Senin, 30 Juni 2014

BOM WAKTU LPTK TELAH DATANG?



Di block ini saya pernah memuat tulisan pendek dengan judul Bom Waktu LPTK.  Seingat saya tulisan itu saya buat setelah saya menghadiri undangan Bappenas untuk membahas RPJMN (Rencana Pembangua Jangka Menengah Nasional 2015-2019) pada bulan Januari 2014. Waktu itu saya risau dengan jumlah LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan) yang naik secara signifikan.  Ketika guru mendapatkan tunjangan profesi, kemudian minat masuk ke LPTK meningkat tajam.  Berikutnya banyak orang mendirikan LPTK, sementara LPTK yang sudah ada meningkatkan jumlah mahasiswa baru.  Akibatnya mahasiswa LPTK meningkat tajam dan akan terjadi over supply calon guru. 

Bayangkan, Pak Abi Sujak-Sekretaris Badan yang secara khusus ditugasi mengurus guru, menjelaskan menurut data Kemdikbud saat itu jumlah LPTK 429 buah dengan mahasiswa sebanyak 1.440.770 orang, sehingga diperkirakan setiap tahun lulus 300.000 sarjana pendidikan baru.  Pada hal, menurut teman di Kemdikbud kebutuhan guru baru hanya 40.000an orang per tahun.  Berarti setiap tahun terjadi kelebihan suplai guru sebanyak 260.000 orang.  Bukankah itu potensi pengangguran yang sangat merisaukan.

Tanggal 28-29 Juni 2014 saya diundang oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) untuk mereview draft Standar Nasional Pendidikan Pendidik dan Tenaga Kependidikan.  Prof. Haris yang menjadi Ketua Tim Ad Hoc penyusun draft tersebut menjelaskan bahwa pada awalnya yang ingin disusun adalah standar kelembagaan LPTK untuk menjaga mutu lulusan.  Mudahnya, untuk menjaga mutu dan jumlah lulusan LPTK.  Namun dalam perkembangannya, yang disusun bergeser menjadi standar program.  Mungkin dengan standar program, nanti dapat ditentukan standar lembaga yang cocok (baca: mampu) untuk melaksanakan.

Tampaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai khawatir dengan menjamurnya LPTK yang seakan tak terkendali.  Oleh karena itu disusun standar yang diharapkan dapat mengendalikannya.  Tentu maksudnya baik, agar tidak terjadi lulusan LPTK yang tidak memenuhi standar minimal dan juga agar tidak terjadi pengangguran lulusan LPTK secara massif akibat njompangnya supply-demand guru. Sebenarnya agak terlambat, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak dilakukan apa-apa. 

Menutup perguruan tinggi merupakan seuatu yang tidak mudah di Indonesia.  Seringkali keinginan seperti itu menjadi problem sosial bahkan menyerempet ke hal-hal yang berbau politis.   Sewaktu baru menjadi Direktur Ketenagaan, saya dihadapkan masalah STKIP di Kabupaten Alor.  STKIP itu sudah beroperasi dua tahun tetapi belum mendapatkan ijin program studinya.  Mahasiswa bergolak, takut kalau sampai saatnya lulus ijin belum keluar, sehingga tidak dapat lulus.

Data yang ada di Dikti menunjukkan bahwa persyaratan untuk pendirian prodi belum memenuhi syarat.  Terjadilah dilema, akan diberi ijin tidak memenuhi syarat.  Tidak diberi ijin mahasiswa berdemo dan menjadi problema sosial.  Akhirnya diputuskan, mahasiswa yang sudah terlanjur kuliah ditransfer ke Universitas Nusa Cendana, sementara SKIP tersebut dibekukan dan tidak boleh menerima mahasiswa baru, sampai ijin diperoleh.  Prof. Frans Umbu Data, Rektor Undana sungguh berjasa, karena mau menerina limpahan mahasiswa PGSD dari STKIP di Alor tersebut.  Seandainya Undana tidak dapat menerima limpahan mahasiswa tersebut mungkin masalah akan berkepanjangan.

Dalam tahap diskusi bersama antara BSNP, Tim Ad Hoc dan rivewer diinformasikan bahwa judl draft diubah menjadi Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG).  Dengan demikian arahnya sudah lebih jelas.  Karena LPTK sebagai lembaga penghasil guru juga merupakan perguruan tinggi, maka SNPG besuknya merupakan kelengkapan daru SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi) yang sudah menjadi Permendikbud.  Jadi hanya memuat hal-hal yang belum tercakup dalam SNPT.

Yang terbayang dibenak saya adalah bagaimana penerapan SNPG besuk.  Jika ada (dan dugaan saya banyak) LPTK yang tidak memenuhi SNPG apakah harus ditutup?   Sebaliknya jika banyak LPTK yang memenuhi SNPG sehingga terjadi over supply guru apa dibiarkan saja?  Itulah sebabnya dalam forum itu saya mengusulkan menganggap pendidikan guru sebagai bentuk pendidikan kedinasan.  Toh pendidikan guru dilaksanakan oleh Kemdikbud dan hasilnya digunakan oleh Kemdikbud. Jadi mirip dengan pendidikan di AMN yang dilaksanakan oleh TNI AD dan hasilnya digunakan oleh TNI AD.  Juga mirip dengan pendidikan di STPDN yang dilaksanakan oleh Kemdagri dan hasilnya digunakan oleh Kemdagri.

Menurut UU No. 14/2005, guru haruslah lulusan S1/D4 ditambah Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nah kita perlu merumuskan, mana yang disebut pendidikan guru.  Apakah sejak dari S1/D4 sampai PPG atau hanya PPG-nya saja.  Menurut saya lebih bijak jika yang disebut pendidikan guru adalah PPG-nya.  Program akademik di S1 tidak termasuk di dalamnya.  Mengapa?  Pertama, program S1 adalah program akademik dan belum tentu semua pesertanya menjadi guru.  Sangat mungkin ada orang yang ingin belajar tentang pendidikan, tetapi tidak ingin menjadi guru.  Misalnya ibu-ibu muda yang ingin pandai mendidik anaknya.  Melarang mereka masuk LPTK dapat dimaknai melanggar hak asasi.

Apakah dengan pola itu, seakan-akan pendidikan guru harus konsekutif, program S1 dipisah dengan PPG?  Di negara maju, memang ada pola konkuren (S1 dan PPG menyatu), tetapi juga ada pola konsekutif.   Undang-undang No. 14/2005 menyebut bahwa pola yang digunakan di Indonesia adalah konskutif.  Bukan tidak mungkin mengembangkan pola konkuren, tetapi tentu hanya untuk program-program khusus.  Setahu saya, sekarang juga sudah ada inisiasi PPG Terintegrasi dengan pola konkuren untuk calon guru dari daerah terpencil.

Kedua, dengan pola ini yang perlu yang perlu dikendalikan dengan ketat adalah PPG, sedangkan S1 LPTK dapat lebih longgar.  Mengapa demikian?  Biarlah program S1 Kependidikan di LPTK berjalan sebagaimana biasanya, dengan pengertian lulusannya adalah sarjana pendidikan yang belum tentu menjadi guru.  Mirip lulusan S1 Farmasi yang belum tentu menjadi apoteker atau lulusan S1 Hukum yang belum tentu menjadi hakim, jaksa, notaris dan pengacara.

PPG yang harus dikendalikan , baik jumlah maupun mutunya agar mampu menghasilkan calon guru dalam jumlah, jenis dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan.  Toh, UU no, 14.2005 mengamanatkan pemerintah mengembangkan pola pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.  Jadi yang diasrama dan diberi ikatan dinas, hanya mahasiswa PPG karena mereka memang dididik untuk menjadi guru.

Dengan pola itu berarti hanya LPTK yang memenuhi syarat dan jumlah tertentu yang diberi ijin melaksanakan PPG, tetapi mereka tetap dapat melanjutkan program S1.  Tentu ada kemungkinan minat masuk ke LPTK yang tidak memiliki PPG akan menurun.  Pengelola LPTK mungkin akan risau karena sudah terlanjur memiliki dosen dan sarana lainnya.  Pada kasus seperti ini perlu dicarikan solusi, termasuk LPTK yang memiliki PPG tetapi harus mengurangi jumlah mahasiswa Kependidikan.  Salah satu cara adalah memberikan ijin prodi non Kependidikan yang senafas.  Misalnya memberikan ijin prodik Matematika (murni) bagi LPTK yang memiliki prodi Pendidikan Matematika.  Asumsinya lapangan lulusan S1 Matematika tidak menjadi guru.

Jika ijin prodi non Kependidikan itu diberikan, mahasiswa dapat didorong untuk menempuh program gelar ganda (double degree).  Misalnya menempuh S1 Pendidikan Akutansi dan S1 Akutansi (murni).  Setelah lulus mereka dapat memilih akan menjadi guru atau bekerja sebagai akuntan.  Untuk prodi Kependidikan yang tidak memiliki padanan murni, misalnya S1 PGSD dan sejenisnya perlu dicarikan prodi non Kependidikan yang terdekat.

Setelah SNPG final menjadi peraturan, sebaiknya disusun skenario implementasi termasuk kapan dimulai penerimaan guru baru harus lulusan PPG.  Jika skenario ditentukan dan disosialisasikan secara luas, diharakan semua LPTK da lembaga lain terkait dapat menyiapkan diri.  Semoga.

Minggu, 29 Juni 2014

IF YOU FAIL TO PLAN, YOU PLAN TO FAIL



Selama 4 hari di Jepang serta berinteraksi dengan kolega di Aichi University of Education dan di Hokuriku Uniersity, termasuk dengan sopir dan kru bis yang mengantar kami dalam perjalanan Nagoya-Kanazawa-Nagano-Nagoya, saya mendapat kesan kuat bahwa semua kegiatan dirancang secara detail.  Semua serba well planed.  Semua rencana dibuat dengan detail dan konon sudah disiapkan sejak sebulan lalu.

Mengamati fenomena itu saya jadi teringat ungkapan “if fou fail to plan-you plan to fail”.   Ungkapan itu sering menjadi jargon pada matakuliah atau buku-buku tentang perencanaan.  Seingat saya ada buku Eductaional Planning terbitan IEIP (International Institute of Educational Planning, saya lupa pengarangnya) yang membahas ungkapan tersebut.  Kurang lebih isinya adalah nasehat bahwa setiap kegiatan harus dirancang dengan baik.  Jika kita gagal membuat perencanaan yang baik, iu sama artinya kita sedang merencanakan kegagalan.  Rasanya prinsip itu benar-benar dilaksanakan di Jepang.  Paling tidak oleh orang-orang yang saya jumpai selama 4 hari saya di Nagogya dan Kanazawa.

Sebelum berangkat, saya disodri draft acara selama 2 hari di Nagoya, hari pertama di Aichi University of Education, termasuk memberi kuliah umum (memorial lecture) dan mengunjungi SD Lab School dekat kampus.  Hari kedua, kami mengunjungi SMP Lab School di Nagoya, mengunjungi pabrik fork lift dan mengunjungi SD Swasta Tsakuba.  Draft rancangan kegiatan itu sangat detail, misalnya saya memberi sambutan selama 3 menit, president AUE selama 3 menit dan seterusnya.

Waktu tampaknya sangat mendapat perhatian bagi orang Jepang, sehingga diatur sangat efisien.  Misalnya saat di Hokuriku University, saat rombongan kami diajak melihat kampus dari lantai atas kantor pusat (kebetulan kantor pusat Hokurimu University berada di punca bukit, sehingga dari situ orang dapat melihat pemandangan kampus maupun kota Kanazawa), hidangan makan siang dimasukkan ke ruangan.  Jadi sewaktu kami kembali ke ruangan, makan siang sudah siap.  Pada hal, waktu melihat-lihat kampus dan kota tersebut hanya 10 menit.

Ketika kami masuk ruang rapat, bahan rapat sudah ada di meja.  Tempat duduk diatur dengan rapi dengan ada papan nama untuk setiap peserta.   Dengan begitu rapat dapat dimulai dengan segera sesuai jadwal.  Lama rapat atau acara juga sudah diatur dengan ketat.  Waktu saya memberi kuliah hanya 90 menit dan begitu waktu habis panitian menjelaskan kalau waktu sudah habis, sehingga tanya jawab dihentikan.  Demikian pula waktu kunjungan ke pabrik fork lift, rombongan masih mengajukan pertanyaan, tetapi panitia mengatakan waktu sudah habis.

Tampaknya, perancangan waktu yang begitu rapi juga punya dampak acara menjadi sangat kaku dan tidak mudah diubah, walupun ada masalah.  Misalnya, waktu di Fujiyama ada kelambatan berangkat bus karena rombongan ada yang lambat kembali ke bus. Demikian oula jalannya bus menjadi lebih lambat karena kabut turun.  Namun tetap saja sopir tidak mau mengubah scenario perjalanan, termasuk tidak mau menambah kecepatan bus, sehingga kami terlambat sampai di Nagoya.

Waktu makan malam dan dihadiri oleh mantan president AUE (Prof. Matsuda), waktu maka malam juga dibatasi seperti rencana.  Pada hal, kami ingin agak lama karena sudah lama tidak bertemu dan besuknya sudah kembali ke Surabaya.  Begitu jam makan selesai, panitian mengingatkan agar segera selesai.  Pada hal es krim dan kopi sebagai penutup acara makan malam belum habis dimakan.

Yang lebih menarik adalah sopir bus yang selalu mencatat.  Saya tidak faham apa yang dituliskan, tetapi lembar kertas yang ditulis seperti berupa jurnal perjalanan.  Sudah ada petak-petak yang saya duga tertulis tempat singgah dan sebagainya.  Begitu sampai di tempat singgah, dan bus berhenti sopir yang tidak bertugas (sopir busnya dua orang), segera mengambil kertas tersebut dan mengisi di kolom tertentu.

Saya jadi teringat pengalaman awal tahun 2000an ketika dikontrak JICA untuk melakukan tracer study terhadap lulusan politeknik.  Salah satu hasilnya, lulusan politeknik di Indonesia tidak punya kebiasaan merekam (mencata) pekerjaan yang dilakukan.  Sepertinya mencatat pekerjaan yang dilakukan sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan orang Jepang, termasuk sopir bus.  Pada saat itu orang JICA mengatakan, record pekerjaan penting untuk bahan belajar.  Jangan sampai kita membuat kesalahan kedua kali.  Juga penting untuk mengetahui masalah di masa lalu, khususnya jika terjadi pergantian pegawai. 

Apakah jadwal yang begitu ketat dan dilaksanakan dengan ketat pula, cocok untuk kita?  Saya jadi teringat Prof. Imam Suprayoga, mantan Rektor UIN Malang, yang mengajarkan sebagai pimpinan di Indonesia “jangan biasa pakai kereta apl, tetapi pakai mobil”.  Jika naik kereta kita harus mengikuti rel yang ada.  Sekali naik ya harus ikut itu sampai di tujuan.  Kalau naik mobil, jika ada kemacetan, kita dapat mencari jalan alternatif.  Maksudnya, di Indonesia seringkali banyak variabel yang tidak terduga.  Akibatnya rencana yang sudah dibuat harus diubah/disesuaikan dengan situasi yang terbaru.

Apakah itu berarti pola kerja Jepang yang well planed tidak cocok di Indonesia?  Jawabnya tetap cocok dan harus dilakukan, tetapi karena ada banyak variabel yang tidak terduga, maka harus diberi peluang untuk mengubah/menyesuaikan dengan situasi terbaru.  Mungkin di Jepang, semua variabel dan informasi dapat diperoleh dengan jelas dan dapat diprediksi dengan baik, sehingga kecil terjadi perubahan.  Sebagai contoh, di Jepang ada prediksi cuaca sampai satu minggu yang sangat akurat.  Taifunpun dapat diprediksi kapan muncul, kemana pergerakannya dan seberapa besarnya.  Sementara di Indonesia, banyak sekali informasi yang tidak akurat, sehingga dalam perjalanannya terjadi perubahan yang signifikan.  Semoga.

Sabtu, 28 Juni 2014

BELAJAR DARI SMP LAB SCHOOL NAGOYA



Nama resmi sekolah tersebut Nagoya Junior High School: Affiliated to Aichi University of Education (saya tidak ingat dalam Bhs Jepangnya), namun karena merupakan binaan Aichi University of Education (AUE), maka kepada kami dikenalkan sebagai SMP Lab School AUE di Nagoya.  Memang lokasinya di kota Nagoya.  Jadi agak jauh dari kampus AUE yang terletak di luar kota.

SMP Lab School AUE di Nagoya memiliki 501 siswa dengan guru sebanyak 32 orang.  Kepala sekolahnya dosen aktif di AUE, sehingga yang sehari-hari memimpin sekolah adalah Wakil Kepala Sekolah.  Seperti biasanya SMP di Jepang, siswa memakai seragam dan siswa laki-laki memakai celana panjang.  Di sekolah siswa (dan juga guru) memakai sepatu dalam, yaitu sepatu ket yang hanya dipakai di dalam sekolah.  Begitu siswa tiba di sekolah, mengganti sepatu yang dipakai dari rumah dengan sepatu dalam yang disimpan dalam loker masing-masing.

Sebagai Lab School, SMP Lab School Nagoya memiliki fungsi: (1) sebagai tempat melakukan penelitian dan pengembangan serta inovasi pembelajaran, (2) sebagai tempat belajar/praktek bagi mahasiswa AUE, (3) sebagai sekolah bagi anak-anak Jepang yang baru pulang dari negara lain.  Maksudnya anak-anak yang sekian lama mengikui orang tua atau hal lain, sehingga lama tinggal di luar negeri dan memerlukan penyesuaian untuk kembali bersekolah di Jepang.

Dalam pembelajaran digunakan prinsip: (1) menekankan proses dan bukan produk, sehingga proses berpikir siswa menjadi perhatian utama, dan (2) menerapkan konsep bahwa siswa dan guru belajar bersama-sama.   Setiap tahun siswa melakukan out bond selama 3 hari+2 malam untuk membangun kebersamaan, sekaligus untuk mengenalkan siswa kepada masalah nyata di masyarakat.

Jumlah siswa dalam setiap kelas 40 orang (standar di Jepang).  Namun karena berbagai hal, khususnya turunnya angka kelahiran di Jepang banyak kelas yang siswanya kurang dari 40 orang. Tetapi semua kelas yang kami kunjungi rata-rata siswanya 36-39 orang.  Banyak siswa dari Brasil.  Sebagian besar mereka adalah anak-anak orang Jepang yang dahulu migrasi ke Brasil, menikah dengan orang setempat dan sekarang kembali bekerja di Jepang.   Jadi pada umumnya mereka berdarah campuran.

Bangku terdiri dari meja dan kuri yang tingginya dapat diatur sesuai tinggi tubuh siswa.  Duduk siswa dibuat selang-seling.  Anak laki-laki jejer dengan anak perempuan.  Informasi yang saya dapat setiap bulan posisi duduk diganti, dengan maksud setiap siswa punya pengalaman duduk jejer dengan banyak teman.  Maksudnya agar mereka belajar berkomunikasi dan berinternasi dengan teman yang berbeda.

Papan tulis berwarna hijau dan dibuat melengkung, mungkin agar pandangan siswa yang duduk di pinggir tetap bagus.  Papan merupakan magnetik dan guru dapat menempelkan clip pemegang kertas di papan tulis.  Di dinding sebelah papan tulis terdapat jadwal pelajaran dan beberapa hasil karya siswa yang ditempel dengan pines.

Sepertinya siswa sudah biasa dikunjungi tamu, sehingga tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami.  Kami mengunjungi beberapa kelas, antara lain Kelas Matematika, Kelas Home Economis dan Kelas IPS.  Pada Matematika sepertinya guru sedang mengajarkan menemukan rumus, secara induktif.  Siswa diminta maju untuk mengerjakan soal dan teman lain menanggapi.  Namun kesan saya kelas tidak begitu aktif.  Masing-masing siswa sibuk, mungkin mengerjakan pada bukunya masing-masing

Pada kelas Home Economics, sepertinya sedang membahas gisi beberapa jenis masakan.  Guru menjelaskan kandungan gisi beberapa jenis makanan dan menanyakan kepada siswa beberapa jenis bahan makanan yang mereka biasa makan di rumah.  Setelah itu diindentifikasi kandungan gisi.  Setelah iti guru mengajak siswa untuk menyimpulkan apakah makanan yang mereka makan di rumah cukup memenuhi gisi yang diperlukan oleh badan.  Menurut Wakil Kepala Sekolah, seringkali kelas Home Economics dipadu dengan kelas Industrial Arts dan kelas Olahraga dan Kesehatan.

Kelas IPS sangat menarik.  Siswa dibagi dalam kelompok masing-masing 3 orang atau 4 orang.  Jadi ada 12 kelompok.  Kepada mereka diajukan pertanyaan kira-kira.  Bagaimana pendapat Anda tentang sebaiknya posisi tentara Bela Diri Jepang.  Empat kelompok ditugaskan untuk dalam posisi pendapat “tidak setuju Jepang punya tentara untuk tugas apapun”.   Empat kelompok ditugasi untuk posisi pendapat “setuju Jepang punya tentara Bela Diri tetapi hanya untu kepentingan keamanan dalam negeri”.  Empat kelompok ditugaskan untuk posisi pendapat “setuju Jepang punya tentara Bela Diri termasuk untuk menjaga keamanan dan hak-hak orang Jepang di luar negeri”.

Sebelumnya guru menjelaskan posisi tentara Bela Diri Jepang sekarang banyak menjadi perdebatan. Apalagi ketika terjadi perang Irak, Amerika Serikat meminta Jepang untuk mengirimkan tentara Bela Diri bersama tentara dari negara lain bertugas di Irak.  Nah, masing-masing kelompok diminta mengajukan argumentasi terhadap posisi pendapat yang ditugaskan.  Setelah mendiskusikan dalam kelompok, setiap kelompok menuliskan pendapat (argument) tersebut di papan kecil magnetik dan kemudian ditempelkan di papan tulis.  Jadi di papan tulis terdapat 12 papan kecil yang masing-masing berisi pendapat kelompok.  Acuan dasar yang digunakan adalah Hak Asasi Manusia.

Beberapa kelompok diminta menjelaskan apa yang ditulis di papan kecil miliknya.  Setelah itu antar kelompok yang berbeda pendapat diminta untuk berdiskusi.  Setelah berdiskusi mereka dibolehkan berubah pendapat atau menyatukan pendapat.  Pendapat hasil diskusi itu dituliskan lagi di papan kecil magnetik, tetapi dengan spidol warna merah (pendapat pertama ditulis dengan spidol warna hitam).  Kemudian papan kecil dengan tulisan merah ditempel di papan.

Setelah ditempel, setiap kelompok gabungan yang punya diminta menjelaskan argumennya dan kelompok lain diundang untuk mengomentari.  Juga diundang mereka untuk mensinergikan antar kelompok yang berbeda pendpat.  Namun tetap dibiarkan jika mereka tetap berbeda pendapat.

Saya melihat orientasi kepada proses benar-benar diterapkan.  Saat melihat Kelas Matematika dan Home Economics, saya sudah belajar bagaimana menerapkan “keterampilam proses” di matapelajaran Matematika dan Kesehatan.  Di Kelas IPS (nama topiknya Peace Education) saya lebih banyak belajar lagi.  Belajar bagaimana mendorong siswa untuk mengajukan pendapat, bagaimana mendorong siswa untuk berdebat dan juga mensinergikan pendapat. Mendorong siswa untuk tetap menghormati orang lain, walaupun tetap berbeda pendapat sampai pelajaran selesai.  Ada kesan kuat, siswa dilatih untuk menyiapkan diri mengambil keputusan, sembari belajar hidup bermsyarakat yang heterogen. 

Sayang sekali, saya tidak faham bahasa Jepang sehingga tidak mengerti inti pembicaraan guru maupun siswa. Namun dari tulisan (angka) dan bahasa tubuh mereka, saya menduga diskusi mengarah kepada high order thinking (HOT).  Khusus pada matapelajaran IPS (Peace Education) diterapkan problem based learning sekaligus juga cooperative learning.  Maksudnya siswa didorong untuk bekerjasama, tetapi untuk memecahkan masalah yang memang sedang terjadi di masyarakat.  Dalam kelas Home Economics yang dibahas makanan sehari-hari di Jepang, dan dalam kelas IPS tentang kontroversi tentara Bela Diri di Jepang.

Tampak sekali, guru mempersiapkan bahan dengan baik.  Bahan yang digunakan dijepit dengan clip yang ditempelkan di papan tulis.  Guru juga selalu melihat lembaran bahan yan sepertinya sudah dipersiapkan.  Siswa juga menerima seperti LKS yang harus digunakan untuk mengikuti pelajaran.  Semoga kita dapat belajar dari mereka.

Rabu, 25 Juni 2014

SARANA AEU BIASA, KERJANYA YANG LUAR BIASA




Tanggal 22-24 Juni 2014 saya beserta rombongan Unesa berkunjung ke Jepang dan salah satu tujuan utamanya adalah ke Aichi Unversity of Education (AUE) di Nagoya.  Kunjungan ini bukan yang pertama bagi saya, tetapi baru kali ini saya benar-benar keramahtamahan dan pola kerja kolega di AUE.  Tahun lalu, saya juga ke AUE tetapi acaranya bersamaan dengan Konferensi rector-rektor universitas Indonesia dan Jepang.  Tempat acaranya di Nagoya University, sehingga saya ke AUE hanya sebentar.  Acara di AUE banyak diikuti oleh teman-teman Unesa lainnya.

Kunjungan kali ini sebagai balasan kunjungan Prof. Matsuda tahun lalu sebelum beliau mengakhiri jabatannya sebagai presiden (rektor).  Sekaligus berkenalan dengan rektor baru pengganti beliau, Prof. Hitomi Goto dan memperkenalkan Prof. Warsono yang akan segera menggantikan saya sebagai Rektor Unesa.  Ibu Prof. Goto sangat ramah dengan bahasa Inggris logat Jepang yang kental dan kalau acara resmi lebih senang menggunakan bahasa Jepang.  Baru sekali ini saya bertemu dengan rector wanita di Jepang.  Walaupun negara maju, sangat jarang ada rektor wanita di Jepang.

AEU merupakan LPTK yang sangat bagus di Jepang.  Jumlah mahasiswa sekitar 5.000 orang dan itu merupakan jumlah mahasiswa sedang bagi universitas di Jepang.  Lokasinya di propinsi Aichi Jepang bagian tengah.  Kampusnya cukup bagus dengan banyak pohon-pohon dan bahkan punya hutan kecil dalam kampus.  Kampusnya berada di luar kota Nagoya, sehingga lahan sekitarnya masih banyak sawah-sawah kecil di sela-sela rumah/kantor.

Kami datang lebih awal, sehingga oleh Prof. Tsuchiya, yang mengatur selama di AUE, kami diajak ke perpustakaan dan student center lebih dahulu.  Menurut saya fasilitas di student center termasuk sederhana.  Meja kerja masih sama dengan meja kerja pegawai Unesa pada umumnya.  Pegawai juga masih banyak menggunakan clip pemegang lembaran kertas catatan yang dicantolkan pada pegangan di meja.  Banyaknya kertas di meja menunjukkan kalau student center AUE belum menerapkan ICT based.

Perpustakaan juga cukup sederhana dan juga masih mengandalkan buku dan jurnal tercetak (printed materials).  Namun yang sangat menarik, perpustakaan AUE menyimpan buku dan jurnal lama (ada yang terbit tahun 1900an awal) dan terawatt baik.  Koran lama juga tersimpan dan terawatt dengan baik.  Konon ada seorang ibu tua yang telaten merawan buku-buku itu, walaupun beliau pekerja part time.  Saya membayangkan betapa senangnya dosen/mahasiswa yang perlu meneliti dan mencari data masa lalu.

Kami juga sempat melihat kuliah di ruang-ruang sekitar student center.  Ruang kuliah biasa dan masih menggunakan papan tulis dan kapur untuk mengajar.  Jumlah mahasiswa S1 yang ikut kuliah juga banyak, kira-kira 50 orang. Pola perkuliahan yang saya lihat juga biasa, dosen menjelaskan dengan tulisan/skema yang dibuat di papan tulis.

Kamar kecil di student center ternyata kondisi biasa saja dan juga tidak terlalu bersih.  Kepada Pak Zahri (mahasiswa S3 dan Ketua STKIP Al Hikmah) yang kebetulan sama-sama di kamar kecil yang berkomentar “lebih berih kamar kecil sekolah Al Hikmah” dan dijawab kalau kondisi seperti ini pasti ustads disana marah.

Saya juga diminta memberi kuliah umum (memorial lecture) kepada dosen-dosen dan mahasiswa AUE. Topik yang dibahas adalah Rethinking Education for 21st Century: An Indonesia Case.  Saat Prof. Matsuda datang ke Unesa, beliau juga memberi kuliah di Pascasarjana, sehingga saya harus mau membalasnya.  Hanya saja, kali ini peserta kuliah yang saya sampaikan banyak kalangan dosen. Termasuk dari Prof Goto (president), beberapa vice president dan direktur Center for International Exchange (Prof. Hideki Shimizu).

Ruang kami memberi kuliah juga sangat biasa.  Tidak ada peralatan canggih yang saya bayangkan tersedia di ruang kuliah perguruan tinggi baik di Jepang. Laptop yang disediakan juga versi lama.   Daya didampingi Pak Nasution, karena ada mahasiswa yang bertanya dengan menggunakan bahasa Jepang, sehingga diterjemahkan oleh Pak Nasution.  Namun sepertinya mereka berbahasa Inggris pasif, karena penjelasan saya dalam bahasa Inggris dapat mereka fahami.

Sepulang dari kampus AUE saya berpikir, apa yang menyebabkan mereka maju.  Pada hal semua sarana biasa-biasa saja untuk ukuran universitas di negara sekelas Jepang.  Bahkan tidak jauh dari sarana yang dimiliki Unesa.  Hanya saja, semuanya tampak terpelihara dengan baik.  Gedung, mebelair, papan tulis, peralatan elektronik tampak sudah tua, tetapi bersih dan terawatt dengan baik.

Tampaknya pola kerja yang menjadi salah satu kuncinya.  Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh.  Petugas di student center tampak sekali bekerja dengan sungguh-sungguh.  Demikian pula petugas di perpustakaan.  Pada saat acara rapat salah seorang dosen peserta memberi tahu kalau harus mengajar, sehingga minta maaf tidak dapat terus mengikuti acara.  Kerja keras dan konsisten tampaknya menjadi salah satu kunci kemajuan mereka. Setiap ketemu dosen dan ngobrol, mereka selalu bertanya apa riset yang sedang saya kerjakan. Semoga kita dapat berlajar dari mereka.