujian tertulis, yang tentu belum menyentuh aspek pengamalan.
            Oleh karena itu, dapat dimengerti jika menyontek kini telah menjadi fenomena keseharian di sekolah, mulai dari siswa SD sampai mahasiswa pasca sarjana.  Sedihnya, guru dan orangtua (termasuk kita semua) tidak risau dengan gejala tersebut.  Padahal, menyontek adalah awal dari perbuatan korupsi, karena ingin mendapatkan nilai baik tanpa mau belajar keras. Hal itu analog dengan ingin berpenghasilan besar tanpa mau bekerja keras.  Bukankah itu pola pikir orang korupsi?
            Saya punya pengalaman menyedihkan.  Ketika memberi ujian kepada mahasiswa S2 dengan model take home (dikerjakan di rumah), ada dua mahasiswa yang menyerahkan pekerjaan dengan isi sangat mirip.  Padahal, soal ujian tersebut berbentuk kasus dan peserta ujian diminta untuk mengajukan pemecahan masalah. Logikanya, setiap orang memiliki gagasan masing-masing, tentang bagaimana cara memecahkan kasus tersebut.  Akhirnya kedua mahasiswa yang pekerjaannya mirip tersebut saya tunda pengumuman hasil ujiannya, sampai ada yang mengaku, siapa yang menyontek.  Akhirnya, salah seorang di antaranya menemui saya dan mengakui dialah yang menyotek, kemudian meminta maaf dengan berbagai alasan.
            Ketika pengalaman tersebut saya ceritakan kepada dosen lain, bahkan kepada rekan dosen di perguruan tinggi lain, mereka mengatakan bahwa hal itu juga terjadi di kelasnya.  Ada seorang rekan dosen yang sedang kuliah di S3 bercerita, kalau ujian semester seringkali direpotkan oleh temannya yang terus bertanya-tanya, padahal dia sendiri belum selesai mengerjakan.  Dan kejadian seperti itu tidak hanya pada seseorang, tetapi banyak mahasiswa S3.  Sungguh menyedihkan.

Social Skill dalam Keluarga dan Masyarakat
           
            Peran kedua manusia dalam kehidupan adalah sebagai bagian dari keluarga, misalnya sebagai anak ketika masih kecil, sebagai suami atau istri ketika sudah berkeluarga, dan sebagai adik-kakak-keponakan-kakek-nenek, ketika kita menerapkan kehidupan keluarga besar dalam budaya Indonesia.  Agar dapat menjadi anggota keluarga yang baik, seseorang memerlukan kecakapan hidup yang berbeda dengan personal skill.   Dalam kehidupan di keluarga, seseorang memerlukan kecakapan antara lain, toleransi atas perbedaan, menghargai orang lain, berkomunikasi dengan sopan, bekerja sama dengan penuh tanggung jawab, berempati pada penderitaan orang lain,  membantu orang yang sedang kesulitan  dan sebagainya. Seringkali kecakapan tersebut disebut sebagai kecakapan sosial (social skill), yaitu kecakapan yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Walaupun dalam satu keluarga, tentu ada perbedaan pendapat.  Oleh karena itu diperlukan toleransi dan saling menghargai terhadap perbedaan pendapat tersebut. Keributan dalam rumah tangga dan bahkan perceraian, seringkali diawali oleh adanya kurang toleransi dan kurangnya saling menghargai terhadap perbedaan pendapat antara suami dan isteri.  Hubungan antara orangtua dan anak yang tidak harmonis, seringkali juga diawali oleh adanya kurang toleransi dan kurang menghargai perbedaan pendapat.
Kemampuan berkomunikasi juga sangat penting dalam keluarga.  Seringkali penyampaian pendapat memperoleh tanggapan negatif, bukan karena materi/gagasan yang disampaikan, tetapi karena cara menyampaikan kurang tepat.  Sebaliknya kritik seringkali dapat diterima oleh yang dikritik, karena cara menyampaikannya sopan dan tidak menyinggung perasaan. 
Walapun dalam satu keluarga, tentu setiap anggota keluarga memiliki cara perikir masing-masing, apalagi usia berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang.  Oleh karena itu, biasanya antara anak dan orangtua memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu kejadian.  Jika perbedaan pendapat seperti itu, disampaikan dengan cara yang keliru, misalnya kurang sopan dan menyinggung perasaan lawan bicara, akan dapat menimbulkan salah pengertian.  Apalagi, jika lawan bicaranya kurang memiliki rasa toleransi atas perbedaan pendapat.
Dalam setiap keluarga tentu selalu ada aktivitas yang memerlukan bentuk kerja sama.  Mendidik anak merupakan tugas bersama antara suami dan isteri. Mengatur dan membersihkan rumah merupakan kerja sama antara seluruh penghuni rumah, baik suami, isteri, anak, pembantu rumah tangga dan keluarga lain yang tinggal serumah.  Nah, untuk itu diperlukan pembagian tugas yang jelas, rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya dan  menghargai hasil kerja orang lain.
Di dalam kehidupan keluarga, juga diperlukan kecakapan berempati terhadap penderitaan orang lain.  Jika ada anggota keluarga yang sakit, diharapkan anggota keluarga yang lain  menunjukkan empati kepada yang sedang sakit dan tidak membuat kegaduhan.  Jika anak sedang belajar, seharusnya orang tua menunjukkan empati dengan tidak menyetel televisi dengan seenaknya.  Jika bapak atau ibu sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang penting, anak seharusnya menunjukkan empati dengan tidak bergurau atau tampak bermalas-malasan.  Akan lebih baik, jika membantu atau paling tidak menawarkan diri untuk membantu.
Dari uraian di atas, tampak adanya saling terkait antara personal skill dan social skill.  Misalnya, untuk mampu memahami adanya perbedaan dalam kehidupan keluarga, seseorang memerlukan pengetahuan tertentu dan sikap hidup tertentu, yang keduanya termasuk di dalam personal skill.  Sebaliknya, pengalaman dalam kehidupan rumah tangga yang menerapkan social skill, akan mengasah kecakapan berpikir dan sikap hidup yang lebih arif.
Apakah kecakapan-kecakapan tersebut mudah dikuasai?  Ternyata tidak.  Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kekurangharmonisan rumah tangga juga terjadi pada keluarga yang terdidik.  Kenakalan anak-anak juga terjadi pada orangtua yang terdidik.  Artinya, orang yang memiliki kecakapan berpikir baik, belum tentu berhasil dalam membina keharmonisan rumah tangga dan memerankan diri sebagai orangtua yang berhasil mendidik anaknya.  Demikian pula, anak yang  berprestasi  di sekolah, juga ada yang kurang baik hubungannya dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain di rumah.
Demikian pula, orang yang memiliki sikap hidup yang baik, misalnya jujur, disiplin dan bertanggung jawab, belum tentu mampu melakukan komunikasi dengan baik.  Misalnya orang yang jujur belum tentu dapat menyampaikan gagasan secara lisan atau tertulis secara baik.  Demikian pula, dia belum tentu pandai menyimak pembicaraan orang atau membaca gagasan orang lain.
Jika diyakini bahwa keluarga merupakan tempat awal terjadinya proses pendidikan, maka peran seseorang dalam keluarga tidak boleh diabaikan.  Sikap hidup dan social skill, yang diuraikan di atas seharusnya menjadi budaya dalam keluarga, sehingga setahap demi setahap akan mewarnai sikap hidup dan kecakapan sosial anak-anak.  Sayangnya banyak orangtua yang kurang berhasil dalam memerankan diri sebagai anggota keluarga yang paling sentral.
Jika dilacak ke sekolah, di mana orangtua dulu mengikuti pendidikan, ternyata social skill yang sangat diperlukan seseorang dalam memerankan diri dalam komunitas keluarga, juga kurang mendapat perhatian.  Kecakapan menghargai orang lain, toleransi atas perbedaan, bekerja sama dengan penuh tanggung jawab, berkomunikasi dengan sopan, berempati pada penderitaan orang lain dan membantu orang yang kesulitan, belum menjadi perhatian guru.
Pengembangan kecakapan berkomunikasi sepertinya masih dianggap merupakan  tugas guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris saja, karena di dalam kurikulumnya memang terdapat kompetensi menyimak (listening), membaca (reading), menulis (writing),  dan berbicara (speaking).  Pengembangan kecakapan bertoleransi, kecakapan dalam bekerja sama, berempati pada penderitaan orang lain dan suka menolong orang yang kesulitan, sepertinya dipahami hanya merupakan tugas guru PPKn dan Agama, karena di dalam kurikulumnya ada kompetensi tersebut.
Guru mata pelajaran lainnya, sepertinya tidak merasa bahwa kemampuan tersebut juga menjadi tanggung jawabnya dan bahkan tanggung jawab semua guru.  Kalau toh ada  dalam proses pembelajarannya menggunakan aktivitas-aktivitas tersebut, sang guru tidak secara sengaja merancang dan memperhatikan proses dan hasilnya, sebagai hasil belajar yang harus diukur.

Dalam kehidupan keseharian, setiap orang juga harus berinteraksi dengan anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, maupun lingkungan kerja.  Oleh karena itu, peran kedua manusia dalam kehidupan, di samping di keluarga adalah sebagai bagian dari masyarakat.  Bukankah manusia merupakan makhluk sosial, yang secara fitrah memang merupakan bagian dari masyarakat.  Beberapa ahli menyebutkan bahwa peran sebagai anggota masyarakat merupakan perluasan dari peran sebagai anggota keluarga, karena memerlukan kecakapan yang sama, yaitu berkomunikasi, bekerja sama dan berempati. 
Namun juga banyak ahli lain, yang menyebutkan peran keduanya berbeda, karena sifat interaksinya yang berbeda, sehingga keduanya harus dipisahkan.  Mengapa?  Karena sifat interaksinya berbeda.  Dalam keluarga hubungan emosional lebih tinggi, sehingga mudah menumbuhkan rasa empati dan dorongan untuk saling membantu.  Sebaliknya, karena merasa satu keluarga, maka rasa toleransi atas adanya perbedaan tidak setinggi jika menghadapi orang di luar keluarga.  Jadi dibanding hubungan dalam keluarga, hubungan seseorang di dalam masyarakat menjadi lebih longgar, yaitu adanya rasa toleransi yang lebih tinggi, sebaliknya rasa empati dan dorongan untuk membantu lebih rendah.
Untuk dapat memerankan diri sebagai anggota masyarakat yang sukses, seperti cerita ”tetangga ideal” pada sebelumnya, social skill yang disebutkan di atas sangat diperlukan.  Tentu dengan intensitas yang lebih tinggi.  Misalnya, untuk dapat berkomunikasi dengan anggota masyarakat, diperlukan kecakapan berkomunikasi yang lebih tinggi, karena perbedaan pola pikir di masyarakat tentu lebih lebar dibanding dalam keluarga.
Untuk dapat berempati terhadap penderitaan tetangga dan mau menolongnya, diperlukan kecakapan sosial yang lebih tinggi dibanding dalam keluarga.  Mengapa?  Karena, tidak adanya hubungan emosional antara seseorang dengan tetangganya, menyebabkan diperlukannya kepekaan sosial yang lebih besar untuk dapat berempati dan membantu orang lain yang sedang menderita.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, kesediaan berempati kepada orang lain dan membantu mereka yang menderita, ternyata juga tidak berhubungan linier terhadap kecakapan berpikir dan kekayaan yang dimiliki.  Ada stasiun televisi punya program berjudul ”Tolooooong!” yang memancing kedua aspek life skill tersebut, dengan cara menghadapkan seseorang dengan penderitaan orang lain.  Pada suatu episode, ditayangkan ada seorang ibu tua dan tampak sederhana, membawa kompor minyak tanah dan berjalan meminta minyak tanah gratis kepada beberapa penjual minyak yang dijumpai. Banyak penjual minyak tanah yang menolak untuk memberi, walaupun si ibu itu mengatakan meminta gratis, karena tidak punya uang.   Salah seorang yang mau memberi justru di luar dugaan, bukan orang yang kaya tetapi seorang penjaja minyak tanah keliling yang cacat tubuhnya (lumpuh). Ia berjualan berkeliling dengan sepeda khusus yang dapat dikayuh dengan tangan.  Tetapi dengan kondisi seperti itu, justru dia yang memiliki empati dan bersedia menolong orang lain, yang sedang kesusahan. Pada episode yang lain, ditayangkan ada seorang pemuda menuntun sepeda motor dan meminta bensin gratis, dengan alasan kehabisan bensin dan tidak punya uang.  Banyak penjual bensin tidak mau memberi dan salah satu orang yang mau memberi adalah seorang ibu tua sangat sederhana dan berjualan bensin eceran dengan dagangan hanya beberapa botol.  Sekali lagi, kita ditunjuki fakta bahwa empati tidak selalu terkait dengan tingkat pendidikan dan kepemilikan harta.
Tayangan tersebut merupakan contoh nyata, bahwa berempati terhadap penderitaan orang lain, ternyata tidak mudah.  Kelebihan harta bukan jaminan untuk dapat berempati.  Orang yang relatif  ”kekurangan” , baik secara fisik (penjaja minyak yang cacat tubuh) dan kekurangan harta (penjual bensin dengan kios sangat sederhana) ternyata justru mampu berempati untuk menolong orang lain, dibanding orang-orang yang lebih baik keadaannya.
Social skill seperti itu secara kognitif tentu sudah dipelajari pada mata pelajaran Agama dan PPKn di sekolah. Sayangnya, pembelajaran yang terjadi lebih banyak berhenti di pengetahuan dan tidak sampai pada penghayatan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.  Padahal, kita semua paham kalau hal-hal yang lebih dengan dengan sikap, hanya akan berhasil dikembangkan jika diwujudkan dalam kebiasaan perilaku keseharian yang disertai dengan teladan dari mereka yang lebih senior.  Jika guru, tata usaha dan warga sekolah senior lainnya, mewujudkan sikap hidup dan kecakapan sosial tersebut dalam kehidupan keseharian di sekolah, maka setahap demi setahap akan menjadi bentuk budaya sekolah dan secara otomatis akan ditiru oleh siswa.

Peduli Lingkungan

Peran ketiga manusia dalam kehidupan adalah sebagai bagian dari lingkungan. Bukankah manusia itu sebagai khalifah di muka bumi dan diamanahi oleh Sang Pencipta untuk memelihara dan memanfaatkan alam lingkungan, demi kemaslahatan umat manusia.  Untuk dapat memainkan peran tersebut dengan baik, diperlukan kecakapan yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan dan sikap hidup yang merasa bertanggung jawab untuk ikut memeliharanya.
Pada suatu ketika, saya menemani seorang kawan untuk mengunjungi beberapa sekolah. Ketika selesai berkunjung ke sebuah SD, kawan tersebut bertanya apakah di SD diajarkan IPA dan saya jawab ”ya, mulai di kelas 4”.  Dia bertanya lagi, ”tetapi mengapa anak-anak membiarkan bunga dalam pot di depan kelasnya, layu dan hampir mati?”   Saya jadi salah tingkah, karena ternyata tamu asing tersebut mempertanyakan, mengapa anak-anak sudah belajar IPA, tetapi tidak mengerti atau tidak terdorong untuk menyiram bunga yang layu di depan kelasnya.   Rasanya kita yakin, kalau anak-anak SD sudah mengerti kalau bunga di dalam pot itu layu karena terlambat disiram, hanya mereka tidak terdorong untuk melakukannya.
Sesudah dari SD tadi, kunjungan dilanjutkan ke sebuah SMP di Kalimantan Selatan, yang lokasinya di atas tanah rawa-rawa dengan air payau.  Sebagaimana umumnya sekolah di sana, bangunan sekolah dibangun dengan model ”panggung”, ditopang dengan tiang-tiang penyagga dari kayu tertentu, dan lantainya terbuat dari kayu, dengan ketinggian sekitar satu meter di atas permukaan air rawa.  Sungguh mengagetkan, di sepanjang teras di depan kelas terdapat tanaman sayuran dan buah-buahan, seperti tomat dan terong serta beberapa jenis bunga, yang ditanam dalam ember bekas.  Bagaimana tanaman tersebut dapat tumbuh subur, pada hal air payau di daerah itu tidak dapat untuk menyiram tanaman.
Ketika kawan asing tersebut bertanya, kepala sekolah menunjuk seorang ibu guru IPA untuk menjelaskan.  Ternyata guru IPA yang masih sangat muda tersebut, merasa terusik dengan kondisi lingkungan sekolah yang gersang.  Oleh karena itu, dengan berbagai upaya, dia berusaha menemukan cara untuk mengolah air payau di lokasi sekolah agar dapat untuk menyiram tanaman.  Akhirnya dia menemukan, dengan cara memberi gamping.  Nah, semenjak itu, dia mulai menggerakkan siswa-siswa untuk menanam bunga dan buah-buahan di depan kelasnya masing-masing, dengan memanfaatkan air tawar hasil netralisasi dengan gamping tersebut.
Dari contoh kasus tersebut, mungkin kita berkata bahwa ibu guru tersebut sangat pandai.  Mungkin saja.  Tetapi yang lebih menonjol adalah adanya rasa tanggung jawab untuk menjadikan lingkungan sekolah tidak gersang dan keuletan untuk mewujudkannya.  Rasanya banyak guru IPA yang mengetahui bahwa air payau, dengan tingkat keasaman tinggi, dapat dinetralisasi dengan memberi gamping.  Tetapi tidak banyak yang terdorong untuk melakukan guna menghijaukan lingkungan sekolah.
Kasus serupa dengan skala yang berbeda, juga terjadi pada kerusakan lingkungan alam di Indonesia ini.  Memang ada peladang berpindah yang merusak hutan dan petani di pegunungan yang menanami lereng gunung bagian atas, karena mereka tidak mengerti bahwa cara berladang berpindah dan bertani seperti itu dapat merusak lingkungan.  Tetapi, mereka yang membuat rumah dan bahkan membangun kompleks perumahan di daerah Puncak, Jawa Barat dan mereka yang membabat hutan dengan seenaknya,  sebenarnya mengerti kalau perbuatannya merusak lingkungan.  Namun tetap saja dilakukan, karena tingginya keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa untuk dapat memelihara dan memanfaatkan lingkungan alam dengan arif dan kreatif, diperlukan kecakapan berpikir yang terkait dengan bidang itu, contohnya mengolah air payau menjadi air tawar dan juga kesadaran bahwa memelihara lingkungan adalah tanggung jawab semua manusia.  Seringkali, justru kesadaran itulah yang lebih dominan, dalam menentukan apa yang akan dilakukan oleh seseorang.
Apakah kesadaran untuk memelihara lingkungan sekitar dan kemampuan untuk melaksanakannya sudah dikembangkan dalam pendidikan di sekolah?  Rasanya masih perlu dipertanyakan.  Kalau kita hitung, jumlah sekolah yang lingkungannya hijau, segar dan terawat dengan baik, masih jauh lebih sedikit dibanding sekolah yang lingkungan dibiarkan gersang dan kurang terawat.   Apakah guru tidak mengetahui bagaimana cara merawatnya, saya yakin mereka mengetahui.  Apakah sekolah begitu miskin, sehingga tidak punya dana untuk merawat, saya yakin juga tidak.  Merawat lingkungan sekolah, tidak memerlukan biaya besar, asalkan sederhana tetapi rapi, bersih, hijau dan segar.
Saya khawatir, pentingnya memelihara lingkungan, pentingnya menjaga kebersihan dan bahkan ajaran bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman, sudah dibahas dalam  berbagai mata pelajaran. Tetapi semuanya berhenti pada tataran pengetahuan dan belum dihayati dan diamalkan dalam kehidupan keseharian.  Banyaknya sekolah dengan lingkungan kurang bersih dan gersang merupakan bukti nyata.  Dalam kasus sekolah seperti itu, yang belum melakukan tidak hanya siswa, tetapi juga guru dan semua warga sekolah.

Menjadi Hamba Tuhan

Peran ke-empat manusia dalam kehidupan, peran terakhir tetapi paling penting, adalah sebagai hamba Tuhan Sang Maha Pencipta.  Manusia diciptakan oleh Tuhan ke alam dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya.  Ibadah dalam pengertian yang luas, yaitu ibadah ritual yang terkait hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan ibadah mu’amalah yang terkait dengan hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam.
Sepanjang yang saya ketahui, ke empat peran manusia yang sudah diuraikan di atas adalah termasuk dalam ibadah mu’amalah.  Artinya, sebagai hamba-Nya, manusia diwajibkan untuk menjadi pribadi mandiri yang kreatif, sebagai anggota keluarga yang bijak, sebagai anggota masyarakat yang baik dan sebagai bagian dari lingkungan yang arif.  Dengan demikian, peran manusia sebagai hamba Tuhan lebih menegaskan bahwa dalam memainkan ke empat peran tersebut di atas, manusia harus selalu berpegang pada ajaran agama.  Saya yakin, semua agama akan meminta umatnya untuk menjalankan kecakapan hidup (life skill) yang sudah diuraikan di atas, misalnya berlaku jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, toleran, belajar sepanjang hayat, berkomunikasi dengan sopan, membantu orang yang sedang kesulitan, memelihara lingkungan dan sebagainya.
Terkait dengan itu, fungsi peran ke lima, yaitu manusia sebagai hamba Sang Chalik adalah memulai setiap aktivitas kehidupan dengan niat ibadah, sehingga mampu mengendalikan perbuatan itu tetap pada aturan agama.  Jadi SQ yang seharusnya memandu bagaimana IQ dan EQ dikembangkan dan dimplementasikan dalam kehidupan.
Mungkin itu yang dimaksud Ian Percy, dalam bukunya Going Deep, sebagai spiritual commitment, yaitu bahwa komitmen kerja seseorang seharusnya didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.  Prinsip itu tampak pada Gambar  2 , yaitu adanya anak panah dari peran ke lima (sebagai hamba Tuhan) ke arah peran manusia lainnya.  Artinya, peran manusia sebagai hamba Tuhan itu seharusnya mewarnai implementasi peran manusia sebagai pribadi mandiri, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat dan sebagai bagian dari lingkungan.
Peran manusia sebagai hamba Tuhan, lebih banyak berupa kesadaran diri.  Oleh karena itu, bersama dengan sikap hidup yang dijelaskan pada personal skill, diwadahi dalam satu bentuk kecakapan hidup, yaitu kesadaran diri (self awareness).  Tentu penyebutan ini bukan dimaksudkan sebagai bentuk hanya sadar (pasif) tanpa adanya pelaksanaan.  Yang dimaksudkan adalah bagaimana kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai makhluk sosial dan sebagai bagian dari lingkungan, dapat mendorong seseorang untuk berbuat sebaik-baiknya.
Jika semua kecakapan hidup yang disebutkan di atas disistematisasikan, terdapat kecakapan hidup yang bersifat generik (generic skill), yaitu yang diperlukan oleh siapa saja, apapun profesinya dan berapapun usianya, dan kecakapan hidup yang spesifik (specific skill), yaitu kecakapan hidup yang hanya diperlukan oleh orang yang menekuni profesi tertentu.  Dengan demikian kategorisasi kecakapan hidup dapat ditunjukkan pada gambar 3.

                                  Gambar 3    Aspek-aspek dalam Kecakapan Hidup (Life Skill)

Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa life skill terbagi menjadi dua, yaitu generic skill dan specific skill.  Generic skill diperlukan oleh siapa saja, apapun profesi atau pekerjaannya dan dimanapun dia berada.  Specific skill adalah kecakapan khusus yang terkait dengan bidang pekerjaan tertentu, sehingga hanya diperlukan oleh orang yang menekuni profesi atau pekerjaan tersebut.
Generic skill terbagi menjadi dua bagian, yaitu personal skill dan social skill.  Personal skill diperlukan oleh setiap orang, walaupun yang bersangkutan hidup seorang diri ditengah hutan, sedangkan social skill baru diperlukan ketika seseorang hidup dalam kelompok.  
Personal skill mencakup self awareness dan thinking skill. Self awareness mencakup kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan dan sikap hidup positif (life attitude), seperti disiplin, kerja keras dan tanggung jawab.  Thinking skill meliputi kecakapan dalam memahami suatu problema yang dihadapi, menganalisis dan menemukan alternatif pemecahan dan mengambil keputusan secara arif dan kreatif.
Social skill mencakup communication skill, yaitu kecakapan berkomunikasi secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan dan collaboration skill, yaitu kecakapan bekerjasama dengan orang lain, baik dengan rekan setingkat, dengan atasan maupun dengan anak buah.

Life Skill vs Mata Pelajaran

Setelah mendiskusikan lima peran manusia, beserta kecakapan yang diperlukan untuk melaksanakannya, kini mari kita coba bandingkan dengan ke-16 kecakapan hidup (life skill) yang disampaikan oleh peserta penataran dan ke-17 kecakapan yang ditemukan dari pengamatan terhadap ”orang-orang sukses”, yang diuraikan pada bab sebelum ini.  Bukankah sangat mirip bahkan identik?  Hal itu dapat dipahami, karena ciri orang sukses yang diidentifikasi pada bab terdahulu juga mengacu pada lima peran manusia tersebut.  Seseorang yang sukses dalam pekerjaannya (bengkel mobil, penjahit, hingga dokter), di kampung disenangi tetangga, dipercaya pimpinan, dihormati anak buah, diincar banyak orang untuk calon menantu, tentu sudah menjalankan perannya sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota keluarga yang baik, sebagai anggota masyarakat yang bijak, memelihara lingkungan secara arif dan sebagai hamba Sang Pencipta menjalankan ibadah dengan baik.   Demikian pula Pak Badrun - si pedagang sukses, Pak Wahyu – sang arsitek profesional, Pak Tris – birokrat yang berhasil – dan Bu Candra – ibu guru yang hebat.  Mereka tentu juga telah menjalankan kelima peran kehidupannya dengan baik, sehingga menjadi orang yang berhasil.
Seperti yang banyak disinggung pada uraian di atas, ternyata life skill yang terbukti merupakan bekal kesuksesan orang, belum mendapat perhatian dalam praktik pendidikan di sekolah.  Saya tidak mengatakan life skill tidak diperhatikan, tetapi belum mendapat perhatian yang baik.  Mengapa demikian?  Karena guru lebih menekankan pada penguasaan materi ajar yang tercantum di dalam kurikulum.
Apakah materi ajar tersebut tidak penting?  Penting, tetapi itu saja tidak cukup sebagai bekal kesuksesan hidup.  Materi ajar yang proses pembelajarannya ditekankan pada tataran kognitif, baru mencakup satu bagian, yaitu specific skill.  Praktik pendidikan di sekolah menunjukkan, pada umumnya guru mengajarkan isi mata pelajaran sebagai wujud kecakapan spesifik.  Guru Matematika mengajarkan matematika seakan semua siswa akan menjadi ahli matematika, guru Bahasa Indonseia mengajarkan Bahasa Indonesia seakan semua siswa dipersiapkan menjadi ahli Bahasa Indonesia, dan seterusnya.  Guru lupa, bahwa dari satu kelas yang diajar tersebut sangat sedikit atau bahkan tidak ada siswa yang akan menjadi matematikawan dan ahli bahasa Indonesia, sehingga yang diperlukan adalah belajar menggunakan matematika sebagai alat untuk bernalar, alat untuk menganalisis fenomena, menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk berkomunikasi, baik sebagai pengirim atau penerima pesan komunikasi.
Jadi bagi siswa yang tidak akan menjadi ahli matematika, seharusnya pelajaran Matematika diarahkan untuk mengembangkan generic skill.  Demikian pula mata pelajaran lainnya seperti Fisika, Biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ekonomi dan sebagainya.   Baru, jika siswa memang berbakat atau akan menekuni bidang tersebut sebagai profesi, maka pembelajaran diarahkan sebagai specific skill.
Akibat dari praktik pendidikan yang seperti itu, generic skill tidak mendapat pengembangan yang memadai di sekolah.  Akibatnya, siswa justru mendapat pengembangan generic skill melalui kegiatan organisasi, baik di dalam maupun luar sekolah dan dari pengalaman bekerja-sambil-sekolah.  Karena generic skill berperan penting dalam kesuksesan hidup, maka dapat dipahami kalau orang yang sukses, justru merupakan siswa yang aktif di organisasi dan siswa yang sudah sambil bekerja saat masih bersekolah.
Fenomena seperti itu yang tampaknya menjadi alasan Charles Handy, seorang bussiness philosopher, yang menganjurkan untuk merombak total pendidikan kita.  Dalam artikel berjudul Finding Sense in Uncertainty, dia menjelaskan pendidikan selama ini berangkat dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa semua problema di dunia ini telah diketahui dan guru mengetahui cara pemecahannya.  Jadi tugas guru adalah menyampaikan problema serta cara pemecahannya, dan setelah itu pendidikan dianggap selesai. Padahal senyatanya, problema itu terus berubah dan tentu guru belum mengetahui, apalagi cara  pemecahannya.   Charles Handy menegaskan belajar tentang ilmu pengetahuan tetap penting, tetapi hal itu kini lebih mudah dilakukan, karena banyak sumber informasi yang dapat dipelajari.  Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diarahkan untuk membantu siswa belajar bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan itu dan yang tidak kalah penting adalah apa yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan itu.  Saya ingin membulatkan pendapat Charles Handy tersebut, bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memperoleh pengetahuan dan bagaimana menggunakannya guna memecahkan problema kehidupan dengan arif dan kreatif.
Jadi bagaimana hubungan antara life skill dengan mata pelajaran?   Keduanya tetap diperlukan dan harus saling melengkapi.  Dalam pengembangan generic skill, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai alat, yaitu untuk wahana pengembangan.  Misalnya Guru Fisika harus sadar bahwa pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta.   Pengembangan generic skill seperti itu, dapat dilakukan melalui metoda pembelajaran yang dipilih guru.  Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi, guru dapat memilih metoda diskusi atau siswa diminta presentasi.  Untuk mengembangkan kecakapan bekerja sama, kerja kelompok dalam praktikum dapat diterapkan.  Yang penting adalah bahwa aspek-aspek tersebut sengaja dirancang dan diukur hasilnya sebagai bentuk hasil belajar generic skill.
Mungkin orang bertanya, apakah hal itu belum dilakukan selama ini.  Bukankah, selama ini juga sudah ada metoda belajar diskusi dan kerja kelompok?  Memang.  Hanya saja, metoda tersebut tidak dilakukan secara sengaja untuk mengembangkan generic skill, sehingga tidak secara sistematik kecakapan tersebut dirancang dan diukur hasilnya sebagai hasil belajar.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang pengawas Matematika yang sedang ditugasi oleh Depdiknas untuk menyiapkan soal-soal evaluasi belajar.  Ketika, diajukan gagasan apakah dalam Matematika, guru tidak perlu mengukur kejujuran, kedisplinan, tanggung jawab dan kemampuan komunikasi? Dia menjawab  tidak perlu, karena itu tidak ada dalam kurikulum, sehingga bukan menjadi tugas guru Matematika. Sangat menyedihkan.  Pengawas senior, bekas guru dan instruktur Matematika ternyata juga tidak merasa perlu memasukkan generic skill dalam pendidikan Matematika.  Life skill sepertinya dianggap sebatas nurturant effect (efek penyerta) yang otomatis akan muncul, jika materi ajar dikuasai.
Mungkin pengawas tersebut hanyalah satu di antara sekian banyak pendidik yang masih berpegang teguh bahwa tugas pendidikan adalah mengantar siswa untuk memahami konsep/teori, sedangkan bagaimana menggunakan dalam perilaku kehidupan bukan tugasnya.  Jadi pantas konsep Pendidikan Keterampilan Proses (PKP) yang pernah dikenalkan dan bahkan masuk dalam kurikulum 1984, khususnya untuk bidang IPA, tetap tidak jalan, padahal hal-hal itu terkait dengan proses pendidikan yang dekat-dekat dengan thinking skill.
Terus apakah pemahaman materi ajar, misalnya konsep/teori dan sebagainya itu tidak penting? Tetap penting.   Karena materi seperti itu akan sangat diperlukan untuk bahan menganalisis dan memecahkan masalah.  Apalagi jika siswa sudah menjurus untuk menekuni pekerjaan yang terkait erat dengan mata pelajaran tersebut, sehingga materi ajar merupakan bagian dari specific skill.  Misalnya, materi Biologi sangat penting bagi siswa yang akan menekuni bidang kedokteran, pertanian dan sejenisnya.  Fisika sangat penting bagi siswa yang meminati bidang teknologi dan sebagainya.  Dalam hal seperti itu, materi ajar sebagai tujuan, sedangkan generic skill berperan sebagai penyerta.[]



[1] Terima kasih kepada KH Tidjani Djauhari, MA.  dari Ponpes Al Amien dan Dr. Arief Rahman-Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, yang telah memberikan saran penyempurnaan gambar ini.