Kamis, 30 November 2017

GOOGLE MAP



Senin tanggal 27 November 2017 saya harus mengisi acara di hotel Kusuma Agrowisata Batu Malang.  Pada hal pagi saya punya janji ketemu mahasiswa di kampus Unesa Ketintang dan pukul 13 ada undangan rapat di gedung LP3M kampus Unesa Lidah Wetan. Yang lebih “menakutkan” Radio SS menyiarkan prakiraan cuaca pada hari itu cuaca ekstrim, terjadi hujan lebat yang dibarengi dengan angin kencang.

Pukul 10an di Ketintang mulai hujan cukup lebat.  Pukul 11an dengan berpayung ria saya terpaksa keluar ruang kerja menuju mobil untuk berangkat ke Lidah, karena harus mampir ke Bank Mandiri.  Ternyata di depan kampus Ketintang sudah mulai banjir dan hujan sangat deras.  Halaman kantor Telkom Ketintang tempat kantor cabang Bank Mandiri, terdapat genangan air, sehingga saya harus hati-hati memilih jalan agar sepatu tidak kerendam air.

Pukul 11.30an hujan agak reda dan kebetulan urusan dengan Bank Mandiri sudah selesai, sehingga saya dapat start ke kampus Lidah Wetan.  Jalanan sekitar Ketintang banjir lumayan tinggi, sehingga saya harus hati-hati.  Apalagi masih hujan rintik-rintik.  Namun ternyata hujan hanya sampai sekitar Kedurus.  Jalan dari Kedurus sampai Lidah Wetan kering.  Sepertinya hujan hari itu tidak merata.

Nah, ketika kami sedang rapat, pukul 14an di kampus Unesa Lidah Wetan hujan turun walaupun tidak lebat.  Sampai rapat selesai pada pukul 15an hujan rintik-rintik tetap terjadi, sehingga saya berangkat ke Malang dalam situasi hujan.  Pada akhir rapat saya membuka Google Map untuk mendapatkan panduan jalan mana yang harus saya lalui untuk ke Batu Malang.  Google Map menunjukkan saya harus lewat Krian, Mojosari, Pacet, Trawas, Pandaan dan seterusnya ke Lawang, Karanglo dan Batu.

Panduan Google Map itu sejalan dengan saran Bu Suryanti yang menjelaskan kalau dari Lidah Wetan lebih cepat lewat Krian-Mojosari dibanding harus melalui Satelit dan Waru.   Juga sesuai dengan informasi Radio SS bahwa jalan tol dan arteri Surabaya-Porong macet total.  Akhirnya saya memutuskan lewat Krian-Mojosari dan seterusnya sesuai dengan panduan Google Map.

Perjalanan dari Lidah Wetan sampai Legundi sangat padat.  Jam 16an baru sampai perempatan Krian.  Namun setelah itu perjalan cukup lancar walaupun terus dibarengi hujan rintik-rintik.  Menjelang Mojosari hujan bertambar deras dan saya mulai meragukan panduan Google. Apakah jalur Mojosari-Pacet-Trawas-Pandaan aman ya?  Bukankah lajur itu sepi dan lumayan naik-turun?  Apalagi hari sudah sore dan mulai gelap. Akhirnya saya memilih jalur Mojosari-Watukosek-Porong dan berarti tidak mengikuti saran Google Map?  Toh Google tidak faham apakah jalanan aman atau tidak, begitu pikiran saya.

Ternyata jalur Mojosari-Watukosek-Porong sangat padat dan banyak truk-truk besar.  Apalagi ketika harus belok kiri untuk memutar balik di bawah tol. Walaupun saya sudah memberanikan diri menerobos genangan air di beberapa titik, waktu adzan magrib berkumandang saya baru sampai Pandaan.  Bearti jalur Mojosari-Watukosek-Porong-Pandaan saya tempuh satu setengah jam.

Apakah saya keliru tidak mengikuti panduan Google Map ya?  Ternyata begitu.  Dari Radio SS ada pendengar yang menyampaikan pengalaman bahwa baru saja lewat jalur Pacet-Trawasa-Pandaan lancar.  Memang tidak disebutkan beliau menggunakan mobil jenis apa, sehingga tidak terhalang jalur yang sepi dan naik turun.  Juga tidak disebutkan apakah dalam keadaan hujan jalur tersebut tidak gelap atau kabut.

Pukul 19.15 saya baru sampai hotel Kusuma Agrowisata dan juga masih hujan rintik-rintik.  Untung acara belum dimulai dan sebagian besar peserta sedang makan malam.  Saya ikut bergabung makan malam dan bercerita kalau tadi perjalanan 4 jam. Teman-teman Malang mengomentari, mengapa tidak lewat jalur Trawas-Pacet, karena lebih pendek dan lancar.  Menurut beliau jalannya sekarang sudah lumayan lebar dan aman.  Jadi dugaan saya salah.  Panduan Google yang benar.

Selasa, 28 November 2017

GAYA HIDUP MASYARAKAT KITA BERUBAH



TV dan koran memberitakan kalau toko-toko retail sepi pembeli dan bahkan ada toko retail besar menutup beberapa outlet-nya.  Di lain pihak, sekarang jual-beli on line sangat marak.  Rumah saya seringkali menerima paket, ternyata itu barang yang dibeli anak-anak saya. Di mana-mana muncul warung kopi (warkop) yang dipenuhi pengunjung.  Rata-rata warkop memasang spanduk berbunyi “free wifi”. Juga muncul cafe-cafe yang juga dipenuhi pengunjung yang umumnya anak muda. Di dekat rumah saya muncul cafe bernama Tanggal Toea yang selalu penuh mengunjung.

Melihat gejala yang menurut saya agak aneh itu, saya mencoba bertanya kepada anak saya maupun anak-anak muda lainnya.  Saya juga mencoba “menguping”, maksudnya ikut mendengarkan ketika anak-anak muda itu bergerombol.   Saya juga mencoba membaca beberapa tulisan tentang fenomena anak muda zaman sekarang.   Simpulan saya, tampaknya terjadi perubahan gaya hidup.  Gaya hidup generasi muda sekarang ternyata berbeda dengan orangtuannya, seperti saya ini.

Bagi orang-orang seusia saya ke warung atau restoran kalau lapar dan ingin makan. Anak-anak muda sekarang ini ke warkop, cafe bukan untuk makan atau minum tetapi untuk ketemu teman.  Jika ingin bertemu dengan teman-teman, orang seusia saya akan mengunjungi ke rumah mereka.  Anak-anak sekarang tidak.  Mereka tilpun atau wa, janjian bertemu di warkop atau cafe.  Di situ mereka ngobrol berjam-jam, sambil main gaget.  Jadi tujuan utama ke warkop atau cafe bukan untuk minum atau makan, tetapi untuk ketemu dan ngobrol dengan teman.

Semula saya agak sulit memahami.  Memang pola seperti itu biasa bagi orang Barat.  Namun mereka tidak berkunjung ke rumah teman, karena rumah mereka (apartemen mereka) pada umumnya kecil dan tidak memiliki ruang tamu atau ruang duduk yang memadai untuk beberapa orang.  Oleh karena itu mereka lebih senang bertemu teman-teman di cafe.  Nah, apakah rumah anak-anak muda sekarang tidak memiliki ruang tamu yang memadai?  Saya kurang tahu. Tetapi itulah yang saya amati dan dengar dari obrolan mereka.

Apakah betul mal-mal menjadi sepi akibat anak-anak muda lebih senang berbelanja online?  Ternyata tidak.  Mereka tetap saja ke mall, tetapi bukan untuk berbelanja.  Mereka ke mal untuk jalan-jalan dan melihat-lihat barang, tetapi kalau membeli melalui online.  Setelah capek jalan-jalan ujung-unjungnya ke food court.  Itulah sebabnya sekarang hampir semua mall punya food court yang selalu ramai.  Beberapa kali saya ke food court untuk mencari makan, selalu saja kesulitan untuk mendapatkan tempat duduk.  Yang menyedihkan, anak-anak muda itu duduk di food court sangat lama, sehingga beberapa kali saya membatalkan makan di situ karena terlalu lama menunggu.

Beberapa bulan lalu, anak bungsu saya yang tinggal di Jakarta tidak punya asisten rumah tangga.  Pada hal anaknya baru berumur 2,5 tahun dan dia sedang hamil.  Suaminya selalu berangkat kerja pagi-pagi dan pulang jam 21an malam.  Dia sendiri juga punya kegiatan bisnis di rumah.  Lantas bagaimana dia memasak dan memberesi rumah?  Ternyata, untuk makan dia dan suaminya pesan lewat “go food” dan hanya memasak untuk anaknya karena ingin memastikan makanan anaknya bebas bumbu.   Untuk cuci mencuci juga ada yang mengambil pakain kotor da mengembalikan dalam bentuk sudah seterikaan.

Sudah dua bulan ini isteri saya tidak mau membawa mobil ke kampusnya.  Dia memilih naik grab atau gocar atau uber.  Alasannya lebih simpel, lebih mudah dan tidak capek.  Apa betul begitu?  Kalau naik grab dari rumah saya ke kampusnya di derah Sutorejo, taribnya sekitar 15 ribuan atau sama dengan harga 2,5 liter premium.  Pada hal kalau membawa mobil sendiri akan menghabiskan 2 literan premium.  Belum kalau kena macet.  Toh perjalanan dia hanya dari rumah ke kampus pergi pulang dan tidak punya urusan lain.

Saya sering diolok-olok anak saya kalau membeli sesuatu kemudian membayar dengan usang cash, apalagi jika di mall atau toko cukup besar.  Anak saya menggoda, ayahnya “kuno” membawa uang cash cukup banyak karena akan membeli sesuatu.  Sarannya bayar saja dengan kartu ATM atau e-money atau karti credit.  Memang mereka seperti itu kalau membayar sesuatu.  Ketika makan bareng di restoran atau food court saya tidak pernah melihat mereka membayar dengan uang cash seperti ayahnya.

Kalau saya ikut rapat dan antar peserta memerlukan file dari teman lain, sekarang tidak ada lagi menyodorkan flash disk untuk minta file.  Walaupun sedang duduk jejer, file aka dikirim via email.  Alasanya aman dari virus dan bisa mengirim sekaligus untuk beberapa orang.   Jika file besar atau digunakan berkali-kali, file disimpan di web tertentu dan peserta rapat dapa mengunduh jika memerlukan.  Lebih dari itu, saya diajari anak untuk menyimpan file di cloud atau dropbox, sehingga setiap saat dimanapun dapat membukanya.

Tampaknya gaya hidup masyarakat kita sedang berubah.  Apakah itu semua sekedar ikut era digital atau ingin lebih simpel?  Apakah itu semua akan membuat pola hidup kita lebih efisien dan produktif atau justru membuat kita makin malas?  Apakah itu semua membuat hidup kita semakin sehat atau justru mudah sakit karena kurang gerak?  Semoga.

Sabtu, 25 November 2017

BANJIR



Jum’at 24 Nopember 2017 terjadi banjir pada berbagai daerah di kota Surabaya.  Hujan lebat yang turun sejak pukul 10an sampai sore dibarengi dengan air laut yang sedang pasang, konon menjadi penyebab terjadinya banjir tersebut.  Akibat banjir, terjadi macet dimana-mana.  Rasio Suara Surabaya (SS) menyiarkan laporan dari banyak pendengar yang mengeluhkan tentang kemacetan.  Ada juga yang berkelakar dengan mengatakan “untung di mobil ada coton bath dan alat potong kuku, sehingga ketika macet sempat membersihkan telinga dan meotong kuku”.  Saya sendiri kejebak macet dari kampus yang biasanya hanya sekitar 20 menit, 90 menit baru sampai rumah.  Itupun harus “berjuang” menyopir di jalan dengan banjir separuh ban mobil.

Mengapa terjadi banjir seperti itu? Tampaknya perlu dikaji secara mendalam.  Saya membayangan jika jumlah mobil yang terjebak macet berjumlah 5.000 buah dan masing-masing terjebak macet selama 90 menit dan rata-rata dalam waktu 90 menit itu menghabiskan premium 5 liter dengan harga 7.000 rupiah/l, maka kemarin 5.000 x 5 x 7.000 = 175 juta rupiah hilang hanya dari premium saja.  Belum dari yang lain.  Jika semua kerugian akibat banjir sore kemarin, misalnya adanya barang rusak akibat kerendam air dan sebagainya, dugaan saya di atas 1 milyar rupiah.

Kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa dan tulisan ini juga bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk menjadikan banjir kemarin sebagai sebuah pelajaran berharga.  Saya ingjn mengambil contoh kecil di kampus Unesa Ketintang.  Ketika hujan terjadi sekitar 2 jam, kampus bagian selatan banjir.  Beberapa teman mengatakan, sangat mungkin petugas lupa mengosongkan busem sebelum hujan, sehingga busem tidak mampu menampung air hujan.  Mungkin juga petugas tidak tahu atau tidak membayangkan akan terjadi hujan lebat, sehingga tidak mengosongkan busem.

Atisipasi kita terhadap kejadian seperti itu, termasuk kepekaan kita terhadap kerugian yang diderita orang lain tampaknya belum baik.  Perbaikan jalan mungkin dapat menjadi contoh sederhana.  Seringkali kita menjumpai perbaikan jalan yang sebenarnya kecil nilainya tetapi menyebabkan macet panjang dan berhari-hari.  Sangat mungkin pemborosan akibat macet itu sebanding atau bahkan lebih besar sari nilai pekerjaan perbaikan jalan itu.  Namun karena yang macet orang lain dan kita belum terbiasa berhitung efisiensi kejadian seperti itu sekan menjadi hal sepele.

Kita juga belum terbiasa melakukan antisipasi terhadap cuaca.  Walaupun BMKG secara periodik menyiarkan prakiraan cuaca, tetapi tidak banyak yang memperhatikan.  Ketika kita mau bepergian kita juga belum terbiasa memperhitungan apa yang akan terjadi di jalan dan apa persiapan kita menghadapi itu.  Saya juga termasuk yang tidak melakukan antisipasi.  Saat akan sholat Jum’at saya kebingunan mencari payung.  Pada hal sudah tahu kalau ini musim hujan dan sudah tahu  ketika mau ke kampus juga sudah hujan gerimis.  Toh saya tidak membawa payung di dalam mobil.

Toleransi dan kepedulian kita terhadap kepentingan umum juga kurang tinggi.  Waktu terjebak banjir kita justru berebut dan saling mendahului, sehingga malah macet.  Di peremapatan jl Ketintang dekat rel kereta api menjadi contoh.  Semua ingin dahulu lewat, sehingga justru mobil dan motor saling “mengunci”.  Semua tidak dapat maju karena di depannya ada mobil yang juga tidak dapat maju.  Untung dan kita bersyukur ada dua orang anak muda “pahlawan” yang ditengah hujan dan banjir mau mengatur lalu lintas, sehingga akhirnya kemacetan setahap demi setahap terurai.

Memikirkan itu, saya jadi teringat cerita seorang teman yang lagi menempuh S3 di luar negeri dengan membawa serta dua orang anaknya yang masih usia SD.  Ketika menerima raport, dia kaget karena anaknya mendapat nilai bagus-bagus.   Dia memberanikan diri bertanya kepada gurunya: “Betulkah anaknya mendapatkan nilai sebagus itu?”. “Terus di kelasnya dia ranking berapa?”.  Gurunya yang kaget dan ganti bertanya: “Mengapa Anda menanyakan itu?”.  Akhirnya sang guru menjelaskan bahwa nilai yang diberikan itu menunjukkan prestasi bagi dirinya, prestasi atas upayanya sebagai anak pindahan dari Asia.  Tidak dapat dan tidak perlu dibandingkan dengan anak lainnya.  Di sekolah itu (setingkat SD) yang ditumbuhkan adalah kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengajukan pendapat secara logis, kepedulian kepada orang lain dan kewajiban sebagai warga masyarakat.   Kompetisi tidak (atau belum saatnya?) diajarkan, karena yang dipentingkan kemampuan kerjasama dan kepedulian membantu orang lain.  “What can I do for you” adalah ungkapan yang ditumbuhkan di sekolah itu.

Nah, apakah fenomena rebutan ketika macet itu hasil pendidikan kita yang mengutamakan “kompetisi” tanpa diimbangi dengan kebersamaan ya?  Jika orang barat yang dikenal dengan sikap individualistik justru menumbuhkan semangat “what can I do for you”, lantas apa yang seharusnya kita tumbuhkan sebagai bangsa yang terkenal dengan semanat gotong royong?  Semoga para pendidik memikirkannya.