Sabtu, 25 Desember 2021

KEBERSAMAAN, KEPEMILIKAN, KEBERLANJUTAN

Tanggal 22 Desember 2021 saya diundang Ditjen GTK Kemendikbudristek untuk presentasi tentang Peran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pendidikan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan.  Sebenarnya tema seminarnya tentang Program Organisasi Penggerak.  Mungkin saya diminta untuk menyampaikan pandangan bagaimana agar Ormas Pendidikan meningkatkan perannya dalam upaya meningakatan mutu pendidikan.  Melalui tulisan ini saya ingin berbagi apa yang saya sampaikan di forum tersebut.

Dalam pandangan saya, pendidikan di Indonesia itu mirip rumah Bentang di masyarakat Dayak. Rumahnya besar dan dihuni oleh banyak orang dengan profesi sangat beragam.  Ada yang baru tinggal di situ tetapi juga banyak yang sudah lama, dan bahkan ada yang ikut membangun.  Semua penghuni merasa ikut memiliki, merasa harus memelihara dan melakukan perbaikan agar tetap nyaman dihuni dan cocok untuk kebutuhan hidup di zamannya.

Karena memiliki pengalaman hidup yang berbeda, tentu saja memiliki perpektif yang tidak sama dalam memandang pendidikan. Oleh karena itu sangat wajar jika selalu ada perbedaan pendapat bagaimana mengelola pendidikan agar semakin baik dan cocok dengan perkembangan zaman.  Namun, seperti halnya kehidupan di suatu RT yang setiap warga memiliki hak mutlak di rumahnya. Namum untuk hal-hal yang bersifat umum pastilah dapat ditemukan kesepakatan dalam wilayah RT tersebut.  Yang penting semua warga diajak berunding dan dihargai pendapatnya.  Dengan demikian kebersamaan dalam kehidupan di RT atau rumah Bentang tetap terjaga.

Lantas apa kaitan dengan Ormas Kependidikan?  Pertama, Tabel sebelah menunjukkan jumlah sekolah swasta sangat besar dan lebih banyak dibanding sekolah negeri.  Tentu sekolah swasta tersebut dikelola Ormas Kependidikan. Ormas tersebut ada yang sudah berdiri dan mengelola pendidikan sebelum kemerdekaan.  Ormas semacam itu seringkali mengelola pendidikan di daerah terpencil dan belum ada sekolah negeri.  Dan seringkali sekolah semacam itu menampung anak-anak dari keluarga kurang mampu. Seringkali sarananya sangat terbatas dengan guru yang juga sangat  terbatas. Oleh karena itu dapat difahami jika mutunya belum baik.

Apakah sekolah swasta mutunya selalu rendah. Tidak. Banyak sekolah swasta yang mutunya bagus. Data 8 SMA terbaik dari UTBK, 3 diantaranya SMA swasta. Jumlah sekolah yang mutunya baik juga semakin banyak akhir-akhir ini.  Bahkan ada fenomena menarik.  Banyak SD negeri yang kekurangan murid baru, sementara SD swasta yang menarik SPP cukup besar justru kebanjiran murid.  Yang juga lebih menarik, putra-putri keluarga terdidik yang masuk kesekolah seperti itu.  Termasuk putra-putri pejabat di Kemdikbud dan Dinas Pendidikan.  Berarti dapat disimpulkan pejabat tersebut mengakui bahwa sekolah swasta tertentu memiliki mutu yang lebih baik dibanding sekolah negeri.

Belajar ke negara lain, tampaknya fenomena sekolah di Indonesia tersebut wajar.  Sekolah yang top banyak sekolah swasta dan biasanya berada di perkotaan dan menampung anak-anak dari keluarga menengah ke atas.  Di tengah adalah sekolah negeri, karena semuanya dipenuhi oleh pemerintah sehingga tidak akan sangat kekurangan sumberdaya. Sekolah yang mutunya rendah juga sekolah swasta yang biasanya berada di daerah terpencil atau daerah kumuh dan biasanya menampung anak-anak dari keluarga menengah ke bawah.  Sekolah kelompok terakhir biasanya dikelola oleh Ormas Kependidikan “tua” yang memang sejak awal berdiri berniat untuk melayani masyarakat kurang mampu.

Mungkin banyak yang bertanya jika suatu Ormas memiliki sekolah bagus dan sekaligus memiliki sekolah kurang bagus, mengapa sekolah-sekolah mereka tidak saling membantu?  Karena walaupun berada di naungan Ormas yang sama, biasanya sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan terpisah atau Badan Pengelola yang otonom, sehingga Ormas tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengaturnya.   Apalagi, walaupun bermutu bagus sekolah tidak memiliki kelebihan sumberdaya untuk “disumbangkan” ke sekolah lain.

Bertolak dari pemahaman bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang baik, maka pemerintah perlu secara khusus mengupayakan agar sekolah yang berada di kiri (bermutu rendah) dapat bergeser ke kanan (menjadi sekolah yang bermutu bagus).  Artinya Yayasan atau Badan Pengelola sekolah tersebut perlu dibantu dan diberdayakan. Jika hal itu dapat dilakukan sangat mungkin dapat memotong lingkaran kemiskinan yaitu karena orangtuanya miskin kemudian anaknya bersekolah di sekolah yang tidak baik, akibatnya tidak pandai dan akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan yang baik dan akhirnya miskin lagi.

Mengapa Yayasan dan Badan Pengelola harus diikutsertakan dan tidak langsung ke sekolah?  Pengalaman menunjukkan, Yayasan dan Badan Pengelola semacam ini memiliki pengaruh sangat kuat dalam pengembangan sekolah. Sebagai “pemilik” sekolah, Yayasan dan Badan Pengelola memiliki kewenangan menentukan arah pengembangan sekolah, pengangkatan guru dan pimpinan sekolah, pengadaan sarana-prasarana dan sebagainya. Membantu langsung sekolah, tanpa melibatkan Ormas Pendidikan (Yayasan atau Badan Pengelola) dapat menimbulkan kontraproduktif.

Dalam kaitan dengan upaya tersebut perlu dipertimbangan dua hal. Pertama, setiap Ormas Kependidikan tentu memiliki prinsip dan nilai-nilai tertentu yang digunakan dalam melaksanakan pendidikan, bahkan ditumbuhkembangkan kepada anak didik. Sebagai negara kesatuan yang menunjung tinggi keberagaman nilai-nilai seperti itu diakui eksistensinya. Kedua, tentu bantuan khusus yang diberikan pemerintah tentu tidak dapat selama-lamanya.  Keberlanjutan setelah  bantuan khusus tersebut selesai harus menjadi pertimbangan penting.

Oleh karena itu, meminjam istilah yang sering digunakan Pak Mark Heyward (Direktur Program Inovasi), kebersamaan-kepemilikan-keberlanjutan sangat layak untuk diterapkan.  Kebersamaan diterapkan saat merancang program bantuan sehingga Ormas Kependidikan yang sekolahnya mendapat bantuan merasa memiliki program tersebut.  Dan ketika bantuan khusus telah selesai Ormas yang bersangkutan dapat melanjutkan dengan mencari dukungan dari sumber lain atau bahkan dari kekuatan sendiri.  Semoga.

Rabu, 01 Desember 2021

PEMBELAJARAN DARING TIDAK SAMA DENGAN PEMBELAJARAN JARAK JAUH

 Senin lalu saya ikut diskusi tentang rancangan pembelajaran daring di Yayasan Al Hikmah Surabaya.  Yayasan tersebut mengelola lembaga pendidikan mulai KB, TK, SD, SMP, SMA dan STKIP.  Sekolah-sekolah Al Hikmah merupakan sekolah swasta favorit di Surabaya dengan akreditasi A.  Para siswa umumnya juga dari keluarga kelas menengah atas, sehingga mobil-mobil pengantarnya sering membuat jalan di sekitar sekolah macet pada jam-jam masuk dan pulang sekolah.  Yayasan tersebut juga mendirikan Al Hikmah Boarding School di Batu Malang, dengan fasilitas yang sangat bagus dengan siswa juga dari keluarga menengah ke atas. Jadi kalau menggunakan hasil penelitian Inovasi Bersama Kemdikbud (2021), memang pandemic covid 19 yang memaksa siswa belajar dari rumah, tidak berdampak sangat parah di sekolah Al Hikmah, karena sekolah menyediakan fasilitas zoom dan modul, sedangkan di rumah siswa memiliki fasilitas IT yang bagus.  Ditambah orangtua pada umumnya terdidik, sehingga dapat mendampingi anaknya belajar.

Berangkat dari “sukses” melaksanakan pola Belajar Dari Rumah (BDR) tersebut, Al Hikmah ingin meneruskan walaupun nanti pandemi covid 19 sudah berakhir.  Tentu dalam bentuk yang berbeda dan sangat mungkin blended, yaitu campuran antara BDR dengan Belajar Tatap Muka (PTM).   Untuk itulah diskusi dilakukan untuk mencari bentuk.  Bagaimana mengintergasikan BDR dan PTM.  Dalam diskusi tersebut, kesan saya, kita masih mengaburkan pembelajaran daring (online) dengan pembelajaran dari rumah (jarak jauh).  Sangat mungkin itu dipengaruhi oleh pengalaman melaksanakan model Belajar Dari Rumah (BDR) yang memang dilaksanakan secara daring.  Walaupun sebenarnya banyak sekolah yang melaksanakan BDR tetapi tidak dengan daring karena tidak di daerah tersebut tidak ada sinyal.  Dalam kasus seperti itu, banyak guru menerapkan pola Guru Kunjung didukung oleh bahan ajar tercetak.

Kesan tersebut muncul ketika kami diskusi bagaimana pembelajaran pasca pandemi covid-19.  Dengan pengalaman melaksanakan BDR secara daring yang dianggap cukup berhasil dan efisien, Al Hikmah ingin mengadopsi pola BDR walaupun pandemic covid 19 sudah berakhir. Namun teman-teman juga menyadari bahwa pola BDR tidak dapat sepenuhnya menggantikan pola Pembelajaran Tatap Muka (PTM), khususnya untuk aspek pembentukan karakter dan pendidikan di level awal (TK dan SD).

Nah ketika mendiskusikan bagaimana peralihan dari PTM ke BDR itulah kelihatan bahwa sebagian besar teman-teman menganggap belajar daring berarti siswa tidak datang ke sekolah.  Artinya BDR atau dalam istilah lain Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sedangkan jika siswa datang ke sekolah berarti PTM “murni” tidak ada daring.  Ketika saya bercerita ada kemungkinan siswa datang di sekolah tetapi pembelajarannya daring, teman-teman kaget.  Mereka baru faham ketika saya memberi contoh, siswa berada di dalam kelas, guru memberikan tugas dan untuk mengerjakannya siswa harus mencari informasi di internet.  Jadi pembelajaran daring tidak sama dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan juga tidak sama dengan belajar dari rumah (BDR).

Menurut saya pola seperti itulah yang akan menjadi trend ke depan. Seperti dicontohkan oleh Bernie Trilling dan Thomas Fadel (2009), para siswa mengerjakan proek tertentu secara berkelompok di sekolah.  Namun berbagai hal untuk mendukung pengerjaan proyek tersebut diperoleh siswa secara daring.  Guru berada di sekolah tetapi lebih berfungsi mendampingi dan menunjukkan dimana informasi dapat diperoleh.  Ketika diperlukan diskusi antara kelompok, bisa saja kelompok lain berbeda di lain tempat dan diskusi dilakukan secara online.

Dalam diskusi dibahas pentingnya pembinaan karakter, khususnya di TK dan SD, sehingga PTM sangat penting untuk memberikan keteladanan.  Menurut saya pola bertahap seperti gambar samping dapat diterapkan.  Di TK dan SD Kelas awal, pembelajaran dilakukan secara tatap muka penuh dan guru masih menjadi sumber informasi dominan.  Dalam tahap itu pendidikan diutamakan untuk membentuk karakter melalui pembiasaan, sedangkan aspek-aspek akademik dimulai secara setahap demi setahap.  Ketika bekal kognitif sudah memadai, siswa mulai dibimbing mencari informasi di internet sehingga pembelajaran online sebagai bagian pembelajaran blended bisa dimulai.

Walaupun siswa sudah memiliki bekal kongnifif cukup baik dan kemampuan mencari informasi telah dikuasai, menurut saya pertemuan tatap muka antara siswa dengan guru (PTM) tetapi diperlukan.  Mengapa?  Karena pemantapan dalam pembentukan karakter tetap diperlukan.  Disamping itu, untuk mataelajaran tertentu yang mengembangkan keterampilan (praktik/praktikum) rasanya PTM tetap diperlukan. Bagaimaa komposisi atara tatap buka dan daring untuk setiap jenjang dan kelas, diperlukan studi mendalam untuk menemukan yang pas.  Walaupun sangat mugkin setiap sekolah tidak sama.

Jumat, 26 November 2021

GO DIGITAL MARKET?

 Seperti biasanya di hari minggu saya menemani isteri belanja ke pasar.  Didahului jalan sehat menyusuri jalan kampung di sekitar pasar tersebut. Pasar krempyeng di dekat rumah merupakan tempat belanja bagi orang-orang yg tinggal di perumahan Tenggilis, tempat tinggal saya.  Pasar yang diinisiasi oleh RT setempat, kemudian menjadi ramai menjual kebutuhan masak-memasak yang cukup lengkap.  Bahkan belakangan mulai muncul kios yang menjual baju dan kebutuan rumah tangga lainnya.

Sesampai halaman pasar saya heran, kon tidak banyak mobil seperti biasanya.  Pak tukang parkir, yang merupakan teman sekolah saya dulu itu, juga tidak kelihatan.  Saya lebih heran setelah pasar kok tidak banyak orang yang belanja. Mungkin  hanya sekitar 20 orang. Pada hal baru sekitar jam 06.30an.  Biasanya jam-jam sekian yang berbelanja sangat banyak, sampai harus antre kalau ingin memberi barang tertentu.  Beberapa kios juga tutup. Ada apa ya?

Sambil jalan pulang, saya menanyakan fenomena itu kepada isteri.  Dia malah tercita kalau beberapa hari lalu, Mbak Ida-ART kami, mengeluh karena saat belanja hanya beberapa kios yang buka, lainnya kosong.  Akhirnya dia menilpun Pak Sabar, tukang welijo-tukang sayur yang berkeliling kampung, untuk belanja.  Ternyata Mbak Sri, salah satu penjual sayuran di pasar tersebut, juga mau melayani pesanan online.  Isteri saya biasa pesan ikan atau sayur via WA, kemudian barangnya diantar kerumah.

Siang hari saya dengan isteri ke toko buku Gramedia, mencari buku bacaan untuk cucu. Kami merencanakan mengunjungi anak yang tinggal di Bintaro dan punya dua anak kecil-kecil.  Sampai di basement tempat parkiran saya juga heran, karena hanya ada 2 mobil yang parkir. Pada hal baru jam 12.30a.  Lebih heran, mbak yang jaga di gerbang tampak berjalan ke dekat saya memarkir mobil, bahkan ikut membantu mengarahkan.  Mungkin karena tidak ada mobil masuk, dia bisa membantu mengatur parkir.


Ketika naik ke lantai 1 saya lebih heran, karena hanya kami berdua yang masuk.  Ketika naik ke lantai 2 tempat display buku, hanya ada tamu 2 orang selain kami berdua. Jadi saat itu hanya ada 4 orang tamu  pengunjung.  Lebih sedikit dari petugas toko yang rasanya ada sekitar 12 orang.  Pada hal dahulu kalau hari Minggu Gramedia selalu ramai pengunjung.  Apalagi jika tahun ajaran baru, banyak orangtua yang bersama anaknya berkunjung.  Mungkin membeli buku dan perlengkapan sekolah lainnya.  Konon juga banyak yang hanya membaca buku yang dianggap menarik, sambal “ngadem”, karena took ber-AC sementara di luar sangat panas.

Ketika pulang, dalam mobil, seperti biasa isteri mencermati struk pembelian.  Dia kaget ternyata Gramedia juga melayani pembelian buku secara online.  Bukan sekedar melalui Tokopedia, Bukalapak dan sejenisnya, Gramedia membuka layanan pembelian online secara mandiri.  Apakah Gramedia akan menuju seperti Amazon ya? 

Menerungkan fenomena itu dalam hati saya bertanya, apakah kita akan “GO ONLINE MARKET” ya?  Apakah kita sedang menuju pola jual beli online?  Apakah toko buku seperti Gramedia akan tutup dan beralih ke online?  Apakah pasar-pasar tradisional juga akan menghilang dan berganti menjadi online?  Bukankah toko kebutuhan sehari-hari, seperti Superindo, Alfamart, dan sejenisnya akhir-akhir ini bermunculan?  Apakah juga akan bermetamorfoma menjadi online? Apakah itu hanya karena pandemi atau akan tetap berjalan terus, walaupun pandemic corona-19 berakhir. Jika semua jual-beli “go online”, bagaimana nasik toko kelontong di kampung-kampung ya?  Jujur saya tidak tahu jawabnya.


Saya jadi teringat cerita anak saya yang tinggal di Edinburgh beberapa tahun lalu.  Saat itu saya mengunjungi dia dan terus diajak jalan-jalan termasuk ke toko buku. Dia cerita toko tersebut hampir saja tutup karena tidak mampu bersaing dengan toko buku online, seperti Amazon dsb. Pada toko buku tersebut sangat legendaris, lokasinya dekat kampus Edinburgh University, berlantai 3 dan banyak menjual buku-buku referensi, novel dan lainnya.   Akhirnya sejumlah warga kota Edinburgh sepakat “menyelamatkan” toko buku tersebut dengan tetap membeli buku di situ dan tidak secara online, walaupun harganya sedikit lebih mahal.  Dan Gerakan itu terbukti manjur.  Toko buku tersebut tetap buka dan lumayan banyak pengunjungnya.

Sabtu, 13 November 2021

MBKM DAN PERGURUAN TINGGI KEDINASAN

 Semester gasal tahun akademik 2021/2022 ini kebetulan saya mengajar S3 yang mahasiswanya sebagian besar dosen perguruan tinggi kedinasan. Ada dari Politeknik Penerbangan, Politeknik Pelayaran, Politeknik Kereta Api  dan sebagainya. Nah, di sela-sela perkuliahan mereka bertanya bagaimana menerapkan kebijakan MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) di perguruan tingginya.  Bahkan ada mahasiswa mengangkat topik itu untuk makalahnya, sehingga terjadi diskusi yang sangat intens.  Jujur saya senang namun tidak dapat memberikan masukkan secara maksimal, karena belum membaca naskah akademik MBKM sehingga tidak tahun filosofi/teori/konsep yang mendasari kebijakan tersebut. Yang dapat saya berikan hanya analisis saya berdasar informasi dari Pak Dirjen Dikti yang sudah pernah saya muat di blog ini.

Seperti yang pernah saya tulis di blog ini, saya menduga (sekali lagi menduga karena belum pernah membaca naskah akademik) kebijakan MBKM itu merupakan penerapan teori heutagogy yang diyakini cocok dengan pola pekerjaan yang sangat cair dan cepat berubah di era ini, sehinggga lulusan perguruan tinggi harus mampu cepat menyesuaikan diri.  Jika meminjam istilah yang digunakan oleh Hase & Davis (1999) mahasiswa harus mengembangkan capability dan bukan sekedar competence.

Bagaimana teori heutagogy dikaitkan dengan kurikulum, Lisa Marie Blaschke (2012) menjelaskan dalam heutagogy mahasiswa difahami sebagai orang dewasa yang sudah tahu karier apa yang ingin ditekuni, sehingga dapat memilih bidang studi apa yang harus dipilih dan pengalaman belajar apa yang harus dijalani untuk memiliki kemampuan menekuni karier yang diinginkan. Tentu dengan bimbingan dosen penasehat akademik (DPA) atau supervisornya.

Gambar di atas menunjukkan siswa di SD dan SMP difahami belum dewasa, belum menentukan karier apa yang ingin ditekuni setelah dewasa, sehingga diterapkan prinsip pedagogy, yaitu semuanya ditentukan oleh sekolah dan atau guru.  Matapelajaran dan bagaimana cara belajar semuanya diatur oleh sekolah dan guru, sehingga siswa tinggal mengikutinya.

Andragogy memandang siswa atau peserta didik sudah mulai tahu apa yang ingin dipelajari, apa yang sudah diketahui dan apa yang diperlukan. Untuk konteks Indonesia, andragogy diterapkan di jejang SLTA sehingga ada SMK dan ada SMA. Bahkan di SMA ada jurusan IPA, IPS, Bahasa dan di SMK banyak jenis program keahlian.  Namun demikian paket matapelajaran di dalam setiap jenis sekolah, setiap jurusan atau program keahlian ditentukan oleh sekolah.

Heutagogy memandang mahasiwa sudah menentukan karier yang ingin ditekuni, sudah tahu program studi ada yang harus dimasuki dan matakuliah atau pengelaman belajar seperti apa yang diperlukan untuk bekal menekuni karier di masa depan.  Oleh karena itu mahasiswa punya otonomi memilih matakuliah yang ingin ditempuh.  Pada masa lalu, ada makuliah wajib, ada matakuliah pilihan.  Nah, saya menduga apa yang dimaksud dengan belajar di luar prodi sebanyak 40 SKS atau 2 sementer itu kira-kira mirip matakuliah pilihan tersebut. Bedanya dalam MBKM matakuliah piliah tersebut dapat ditempuh di prodi lain,di perguruan tinggi lain bahkan di industri atau di tempat lain on perguruan tinggi.

Bagaimana cara memilih matakuliah atau pengalaman belajar sebesar 40 SKS tersebut?  Tentu tidak boleh sembarangan tetapi harus disesuaikan dengan bekal yang diperlukan untuk menekuni karier di masa depan.  Dalam konteks inilah diperlukan pola bimbingan yang baik dari pihak kampus.  Dosen pembimbing harus dapat mengarahkan matakuliah apa atau pengalaman belajar dimana untuk mendapatkan bekal kemampuan tersebut.

Bagaimana dengan perguruan tinggi kedinasan?  Untuk membahasnya harus didefinisikan dahulu apa perguruan tinggi kedinasan.  Jika perguruan tinggi kedinasan dimaksudkan untuk menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan (profesi tertentu) yang sudah jelas dan diyakini peluang kerja di bidang tersebut memang tersebut, tidak oversupply yang menyebabkan lulusan menganggur, maka perguruan tinggi kedinasan dapat menyediakan seluruh pengalaman belajar bagi mahasiswanya. Sebagai contoh, Akademi Militer menyiapkan mahasiswa menjadi perwira TNI AD yang sudah diketahui kemampuan apa yang diperlukan.  Semua lulusan Akademi Militer dipastikan menjadi TNI AD dan tidak ada yang mencari pekerjaan lain.  Dengan demikian MBKM tidak perlu diterapkan di Akademi Militer.  Mengapa?  Karena para taruna sudah memastikan akan menekuni karier sebagai perwira TNI AD dan Akademi Militer sudah tahu pasti bekal apa yang diperlukan , termasuk kecabangannya.  Misalnya Infantri, Zeni dan sebagainya.

Dalam diskusi dengan para mahasiswa ternyata tidak semua perguruan tinggi kedinasan seperti Akademi Militer yang memastikan semua lulusannya tertampung di institusi induk penyelenggaranya, sehingga banyak lulusannya harus mencari pekerjaan sendiri.  Nah, dalam kondisi seperti ini sebenarnya dapat dipertanyakan apakah status “perguruan tinggi kedinasan” masih cocok disandangnya.  Bukankah perguruan tinggi kedinasan didirikan untuk menyiapkan lulusannya untuk pekerjaan tertentu di lingkungan induk perguruan tinggi tersebut? Itulah sebabnya perguruan tinggi kedinasan dibawah pembinaan Kementerian atau lembaga tertentu.  Kurikulumnya juga sangat spesifik karena diarahkan kepada jenis pekerjaan tertentu. 

Lantas bagaimana solusi bagi perguruan tinggi kedinasan yang tidak menampung lulusannya untuk bekerja?  Tidak mudah menjawabnya dan harus dibahas secara kasus demi kasus.  Mari kita ambil contoh, prodi D-IV Penerbang yang menyiakan pilot di Politeknik Penerbangan yang konon biayanya sangat mahal.  Tentu tidak tepat kalau lulusan prodi semacam itu bekerja di bidang non pilot, karena menjadi sangat tidak efisien.  Menurut saya dalam kasus seperti itu MBKM tidak cocok, karena bekal yang diperlukan sangat spesifik dan tidak ada lembaga di luar yang dapat memberikannya.   Namun untuk prodi seperti ini keseimbangan supply-demand harus dijaga untuk memastikan semua lulusannya mendapatkan pekerjaan sesuai dengan prodi yang ditempuh. Namun jika prodinya lebih umum, misalnya D4 Akutansi, MKBM dapat diterapkan karena banyak jenis pekerjaan yang cocok untuk ditekuni bagi lulusan D-IV Akuntasi.

Dalam diskusi juga mucul bagaimana prodi yang sangat spesifik tetapi diperguruan tinggi umum, misalnya di Fakultas Kedokteran? Logikanya mahasiswa masuk Fakultas Kedokteran sudah memastikan diri akan menjadi dokter setelah lulus.  Saya juga tidak tahu apakah ada lembaga lain di luar Fakultas Kedokteran dan rumah sakit yang cocok memberikan pengalaman bagi calon dokter.  Oleh karena itu harus dipikirkan masak-masak jika ingin menerapkan konsep MBKM di Fakultas Kedokteran. Apalagi biaya perkuliahan di Fakultas Kedokteran sangat mahal, sehingga tidak efisien jika lulusannya kemudian banyak yang tidak bekerja sebagai dokter.

Minggu, 24 Oktober 2021

PERLUNYA KONDUKTOR PENDIDIKAN

Tanggal 1 Oktober pagi, saya mengikuti Temu INOVASI ke-12 secara daring. INOVASI adalah nama suatu program kerjasama antara Pemerintah Australia dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar.  Seperti biasanya acara diawali sambutan oleh wakil dari Kedubes Australia di Jakarta, hari itu oleh Daniel Wood-Counselor Human Development, dilanjutkan sambutan oleh Pak Subandi-Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas dan oleh Pak M. Zain yang mewakili Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag.  Setelah itu disambung dengan pembicara kunci yaitu Pak Mark  Heyward-Direktur Program INOVASI dan Ka Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan-Pak Anindito Aditomo, Kemdikbudristek. 

Isi bagian awal biasa-biasanya saja dan sudah sering kita dengar, yaitu terjadinya learning loses akibat pandemi yang ternyata memperlebar gap hasil belajar antara anak-anak yang tinggal di kota dengan jaringan  internet bagus dengan anak-anak yang tinggal di pedesaan yang jaringan internetnya kurang bagus atau bahkan tidak ada, antara anak-anak dari keluarga mampu sehingga di rumah memiliki sarana IT bagus dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki sarana IT memadai atau bahkan tidak punya sama sekali, antara anak-anak dari keluarga terdidik sehingga dapat membantu belajar di rumah dengan anak-anak dari keluarga kurang terdidik sehingga tidak dapat membantu anaknya belajar.

Namun yang agak mengerikan ternyata learning loses itu eksponensial.  Semakin tinggi kelas di SD semakin serius learning loses-nya.  Akibat pandemi ini, siswa kelas 1 seakan-akan terlambat belajar selama 10 bulan, siswa kelas 2 seakan tertinggal 18 bulan dan siswa kelas 3 seakan tertinggal 27 bulan.  Jadi seakan-akan siswa kelas 3 saat ini kemampuannya setara dengan siswa kelas 1 yang belajar selama 6 bulan.  Data itu menunjukkan betapa ngerinya learning loses, yang secara jujur saya juga tidak membayangkan sebelumnya.  Apalagi itu terjadi di keluarga kurang mampu, kurang terdidik dan tinggal di daerah pedesaan.  Jadi menurut saya dampak pandemi terhadap pendidikan sangat serius.

Yang lebih menarik adalah paparan Pak Supriyono-Ketua Forum Madrasah Inklusif, Bu Yuliana-Guru SD di Sumba Tengah, Pak Suparmin-Kabid GTK Kabupaten Bulungan, yang kemudian dikuatkan oleh Bupati Bulungan-Pak Syarwani dan Bupati Lombok Tengah-Pak Paulus Limu.  Paparan Pak Pri, Bu Yuliana, dan Pak Parmin menunjukkan bahwa mereka bersama tim-nya melakukan inovasi yang sangat bagus ketika menghadapi pandemi.  Lebih dari itu ketiganya, meminjam istilah Pak Totok Suprayitno-moderator, seakan “sedia payung sebelum hujan”.  Maksudnya inovasi itu sudah dilakukan sebelum ada pandemi covid.  Literasi dan numerasi khususnya di SD kelas awal memang menjadi program INOVASI dengan intensif di sekolah yang menjadi binaannya.  Namun yang mencengangkan program itu dilaksanakan oleh Pak Pri,  Bu Yuliasa dan Pak Parmin dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat.  Kerennya menggunakan konsep PDIA (problem driven iterative adaptation).  Dan ternyata inovasi tersebut didukung penuh oleh Bupati sebagai pemimpin tertinggi di kabupaten.

 

Ketiga orang itu secara jujur mengatakan belum mengetahui dampak apa yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa.  Yang sudah diketahui betapa para guru bersemangat dan para siswa antusias dalam belajar. Anak-anak merasa enjoy karena belajar sesuai dengan kemampuan mereka dan terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.  Bahkan Pak Parmin menyampaikan sudah banyak sekolah yang menerapkan pola tersebut.

 Mendengar cerita itu, saya merasa seakan melihat lilin-lilin kecil di kegelapan malam.  Memang lilin-lilin itu hanya mampu menerangi sedikit lingkungan di sekitarnya.  Namun lilin-lilin kecil itu menyala dengan sendirinya. Dan saya meyakini, sebenarnya banyak lilin-lilin (inovasi pendidikan) di berbagai pelosok tanah air tercinta ini. Saya pernah juga mendengar teman melakukan hal serupa di daerah Semarang Jawa Tengah, daerah Probolinggo Jawa Timur, Riau dan sebagainya.  Ibarat musik di negeri ini banyak pemusik yang memainkan alat musik tertentu sesuai dengan keahliannya.  Diperlukan dirijen atau konduktor yang menyeiramakan agar menjadi orchestra yang indah.  Mungkin itulah salah satu tugas Pemerintah.  Meminjam istilah David Osborn dalam bukunya Reinventing Government, sebaiknya Pemerintah lebih mengarahkan dari pada menangani sendiri (guiding not rowing).  Pemerintah sebaiknya memberdayakan para inovator seperti Pak Pri, Bu Yuliana dan Pak Parmin untuk terus berkarya dan menularkan pada teman sekitarnya.  Anggaran yang ada akan lebih efektif dan efisien karena lilin-nya telah menyala atas enersi sendiri, tinggal memperkuat agar lebih besar.  Jika semakin banyak lilin-lilin seperti itu saya yakin “pendidikan di negeri ini akan terang”. Semoga.

Kamis, 21 Oktober 2021

KITA PERLU GRAND DESIGN PENDIDIKAN

Tiga tahun lalu, Oktober 2018,  saya diberi oleh oleh penulisnya.  Buku dengan judul Education: Singapore Chronicles yang ditulis oleh Professor Saravanan Gopinathan, adjunct professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS.  Saat itu kami terlibat dalam sebuah workshop di Head Foundation Singapore yang diadakan oleh World Bank. Jujur saya baru membaca intens setelah ikut diskusi tentang ISPI tentang pendidikan Indonesia ke depan, walaupun begitu menerima buku itu saya membaca juga tetapi tidak serius, karena mengira itu buku cerita biasa.

Lantas apa yang membuat saya membaca buku tersebut secara intens?  Dalam diskusi tentang pendidikan, ternyata kita belum memiliki grand design sehingga seringkali “berbelok-belok”.  Bahkan seorang kawan mengatakan, seringkali kita “bolak-balik”, setiap saat dimuali dari awal lagi sehingga tidah majuaaa-maju.  Ketika itu saya jadi teringat buku tulisan Prof Gopinathan, alhamdulillah bukunya ketemu. Ketika membaca dengan intens saya terkejut dan kagum.  Ternyata Singapore memiliki tahapan pengembangan pendidikan yang jelas arahnya dan tahapannya. 

Dalam buku tersebut dimuat 6 tahapan pembangunan pendidikan di Singapore, yaitu:

(1)   Tahun 1945 – 1959: Laying Strong Foundations.

(2)   Tahun 1959 – 1978: Expanding Opportunity, Building Cohesion.

(3)   Tahun 1978 – 1990: Planning for Diversity.

(4)   Tahun 1990 – 2004: Responding to Globalization.

(5)   Tahun 2004 – 2014: Changing Pedagogy, Broadening Outcomes.

(6)   Towards a New Spring Source for Singapore Education.

Membaca buku itu, jujur saya kagum.  Ternyata Singapore memiliki grand design pendididikan sejak awal kemerdekaan.  Pastilah grand design itu bukan dibuat sekali jadi mulai awal kemerdekaannya, tetapi telah mengalami revisi sesuai dengan perkembangan zaman.  Namun jika dicermati secara jernih, tampak sekali kesinambungannya dari waktu ke waktu.  Juga tampak jelas pendidikan di Singapore digunakan sebagai wahana rekayasa social.  Dengan kesadaran sebagai negeri pulau yang diapik negara dengan komunitas Melayu kental, sementara warganegaranya multi etnik, pendidikan digunakan untuk membangun kohesi bangsanya dan mengembangan kesadaran keberagaman.

 

Yang juga sangat mengherankan di tahun 1990, Singapore sudah menyadari dan menggunakan pendidikan untuk menyiapkan warganya merespons globalisasi.  Dan ketika kita di Indonesia baru memulai menerapka konsep heutagogi dengan tergagap karena tidak dipersiapkan dengan baik, Singapore sudah memulainya pada tahun 2004.   Bahkan sejak 2012 Singapore telah merasa cukup kuat sehingga bergerak mencari sumber penguat pendidikannya, yang konon telah menjadi kiblat berbagai negara lain untuk belajar.  NUS dan NTU telah bertengger ke kelompok atas universitas kelas dunia.  NIE, satu-satu LPTK di Singapore telah menjadi tempat belajar banyak negara dalam pendidikan guru.

Belajar dari buku tersebut, rasanya sudah mendesak bagi Indonesia memiliki grand design pendidikan yang menjadi pegangan pemerintah dalam bekerja.  Dengan grand design itu, ketika terjadi pergantian pemerintahan, menteri baru harus tetap berpegang pada grand design yang sudah ada.  Bukan berarti menteri tidak boleh mengubah atau menyempurnakan, tetapi perubahan atau penyempurnaan itu haruslah merupakan kesinambungan dari desain sebelumnya dan juga atas atas kajian yang matang.  Dengan begitu kesan setiap periode pemerintahan ingin membuat sesuatu yang “baru” dengan “membuang” semua yang lama dapat dihindari. Konon sejak tahun 2016 Singapore telah melakukan kajian untuk reformasi pendidikannya yang akan dimulai tahun 2025. Jadi hampir 10 tahun persiapannya.  Tentu kajian itu dilakukan oleh pemerintahan sekarang dan sangat mungkin yang melaksanakan pemerintahan berikutnya. Jadi sangat masuk akal kalau program-program pendidikannya merupakan kesinambungan dan bukan potongan-potongan yang terpisah.

Rabu, 22 September 2021

VISITASI DAN WAKUNCAR

 Hari rabu kemarin, saya mendapat tugas mengikuti rapat validasi dan verifikasi (verval) hasil akreditasi tahap 1 di BAN SM Jawa Timur.  Saya senang, karena acaranga luring dan di kantor BAN SM Jawa Timur di daerah Jl. Adityawarman Surabaya.  Jadi sambil ke kampus Lidah.  Juga senang karena Ketua BAN SM Jawa Timur, Prof Rosminingsih itu teman lama.  Sejak tahun 1990an awal sudah akrab ketika sama-sama ditugasi untuk ikut Tim LSLD di daerah Lamongan.  Biasanya saya memanggih beliau “non” panggilan kepada beliau sejak jaman itu.

Jalannya verval berjalan lancar tidak hal-hal yang menarik.  Memang intinya hanya mengecek apakah hasil visitasi lapangan ketika akreditasi berjalan dengan baik dan hasilnya dapat dipertaggungjawabkan.  Yang menarik justru hal-hal di luar verval, khususnya ketika diskusi tentang sisa dana. Di BAN SM Jatim memang ada siswa dana cukup besar, karena visitasi yang semula dirancang secara luring harus dilaksanakan secara daring. Jadi dana perjalanan tidak terpakai.

Sisa dana itu dimanfaatkan untuk apa?  Diputuskan untuk menambak sasaran visitasi.  Jadi sekolah-sekolah yang semula tidak mendapat kesempatan divisitasi karena keterbatasan dana, akan divisitasi. Jumlahnya masih sangat banyak, dan sisa dana tidak mencukupi untuk semuanya.  Jadi harus dipilih. Nah, ketika memilih inilah diskusi jadi menarik.

Pak Rudi dan Pak Miskan, dua anggota BAN SM Jatim yang senior menyampaikan bahwa biasanya sekolah “kelabakan” jika pemberitahuan akan divistasi mendadak.  Pengalaman di tahap 1 dan 2, sekolah yang menolak divisitasi itu adalah sekolah yang merasa tidak dapat menyiapkan berbagai hal yang akan dilihat saat asesor datang visitasi. Mendengar cerita itu, saya jadi teringat kebiasaan di Jurusan saya, yang semua dosen pontang-panting, kerja lembur ketika saatnya menggunggah dokumen akreditasi dan juga saat menjelang visitasi.  Tampaknya candakaan SKS diplesetkan “sistem kebut semalam” ketika dahulu menjadi mahasiswa juga terjadi di akreditasi, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.

 Mendengar cerita itu, saya berseloroh tentang anak laki-laki saya.  Suatu saat saya tanya dia, punya pacar atau tidak dan dijawab punya.  Lantas saya tanya pernah ke rumahnya, dijawab ya sering. Saya tanya lagi, biasanya kapan ke rumah pacarmu?  DIjawab, biasanya malam minggu.  Oh, masih seperti jaman dulu itu ya.  Malam minggu itu wakuncar, waktu kunjung pacar. Lantas saya bilang, jangan begitu nak. Agak kaget dia bertanya, kenapa?  Saya jawab, kalau seperti itu, jam 5 sore pancarmu sudah mandi bersih, dandan secantik mungkin, kalau perlu ke salon.  Coba, sesekali kali datang ke rumahnya jam 6 pagi dan tidak usah memberitahu.  Waktu itulah kamu dapat melihat wajah aslinya.  Bukankah kamu ingin tahu wajah dan perilaku sehari-harinya seperti apa kan.

Lantas apa hubungan cerita di atas dengan akreditasi sekolah atau universitas?  Sebenarnya akreditasi itu merupakan external quality assurance (penjaminan mutu eksternal).  Mutu itu merupakan proses panjang dan merupakan hasil kegiatan keseharian sekolah dan universitas. Idealnya akreditasi itu ingin memotret berbagai aspek dalam keadaan natural.  Ibarat pacar tadi yang ingin dilihat wajar sehari-hari, bukan wajah ketika pulang dari salon.  Jadi idealnya, sekolah dan universitas tidak perlu melakukan lembur untuk menyiapkan.  Ya, apa yang ada dalam keseharian itulah yang ditunjukkan, baik saat unggah dokumen maupun saat visitasi.

Bukankah visitasi dilakukan hanya dalam waktu 2-3 hari, apakah asesor dapat memperoleh data tentang “wajah asli” sekolah atau universitas?   Ya, seperti pada penelitian kualitatif, kecanggihan asesor untuk melihat “angle”, dokumen dan “bertanya/bekomuniasi” dengan berbagai pihak akan menentukan keberhasilannya.  Itulah sebabnya asesor sudah mempelajari berbagai data sebelum berangkat visitasi.  Dengan demikian, saat visitasi dengan waktu terbatas itu dapat menemukan data-data yang obyektif dan komprehensif.  Jadi dalam visitasi, asesor harus canggih untuk mendapatkan data yang natural, mirip dengan anak muda yang wakuncar harus pandai menemukan data natural pancarnya.

Sabtu, 21 Agustus 2021

BERHUTANG BUDI KEPADA BUDI DARMA

 

Pagi tadi saya kaget ketika dapat kabar Prof Budi Darma wafat.  Saya tahu, bahkan sedikit ikut mengurus ketika almarhum masuk rumah sakit sekitar 2 minggu lalu. Beliau terkena covid bersama ibu Budi Darma dan seorang putranya.  Putranya, Mas Hananto sudah sembuh dan pulang untuk perawatan di rumah.  Beberapa hari kemudian Ibu Budi Darma juga sudah dibolehkan pulang. Tinggal almarhum Prof Budi Darma. Kemarin saya gembira, karena info dari rumah sakit kondisi beliau sangat baik. Tinggal batuk yang belum sembuh.  Namun tadi pagi dapat kabar, kondisinya menurun. Kesadarannya menurun dan tekanan darahnya juga menurun. Sudah dilaporkan ke dokter dan sudah mendapatkan terapi. Yang membuat khawatir, penyampaikan data itu disertai permintaan kepada keluarga di rumah untuk mendo’akan agar segera sembuh. Tiba-tiba sekitar jam 8-an ada kabar beliau wafat. Kok cepat sekali.

Walaupun sesama pengajar di Unesa, saya tidak mendapat kesempatan berinteraksi intens dengan almarhum. Bidangnya yang sangat berbeda dan usianya juga terpaut lumayan. Saat saya menjadi dosen muda, beliau sudah menjadi rektor.  Nah, saat saya akan studi S2 dan ada “halangan”, itulah pertama kali saya mengenal beliau. Saya harus menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Pemerintah Republik Indonesia, di depan beliau. Maklum mantan demonstran yang sempat dibui. Tanpa jaminan itu mungkin saya tidak diijinkan sekolah lagi.  Saya merasa berhutang budi, karena almarhum mencarikan pintu agar saya dapat sekolah.  Tanpa itu mungkin perjalan karier saya akan berbeda.

 

Walaupun tidak sering, kalau pas bertemu saya sering ngobrol dengan beliau. Kesan saya, almarhum sangat santun. Lebih sering menggunakan bahasa Jawa kromo, daripada bahasa Indonesia. Walaupun “sastrawan besar” penampilan sehari-hari rapi. Orang Jawa menyebutnya klimis. Rambutnya dipotong pendek dan disisir rapi. Ketika para PNS diwajibkan memakai baju safar abu-abu, beliau juga memakainya. Pokoknya kalau tidak mengenal, tidak mengira beliau itu sastrawan.  Saya tidak tahu dan belum pernah mendapatkan penjelasan mengapa begitu. Ketika baru pindah ke perumahan dosen di Kampus Ketintang dan saat itu belum ada aliran PDAM ke perumahan, menurut cerita beliau sering mengambil air ke Gema sendirian dengan membawa ember. Kesederhanaan hidup memang tampak dalam diri almarhum.

Bagaimana tentang karya-karyanya?  Baik novel maupun cerpen?  Jujur otak saya terlalu tumpul untuk menangkap pesan dibalik novel maupun cerpennya.  Saya tidak faham, sehingga tidak berani memberi komentar. Apakah saya pernah membaca?  Pernah.  Novel atau mungkin kumpulan cerpen berjudul Orang-orang Blomington, Olenka dan Nyonya Tarlis, pernah saya baca.  Ya, karena tidak mampu menangkap pesan di dalamnya, sehingga serasa membaca cerita Api DI Bukit Menoreh karta SH Mintardja, saja.

Sastrawan besar itu telah pergi menghadap Sang Pencipta. Pasti banyak yang merasa kehilangan.  Mahasiswa bimbingannya tentu bingung bagaimana nasib disertasi dan tesisnya. Teman-teman sesama sastrawan dan budayawan kehilangan kawan untuk berdiskusi. Unesa kehilangan icon besarnya.  Namun demikian itulah siklus kehidupan, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya akan kembali ke Yang Menciptakan.

Selamat jalan Prof Budi Darma, semoga Allah swt memberi tempat terbaik bagi panjenengan.

Jumat, 06 Agustus 2021

MENGAPA SEMAKIN TINGGI PENDIDIKAN SEMAKIN KURANG BERANI KERJA MANDIRI?

 

Minggu malam lalu saya ikut FGD dengan teman-teman ISPI. Topik yang dibahas, meminjam istilah Prof Waras, adalah me-reka pendidikan masa depan.  Mencoba mengkonstrukti pendidikan yang yang cocok dengan era disrupsi yang diprediksi akan terus terjadi, bahkan semakin cepat.  Salah satu yang presentasi adalah Prof Ace Suryandi dari UPI.  Data di bawah ini adalah data yang dipaparkan.

Saya mencoba mencermati data tersebut dan timbul pertanyaan: (a) mengapa semakin tinggi pendidikan semakin sedikit yang bekerja secara mandiri dan berusaha dengan dibantu pekerja keluarga? (kolom 3 dan 4) (b) mengapa semakin tinggi pendidikan semakin besar proporsi yang menjadi pekerja? (kolom 6), (c) mengapa proporsi lulusan SMK yang bekerja mandiri dan berusaha dibantu oleh pekerja keluarga atau pekerja tetap lebih sedikir dibanding lulusan SMA? (3,4,5).

 Jika semakin tinggi pendidikan justru semakin sedikit yang bekerja secara mandiri termasuk yang dibantu oleh keluarga dan sebaliknya justru semakin banyak yang menjadi pekerja (bekerja ikut orang lain), berarti penumbuhan kemandirian yang kita lakukan dalam pendidikan tidak berhasil.  Apakah ini yang menyebabkan jumlah entrepreneur kita sangat sedikit, hanya sekitar 3%, lebih sedikit dibanding negara lain. Sementara di Singapore mencapai 7% dan Malaysia mecapai 5%.

Mungkinkah ini sebagai akibat dari pendidikan di jaman penjajahan Belanda karena konon saat itu pendidikan untuk menyiapkan anak-anak menjadi karyawan, baik untuk pemerintah jajahan maupun perusahaan.  Atau ini akibat dari pendidikan di era industri yang sering disebut diarahkan untuk menghasilkan orang-orang untuk mendukung industri manifaktur yang kala itu menjadi primadona. 

Bukankah Undang-undang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kreatif dan mandiri dua sifat yang belum berhasil kita tumbuhkan dalam pendidikan kita. Bukankah Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa salah satu inti pendidikan adalah memberdekaan peserta didik, baik lahir maupun batin.  Artinya anak mampu mandiri dan tidak tergatung kepada orang lain.

Nah, kalau filosofi dan Undang-undang mengamanatkan agar pendidikan menghasilkan orang yang mandiri, sementara faktanya seperti tampak pada tabel di atas, apakah berarti pendidika kita kurang berhasil? Jika demikian, apa sebanya?  Dan bagaimana memperbaikinya?  Mungkin sudah saatnya dikaji secara mendalam untuk mencari penjelasannya.

Fenomena kedua yang menurut saya perlu mendapat perhatian pada data tersebut adalah kenyataan bahwa lulusan SMK yang bekerja secara mandiri dan bekerja dengan dibantu keluarga atau orang lain lebih kecil dibanding temannya lulusan SMA.  Data lain konon menyebutkan jumlah pengangguran lulusan SMK lebih banyak dibanding lulusan SMA.  Lantas apa yang dapat dijelaskan dari data data tersebut?

SMK dirancang untuk menghasilkan lulusan dapat segera memasuki dunia kerja.  Kebekerjaan merupakan sasaran pendirian SMK.  Artinya lulusannya segera bekerja, baik bekerja ikut orang atau bekerja mandiri.  Nah, kalau ternyata datanya seperti itu bagaimana menjelaskan?

Ada kawan yang mengatakan, perusahaan lebih senang memilih lulusan SMA dibanding lulusan SMK, karena lebih mudah diajari.  Apakah lulusan SMA umumnya lebih cerdas, karena beberapa penelitian menunjukkan lulusan SMP yang pandai umumnya masuk ke SMA?

Namun mengapa yang bekerja mandiri juga banyak lulusan SMA?  Bukankah di SMK ada pendidikan kewirausahaan yang secara khusus dimasuksudkan untuk mendorong lulusannya untuk bekerja secara mandiri?  Apakah program ini juga kurang berhasil?  Jika demikian apa sebabnya?  Tampaknya masih banyak hal yang harus dipikirkan, dianalisis untuk menemukan solusinya. Semoga.

Kamis, 29 Juli 2021

AKIDI TIO, BAPAK PENJUAL KERUPUK DAN IBU PENJUAL LEKER

 Beberapa hari ini kita dibuat kagum oleh almarhum Akidi Tio yang menyumbangkan uang sebesar 2 trilyun, sekali lagi 2 trilyun yang berarti dua ribu milyar.  Jujur sebagai ASN saya tidak dapat membayangkan uang sebanyak itu.  Sayang terbayang, kalau seorang ASN dengan pangkat tertinggi (IV-E) dengan gaji 5 juta perbulan atau 60 juta per tahun kemudian bekerja selama 40 tahun, gaji itu akan terkumpul 60 juta x atau 2. 400 juta atau 2,4 milyar. Berari sumbangan alm Akidi Tio setara dengan gaji 1000 ASN selama hidupnya. Tentu kita harus menaruh hormat atas kedermawanan alm Akidi Tio beserta keluarganya, diiringi do’a semoga sumbangan itu menjadi amal jariyah beliau-beliau semuanya.

Saya bukan pengusaha dan bukan ekonom, sehingga tidak tahu dan tidak dapat menganalisis uang sejumlah itu.  Yang dapat saya bayangkan, siapa Akidi Tio.  Tentulah orang yang sangat kaya, tetapi mengapa almarhum tidak termasuk deretan uang kaya di Indonesia ya?  Pak Dahlan Iskan, wartawan senior yang pasti jagoan mencari sumber data juga tidak menemukan sosok Akidi Tio dengan terang benderang. Konon pengusaha di Palembang juga tidak banyak yang mengenal. Kalau mengenal sebatas orang rendah hati dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Pada hal umumnya orang kaya itu terkenal, baik namannya ataupun bisnisnya. Katakanlah Chairul Tanjung dengan CT Crop atau Tran TV-nya, Mochtar Riyadi dengan Lippo-nya, Dato Sri Tahir dengan Mayapada-nya, Budi Hartono denga BCA dan Djarum-nya.

Ketika media memuat daftar 20 orang terkaya di Indonesia, kalau tidak salah orang paling nomer 1 adalah Budi Hartono dengan kekayaan sekitar 264 trilyun.  Dato Tahir yang banyak dikatakan orang sebagai orang kaya dan suka memberi sumbangan berada di urutan ke 8 dengan kekayaan sekitar 50 trilyun.  Keluarga Mochtar Riyadi boss Lipo berada di urutan ke 10 dengan kekayaan sekitar 30 trilyun.  Apakah keluarga Akidi Tio berasa di dalam urutan 20 besar?  Ternyata juga tidak. Jadi termasuk urutan ke berapa ya?

Konon orang terkaya nomor 20 di Indonesia kekayaannya sekitar 1 milyar US dolar atau mungkin sekitar 15 trilyun. Nah, kalau kekayaan Akidi Tio sekitar itu dan menyumbankan uangnya 2 trilyun berarti lebih dari 10 % dari kekayaannya.  Betapa dermawan beliau ya.  Seandainya, sekali lagi seadainya, orang-orang kaya di Indonesi sedermawan Akidi Tio negara yang sedang kesulitan dana karena covid-19 ini mungkin sedikit terbantu.  Tidak usah 10%, katakankah 2,5 saja, pastilah akan terkumpul dana sangat banyak.

Merenungkan fenomena Akidi Tio, saya jadi ingat tayanan di sebuah tv swasta,  dengan judul TOLONG beberapa tahun lalu.  Pada tayangan itu ditampakkan ada orang yang sedang minta tolong, menjual sesuatu karena kepepet.  Misalnya menjual botol bekas untuk membelikan bubur ibunya yang sakit. Ada juga yang menjual abu gosok untuk membelikan obat neneknya yang sedang sakit.  Ternyata “sang dewa penolong” itu bukan orang kaya, buka orang hebat tetapi justru orang yang juga susah.  Yang memberi botol bekas itu seorang tuna netra yang berjualan krupuk.  Ketika diwawancari wartawan tv, beliau mengatakan krupuknya baru laku 6 bungkus dan untungnya 18 ribu rupiah tetapi rela membeli botol bekas itu 20 ribu rupiah.  Yang membeli abu gosok itu ibu-ibu penjual leker dengan gerobah reyot. Ibu itu membeli abu gosok seharga 20 ribu dan sekaligus memberi sebungkus leker ke anak penjual abu gosok itu sambal menangis. Mungkin karena sangat kasihan, ada anak kecil dengan baju lusuh menjual abu gosok agar bisa membelikan obat neneknya yang sedang sakit.

Yang terpikir di benak saya, mengapa Akidi Tio, penjual kerupuk yang tuna netra dan ibu penjual leker di gerobak reyot itu punya empat tinggi kepada orang yang susah ya?  Mengapa saya dan banyak orang tidak ya?  Apa yang dapat menumbuhkan rasa empat orang-orang itu ya?  Jika empati semacam itu dapat ditumbuhkan bagaimana caranya ya?  Mudah-mudahan para ahli pendidikan dapat menemukan itu dan kita dapat menumbuhkan empati kepada sesama, khususnya kepada orang kesusahan, seperti yang dicontohkan Akidi Tio, Bapak penjual kerupuk yang tuna Netra itu, dan Ibu penjual leker dengan gerobak reyot itu. Semoga kota dapat meneladani mereka sesuai dengan kemampuan kita masing-masing

Minggu, 25 Juli 2021

PENDIDIKAN SINGAPORE SIAP DENGAN ERA DIGITAL?

Buku berjudul Technology-enhanced 21st Century Learning tersebut saya beli pada bulan Nopember 2018, hampir tiga tahun lalu, namun baru minggu ini saya membaca.  Itupun karena dipicu oleh Mas Nanang (Ahmad Rizali) yang mendirikan SMP Nusantara Cemerlang, sebuah sekolah yang menggunakan modalitas belajar secara digital.  Saya diminta untuk memberi endorsement, sehingga mencari referensi yang pas.

Belum selesai membacanya, saya sudah terkaget.  Bagaimana Singapore, sejak tahun 1997 telah menyiapkan pendidikannya berbasis ICT dan itu dituangkan dalam Master Plan 5 tahunan secara berkesinambungan.  Bahwa di Singapore ada sekolah yang berbasis ICT, saya sudah tahu bahkan pernah berkunjung ketika ada konferensi di NTU sekitar tahun 2014.  Tetapi saat itu saya membayangkan sekolah itu semacam sekolah laboratorium yang dimiliki NTU yang tentunya memiliki infrastruktur hebat.  Saya juga pernah mendapat cerita dari Prof. Gopinatan tetang fasilitas ICT di sekolah-sekolah Singapore, tetapi saya pikir itu ya mirip beberapa sekolah di Indonesia yang memang maju.


Bahwa Singapore itu negara kecil, semua sudah tahu.  Bahkan penduduk Singapore itu hanya sekitar 5,8 juta. Saya tidak mendapatkan data berapa jumlah sekolah dan jumlah siswa di Singapore. Namun dengan total penduduk hanya separuh dari Jakarta, tentu jumlah sekolah dan muridnya tidak banyak.

Bahwa Singapore itu negara kaya, sehingga mampu membiayai pendidikannya dengan baik, saya kira semua orang dapat memahami.  Yang saya kaget adalah antisipasinya yang sangat baik, sehingga pada tahun 1997, mungkin saat itu kita juga belum banyak mengenal internet, Singapore sudah menyiapkan pendidikannya berbasis ICT.  Berikut ini, saya kutip master plan 6 tahunan untuk Pendidikan mereka. Saya kutip apa adanya untuk menghindari saya salah tafsir.

Master Plan I (1997-2002) dengan tujuan:

1)      Enhanced linkages between the school and the world around it, sp as to expand and enrich the learning environment.

2)      Encourage creative thinking, life long learning and social responsibility.

3)      Generate innovation in education.

4)      Promote administrative and management excellence in education system.

Master Plan II (2003-2008), dengan tujuan:

1)      Students use ICT effectively for active learning.

2)      Teachers use ICT effectively for professional and personal growth.

3)      Connection between curriculum, instruction and assessment are enhanced using ICT.

4)      Schools have capacity and capability to use ICT for school improvement.

5)      There is active research in ICT in education.

6)      There is an infrastructure that supports widespread and effective use of ICT.

Master Plan III (2009-2014), dengan tujuan:

1)      Students develop competencies for self-directed and collaborative learning through the effective use ICT as well as become discerning and responsible ICT users.

2)      Teachers gain the capacity to plan and deliver ICT-enrich learning experiences for students to become self-directed and collaborative learners, as well as nurture students to become discerning and responsible ICT users.

3)      School leaders provide the direction and create the conditions to harness ICT for learning and teaching.

4)      ICT infrastructure enables and supports teaching and leaning anywhere, anytime.

Master Plan IV (2015-2020), dengan tujuan:

1)      Students will have: (a) greater personalization of learning, learning anytime & anywhere; (b) access to quality curriculum-aligned resources.

2)      Teachers will have: (a) sustained and differentiated professional learning; (b) information on evidence-based ICT practices.

3)      School will have: (a) customized & close school support; (b) optimal ICT insfrastructure.

4)      Some approaches identified include: (a) deeper ICT integration in curriculum, assessment and pedagogy; (b) sustained professional learning; (c) translation research, innovation, and (d) connected ICT learning eco-system.

Mencermati master plan tersebut, saya menyimpulkan bahwa Singapore memiliki perencanaan pembangunan pendidikan yang baik dan berkesinambungan.  Jujur saya belum mendapatkan informasi apakah ada master plan pendidikan yang utuh bukan hanya tentang ICT-nya.  Namun jika ada yang terkait dengan ICT, saya menduga itu bagian dari master plan pendidikan yang utuh sebagai induknya.

Tentu setiap negara memiliki masalah pendidikan yang berbeda, sehingga memerlukan pola pengembangan yang berbeda pula.  Indonesia tentu tidak dapat meniru begitu saja dari negara lain, termasuk Singapore.  Namun ada sesuatu yang mungkin dapat menjadi bahan banding.  Pertama, adanya master plan selama 24 tahun dan berkesinambungan.  Tampaknya tidak ada “ganti menteri ganti kebijakan” di Singapore.  Memang setiap tahap kebijakannya berganti, tetapi tampak sekali itu merupakan kesinambungan tahapan.

Kedua, jika Charless Darwin mengatakan dalam perubahan yang mampu bertahan bukanlah yang paling kuat atau yang paling pandai, tetapi mereka yang dapat melakukan adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan itu, maka Singapore tampaknya merupakan yang jenis yang ketiga. Singapore tidak reaktif ketika ada sesuatu yang terjadi, tetapi semua diantisipasi dan dipersiapkan sejak dini.  Bayangkan tahun 1997, mereka sudah menyiapkan pendidikannya mengarah ICT-based.  Dan itu dilaksanakan secara bertahap berkesinambungan.

Apakah Indonesia bisa?  Saya yakin bisa, asal kita mau belajar.  Kata orang bijak, dalam situasi disruptif dan turbolensi semacam sekarang ini, yang paling berbahaya bukan turbolensinya tetapi cara kita merespons yang menggunakan logika kemarin.