Sabtu, 31 Agustus 2013

MEMERATAKAN GURU BERMUTU

Hari-hari ini ketidakmerataan guru menjadi topik hangat.  Sebenarnya itu sudah lama diketahui.  Namun upaya untuk mengatasi belum berjalan.  Tahun 1997 Kemendikbud pernah merintis pemindahan guru dari sekolah di perkotaan ke sekolah di pedesaan.  Program tersebut tidak berjalan, karena para guru keberatan.  Rintisan itu berhenti karena sejak desentralisasi, guru merupakan pegawai daerah, sehingga sulit pindah lintas kabupaten/kota.

Secara agregat jumlah guru sebenarnya cukup.  Data Kemdikbud menunjukkan rasio guru-siswa di pendidikan dasar 1:20.  Lebih baik dibanding Singapura (1:25), Korea Selatan (1:31) dan Filipina (1: 35).  Untuk pendidikan menengah rasio guru-siswa juga bagus, yaitu 1:14.  Lebih baik dibanding Korea Selatan (1:18), Singapura (1:20) dan Thailand (1:25).

Namun distribusi guru tidak merata.  Sekolah di perkotaan kelebihan guru, sementara sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.  Kabupaten pinggiran di Jawa masih memiliki guru cukup.  Rasio guru-siswa SD di Kab Sumenep 1:12 dan rasio guru SMP di Pamekasan 1:9.   Namun, daerah terpencil seperti Kab Halmahera Selatan rasio guru-siswa SD 1:44, Kab Nias Selatan 1:47, Kab Pegunungan Bintang 1:70 dan Kab Yahukimo 1:73.   Untuk SMP rasio guru siswa di Kab Malinao 1:39, Kab Pegunungan Bintang 1:51 dan di Kab Yahukimo 1:91. 

Fakta lapangan menguatkan data tersebut.  Pengalaman Unesa melaksanakan program SM3T  di Kab Maluku Barat Daya, Sumba Timur, Talaud dan Aceh Singkil menemukan sejumlah SD dengan 6 kelas yang hanya punya 2 guru, SMP Negeri dengan 9 rombel hanya punya 7 guru.  Bahkan ada SMP Satu Atap yang tidak punya guru, karena keluar.

Data di atas baru dalam kuantitatif.  Kesenjangan kualitatif juga signifikan.  Data UKA 2012 menunjukkan 5 skor tertinggi diduduki oleh propinsi DIY, DKI, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara skor 5 terendah diduduki oleh propinsi Maluku, Maluku Utara, Jambi, Kalimanatn Barat dan Kalimantan Tengah.

Karena guru merupakan penentu mutu pendidikan, kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif tersebut menyebabkan kesenjangan mutu pendidikan antar daerah.  Studi Unesa (2011) terhadap hasil UN 2009, 2010, 2011 menyimpulkan hasil UN SMA di Indonesia Bagian Barat lebih baik dibanding SMA Indonesia Bagian Tengah dan SMA Indonesia Bagian Tengah lebih baik dari SMA Indonesia Bagian Timur.

Karena memindahkan guru sulit, maka pemertaan guru bermutu dapat dilakukan melalui penempatan guru baru.  UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen memberikan jalan untuk itu.  Pasal 23 ayat (1) menyebutkan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas dan berasrama untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan. 

Dengan asrama, pembinaan calon guru dapat dilakukan dengan baik.  Tidak hanya masalah akademik tetapi juga masalah karakter.  Data SBMPTN 2013 menunjukkan 69,4% pendaftar ingin menjadi guru.  Minat lulusan SLTA untuk menjadi guru cukup besar, sehingga mutu input untuk calon guru cukup baik.  Jika itu disertai pembinaan yang baik selama kuliah, kita berharap nanti mendapatkan guru yang baik.

Dengan ikatan dinas pemerintah dapat menempatkan guru baru sesuai kebutuhan dan calon guru tidak boleh menolak.  Berdasarkan pengalaman, guru baru juga tidak keberaran karena langsung diangkat, walaupun di daerah terpencil.  Dengan cara itu secara bertahap, pemerataan guru bermutu dapat dicapai.

Kebijakan itu harus dibarengi dengan pembinaan karier guru.  Guru didaerah terpencil harus mendapatkan perhatian khusus dalam pelatihan dan pembinaan lainnya.  Kepindahan guru harus merupakan bagian dari pengembangan karier.  Bertugas di daerah terpencil merupakan point penting dalam jenjang karier guru.

Apakah ikatan dinas calon guru memerlukan biaya besar?  Mari kita buat hitungan sederhana.  Jumlah guru kita sekitar 2,8 juta, terdiri dari 1,63 juta guru TK/SD/MI dan 1,17 guru SMP/MTs/SMA/SMK/MA .  Jika itu dianggap stabil, setiap tahun memerlukan guru pengganti pensiun 2,5% atau sebanyak 70.000 orang/tahun.  Terdiri dari 40.750 guru TK/SD/MI dan 29.250 guru SMP/MTs/SMA/SMA/MA.


Menurut UU No. 14/2005, guru baru harus berpendidikan S1 plus PPG selama 2 semester untuk mapel dan 1 semester untuk guru TK/SD.  Ikatan dinas dapat diterapkan saat menempuh PPG.  Beasiswa PPG yang sebesar Rp 23.300.000,-/orang/semester, maka untuk menyiapkan guru baru diperlukan ikatan dinas Rp 2,31 T per tahun.   Anggaran pendidikan tahun 2014  Rp 345,3 T.  Jadi beasiswa tersebut hanya 0,67% dari anggaran pendidikan atau 0,13% dari APBN tahun 2014.  Semoga pemerintah bersedia menyisihkan anggaran itu untuk memenuhi amanah pasal UU No. 14 Tahun 2005 sekaligus mempercepat pemerataan guru bermutu. 

Senin, 26 Agustus 2013

IISY DAN SOFT DIPLOMACY

Saya ke Myanmar tanggal 24-26 Agustus 2013 diundang oleh KBRI Yangon untuk menyampaikan pemikiran tentang pendidikan masa depan di depan para pejabat diplomatik, guru dan masyarakat Indonesia yang tinggal di Myanmar.  Acara dilaksanakan pada hari Minggu pukul 10-13 di KBRI dan dibuka oleh Dubes RI, Jenderal Sebatianus Sumarsono.  Pesertanya cukup banyak dan hadir juga beberapa orang Myanmar.

Sebelum ke tempat acara, Pak Gufron (Drs. Sirdjanul Gufron, M.Ed, kepala sekolah Indonesia di Yangon) mengajak saya mampir melihat kondisi sekolahnya.  Setelah itu, sesuai aturan protokoler, saya diajak bertemu Pak Dubes dan Bu Dubes.  Jenderal Sumarsono, orang Sragen teman seangkatan pak SBY, ternyata sangat ramah.  Kami sempat diskusi tentang berbagai hal sekitar 30 menit.  Tentu topik yang paling banyak didiskusikan adalah pendidikan, yang kemudian merembet tentang sekolah Indonesia di Yangon.

KBRI Yangon memiliki sekolah dengan nama IISY (Indonesian International School Yangon).  Jumlah siswanya 499 orang dan diantara itu hanya 51 anak Indonesia.  Yang 448 orang berkewarganegaraan macam-macam.  Tentu yang banyak anak Myanmar (436 orang), Malaysia (1 orang), Korea Utara (1 orang), Korea Selatan 4 orang), China (2 orang), Filipina (1 orang), Singapura (1 orang)  dan Vietnam (1 orang).  Sejauh yang saya ketahui hanya di Yangon, sekolah Indonesia memiliki siswa warga negara lain.

Siswa non Indonesia itu hanya mengikuti pendidikan sampai kelas 10 dan diakhiri dengan  ujian O Level (model Cambridge), setelah itu mengikuti jenjang A (A Level) atau Foundation di negara lain, misalnya Singapura, Autralia atau negara lain.  Salah satu orang Myanmar yang ikut hadir dalam diskusi juga alumni IISY yang kini menjadi kapten pilot.  Menurut Pak Gufron, siswa IISY non Indonesia pada umumnya anak dari masyarakat terdidik dan kaya, yang nanti ingin melanjutkan pendidikan di luar Myanmar.

Membaca data dan mendengar informasi tentang IISY, saya memberanikan diri mengajukan pemikiran kepada Pak Dubes, di sela-sela makan siang.   Intinya bagaimana kalau IISY dijadikan wahana soft diplomacy.  Anak-anak Myanmar yang sekolah di IISY berasal dari keluarga terdidik dan nantinya akan melanjutkan ke luar Myanmar.  Sangat mungkin mereka itu pada saatnya akan menjadi orang penting di Myanmar atau negara asalnya.  Nah, kalau mereka bersekolah di IISY selama 10 tahun pasti akan mengenal Indonesia dengan baik dan sangat mungkin dalam hatinya akan terpateri rasa berhutang budi kepada IISY dan Indonesia, karena telah ikut mengantarkan menjadi “orang sukses”.

Bukahkah salah satu tugas diplomasi adalah menumbuhkan kesan positif pada Indonesia bagi orang-orang dimana para diplomat itu bertugas?  Nah, dengan melaksanakan pendidikan yang tentu ada muatan keindonesiaan, sebenarnya IISY juga melakukan fungsi itu.  Walaupun untuk anak-anak yang hasilnya baru dapat dipetik setelah mereka dewasa.  Namun dengan jumlah siswa non Indonesia sebanyak 448 untuk 10 jenjang, berarti rata-rata IISY meluluskan sekitar 45 orang siswa yang sangat potensial menjadi “duta Indonesia” di negaranya.
Saya jadi teringat ketika bulan Desember 2011 menghadiri Confucius International (CI) Conference di Beijing. Setiap Desember pemerintah China mengundang rektor dan direktur CI dari seluruh dunia.  Jumlahnya yang hadir sekitar 1.000 orang dan berasal dari seluruh penjuru dunia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Afrika.  Unesa merupakan salah satu universitas yang punya Confucius Institute sehingga selalu diundang. Selama 3 hari, undangan dijamu gratis, termasuk hotelnya.  Selama 3 hari itu, undangan disuguhi berbagai acara yang semuanya berbahasa Mandarin, kecuali ketika seminar. Dua kali ikut acara itu saya berpikir, itu mungkin cara China melakukan soft diplomacy.   Ratusan universitas dibantu untuk mendirikan CI dan setelah itu setiap tahun diundang ke Beijing untuk mengenal China dengan lebih dekat. 
  
Soft diplomacy sebenarnya sudah lama dilakukan negara maju.  Mereka memberi beasiswa, umumnya S2 dan S3, untuk belajar ke negaranya. Setelah lulus, penerima beasiswa itu tentu ada perasaan hutang budi dan sekaligus menjadi corong bagi negara pemberi beasiswa.  Ada juga beasiswa non gelar, misalnya untuk para pimpinan organisasi pemuda.  Akhir-akhir ini Taiwan sangat gencar melakukan hal itu.  Mungkin untuk mengimbangi China.

Apa yang perlu dilakukan agar IISY dapat menjadi wahana soft diplomacy?   Menurut saya, tiga aspek.  Pertama, mutu IISY harus benar-benar bertaraf internasional.  Dengan begitu, siswa (termasuk non Indonesia) akan bangga menjadi siswa dan alumni IISY.  Jika nanti sudah dewasa dan sukses, kebanggaan itu akan menjadi kenangan positif dan tentu berdampak kepada kenangan positif kepada Indonesia.

Kedua, sebaiknya IISY segera menyelenggarakan program A Level atau pre-university.  Dengan begitu lulusan O Level dapat meneruskan di IISY dan mengikuti ujian A Level.  Tentu dengan mutu yang bagus, sehingga siswanya dapat lulus ujian A Level dengan  baik.  Dengan cara itu, lulusannya benar-benar merasa alumni IISY sampai siap masuk universitas.  Di samping itu dengan punya program  A Level, gengsi IISY juga akan menjadi lebih baik.

Ketiga, IISY tidak boleh bersifat komersial.  Artinya uang sekolah cukup untuk mengoperasionalkan IISY saja.  Malah jika perlu pemerintah Indonesia memberikan subsidi.  Menutut P Gufron bercerita mengapa IISY banyak peminat orang non Indonesia, karena uang sekolahnya lebih murah dibanding sekolah internasional lain yang pada umumnya dikelola swasta.  Anggap saja subsidi tersebut sebagai bentuk biaya diplomasi.  Semoga.

Sabtu, 24 Agustus 2013

UNIVERSAL TIDAK PERNAH SATU, LANTAS?

Dalam perjalanan Jakarta-Myanmar pada tanggal 24 Agustus 2013 saya membaca Tempo Edisi 19-25 Agustus 2013.  Ketika transit di bandara Singapura, sambil menuggu gate dibuka saya menyempatkan membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad dengan pelan-pelan.  Menurut  saya, Catatan Pinggir Tempo selalu penuh makna namun tidak mudah difahami.  Oleh karena itu biasanya saya membaca sampai beberapa kali untuk dapat memahaminya.

Judul Catatan Pinggir edisi ini adalah Mesir.  Dengan menggunakan setting kejadian di Mesir sejak tumbangnya Husni Mubarak sampai tersingkirnya Mohamad Mursi, Goenawan Mohamad mengajukan tesis bahwa universal itu tidak pernah satu.  Mengutip pendapat Laclau, Goenawan menyebut bahwa universal itu pada dasarnya merupakan tafsiran seseorang atau satu kelompok tertentu. Tafsir seperti itu selalu dipersaingkan dan bahkan dipertentangkan.  Pada satu saat mungkin saja sebuah tafsir memegang posisi yang menentukan, tetapi hegemoni itu tidak akan dapat total dan selama-lamanya.

Mencoba mencerna tesis Goenawan Mohamad itu, saya menjadi ingat ungkapan Cak Nur (Nurcholis Majid) sekian tahun lalu.  Seingat saya Cak Nur mengingatkan bahwa tafsir selalu berkembang.  Bahkan tafsir seseorang akan selalu berkembang , seiring dengan pengalaman hidupnya.  Tafsir seseorang terhadap sebuah konsep atau sebuah peristiwa saat ini sangat mungkin berbeda dengan tafsir yang bersangkutan sepuluh tahun lalu.  Walaupun konsep atau peristiwa yang dimaknai sama.

Mengapa demikian?  Mungkin konsep skema berpikir dari bidang psikologi dapat dipakai untuk menjelaskan.  Tafsir seseorang sangat dipengaruhi frame of thinking dan frame of thinking itu sangat dipengaruhi pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki sebagai referensi.  Karena setiap saat orang selalu belajar dari apapun yang dilihat, didengar dan dibaca, maka frame of thinking yang bersangkutan juga akan selalu berubah.  Akibatnya tafsirnya terhadap sesuatu juga akan berubah.

Karena tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman hidup yang tepat sama, tentu tidak ada dua orang yang memiliki tafsir yang tepat sama terhadap sebuah fenomena.  Masing-masing orang memiliki tafsir yang berbeda.  Beberapa orang atau satu kelompok orang mungkin saja memiliki tafsir yang mirip terhadap sebuah fenomena, karena frame of thinking-nya mirip, dan itu disebabkan pengalaman hidup  (apa yang dialami, dilihat, didengar dan dilihat) juga mirip.

Dengan menggunakan alur pemikiran di atas, muncul pertanyaan: Bagaimana menjaga keharmonisan jika setiap orang dan setiap kelompok memiliki tafsir yang berbeda?  Bukankah tafsir atau pemaknaan terhadap suatu fenomena akan menentukan respons yang bersangkutan?  Jika tafsirnya berbeda secara diametral sangat mungkin responsya juga berbeda secara diametral.  Dan jika itu terjadi respons-respons seperti akan “bertabrakan” atau paling tidak, tidak akan bersinergi. 

Memang keanekaragaman itu harmoni kehidupan.  Musik dan gamelan terdengar indah, karena terdiri dari berbagai jenis instrumen.  Sesuatu yang sama seringkali menimbulkan kebosanan.  Sesuatu yang terjadi terus menerus akan menjadi monoton.  Mengemudi mobil dengan jalan yang lurus dan sepi dapat membuat mengantuk.

Namun musik dan gamelan terdengar indah, karena beranekaragam instrumen dipadukan oleh lagu yang dimainkan.  Masing-masing instrumen mengeluarkan suara yang berbeda, tetapi terpandu oleh irama lagu yang dimainkan.  Instrumen-instrumen itu saling mengiri dan berpadu menghasilkan irama yang merdu.

Jadi untuk menghindari respons yang tabrakan akibat tafsir yang berbeda, maka keharmonian antara pemilik tafsir yang perlu diupayakan.  Masing-masing perlu memahami apa situasi kondisi yang dihapai dan masing-masing perlu memahami peran yang seharusnya dilakukan.  Sekaligus memahami peran teman lain dalam situasi seperti itu.  Mungkin ini makna toleransi, saling menghargai, sekaligus bertanggung jawab atas peran diri. 


Mungkin itu makna ungkapan bahwa dunia bukan milik diri sendiri tetapi milik bersama.  Dengan begitu tidak harus keinginan diri menjadi kenyataan.  Kenyataan adalah resultan dari tafsir orang banyak, yang jika harmoni akan menjadi kenyataan yang indah. Semoga.

Minggu, 18 Agustus 2013

BELAJAR DARI DIALOG SILATURAHIM ICMI (2)

Seperti saya sebutkan di tulisan terdahulu, Halal Bil Halal ICMI Jatim dihadiri oleh 250an orang yang kebanyakan para senior.  Mereka itu tidak hanya dari Surabaya, tetapi ada yang dari Malang, Tulungagung, Bojonegoro dan sebagainya.   Mas Ismail Nachu menyebut mereka itu sebagai orang yang ikut melahirkan atau mengikuti kelahiran ICMI sejak tahun 1990an. Karena sesame senior tentu mereka sudah aling akrab satu dengan lainnya.  Oleh karena itu pertemuan menjadi gayeng, diselingi canda khas teman lama.

Dari situasi silaturahim dan kelakar yang banyak muncul, saya menangkap betapa akrabnya mereka.  Tampak sekali emosi pertemanan diantara yang hadir.  Oleh karena itu muncul usulan hendaknya silaturahim dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan yang konkret.  Misalnya dalam bentuk pertemuan periodik untuk memikirkan hal-hal yang terkait dengan keumatan maupun kebangsaan.  Jika mungkin akan lebih baik jika dapat ditransformasikan menjadi kegiatan-kegitan yang nyata. 

Mendengar usulan itu, saya jadi teringat apa yang kami diskusikan pada saat berbuka puasa bersama di rumah saya tahun lalu.  Pada saat itu hadir Pak Wawan Setiawan, notaris senior yang sudah pensiun dan yang banyak teman-teman mudadi kalangan pengurus ICMI.  Waktu itu terlontar gagasan bagaimana memaknai konsep jama’ah yang tidak hanya dalam aktivitas sholat, tetapi juga dalam kehidupan kemasyarakatan.

Karena yang hadir waktu itu teman-teman muda dan ICMI sedang bersemangat mencetak 10.000 orang saudagar muslim, timbul gagasan bagaimana memadukan dua karateristik anggota ICMI.  Di ICMI banyak teman profesional yang mapan, misalnya dokter, notaris, banker dan sebagainya.  Mereka itu sangat sibuk dengan profesinya dan tentu memiliki penghasilan cukup baik.  Kasarnya tentu teman-teman seperti punya simpanan yang mungkin ditabung dalam berbagai bentuk.  Di pihak lain, banyak teman-teman muda yang baru merintis usaha, sehingga memerlukan modal.  Mungkinkah dua potensi itu “disambungkan?”.

Anggota ICMI memiliki profesi yang sangat beragam, misalnya dokter, insinyur, politisi, guru/dosen, pengusaha, notaris, pengacara dan sebagainya.  Mereka pada umumnya menjadi aktivis di berbagai organisasi sosial.  Jadi ICMI seakan menjadi “jembatan” bagi mereka yang memiliki profesi berbeda dan atau aktif di organisasi berbeda.  Pertanyaannya bagaimana “jembatan” itu tidak sekedar setahun sekali, tetapi menjadi “jembatan” yang dapat dilewati setiap saat.  Sekali lagi itu memperluas konsep jama’ah yang tidak sekedar dalam arti sholat.

Untuk memulai merintis penyambungan tersebut, pesan Mas Misbahul Huda perlu mendapat perhatian.  Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat menjadi pembicara saat halal bil halal ICMI Jatim, Misbahul Huda menyebutkan bahwa integritas merupakan salah satu faktor penting dalam dunia usaha.  Menurut saya, tidak hanya dalam bidang usaha, dalam segala bidang integritas sangat penting.  Dengan integritas yang baik, orang akan dapat dipercaya dan akan memegang amanah.

Keinginan menyambungkan mereka yang saling memerlukan dan membuat jembatan penghubung antar profesi dan atau bidang keahlian itulah yang menjadi pekerjaan rumah pengurus ICMI Jatim.   Hubungan emosional yang masih “membara” harus dimanfaatkan sebagai momen.  Jika sambungan dan jembatan itu dapat dibentuk maka silaturahim yang selama bersifat di permukaan dapat berubah menjadi jejaring yang kokoh.  Semoga.

Kamis, 15 Agustus 2013

BELAJAR DARI DIALOG SILATURAHIM ICMI (1)

Sebagaimana kebiasaan selama ini, Minggu tanggal 11 Agustus 2013 ICMI Orwil Jatim mengadakan acara halal bil halal di Hotel Bumi Surabaya.  Tema yang diangkat adalah Memaknai Silaturahim untuk Kemajuan.  Yang hadir sekitar 250 orang dan banyak para senior, misalnya Pak Wawan Setiawan (Notaris dan mantan Ketua INI), Pak Hanafi (pensiunan dosen ITS) dan Pak Fuad Amsyari (dokter senior dan dosen Unair). Juga hadir teman-teman dari luar Surabaya, misalnya dari Malang, Tulungagung, Bojonegoro dan sebagainya.

Tampil memberi tausiah Prof Ahmad Jazidie, dosen ITS yang sekarang menjadi Dirjen Pendidikan Menengah. Semula yang akan memberikan tausiah Prof. Mohammad Nuh, mendikbud, namun beliau mendadak dipanggil presiden, sehingga digantikan oleh Pak Jazidie.  Setelah itu, seperti tradisi ICMI, dilaksanakan dialog.  Tampil empat orang sebagai pembicara Pak Laitupa (dokter senior dari Tulungagung), Pak Mohamad Taufiq (da’i dari Surabaya), Pak Misbahul Huda (pengusaha muda dan bos Temprina), dan Pak Abdullah Sahab (dosen ITS).  Dialog dipandu oleh Mas Ismail Nachu (Ketua ICMI Orwil Jatim).

Sangat menarik mengikuti dialog tersebut.   Setiap orang, baik pemberi tausiah, pembicara dan peserta menyampaikan padangan yang tidak selalu sama.  Bahkan agak berbeda sudut pandang yang kalau kita tidak pandai mencerna seakan bertentangan.  Untungnya dialog berlangsung segar, diselingi kelakar Pak Abdullah Sahab yang terkenal sangat “kocak”.   Perbedaan sudut pandang menjadi seperti pameo orang buta mendeskripsikan gajah.

Perbedaan padangan yang mencolok adalah memaknai kemajuan yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip Islam.  Dr. Laitufa yang pertama berbicara menyampaikan pengalamannya mengembangkan ICMI di Tulungagung.  Menurut beliau apa tiga pilihan jalan untuk membangun masyarakat di Tulungagung, bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang ekonomi.  Setelah dikaji dengan saksama, bidang pendidikan dan kesehatan sudah digarap dengan baik oleh organisasi keislaman lain, misalnya NU dan Muhammadiyah.  Oleh karena itu pilihan yang diambil membangun masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi.

Dimulaikan mendirikan BMT dengan modal 15 juta dan sekarang telah berkembang menjadi 90an dengan asset tidak kurang dari 30 milyar rupiah.  Walaupun beliau seorang dokter, pemilihan bidang ekonomi diambil karena  bidang itu yang belum banyak dikerjakan.  Dalam dalam bidang ekonomi itulah pada umumnya kelemahan umat Islam.

Sebagai pembicara kedua, Ustad Taufiq mengingatkan makna kemajuan yang tidak boleh hanya dilihat dari aspek ekonomi.  Beliau memberi contoh, pengusaha di Timur Tengah yang mendirikan bank syariah dengan nama Bank Barokah.  Tidak memberi nama Bank Islam, karena Islam dianggap terlalu besar untuk nama sebuah bank.  Jangan sampai jika pertugas bank-nya kurang baik, lantas ditafsirkan oleh pelanggan bahwa Islam kurang baik.  Jika banknya kemudian tidak berkembang atau bahkan bangkrut, lantas masyarakat menafsirkan Islam tidak cocok dengan manajemen bank.  Yang penting nilai-nilai Islam harus menjadi ruh dari kemajuan.

Namun Ustad Taufiq juga mengingatkan jangan sampai, kemajuan ditafsirkan sempit dengan kemajuan teknologi dan kemakmuran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.  Jangan sampai ICMI terbius “kemajuan barat” yang jauh dari nilai-nilai Islam.   Jadi kemajuan harus dimaknai sebenar jauh nilai-nilai Islam menjadi pembandu kemajuan tersebut.

Ir. Misbahul Huda, tampil sebagai pembicara ketiga dengan menampilkan tayangan.  Karena beliau seorang pengusaha, maka paparannya lebih banyak mendorong untuk terjun dalam dunia usaha.  Dalam bahasa sederhananya mendorong untuk menjadi kaya.  Sebagian besar sahabat nabi juga pedagang dan kaya.  Dengan kaya kita dapat berzakat dan bahkan dapat “membeli” sorga.  Karena ingin mendorong orang agar dapat menjadi kaya, dengan sedikit seloroh beliau mengatakan “menjadi kaya itu wajib”.

Paparan Pak Laitufa dan Pak Misbahul Huda yang “berbau ekonomi” tampaknya mengundang adanya teman yang salah pengertian.  Ada teman yang dengan semangat mengingatkan agar tidak memaknai kemajuan hidup dari aspek ekonomi semata.  Sempat ada ungkapan “kalau dengan kekayaan dapat membeli sorga” berarti para koruptor masuk sorga karena mereka kaya.  Masih ada ungkapan lain, yang intinya kurang setuju dengan paparan Pak Misbahul Huda.

Untunglah ada Pak Abdullah Sahab, doktor teknik mesin yang sekaligus da’i lucu.  Dengan  gaya khasnya,  Ami Dullah (begitu kami biasa memanggil) menjelaskan ketika kita mendorong orang menjadi kaya itu artinya urusan keislaman sudah selesai.  Tidak perlu diragukan lagi keislamannya.  Jadi jangan dipertentangkan antara Islam dengan ekonomi (menjadi kaya).  Yang didiskusikan, Islamnya bagus tetapi miskin atau Islamnya bagus tetapi kaya.  Pasti kita memilih Islamnya bagus dan kaya.

Mendengarkan diskusi yang dinamis dan gayeng penuh canda, saya jadi ingat buku Stephen Covey yang berjudul The Third Alternative.  Setiap orang akan punya pandangan masing-masing. Dan akan bagus kalau kita dapat menggabungkan dan mensinergikan berbagai pendapat tadi menjadi suatu keutuhan dna pasti lebih komprehensif.  Semoga.

Selasa, 13 Agustus 2013

ERA DIGITAL DAN TANTANGAN PENDIDIKAN

Harian Kompas tanggal 13 Agustus 2013, halaman 9 memuat  tulisan berjudul Ensiklopedia Tidak Lagi Menjadi Pilihan. Dijelaskan bahwa menurut pedagang buku Pasar Senin Jakarta, Ensiklopedi yang dahulu memiliki segmen pembeli khusus, kini ditinggalkan orang, karena banyak informasi di Ensiklopedia kini dapat diperoleh di Wikipedia atau situs lain di internet.  Namun demikian, kamus masih banyak dibeli orang, khususnya kamus Inggris-Indonesia.  Oleh karena itu Wakil Ketua Ikatan Penerbit

Era digital yang kini telah menjadi bagian kehidupan keseharian masyarakat, khususnya generasi muda memang akan mengubah pola kehidupan.  Termasuk pola belajar dan pola penyebaran informasi.  Saya meyakini, era kertas pelan tetapi pasti akan tergeser.  Ketika kamus digital dapat diperoleh dengan mudah dan murah, misalnya dapat dimasuk ke dalam HP, maka kamus tercetak akan terancam.  Saya sendiri sekarang sudah jarang memegang kamus.  Jika memerlukan terjemahan dapat membuka “Pocket Dict” di HP.  Baru jika tidak memadai kemudian mencari kamus tercetak.

Seiring dengan kemajuan teknologi, ketika kemampuan HP semakin baik dan jenis kamus digital makin lengkap, maka pocket dict akan menjelma menjadi semacam kamus bahasa Inggris Hassan Shadily yang sekarang banyak dipakai, namun dalam versi digital.  Jika itu terjadi, saya yakin tidak banyak lagi orang memerlukan kamus bahasa tercetak.  Bukankah kamus digital lebih murah dan lebih fleksibel penggunaanya.

Tidak hanya itu.  Setahap demi setahap, jurnal, majalah, buku dan bahkan koran juga akan digeser oleh versi digital.  Jurnal ilmiah yang biasanya mahal karena jumlah cetakannya tidak banyak, kini sudah mulai beralih ke bentuk digital.  Perpustakaan dengan senang berlangganan jurnal online karena murah dan tidak memakan tempat.  Hampir semua koran sekarang sudah punya versi online.  Dan buku teks juga sudah mulai masih ke versi digital.   Jika itu terjadi, maka penyebaran informasi benar-benar melalui versi baru yaitu digitalisasi informasi.

Saya iadi teringat ketika anak saya yang kuliah di Australia menyusun tesis bidang Agriculture Robotic.  Dia mengunduh ratusan jurnal online yang dilanggan universitasnya dan juga buku digital dari perpustakaan.  Dibaca, dianalisis dan dirangkum.  Ketika konsultasi dengan supervisornya juga hanya mengirimkan draft tesisnya lewat email.  Dan koreksi oleh supervisor juga melalui email.  Walaupun setiap minggu diwajibkan menghadap untuk sekedar lapor.  Ketika memerlukan proved reading untuk menyempurnakan bahasa Inggris-nya, naskah juga dikirim via email dan oleh yang melakukan proved reading juga dikembalikan via email. Jadi semuanya dilakukan dengan pola digital.

Apa dampaknya pada pendidikan?  Sangat besar.  Bahkan sangat-sangat besar, sehingga akan mengubah secara total pola pembelajaran dan pola pendidikan.  Itulah tantangan yang kini harus dipikirkan oleh setiap orang yang merasa sebagai ahli dan pemerhati pendidikan.  Pendidikan yang menggunakan era digital sebagai wahana pendidikan.

Saya membayangkan, anak-anak SD sudah pandai membuka internet, mencari informasi yang dibahas bersama guru dan teman sekelasnya.  Informasi itu dibandingkan, dikategorikan dan dianalisis kemudian diambil kesimpulan.  Misalnya anak kelas 3 SD sedang membahas “burung merpati”.  Mereka mengunduh berbagai informasi tentang burung merpati, jenisnya, ukurannya, makanannya, bagaimana bisa terbang dan sebagainya.  Berbagai informasi itu kemudian dibanding-bandingkan, dikategorikan, dianalsisis dan disimpulkan.

Mereka bekerja secara kelompok dengan dibimbing oleh guru.  Guru memberikan panduan, berupa pertanyaan pengungkit (probing question) untuk mendorong siswa berpikir dan mencari jawabannya.  Peran guru tidak memberi informasi tetapi mendampingi dan mengarahkan bagai siswa mencari informasi.  Ketika siswa harus membandingan dan mengkategorikan informasi, peran guru mendampingi dan mengatakan “apa harus begitu?”  “apa tidak ada cara lain?”  “apa tidak boleh begini?” Dan seterusnya, sampai siswa menemukan jawaban dan dia mengatakan “ya saya menemukan jawabannya”.

Secara bertahap, topik yang dipelajari dapat diarahkan untuk memecahkan masalah.  Misalnya bagaimana menemukan cara menyilang anggrek agar bunganya bagus.  Bagaimana menemukan rute jalan Surabaya-Semarang yang tercepat kalau naik mobil pribadi.  Bagaimana mengatur agar sampah di sekitar sekolah dapat diubah menjadi uang.  Dan sebagainya.  Intinya memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menerapkan pengetahuan pada level sekolah yang di tempuh.


Bukankah pola kerja seperti itu yang dilakukan orang dewasa saat bekerja?  Bukankah pola pikir seperti itu yang diterapkan para ilmuwan saat melakukan penelitian?  Jadi dengan pola belajar seperti di atas, sebenarnya siswa sedang belajar bagaimana cara belajar/bekerja yang baik. Itulah yang mungkin disebut dengan problem based learning.  Authentic problem based learning. Learning how to learn.  Learning how to work effectively.  Belajar dan bekerja yang efektif di era digital.  Dan itulah sebenarnya belajar kehidupan yang diperlukan di era mendatang. Semoga.

Senin, 12 Agustus 2013

MALAS CARI INFORMASI KENA MACET

Setiap idul fitri keluarga kami selalu mudik ke kampung halaman ke desa kecil di pinggiran Ponorogo.  Tahun ini kami ke Ponorogo pada hari raya kedua Jum’at 9 Agustus, setelah mengantar anak yang balik ke Australia.  Berangkat dari Surabaya sekitar pukul 16 dan sampai kampung sekitar pukul 24.  Bukan main.  Baru pertama kami mengalami macet yang begitu hebat.  Kemacetan yang paling parah terjadi di antara Nganjuk-Wilangan.

Hari Sabtu siang kami kembali ke Surabaya, karena Minggu ada acara.  Kami berangkat sekitar pukul 13, bersama-sama adik yang juga kembali ke Malang.   Entah karena apa, kami meluncur saja melewati jalur Ponorogo-Madiun-Nganjuk-Kertosono-Jombang-Mojokerto-Surabaya.  Terjebak macet lagi di antara Caruban-Nganjuk dan baru sampai Surabaya pukul 22 malam.  Jadi Ponorogo yang saat “normal” dapat ditempuh sekitar 4 jam, harus ditempuh selama 9 jam.

Sampai Surabaya sampai “membodohkan” diri sendiri.  Bukankah sudah tahu kalau Caruban-Nganjuk macet, mengapa tidak mencari jalan alternatif?  Bukankah tahun lalu sudah mengambil jalur selatan, yaitu Ponorogo-Trenggalek-Tulungangung-Kediri-Mojokerto-Surabaya dan relatif lancar?  Mengapa tidak mengambil jalur Wilangan belok kiri melewati Ploso Mojokerto-Surabaya?  Mengapa tidak mencari informasi kondisi lalu lintas pada hari Sabtu?  Mengapa tidak belajar dari pengalaman kemarin yang kena macet di daerah yang sama.  Masak harus “terantuk batu untuk kedua kalinya”.

Memang radio Suara Surabaya baru kami dapatkan pada perjalanan setelah Madiun.  Praktis sepanjang perjalanan Ponorogo-Madiun kami meyakini jalan tidak terlalu padat.  Bukankah masih hari Sabtu.  Logikanya jalan akan padat saat hari Minggu, sehari sebelum kantor masuk.  Pikiran seperti itu yang membuat kami (paling tidak saya) tidak terdorong mencari informasi kondisi lalu lintas Ponorogo-Surabaya.

Pengalaman di atas menguatkan prinsip pentingnya informasi.  Siapa yang menguasai informasi dialah yang menguasai situasi. Siapa yang memiliki informasi akan memiliki alternatif keputusan yang lebih baik.  Sebaliknya jika informasi yang dimiliki terbatas, pilihan alternatif keputusan juga terbatas dan bahkan berpotensi untuk keliru.  Siapa yang malas mencari informasi akan kena dampaknya. Dan saya benar-benar mengalami.

Saya kemudian mengadai-andai.  Seandainya sebelum berangkat, saya sedikit mau susah mencari infomasi.  Seandainya memutar radio SS untuk dapat informasi lalu lintas.  Seandainya saya membuka detik.com.  Seandainya mau bertanya via telepun ke teman yang tahu situasi lalu lintas.  Tentu saya mendapat informasi bahwa lalu lintas Caruban-Nganjuk macet total dan saya dapat memilih jalur selatan, seperti tahun lalu.  Namun semua sudah terjadi dan itu sepenuhnya akibat kemalasan saya untuk mencari informasi.

Pengalaman yang sangat berharga.  Kemalasan yang harus ditebus dengan kelelahan yang luar biasa, dengan menyopir 9 jam untuk jalan yang macet.  Untunglah minggu pagi praktis saya tidak punya acara pokok, sehingga dapat istirahat.  Paling-paling hanya membersihkan rumah yang sudah beberapa hari tidak dibersihkan secara sungguh-sungguh.

Berangkat dari pengalaman ini, saya teringat dengan hasil observasi saya tentang para wisatawan.  Wisatawan asing biasanya memegang peta dan buku ketika berkunjung ke Indonesia. Seringkali mereka sudah “tahu” rute mana yang ingin dilewati dan hotel mana tempat menginap yang diinginkan.  Semua itu dibaca di buku yang selalu dipegang kemana-mana.  Sebaliknya orang Indonesia, khususnya saya sendiri, seringkali terlalu “pede” untuk bepergian, termasuk ke luar negeri.  Seringkali saya hanya mengandalkan informasi secuil dari teman yang pernah kesana.  Jarang sekali mau membeli peta dan informasi tertulis sebelum berangkat.  Paling-paling baru mencari peta setelah tiba di kota yang dituju.  Itupun mengandalkan dari peta yang disediakan secara gratis di bandara, stasiun atau tempat lain.  Nah, ketika kebingungan terus bertanya kepada orang yang dijumpai.  Singkatnya secara relatif, orang Indonesia, khususnya saya, kalah persiapan dengan wisatawan asing ketika mengunjungi negeri orang.  Semoga jadi pelajaran bagi kita.

Kamis, 08 Agustus 2013

PAK BUDI, PAK DAHLAN DAN PAK NUH

Siapa Pak Budi Darma sudah saya ceritakan pada tulisan lalu.   Kini saya ingin menambahkan tentang yang lain.  Setahu saya beliau PhD dari Indiana University bidang creative writing.  Sampai sekarang sepertinya beliau berkarir di bidang tulis menulis, cerita pendek, novel dan karya tulis lainnya.  Dengan bekal keilmuan, ketekunan dan tentu saja kepandaiannya, kini sosok Budi Darma telah menjadi tokoh budayawan tingkat dunia.

Namun di balik itu, kesederhanaan beliau sangat kental.  Seperti saya sebut kemarin, sehari-hari  beliau berbaju warna putih atau telor asin dan dimasukkan.  Rambut tersisir rapi.  Sampai saat ini masih tinggal di perumahan kampus dengan kondisi rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumah sekitarnya.  Setahu saya beliau menggunakan mobil kijang. Waktu beliau menjabat rektor IKIP Surabaya tidak mau mengusulkan guru besar.  Dan baru mau diusulkan setelah tidak menjadi rektor lagi.

Apakah beliau suka bercerita tentang karya tulisnya?  Konon tidak pernah dan bahkan jika ditanya tidak mau menjelaskan.  Terkesan beliau tidak mau atau tidak ingin menunjukkan apalagi menonjolkan karya tulisnya.  Pada hal novelnya dikagumi banyak orang dan cepennya memenangkan cerpen terbaik.  Konsisten pada “bidangnya”, produktif, santun dan sederhana adalah ciri Pak Budi Darma yang saya kenal.

Saya tidak begitu mengenal secara pribadi dengan Pak Dahlan Iskan.  Walaupun sesama warga Surabaya, kami tidak punya aktivitas bersama yang intens. Mungkin karena bidang pekerjaannya yang berbeda. Pertemuan juga sangat jarang dan itu biasanya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.  Seingat saya, saya baru dua kali bertemu dan sempat ngobrol agak lama.  Pertama waktu beliau datang pada acara wisuda Unesa dan yang lain pas makan siang yang saya lupa tempatnya.  Pengetahuan tentang sosok Pak Dahlan lebih banyak saya dapat dari alumni Unesa yang bekerja di Jawa Pos atau karyawan Jawa Pos Group yang saya kenal.  Tentu juga lewat tulisannya di berbagai media dan buku.

Pak Dahlan Iskan, setahu saya “protolan IAIN” di Kalimantan yang tidak sempat lulus karena keburu menjadi wartawan dan kemudian harus ke Surabaya untuk memimpin Jawa Pos.  Saya yakin beliau pebelajar yang hebat, terbukti dengan bekal pendidikan seperti itu mampu memimpin dan mengembangkan Jawa Pos, mulai dari koran yang hampir mati menjadi kelompok usaha yang beraneka ragam.  Dan akhirnya menjadi Dirut PLN dan kemudian menjadi Meteri BUMN.   Lulusan Madrasah Aliyah dan protolan IAIN sukses memimpin peruasahaan dan menjadi Menteri BUMN.

Saya mencoba mencermati dan menanyakan tahapan beliau mengembangkan Jawa Pos. Ternyata sangat menarik.  Konon, ketika koran Jawa Pos sudah berkembang, mulailah membuat percetakan yang kemudian menjadi penerbit.  Mengapa karena percetakan merupakan salah satu titik krusial dalam penerbitan koran.  Setelah itu mulai membuat pabrik kertas, karena kertas adalah bahan dasar koran.  Selanjutnya mendirikan power plant (pembangkit listrik) sebagai sumber tenaga pabrik kertas.  Selanjutnya membuat koran lokal (Radar dan koran lokal di berbagai daerah) dan TV lokal.  Pemahaman saya beliau konsisten dengan usahanya dan mengembangkan usaha pendukungnya.

Dalam satu tulisannya, Pak Dahlan mengatakan salah satu kunci usaha adalah fokus pada usahanya.  Orang dikatakan fokus kalau sudah bermimpi tentang usaha yang ditekuni.  Kalau belum berarti belum menyatu dengan denyut nadi perusahaan dan itu artinya belum fokus. Begitu kira-kira nasehatnya.  Pak Dahlan juga bercerita sering mengalami kegagalan dalam menjalankan usahanya.  Hanya saja orang tidak tahu, sehingga yang tampak hanya yang berhasil saja.

Ketika datang ke wisuda Unesa, beliau naik kijang dan ditemani seorang cucunya yang kira-kira kelas 2 SD.  Beliau cerita tadi langsung dari Jakarta tetapi sudah sempat sarapan sate di Rungkut.  Seperti biasa berbaju putih dengan lengan digulung.   Saya sempat merinding ketika Pak Dalan tersendat pidatonya dan mengatakan terharu karena tidak sempat mengikuti wisuda selama hidupnya.  Pidatonya pendek, tetapi sangat berisi untuk memotivasi wisudawan.  Cerdas, penuh gagasan terobosan, gigih, sederhana dan inspiratif.  Itulah sosok yang saya tangkap dari Pak Dahlan Iskan.

Saya mengenal Pak Mohammad Nuh sejak awal tahun 1990an.  Waktu itu Pak Nuh masih sebagai dosen muda di PENS ITS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya).  Saat beliu menjabat sebagai direktur PENS saya sering datang dan biasanya setelah magrib.  Biasanya kita diskusi dengan pendidikan.   Kebiasaan itu terus berlangsung saat Pak Nuh menjadi rektor ITS dan menjabat sebagai Ketua ICMI Jawa Timur.  Kalau diskusi tentang pendidikan, apalagi tentang guru biasanya memanggil saya dan mengatakan kalau itu urusan Pak Muchlas.

Pada tahun 2009, hari Kamis minggu pertama setelah Idul Fitri Pak Nuh menilpun.  Waktu itu beliau menjabat sebagai Menteri Kominfo.  Saya diminta datang ke Kominfo besuknya untuk makan siang, karena Bu Nuh masih di Surabaya.  Sehabis sholat Jum’at saya datang.  Setelah makan siang, diajak ke ruang rapat bersama Pak Son Kuswadi dan Pak Alkaf.  Kita diskusi tentang Pendidikan.

Sepertinya beliau belum puas karena saya tidak membawa data.  Oleh karena itu, minggu berikutnya saya datang dan mengajak Pak Agus Sartono (waktu itu sebagai Kepala Biro PKLN, sekarang menjadi Deputi di Menko Kesra).  Kami diskusi panjang lebar.  Nah, di akhir diskusi Pak Nuh mengatakan berguna alhamdulillah, paling tidak ini penting untuk mengembangkan pendidkan di sekolah masing-masing.

Nah begitu pak SBY mengumumkan susunan kabinet, ternyata Pak Nuh ditunjuk menjadi Mendiknas.  Saya kaget dan komentar, lha kalau begitu kemarin itu “kulakan”.  Sayapun kontak Pak Agus Sartono dan menyampaikan komentar itu.  Dan kami saling tertawa.  Kami saling berkomentar, berarti saat itu Pak Nuh sudah tahu kalau akan menjadi Mendiknas.  Dan saya gembira, walaupun beliau doktor Elektromedik, perhatiannya lebih banyak tertuju pada pendidikan.

Karena teman lama, saya sering bepergian dengan Pak Nuh.  Kesan saya orangnya sangat sederhana.  Kalau makan memilih ke warung biasa dan bukan restoran besar.  Beberapa tempat makan favoritnya antara lain soto daging depan SMA 5 Surabaya, soto ayam Cak Har, warung Ampel dekat Kotamadya, bebek Sinjai Bangkalan, warung Kaliutik Lamongan, rumah makan Sederhana Mojokerto.  Yang juga menjadi favoritnya adalah ayam bakar Nayamul di desa Benciro.  Senangnya duduk bersama pembeli lain dan tidak mau ketika dipesankan di ruang khusus.

Kesan saya setelah sekian lama bergaul dengan Pak Nuh, sederhana, istiqomah, cerdas dan pebelajar yang baik.   Suka menolong dan sangat perhatian kepada orang lain.  Bekerja dengan penuh keikhlasan, sehingga seakan tidak memiliki beban.  Ketika ada “hantaman kiri kanan” Pak Nuh memberi metaphora, nabi itu ada yang hidup terkenal dan dihormati banyak orang seperti Nabi Sulaiman, tetapi juga ada yang penuh “penderitaan” seperti Nabi Ayub.  Kita jalani saja dengan ikhlas, mungkin kita sedang berperan seperti Nabi Ayub.

Semoga kita dapat belajar dari tiga orang penting tersebut.  Saya yakin generasi mudah perlu mengenal sosok ketiga orang tersebut lebih dalam, sehingga dapat memetik pelajaran dari perjalanan hidupnya.

Rabu, 07 Agustus 2013

IQRA DAN KESEDERHANAAN PROF BUDI DARMA

Siapa Prof Budi Darma seperti tidak perlu dijelaskan.  Para budayawan, sastrawan dan akademisi tentu mengetahui.  Beliau adalah guru besar bidang satra di Universitas Negeri Surabaya, mantan rektor IKIP Surabaya (sekarang menjadi Unesa), budayawan, novelis, cerpenis dan entah berapa predikat yang beliau miliki.  Dan baru saja beliau terpilih sebagai salah satu akademisi berdedikasi sekaligus cerpen beliau terpilih menjadi yang terbaik.

Ketika saya sedang di Jakarta beberapa hari lalu, tiba-tiba beliau sms memberi tahu kalau tulisan saya dimuat Jawa Pos.  Sms-nya dengan bahasa Jawa halus bernada pujian.  Kurang lebih isinya “tulisan panjenengan wonten Jawa Pos sae sanget”.  Saya sungguh “tersanjung” mendapat sms tadi.  Bayangkan seorang “begawan” bidang sastra memuji tulisan saya.  Walaupun saya sadar dan yakin sms itu lebih banyak bernuasa motivasi.

Sebenarnya saya bingung karena tidak merasa mengirim tulisan ke Jawa Pos.  Saya baru mengerti ketika mendapat sms tentang itu dari Pak Choiri yang menyebutkan bahwa tulisan saya tentang Iqra sebagai modal penting pengembangan generasi muda muslim.  Oh, jadi itu lebih merupakan wawancara Mas Chudori, wartawan Jawa Pos, yang mungkin diolah menjadi artikel.  Saya mencoba membuka Jawa Pos online tetapi hanya dapat membaca judulnya saja.  Ya sudah.  Seingat saya, saya menjelaskan bahwa bagi umat muslim belajar itu kuwajiban karena itu termaktub dalam ayat Al Qur’an yang pertama kali turun.  Jadi yang perlu dipuji sebenarnya Mas Chudori.

Saya memahami kata “iqra” bukan sekedar  membaca dalam arti membunyikan huruf.  Dan juga bukan sekedar membaca suatu teks.  Iqra berarti belajar dengan membaca, mengamati dan menganalisis segala sesuatu di alam raya ini.  Dengan catatan harus diniati untuk ibadah untuk kemaslahatan umat, karena yang diperintahkan adalah “membaca dengan nama Tuhan”.  Artinya mempelajari segala sesuatu dengan tujuan beribadah, yaitu menggunakan pengetahuan hasil belajar tadi untuk kemaslahatan umat manusia.

Apakah ungkapan itu yang dianggap baik oleh Pak Budi Darma?  Terus terang saya tidak tahu.  Beliau kan penulis hebat dan jujur saya seringkali sulit memahami pesan yang terkandung di dalamnya.  Waktu masih muda dan mengaguminya, saya berusaha membaca novel beliau, namun sulit menangkap pesan di balik itu.  Mungkin kepekaan sastra saya terlalu rendah.  Atau daya imajinasi saya yang terlalu rendah.

Lebih dari itu kadang-kadang saya juga sulit memahami keseharian beliau.  Biasanya budayawan atau sastrawan itu nyentrik.  Misalnya seperti Emha Aiun Najib dan Sutarji Chalsom Bachri.  Paling tidak seperti Gus Mustofa Bisri atau Taufik Ismail.  Namun keseharian Pak Budi Darma tidak berbeda dengan dosen pada umumnya.  Biasanya beliau berbaju lengan pendek dengan warna putih atau abu-abu dan dimasukkan.  Rambutnya dipotong pendek dan disisir rapi.  Jadi yang tidak kenal tidak akan mengira kalau beliau itu seorang budayawan kelas wahid.

Sekian tahun lalu saya pernah menanyakan hal itu kepada beliau. Saat itu (pertengahan tahun 1990an) saya bersama beliau di Makasar ikut suatu acara.  Kebetulan naik becak bersama, sehingga saya berkesempatan menanyakan mengapa cara berpakaian beliau tidak seperti seniman pada umumnya.  Jawabnya sungguh mengagetkan. Kira-kira: “saya tidak perlu berpakaian seperti itu”.  Hanya itu jawabnya dan sepertinya tidak ingin ditanya lagi.  Lagi-lagi saya sulit untuk menangkap apa maksudnya.  Saya hanya menebak-nebak, mungkin beliau tidak perlu berpakaian nyentrik, yang penting hasil karyanya dan bukan tampilan luarnya.

Apa yang dapat dipelajari dari Pak Budi Darma?  Menurut saya paling tidak ada tiga hal.  Pertama, kesederhanaannya.  Beliau sangat sederhana.  Cara berpakaian dan bahkan cara menyampaikan pendapat.  Seingat saya kalau rapat jarang sekali beliau berbicara.  Namun begitu berbicara selalu mengungkapkan hal-hal yang penting dan biasanya peserta lain diam.  Mungkin beliau berprinsip kalau berbicara harus yang penting, kalau tidak lebih baik diam.

Kedua, sangat menghargai orang lain.  Contoh diatas, yaitu mengirimkan sms untuk memuji tulisan saya, walaupun saya yakin itu kebih bernuasa motivasi.  Juga dalam pergaulan keseharian di kampus.  Tidak menonjolkan diri, walaupun semua warga Unesa tahu siapa Budi Darma.

Ketiga, orang yang produktif.  Walaupun sudah purna dengan usia berkepala tujuh, beliau masih aktif mengajar, menulis dan mengisi acara seminar/diskusi.  Dari tulisan dan makalah yang disampaikan tampak sekali beliau terus belajar.  Semoga kita dapat meneladani beliau.

Sabtu, 03 Agustus 2013

IN SIDE THE BOX: Kreatif dapat disistematisasikan?

Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 pagi saya di bandara Soekarno Hatta untuk pulang ke Surabaya.  Sebenarnya tiket saya untuk pukul 14.40.  Namun saya hanya memegang sms kode booking dari teman yang membelikan tiket.  Oleh karena itu sekitar pukul 8 saya sudah meluncur ke bandara.  Takut kalau ada masalah, karena hari itu orang berebut tiket untuk mudik.  Alhamdulillah, begitu saya menunjukkan sms tersebut ke petugas counter tiket, saya langsung dapat tiket.  Saya ingin memajukan penerbangan, tetapi seperti yang saya duga tiket sudah terjual habis.  Jadilah saya menunggu di bandara sekitar 5 jam.

Pada awalnya saya membaca dan melihat TV.  Namun lama-lama bosan juga.  Akhirnya, setelah sholat dhuhur saya jalan-jalan dan masuk ke toko buku.  Disitu saya melihat buku dengan judul IN SIDE THE BOX.  Kebetulan ada yang sudah terbuka (tidak dibungkus plastik), sehingga saya dapat membaca daftar isi dan sedikit introduction-nya.   Ternya buku tentang kreativitas.  Tertarik dan akhirnya saya beli.  Buku itu ditulis oleh Drew Boyd, seorang pensiunan dari pejabat penting di Johnson & Johnson, sedangkan dan Jacob Goldenberd adalah  profesor bidang Marketing di Columbia University.

Selama ini saya memahami dan mungkin juga banyak teman memahami bahwa untuk kreatif  kita harus berpikir out of the box.  Harus berpikir yang tidak seperti biasanya. Itulah sebabnya para seniman, yang konon kreatif, banyak berpakaian dan berperilaku “aneh”.  Kantor lembaga seni atau sejenisnya juga sering tidak seperti kantor pada umumnya.  Pokoknya selalu beda.  Mungkin metaphora “see what all see but think what nobody think” cocok indikator untuk orang kreatif.

Bahkan Stan Sigh, CEO dan pendiri computer ACER menulis buku dengan judul “Me Too Is Not My Style”.  Buku itu bercerita sejak kecil Stan Sigh berpikiran tidak lazim atau bahkan “bersebarangan” dengan pikiran pada umumnya.  Jika orang pada umumnya berpikiran “A”, dia menempuh jalan “B”.  Ketika perusahaan baru takut membuat brand sendiri, dia justru melakukan, yaitu ACER.  Pokoknya dengan pikiran yang berbeda dengan orang banyak akan menghasilkan suatu kreasi yang tidak dihasilkan orang lain.

Nah buku In Side the Box memberi bukti dan mengajarkan hal yang bertentangan.  Menurut buku itu, selain berpikir out of the box, untuk menjadi kretaif juga dapat dilakukan dengan berpikir in side the box.  Bahkan menurutnya sebagian besar penemuan yang selama ini kita kenal, misalnya remote control TV dan AC, penerbangan dengan harga murah (low cost carrier) tas punggung dan sebagainya ditemukan dengan pola pikir in side the box.  Berikut ini ringkasan (sangat ringkat dari buku tersebut, silahkan baca sendiri jika ingin yang lebih detail).

Buku itu mengenalkan metoda berpikir yang disebut Systematic Inventive Thinking (SIT).  Ada lima teknik dalam SIT, yaitu subtraction, division, multiplication, task unification dan attribute dependency.  Menurut buku itu, sebagian beras penemuan yang selama ini muncul melalui metoda itu.  Metoda substraction pada intinya mengurangi atau menghilangkan sesuatu bagian yang tidak penting, sehingga produk (benda atau layanan) menjadi lebih simpel, tanpa mengurangi hal-hal yang pokok.  Penerbangan murah yang diterapkan Air Asia merupakan contoh penerapan metoda itu.  Air Asia mengurangi jenis layangan yang tidak penting, misalnya minuman dan transfer bagasi.  Toh tidak banyak yang memerlukan. Hasilnya harga tike Air Asia menjadi murah. 

Mungkin (ini pendapat saya) pola budget hotel yang kini marak juga menerapkan prinsip substraction.  Budget hotel mengurangi beberapa layanan yang tidak penting dan diubah menjadi optional dengan tariff tambahan.  Harga dasar hanya mencakup kamar dengan fasilitas tertentu.  Kalau ingin tambahan layanan, misalnya tilpun kamar, TV, makan pagi dan sebagainya harus menambah.  Nah bagi yang tidak memerlukan, harga menjadi murah.

Metoda division pada intinya melepas fungsi tertentu dan dibuat berdiri sendiri.  Remote control TV dan AC merupakan hasil pemikiran itu.  Demikian pula external hard disk, flash disk dan drop box untuk penyimpakan file dokumen.  Mungkin (ini pendapat saya) layanan electronic ticket dan ATM untuk pengambilan uang juga merupakan produk pemikiran itu.

Metoda multiplication pada intinya meng-kopi komponen yang sudah ada untuk digunakan untuk keperluan lain yang penting.  Tambahan dua roda untuk sepeda yang digunakan akan kecil, agar tidak jatuh merupakan bentuk penggunaan pola pikir multiplication.  Roda yang asli dibuat tiruan kecil yang dipasangkan mengapit yang asli.  Kunci elektronik mobil mungkin juga seperti itu.

Metoda task unification pada intinya menggabungkan beberapa fungsi menjadi satu kesatuan sehingga menjadi lebih kompak dan simpel.  Tas punggung yang dapat digunakan untuk membawa buku, laptop dan sedikit baju merupakan penerapan pola pikir ini.  Mungkin juga (menutut saya) kopi mix, sampo yang sekaligus mengandung conditioner rambut merupakan produk pola pikir tas unification.

Metoda attribute dependency pada prinsipnya menggandengkan beberapa komponen menjadi satu kesatuan.  Penggabungan wiper mobil, penggabungan flash disk yang sekaligus untuk senter mungkin juga merupakan bentuk pola pikir tersebut.

Dengan mempelajari uraian buku itu, mungkin yang dimaksud dengan in side the box adalah memanfaatkan barang/komponen/fungsi yang ada untuk selanjutnya dikembangkan/ digabungkan/dikurangi dan sebagainya.  Jadi tidak selalu harus memulai dari yang sama sekali baru.  Jadi prinsip “penyempurnaan/pengembangan juga berlalu dalam mengembang kreativitas. Rasanya pada pendidik yang berkeinginan mengembangkan kreativitas anak didiknya, perlu mempelajari prinsip tersebut.  Syukur kalau dapat mengembangkan agar lebuh cocok dengan budaya Indonesia.  Semoga.