Sabtu, 25 Juni 2016

LEVEL KOGNITIF VERSUS TINGKAT KESUKARAN



Ketika terlibat dalam suatu penyusunan kisi-kisi soal Ujian Tulis Nasional (UTN) yang dikerjakan oleh para dosen dan widyaiswara P4TK saya dikagetkan oleh komentar seorang kawan tentang level kognitif soal yang harus mereka susun.  Saat itu ada seorang peserta yang mengomentari kisi yang dibuat temannya.  Kisi untuk beberapa kompetensi  dianggap terlalu rendah level kognitifnya, karena hanya pada level C2 menurut Bloom, yaitu tingkat pemahaman. Peserta itu mengatakan, sebaiknya kompetensi guru minimal mencapai level C3, syukur kalau sampai C4, C5 dan C6.

Sebagaimana diketahui level kognitif yang dibuat oleh Benyamin Bloom merupakan tingkatan, mulai dari ingatan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis-sintensis (C4), evalasi (C5), dan kreasi (C6).  Versi itu merupakan revisi lama yang saat itu memisah antara sintesis dan analisis, tetapi belum memasukkan level kreasi yang mucul seiring gencarnya diskusi tentang konsep kreativitas.

Mendapat komentar itu, sang penyusun menjawab “kan menurut arahan kisi-kisi harus dirancang agar soalnya nanti berkomposisi 25% mudah, 50% sedang dan 25% sukar”.  Yang bersangkutan menjelaskan, memang 25% dari kisi yang disusun dibuat mudah agar sesuai dengan komposisi 25% soal mudah.  Sepertinya teman tadi menyamakan tingkat kesukaran dengan level kognitif.  Jadi beberapa kisi dibuat pada level C2 karena harus mewakili 25% soal kategori mudah.

Mendengar itu saya menjadi risau.  Jangan-jangan pemahaman seperti itu yang ikut menyumbang mengapa soal-soal yang kita buat cenderung pada level kognitif rendah, walaupun tingkat kesukarannya tinggi.  Jangan-jangan kejadian seperti itu yang membuat anak-anak kita mendapatkan skor rendah ketika mengikuti tes PISA, karena soal PISA selalu mengacu ke level kognitif tinggi, walaupun tingkat kesulitannya rendah.

Level kognitif dan level kesulitan soal merupakan hal yang berbeda.   Level kognitif mengacu kepada tingkat penalaran yang digunakan, sehingga kita mengenal istilah HOTS (high order thinking skills) dan LOTS (low order thinking skills).  HOTS adalah skill yang memerlukan penalaran tingkat tinggi, yang pada umumnya dikaitkan dengan level C4, C5 dan C6 pada teori Bloom.  LOTS, pada umumnya disejajarkan dengan C1 dan C2 pada teori Bloom.

Tingkat kesulitan soal dikaitkan dengan kerumitan pengerjaan soal, walaupun sebenarnya tidak memerlukan penalaran tingkat tinggi (HOTS).   Kita dapat membuat soal Matematika yang rumit walaupun hanya level C3.  Perkalian, pembagian dengan angka besar atau pecahan yang rumit akan membuat soal sulit diselesaikan.  Pengisian TTS (teka-teki silang) sebenarnya hanya memerlukan level kognitif C1 atau C2, karena hanya ingatan tentang nama atau kota kata tertentu. Seringkali kita tidak dapat menyelesaikan karena lupa atau bahkan belum mengenalnya. Misalnya nama sungai atau gunung di negara tertentu yang kita tidak mengenalnya.   Namun begitu kita ingat atau membaca atau diberitahu nama atau kota kata itu pengisian TTS akan selesai.  Jadi TTS dapat dibuat sulit tetapi level kognitifnya rendah.

Sebaliknya, soal-soal PISA sebenarnya sederhana tetapi memerlukan level penalaran cukup tinggi, biasanya pada level C4 (analisis-sintesis).  Misalnya ada soal yang menyajikan gambar beberapa bejana dengan bentuk yang berbeda-beda.  Semuanya berisi air dan ditanyakan mana yang lebih cepat penguapannya.  Untuk menjawab soal itu diperlukan kemampuan analisis, bahwa penguapan berkorelasi dengan suhu dan luas permukaan yang terbuka.  Jika logika itu dikuasi oleh siswa, dengan mudah untuk menjawabnya.  Sebaliknya jika kemampuan analisis itu tidak dimiliki siswa aka sulit mengerjakan.  Gambar di bawah ini menunjukkan 




Pemahaman bahwa level kognitif dan tingkat kesulitan soal merupakan dua konsep yang terpisah dan tidak selalu berkorelasi sangat penting bagi guru.  Lebih-labih lagi dengan munculnya keinginan menumbuhkan penalaran sejak diri.  Jika anak-anak SD sudah didorong untuk belajar benalar dengan level kognitif tinggi, tentulah harus dicarikan obyek yang sederhana.  Nah guru harus dapat mencarikan obyek pembahasan sederhana tetapi dapat digunakan untuk penalaran tingkat tinggi (HOTS).  Sebaliknya guru juga harus dapat mencari obyek yang dapat untuk tingkat kesulitan tingkat kesulitan tinggi walaupun untuk level kognitif rendah.  Juga dapat mencari obyek yang level kognitifnya tinggi dan tingkat kesulitannya juga tinggi.