Selasa, 30 Agustus 2016

SARWO EDY MBLEJETI DIRI SENDIRI




Yang dimasud dengan Sarwo Edy dalam tulisan ini bukahlah almarhum Jenderal Sarwo Edi Wibowo, mertua Pak SBY.  Sarwo Edy dalam tulisan ini adalah mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unesa yang baru lulus ujian terbuka tanggal 27 Agustus 2016 lalu.  Yang bersangkutan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik, yang tentu saja seorang aktivis Muhammadiyah.

Prof Sonhaji, guru besar Universitas Negeri Malang yang bertidak sebagai penguji tamu, sempat berkelakar bahwa yang sedang ujian adalah mantan Komandan Kopasus yang sangat terkenal, karena keberhasilan mengatasi pergolakan G-30-S yang menelan korban banyak Jenderal di tahun 1965.  Tentu itu hanya kelakar untuk mencairkan situasi.

Saya mengenal baik Pak Sarwo, karena ketika kuliah S1, S2 sampai S3 saya sempat mengajar beliau.  Bahkan saya sebagai promotornya saat menyusun disertasi S3.  Perawakannya sedang, dengan kulit sawo matang dan wajah ngganteng dengan kumis tipis. Bicaranya tegas, dengan artikulasi kalimat yang baik, khas seorang aktivis.

Apa yang khas dari Pak Sarwo?  Inilah yang ingin saya bagi dengan pembaca.  Saat menyusun disertasi, beliau meneliti berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa SD Muhammadiyah di Jawa Timur.  Pak Sarwo menggunakan pola pikir Leithwood yang meneliti hal yang mirip itu di Kanada.  Namun Pak Sarwo menambahkan satu faktor (variabel) khusus yang dia sebut dengan Islamic World View atau pemahaman terhadap Islam sebagai pandangan hidup dan itu diadopsi dari pemikiran Sayid Qutub.

Hasilnya sungguh mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya. Islamic World View ternyata tidak punya pengaruh langsung terhadap hasil belajar, namun berpengaruh tidak langsung melalui school leadership, guru dan seterusnya.  Sampai disini secara nalar mudah difahami, karena yang diteliti anak SD yang mungkin belum terlalu kuat kaitannya dengan Islamic World View. Toh, Islamic World View mempengaruhi kepemimpian sekolah dan guru, baik aspek nalar (rational path) maupun aspek psikologis (emotional path).

Yang menarik dan menumbulkan tanya tanya adalah  Islamic World View tidak berpengaruh terhadap kondisi keluarga (family path), sementara family path berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar siswa.  Dengan demikian dapat dikatakan dakwah teman-teman Mohammadiyah tidak berhasil.  Yang lebih menarik lagi status sosial ekonomi (SES) orangtua juga tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar siswa.  Dengan kata lain, walimurid SD Muhammadiyah belum memanfaatkan pengetahuan dan kekayaannya untuk membantu belajar anaknya.

Mengapa itu menarik?  Karena temuan itu merupakan kritik keras kepada aktivis Muhammadiyah dan Pak Sarwo berada di dalamnya.  Sebagai promotor saya gembira, karena Pak Sarwo sudah menunjukkan salah satu kriteria penting calon doktor, yaitu jujur dengan data penelitian yang dihasilkan.  Walaupun hasilnya mengritik diri sendiri (tentu juga aktivis Muhammadiyah lainnya), Pak Sarwo tidak mengubahnya.  Bahkan dalam presentasi Pak Sarwo mengakui hal itu sebagai sebuah introspeksi diri.

Tentu temuan itu belumlah bersifat final, karena sebagaimana lazimnya temuan yang “aneh” harus diverifikasi bahkan direplikasi untuk memastikan kebenarannya.  Namun, kejujuran dan keberanian mengritik diri sendiri dan organisasi sebesar Muhammadiyah patut diacungi jempol.  Oleh karena itu, ketika sebagai promotor diminta memberikan sambutan di akhir ujian, saya menyampaikan penghargaan atas kejujuran dan keberanian Pak Sarwo mblejeti diri sendiri. Karena diantara yang hadir banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah, saya menyarankan untuk menggunakan temuan Pak Sarwo untuk melihat kembali, jangan-jangan metoda dakwah yang selama ini diterapkan tidak lagi cocok dengan era sekarang.

Para orangtua SD Muhammadiyah tentulan termasuk golongan orang muda muslim yang umumnya tinggal di perkotaan (urban moslem society) yang mungkin memerlulam pola dakwak “kotemporer” dan tidak sama degan pola dakwah yang selama ini diterapkan.  Itu hanya dugaan orang yang awam dengan dakwal seperti saya ini.

Satu lagi yang saya sampaikan adalah kekhawatiran saya kemungkinan Pak Sarwo terjun ke politik.  Politik adalah bidang baik, namun jangan semua intelektual seperti Pak Sarwo terjun ke dunia itu.  Kita memerlukan orang pandai yang istikhomah menekui dunia akademik, dunia pendidikan yang ikut menentukan mutu sumberdaya manusia di masa datang.

Minggu, 28 Agustus 2016

PENDIDIKAN AGAMA ATAU PENDIDIKAN BERAGAMA



Seorang teman memberi informasi bahwa salah satu “penyempurnaan” Kurikulum 13 (K-13) adalah “mengurangi beban guru” dengan menugaskan pengembangan KI-1 (sikap spiritual) hanya kepada guru Agama dan pengembangan KI-2 (sikap sosial) hanya kepada guru PPKn. Dengan kata lain, guru matapelajaran lain tidak perlu dibebani pengembangan sikap spiritual dan sikap sosial. Jika informasi itu benar, berarti guru IPA di SMP tidak perlu memikirkan bagaimana menumbuhkan sikap kejujuran kepada siswa, karena itu merupakan tugas guru Agama (karena jujur adalah salah satu ajaran agama).  Guru Ekonomi tidak perlu memikirkan apakah siswa suka menolong orang lain, karena itu merupakan tugas guru PPKn.

Sebagai guru yang sudah mengajar selama lebih dari 40 tahun, saya kaget dan setengah tidak percaya dengan informasi itu.  Bukankah ruh dari K-13 adalah keinginan untuk menumbuhkembangkan sikap dan atau karakter anak-anak?  Oleh karena itu, pengembangan sikap dan atau karakter dilakukan secara gotong-royong, secara sinergis oleh semua guru dan bahkan semua karyawan di sekolah.  Jika informasi itu benar, sekali lagi jika informasi itu benar, maka K-13 yang telah “disempurkakan” telah kehilangan ruh K-13.

Saya tidak ikut menyusun K-13.  Namun mempelajari K-13 saya menangkap kesan kuat bahwa K-13 ingin mengarusutamakan (me-main streaming-kan) pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti.  Mungkin penggagas K-13 risau dengan perilaku anak bangsa ini yang seakan kehilangan budi pekerti luhur, sehingga itu harus dikembalikan secara sistematis lewat pendidikan.  Mungkin juga penggagas  K-13, ingin melaksanakan amanah pasal 3 UU Sisdiknas yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Jika berakhlak mulia, mandiri dan menjai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab itu termasuk aspek karakter, maka tiga di atara tujuh karakterik manusia yang ingin dihasilkan pendidikan adalah karakter.

Memang pendidikan harus mengembangkan tiga ranah secara utuh.  Ki Hajar Dewantara mengatakan “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat  memajukan kesempurnaan hidup anak kita”.  Jika menggunakan istilah Bloom yang biasa digunakan di sekolah, maka pendidikan afektif, kognitif dan psikomotor tidak boleh dipisahkan.

Merenungkan informasi itu, saya jadi teringat sebuah sekolah “inovatif” yang membedakan pendidikan agama dan pendidikan beragama.  Pendidikan agama diajarkan oleh guru agama dan penekanannya pada teori, baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan.  Pendidikan beragama dilakukan oleh semua guru, yang penekanannya pada implementasi beragama sesuai dengan agama yang dianut.  Jika agama Islam mengajarkan sholat berjamaah lebih baik dengan sholat sendiri, maka dalil-dalil tentang itu diajarkan oleh guru Agama Islam.  Namun semua guru harus mengajarkan dengan cara memberi contoh, memberi motivasi dan memfasilitasi  siswa untuk sholat berjamaah.

Pola pikir yang sama dapat diterapkan untuk PPKn.  Teori Pancasila dan Kewarganegaraan diajarkan oleh guru PPKn, namun semua guru mengajarkan penerapan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.  Bagaimana caranya?  Dengan memberikan contoh, memotivasi dan memfasilitasi agar siswa dapat menerapkan nilai-niai Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.  Semua guru harus memberikan contoh tolong menolong, mendorong siswa untuk melakukan dan juga memfasilitasi pelaksanaannya.

Apakah demikian penting sikap sikap spriritual dan sikap sosial, sehingga semua guru yang ikut bergotong royong mengembangkan?  Beberapa bulan lalu, dalam suatu diskusi tentang pendidikan, hadir seorang ibu dari HRD Carrefour Group.  Ibu itu menyapaikan ketika melakukan seleksi calon karyawan, bobot sikap 50%, bobot kemampuan nalar 30% dan bobot keterampilan 20%.  “Yang penting sikapnya bagus dan dapat bernalar runtut. Soal keterampilan dapat dilatih dengan cepat.”  Pendapat serupa juga dikemukakan oleh seorang tokoh industri di Kalimantan Timur, dengan mengatakan “melatih keterampilan itu mudah, namun memperaiki sikap sangat suli”.

Jika guru Matematika sekaligus juga “guru beragama” dan juga “guru dalam implementasi Pancasila”, apakah tidak terlalu berat bagi mereka?   Untuk menjawab itu, kita dapat balik kertanya lebih dahulu:  “Guru Matematika itu harus melaksanakan kuwajiban beragama atau tidak ya?” “Guru Matematika itu harus menerapkan Pancasila apa tidak ya?”. Jika keduanya dijawab “ya”, berarti guru Matematika sudah dapat menjadi teladan dalam beragama dan teladan dalam pengamalan Pancasila. 

Jika demikian tinggal bagaimana guru Matematika memotivasi dan memfalitasi siswa dalam menjalankan agama dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, apakah sebagai orang beragama dan bangsa Indonesia, kita tidak perlu memotivasi anak kita untuk menjalankan ajaran agama dan Pancasila?  Saya yakin, jawabannya “perlu”.  Dengan demikian, sebenarnya tugas memotivasi dan memfasilitasi siswa menjalankan agama dan nilai-nilai Pancasila juga tidak sulit.

Apakah sebagai guru dalam beragama dan pengamalan Pancasila, guru Matematika perlu memasukan aspek-aspeknya dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) Matematika?  Apakah guru Matematika juga mengukur atau menilai hasil belajar yang berupa sikap spiritual maupun sikap sosial?   Dua  hal itulah yang tampaknya perlu didiskusikan, karena memang membawa konkwensi tambahan pekerjaan bagi guru, selain guru Agama dan PPKn.

Untuk menjawabnya, mungkin kita awali dengan mengajukan pertanyaan akan ketika belajar Matematika siswa juga harus jujur?  Apakah ketika diskusi suatu topik Fisika siswa juga harus santun?  Apakah ketika belajar Ekonomi, siswa juga harus belajar membantu orang lain?  Jika jawaban dari ketiga pertanyaan di atas “ya”, berarti siswa harus jujur, harus santun dan harus membantu orang lain, ketika mereka belajar Matematika, Fisika dan Ekonomi.  Dengan kata lain, penting memasukkan sikap spiritual dan sikap sosial dalam RPP Matematika, Fisika, Ekonomi dsb.  Tentu dipilih sikap yang relevan dengan topik yang dibahas saja.  Tidak harus semua jenis sikap.

Apakah sikap spiritual dan sikap sosial perlu diukur hasilnya oleh guru Matematika, IPA, Ekonomi dan sebagainya?   Karena masuk dalam RPP tentu harus diukur hasilnya.  Namun berpengalaman banyak guru kesulitan mengukur sikap, harus dicarikan cara sederhana.  Karena sikap tidak cepat berubah, maka dalam satu kali mengakar guru tidak harus mengamati sikap seluruh siswa.  Mungkin cukup 5 orang saja.  Jika dalam satu kelas ada 50 orang, maka dalam 10 kali pertemuan, semua siswa dapat diamati.

Sosiometri juga dapat diterapkan.  Siswa diminta untuk saling menilai antar teman.  Jika ragu mereka dapat jujur pola ranking juga dapat membantu.  Misalnya siswa dalam suatu kelompok diminta saling menilai teman dalam kelompoknya.   Prinsipnya dicari pola penilaian yang sederhana sehingga dapat diterapka tanpa membebani guru terlalu berat.  Semoga.

Rabu, 24 Agustus 2016

FULL DAY SCHOOL



Full day school merupakan gagasan pertama dari Mendikbud baru kita, Prof Dr. Muhajir Effendi.  Menurut berita di koran, dengan full day school diharapkan lama waktu siswa di sekolah lebih lama, sehingga proses pengembangan karakter lebih intensif.  Dengan full day, siswa tidak terlalu lama di rumah tanpa ada pendampingan orangtua karena kedua orangtuanya bekerja di luar rumah.  Mungkin pagi hari orangtua dapat megantar anaknya ke sekolah sambil berangkat kerja dan sore hari menjemputnya sambil pulang kerja.  Dengan begitu ketika di sekolah ada pendamping yaitu para guru, ketika di rumah juga ada pendamping yaitu orangtuanya.

Seperti kebiasaan di Indonesia, ide itu mendapat tanggapan beragam dan bahkan menjadi diskusi berkepanjangan. Arah diskusipun menjadi tidak jelas, karena masing-masing penanggap menafsirkan gagasan Pak Mendikbud menurut versinya masing-masing.  Media sosial menjadi ajang perdebatan berkepanjangan.  Kebebasan menyampaikan gagasan di medsos tampaknya menumbuhkan kontrol diri yang kurang baik di masyarakat kita.

Apa sebetulnya yang dipikirkan Pak Mendikbud di balik ide full day school?  Jika benar, bahwa muculnya gagasan full day school itu dilatarbelakangi kerisauan beliau karena pendidikan karakter belum optimal, maka itu optimalisasi pendidikan karakter itulah yang harus dipikirkan.  Full day school adalah jawaban “hipotetik”, yang masih harus “diuji” kebenarannya.  Bahkan full day school barulah salah satu dari sekian banyak wahana untuk mengoptimalkan pendidikan karakter.

Bahwa pendidikan karakter perlu segera dioptimalkan rasanya tidak ada orang yang tidak setuju.  Banyak pakar yang menyatakan, keruwetan bangsa ini bersumber dari moral atau karakter kita yang kurang baik.  Korupsi konon sudah terjadi di semua lapisan dan melibatkan segala profesi.  Eksekutif, legistatif, yudikatif, tentara, polisi, pengusaha dan lainnya.  Seorang kawan bahkan bertanya “bukankah pengawai yang bermain saat jam kerja itu juga korupsi, yaitu korupsi waktu”.   “Bukankah warung yang melayani karyawan makan di jam kerja itu juga membantu terjadinya korupsi waktu oleh di karyawan”.  “Bukankah nyontek itu benih korupsi, karena ingin mendapat hasil yang baik tanpa mau bekerja keras”.

Untuk mengoptimalkan pendidikan karakter, sebaiknya didiskusikan dulu bagaimana proses pendidikan karakter yang efektif.  Liinckona menyebutkan karakter itu memiliki 3 lapisan yang hirarkhis, yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.  Orang yang tahu suatu aturan (moral knowing) belum tentu merasa itu harus dilakukan (moral feeling).  Contoh sederhana adalah perilaku kita dalam berlalu lintas.  Saya yakin hampir semua pengendara tahu makna rambu-rambu lalu lintas (moral knowing), namun betapa banyak yang tidak merasa itu harus ditaati (moral feeling).

Orang yang merasa itu harus dilakukan (moral feeling) belum tentu benar-benar melakukan (moral action), karena situasi di sekitar mungkin mendorong atau memaksanya melakukan itu.  Konon ada seorang yang dihukum karena korupsi bercerita, bahwa yang bersangkutan tahu dan sangat yakin apa yang dilakukan itu salah dan bertentangan dengan hukum maupun agamnya.  Namun situasi tempat yang bersangkutan bekerja, organisasi dimana yang bersangkutan terikat memaksa harus berbuat begitu.

Jadi pendidikan karakter tidak boleh hanya berupa ceramah dan diskusi atau baca referensi yang intinya menambah pengetahuan.  Juga tidak boleh hanya sampai pada membaca biografi tokoh atau bahkan bermain peran, karena itu hanya sampai internalisasi (moral feeling).  Diperlukan situasi yang membuat anak-anak terbiasa mengimplementasikan karakter dalam kehidupan sehari-hari.  Jadi idealnya kehidupan di sekolah dan di rumah mencerminkan implementasi karakter itu.

Dalam teori yang pernah saya baca, pendidikan karakter akan efektif jika dilakukan melalui habituasi (pembiasaan) yang dilanjutkan dengan inkulturisasi (pembudayaan).  Untuk itu diperlukan situasi sekolah/rumah yang cocok, diperlukan norma kehidupan (agama sbg sumber) yang relevan dan diperlukan teladan dalam kehidupan keseharian.

Nah, dengan begitu sebelum gagasan full day school itu diterapkan secara masal, perlu disiapkan agar situasi di sekolah memenuhi syarat untuk habituasi dan inkulturisasi karakter. Guru dan karyawan di sekolah, serta fasilitas di sekolah juga perlu dipersiapkan agar mendukung implementasi habituasi dan inkulturisasi itu.

Apakah habituasi dan inkulturisasi hanya dapat dilaksanakan di sekolah?  Tidak.  Di rumah dan bahkan di masyarakatpun juga bisa.  Asalkan, seperti disebutkan di atas, situasi di rumah dan atau di masyarakat mendukung prinsip habituasi dan inkulturisasi itu.  Dengan demikian, jika situasi di sekolah belum memungkinkan dan masyarakat masih belum kondusif, maka rumah menjadi alternatif.  Asalnya orangtua faham dan bersedia menjadi fasilitator dan teladan penumbuhka karakter. Untuk itu program parenting untuk menyamakan visi antara sekolah dan rumah menjadi penting, agar dalam berjalan seiring dan berbagi peran serta tanggung jawab.