Selasa, 30 Mei 2017

CRASH PROGRAM, KAPAN BERHENTI?



Pertanyaan tersebut saya ajukan kepada beberapa teman, saat saya diundang ikut diskusi tentang guru keahlian ganda pada SMK.  Dengan argumentasi kita kekurangan guru produktif di SMK, sementara formasi pengangkatan guru sangat sulit dan ada kelebihan guru adaptif, maka muncul gagasan untuk memberikan pelatihan guru adaptif tersebut menjadi guru produktif.  Misalnya guru Matematika atau Fisika menjadi guru produktif bidang Kendaraan Ringan atau bidang Elektronika atau yang lain.  Guru Biologi menjadi guru produktif bidang Teknologi Pertanian atau yang sejenisnya.

Di balik itu semua, sebenarnya ada dorongan untuk mendukung Inpres no. 9 Tahun 2016 yang dikenal dengan Inpres Revitalisasi SMK.  Oleh karena itu ketika kemudian Kemdikbud mendapatkan formasi guru, yang dilakukan bukan mengalihkan program Keahlian Ganda ke rekrutmen guru baru, tetapi akan merekrut guru baru lagi.  Jadi program guru keahlian ganda tetap berjalan.

Bahwa SMK kekurangan guru produktif dan itu harus segera diatasi, saya faham.  Yang saya sulit mengerti adalah kita selalu “terkejut” dengan diri kita sendiri dan kemudian membuat crash program, yang kita sama-sama faham hasilnya selalu kurang baik.  Namanya saja crash program, yang kurang lebih artinya program darurat.  Ibarat ada jembatan rusak, dibuatlah jembatas darurat agar orang dan kendaraan tetap dapat lewat, walaupun tentu jembatan darurat tidak ideal, karena sifatnya hanya untuk sementara.

Kalau kita cermati kekurangan guru SMK itu ada hubungannya dengan kebijakan untuk meningkatkan jumlah SMK agar perbandingan SMA:SMK yang semula 70:30 dibalik menjadi 30:70.  Artinya jumlah SMK lebih dua kali lipat dibanding SMA, dengan alasan kita memerlukan tenaga kerja terampil tingkat menengah.  Namun kebijakan yang dimulai sejak era Mendikbud Prof Bambang Sudibyo itu terasa sangat sektoral.  Direktorat Pembinaan SMK gencar mendorong Kabupaten/Kota untuk meningkatkan jumlah SMK.  Bahkan ada istilah Kabupaten/Kota Vokasi dan Kemdikbud dengan bangga menyebutkan bahwa “Kabupaten X” sebagai kabupaten vokasi.  Sayangnya program itu tidak dibarengi oleh penyediaan guru.  Nah, sekarang kita dihadapkan pada kenyataan SMK kekurangan guru bidang produktif dan kemudian membuat crash program.  Jadi kekurangan guru produktif di SMK itu seharusnya tidak memunculkan crash program jika kita merencanakan pengemangan SMK dengan baik.

Apakah crash program hanya ada pada program keahlian ganda?  Setahu saya tidak dan lebih membingungkan seringkali kita bangga membuat crash program dengan memberi nama terobosan (break through).  Program keahlian ganda ada terobosan untuk mengatasi kekurangan guru produktif di SMK, PGSD Beasarama sebagai terobosan mengasilkan guru SD yang baik dan sebagainya.

Merenungkan kejadian itu saya jadi teringat seloroh adik saya tentang kebiasaan menurunkan berat badan.  Adik saya yang seorang dokter bedah dan sangat memperhatikan penampilan itu bercerita, persoalan ibu-ibu dalam menurunkan berat badan.  Banyak mereka yang inginnya instan.  Berat badannya turun dalam waktu singkat, tetapi pola instan seperti itu akan menimbulkan efek samping dalam kesehatan.  Yang betul penuruan berat badan harus pelan-pelan tetapi konsisten. 

Namun ada yang lebih lucu.  Setelah berat badannya turun, ternyata kemudian naik lagi dan kemudian ribut untuk menurunkan secara instan lagi.  Mengapa begitu?  Kata adik saya, karena setelah berat badannya turun, pola makan yang semula direm begitu ketat kembali seperti semua dan tidak terkontrol.  Pada hal mengendalikan asupan makanan agar kalori yang masuk seimbang dengan keluar itulah kunci menjaga berat badan.

Apakah pola pikir instan dan crash program hanya terjadi pada penurunan berat badan dan pengadaan guru?  Ternyata tidak.  Coba kita ingat ketika rame-rame harga daging sapi mahal. Apa yang kita lakukan?  Pada hal, teman saya bercerita kita dapat berhitung berapa kebutuah daging untuk konsumsi kita dan dengan dasar itu dapat dibuat program jangka panjang untuk memenuhinya.  Masih banyak contoh lain.

Tampaknya crash program lebih banyak disebabkan kita kurang baik dalam merencanakan sesuatu dan kemudian ingin mengatasinya secara instan.  Pada hal kata orang bijak, “if you fail to plan, you plan to fail”.  Artinya jika kita gagal atau tidak mampu merencakan dengan baik, sama saja kita merencanakan kegagalan.  Semoga kita dapat segera mengakhiri pola pikir crash program seperti itu.